Based from my true story.....

Dari awal, Kazu bikin ini idenya memang dari kisah yang saia alami sendiri.................

Baca aja ya.............

****First Love****

BLEACH © TITE KUBO

Chapter I

Malam ini begitu dingin. Angin tetap saja menyusup masuk ke kulitku, meski seluruh jendela sudah kututup rapat, serapat hatiku saat ini.

Ya, serapat hatiku.

Semenjak kegagalanku dalam memiliki sebuah rasa bernama cinta dan kasih sayang yang berbalas, hatiku telah kututup. Kukunci serapat mungkin, kukunci berkali-kali agar tak mudah lepas. Kuncinya sudah kubuang jauh, bersama kenangan indahku waktu pertama kali merasakan yang namanya cinta.

Yah, begitulah. Aku selalu tak bisa berhenti merutuki nasibku yang tak kunjung berubah, soal cinta.

Gagal, jatuh, hingga mencapai titik nadir keputusasaan sudah biasa kukecap.

Pertama, aku melihat rumah disebelahku akhirnya berpenghuni tepat dua tahun lalu. Yah, biasalah, aku penasaran, dan, kebetulan sekali, Hisana nee-san menyuruhku mengantarkan masakannya untuk si tetangga baru itu, katanya untuk 'penyambutan' terhadap orang baru.

Dengan langkah penasaran kumasuki halaman rumah itu. Kemudian tanganku dengan tidak sabar mengetuk pintunya. Lama juga hingga terdengar jawaban, dan terbukanya pintu itu.

"Konnichiwa....." sapaku pelan. Yah, aku memang agak canggung untuk sebuah perkenalan baru.

"Ah, konnichiwa!" jawabnya bersemangat, sembari melemparkan senyumnya padaku.

Kuperhatikan dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambutnya agak kebiruan, badannya tinggi, untuk ukuranku yang memang begini mungkin.

"Kau tinggal di sekitar sini, ya?" sambungnya.

"I.... Iya.... Saya tinggal dirumah itu," kataku menunjuk ke arah sebelah kiriku, "Kami membuat ini, sebagai salam perkenalan dari kami." kataku menyerahkan sepiring kare andalan kakak.

"Wah, terima kasih banyak!" katanya tersenyum lebar, "Baru hari pertama disini, sudah dapat tetangga yang baik sekali!"

Aku tersenyum. "Sama-sama."

"Namamu siapa? Kenalkan, aku Kaien Shiba! Kau bisa memanggilku apapun yang kau mau."

"Sa... Saya Rukia Kuchiki, Kaien-sama...."

"Kaien-sama? Ya ampun, kau terlalu formal! Panggil saja Kaien-san!"

"Ba.... Baiklah...."

"Ah, maaf, aku tidak bisa mempersilahkan kau masuk, rumahku masih berantakan."

"Tidak apa, Kaien-san butuh bantuan?" tawarku basa-basi.

"Tidak perlu. Seorang wanita tidak boleh mengerjakan pekerjaan berat!"

Entah kenapa aku agak tersipu mendengar kata-kata itu. Padahal, itu kan kata-kata yang lazim alias biasa saja?

"Nah, terima kasih lagi, ya!"

"Ya, sama-sama.... Saya pulang dulu, Kaien-san, konnichiwa...."

"Konnichiwa!" balasnya, kemudian menutup pintu seiring berlalunya langkahku meninggalkan rumahnya.

Belakangan aku tahu, kalau dia sebenarnya adalah seorang guru di sebuah bimbingan belajar, meski umurnya masih muda, hanya terpaut tiga tahun dariku. Kakak iparku, Byakuya nii-sama, menyarankanku untuk belajar dengannya.

Setiap hari Rabu dan Sabtu, aku pun ikut belajar dengan Kaien-san dirumahnya. Tidak hanya aku sendiri, sahabat-sahabat dekatku, seperti Inoue, Hinamori, Tatsuki, Ichigo, dan Renji juga ikut.

Perlahan tapi pasti, aku baru menyadarinya. Setiap kutatap wajahnya, setiap suaranya memanggilku, setiap derai tawanya yang hanya untukku, membuatku berharap dan merasakan sesuatu yang mungkin lebih dari istilah 'kagum'. Kurasakan sebuah perasaan yang merasuk ke setiap aliran darahku tiap kali mengingat wajahnya dalam khayalku, atau bahkan dalam mimpiku.

Setiap apapun yang dia lakukan untukku, bahkan untuk yang biasa pun, seperti mengambilkan barangku yang terjatuh, menanyakan kabarku, atau saat dia memerlukan pertolonganku, selalu kuanggap 'lebih'.

Di setiap tarikan dan hembusan nafasku, aku selalu ingin memilikinya. Ya, aku akui itu.

Ketika kupejamkan mataku, kurengkuhkan jemariku, seakan semakin mengeratkan perasaanku, yang selalu kuharap balasan darinya.

Semakin hari, rasa sukaku meningkat menjadi sebuah 'cinta'.

Hari-hariku jadi semakin terasa indah hanya karena aku terus membayangkan senyumannya. Setiap aku bertemu dengannya, yang pastinya hanya bisa terjadi saat hari-hari yang kusebutkan tadi, aku selalu berusaha menunjukkan kalau aku memiliki rasa yang selalu membayang di hari-hariku padanya. Tentu saja itu karena aku begitu takut mengatakan semua itu padanya.

Ya, aku takut, dengan beribu alasan. Apa dia sudah memiliki seseorang yang lain dihatinya, atau dia tidak bisa membalas perasaanku, dan alasan sepele berupa ketakutanku akan 'mulut' teman-teman, meski aku berusaha percaya pada mereka.

Hingga suatu hari, awal kehancuran cinta pertamaku terjadi. Satu setengah tahun setelah kedatangan Kaien-san.

"Rukia, aku ingin bicara padamu." kata Kaien-san saat aku sudah bersiap untuk pulang dari rumahnya, sementara teman-temanku sudah pulang semua.

Kata-kata itu spontan membuat jantungku memperderas aliran darahku, hingga aku merasakan seperti ada desiran besar di dalam tubuhku. Dimana desiran darah itu mengakibatkan wajahku memerah.

"A... Ada apa, Kaien-san?"

"Begini.... Aku minta maaf kalau ini tiba-tiba...."

Kurasa suhu wajahku sudah mulai naik.....

"Aku akan pindah...."

Deg. Lagi-lagi jantungku menambah kecepatan memompanya.

"Karena aku akan menikah....."

Nyawaku seakan terlepas dari tubuhku. Jantungku terasa seperti ada yang menusuk, dengan jarum beracun yang pahit dan berbisa.

"A.... Apa?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku bisa menebak, Kaien-san pasti bisa mengetahui apa yang kumaksudkan. Aku tidak bisa secepat itu membiarkannya pergi, kelihatan jelas dari kekontrasan sikapku barusan.

"Ya, begitulah.... Aku dan dia baru delapan bulan bertunangan, tapi kami merasa cocok. Aku sangat menyayanginya. Dan, kurasa inilah saat yang tepat untuk menikahinya. Namanya Miyako, dia cantik sekali...." wajah Kaien-san menyunggingkan senyum.

Tidak, Kaien-san, ini bukan waktu yang tepat. Kenapa kau baru mau menikahinya saat aku sudah terlanjur mencintaimu?!

"Rukia?" tanyanya. Aku baru sadar, setelah tatapan mataku kosong sesaat. Mungkin juga mataku sudah memunculkan gejala akan meneteskan butiran-butiran bening yang paling kuhindari.

"Maaf.... E.... Ehm.... selamat ya, Kaien-san...." kataku dengan senyum yang seratus persen palsu dan dipaksakan.

"Terima kasih, Rukia."

"Saya pulang dulu, Kaien-san, konnichiwa....." aku segera ambil langkah seribu dari rumahnya, tak peduli lagi saat dia memanggil namaku. Paling-paling dia cuma mau bercerita lebih tentang si Miyako itu, yang tentu saja semakin menusuk perasaanku.

Kudobrak pintu kamar yang tertutup. Hisana nee-san cuma menatapku bingung. Segera kukunci pintu kamarku, kemudian membekap wajahku sendiri dengan bantal. Tak lagi kupedulikan nafasku yang mulai tersendat karena bantal itu.

Kenapa aku tidak mengatakan perasaanku sejak dulu? Setidaknya, dia tidak akan mengatakan hal barusan dengan terang-terangan. Meski aku tak bisa mencegah rencana pernikahan mereka.

Sakit. Cuma itu yang kurasakan. Bukan sakit secara fisik, tapi batinku yang tersiksa. Walau aku mati-matian mencegah air mataku, tetap saja ia bisa membasahi bantal yang menutupi wajahku.

Hancur sudah cinta pertamaku. Tidak boleh kan aku berharap untuk memilikinya lagi, dengan mengutuk mereka untuk segera berpisah?

Entah sudah berapa kali putaran jam yang kulewati dengan posisi seperti ini. Sesekali kulonggarkan nafasku, menghirup dan menghela oksigen dengan desahan kecewa. Dan tentunya sesugukan yang jelas sekali mendeskripsikan kalau aku sedang berada di titik terbawah kesedihanku.

Sudahlah. Aku pun bangun, menyeka air mata yang sukses membasahi pipiku. Aku tak ingin tangisanku berubah menjadi dosa buat mereka yang akan menjelang kebahagiaan sebentar lagi.

Ini hanya bagian dari kebodohanku yang tidak mau mengatakannya dengan cepat. Bukan salah Kaien-san yang mampu membuatku mencintainya. Bukan juga salah Miyako yang menjadi jodohnya.

Aku membayangkan bagaimana hari-hariku yang menjelang didepan, bagaimana kerasnya usahaku untuk melupakan semua kenangan indahku bersamanya, atau tepatnya semua tentangnya.

Seandainya aku bisa amnesia. Tentu aku tak akan repot menyiksa batinku dengan untuk memaksa melupakan Kaien-san.

Tapi, mungkin kenangan indah itu bisa sedikit menjadi hal yang membuatku tersenyum, meski dibarengi dengan kenangan pahitku karena ditinggal cinta pertamaku bersama cintanya sendiri.

:0:0:0:0:0:0:0:0:0:0:0:0:0:0:

Aku masih tetap disini, meringkuk sendiri, meresapi rasa dingin dan menikmati detakan jam dinding. Membiarkan waktuku berputar untuk mengulang memori cinta pahitku. Merutuki lagi dan lagi nasib cintaku yang tak enak.

Setelah perginya Kaien-san akhir tahun lalu, aku berusaha melupakannya dengan pencarian tambatan hati yang lain. Bukan sebagai pelampiasan, cuma sebagai penghibur hatiku yang sedang sakit saja. Siapa tahu aku masih bisa merasakan cinta yang indah sekali lagi, dan tidak lagi menyisakan air mata.

Ya, beberapa minggu setelah Kaien-san menikah, aku berusaha membuka mataku lebih lebar lagi. Mungkin dulu aku pernah mengecewakan orang lain, hingga aku merasakan hal yang sama. Lebih tepatnya karma.

Aku pun teringat Renji, sahabat kecilku. Dulu, dia pernah menyatakan cintanya padaku. Tapi kutolak karena aku hanya menganggapnya seperti kakakku saja.

Kucoba sekali lagi, berusaha baik padanya. Mungkin dengan ini aku bisa terlepas dari karma yang menjeratku dalam deraian air mata.

Perlahan, aku kembali dekat dengannya. Kadang-kadang kuberikan perhatian kecil yang mungkin bisa membuatnya senang.

Lalu, lama kelamaan, aku rasa, perhatianku berubah seperti menjadi rasa 'suka'. Mungkin hanya aku yang baru menyadarinya, bahwa ada orang yang masih peduli padaku.

Hingga, kembali, untuk kedua kalinya, aku harus menyesali keterlambatanku....

FLASHBACK :

"Hei, Rukia, kau dekat kan dengan Tatsuki?"

Aku yang sedang membaca buku tertegun. Kemu dian menghentikan pekerjaanku.

"Ya, memangnya ada apa?"

"Jangan kau bilang secara langsung dulu, ya.... Bisa kau tanyakan siapa orang yang disukainya?" Renji setengah berbisik, sementara matanya melirik kesana kemari, mengecek apakah ada orang lain yang memperhatikannya.

"Yang disukainya?" aku mulai menangkap gelagat tidak mengenakkan bagiku.

"I.... Iya.... Begini.... aku suka padanya.....Ehm, mungkin bukan sekedar suka.... Bisa dibilang dia cinta pertamaku.... tapi aku belum berani bilang padanya.... Bisa kau bantu aku?" tanyanya dengan wajah penuh harap.

Gubrak! Kepalaku serasa dijatuhi ratusan ton batu, yang sakitnya langsung menusuk sampai ke hati. Sebegini sialnyakah aku dalam hal bergelar cinta?!

"Rukia, mau bantu aku apa tidak? Aku percaya padamu, karena kita sudah bersahabat dari dulu.... Oke, bantu aku ya? Terima kasih kuucapkan dulu nih...." Renji tersenyum lebar, seraya meninggalkanku yang masih tak bergeming disini.

END OF FLASHBACK

Lagi?

Kenapa aku selalu terlambat untuk mendapatkan cinta?

Dan, hingga sekarang, tiga bulan setelah kejadian itu, Renji telah memiliki Tatsuki sepenuhnya.

Terkadang aku iri melihat teman-temanku. Melihat dua sahabat kecil yang telah menjadi sepasang kekasih, Hitsugaya dan Hinamori yang selalu menampakkan kebersamaan mereka dihadapanku yang sendiri ini.

Inoue, meski dia belum resmi menjadi kekasih Ishida, aku tahu mereka berdua memiliki perasaan yang sama, karena mereka berdua bercerita langsung padaku.

Renji, setia sekali dengan Tatsuki. Sepertinya dia sudah lupa akan pernyataannya padaku dulu.

Iri, dengan nasib cinta mereka yang begitu beruntung. Bisa mendapatkan orang yang mereka sayang dan tentunya sama-sama menyayangi mereka sepenuhnya.

Sedangkan aku? Gagal pada cinta pertama.

Mereka? Bisa mendapatkan cinta pertama yang indah. Memang, kan? Cinta pertama adalah yang terindah. Dimana itu adalah pengalaman pertama kita merasakan indahnya sebuah rasa, dimana setiap hari-hari kita diisi dengan bayang dan siluet wajahnya, dengingan suaranya yang selalu terdengar merdu, serta tingkah lakunya yang selalu sukses membuat kita tersenyum setiap saat.

Cinta keduaku juga.... Begitu menyakitkan.

Ketika aku baru menyadari perasaanku yang sebenarnya, kata 'terlambat'lah yang menyambutku.

Apa cinta terlalu dini untuk kurasakan?

Tapi buktinya mereka? Jauh, jauh lebih beruntung dariku.

Kapan aku bisa merasakan cinta yang indah itu?

Kutenggelamkan kepalaku ke ringkukan tubuhku. Aku tetap tak bisa menolak kenyataan kalau aku sangat ingin menangis, walau itu hal yang paling anti bagiku.

Aku membiarkan kepalaku kosong. Tapi tetap menahan air mata yang masih menggenang dan mendesak untuk ditumpahkan.

Sesaat kemudian, ponselku yang tertelungkup di samping kakiku berbunyi. Kulirik jam sebentar. Siapa yang menelepon pada jam seperti ini? Sudah hampir tengah malam.

Kulihat layarnya. Oh, ternyata orang yang biasa. Ya, kubilang biasa, karena memang dia sering meneleponku jam segini.

"Ichigo? Ada apa?"

"Rukia, bisa aku ke rumahmu sekarang? Aku mau pinjam buku matematikamu, besok aku ada tes ulang!" katanya agak terburu-buru.

"Boleh...." jawabku dengan pelan.

"Kau kenapa? Sakit ya?"

"Tidak kok....."

"Sudah, aku kerumahmu ya!" katanya, seiring berakhirnya percakapan itu.

Lima menit kemudian, pintu luar yang memang dekat dengan kamarku terdengar diketuk. Kuambil bukuku yang akan dia pinjam dimejaku. Langkahku pun kuseret keluar.

Kubuka pintu itu dengan pelan, angin kembali masuk, merasuk ke dalam tubuhku. Di depan pintu itu berdiri seseorang yang juga sahabat dekatku, si rambut oranye yang sedang memasang tampang memelas. Rasanya ingin kulayangkan tinjuku pada wajah menjengkelkan itu.

"Boleh aku masuk?" katanya.

"Masuk saja. Bukannya sudah biasa?" jawabku tersenyum. Dia memang sudah sering datang ke rumahku. Bahkan masuk ke kamarku pun pernah beberapa kali. Aku tidak menganggapnya lebih, karena memang aku tidak memiliki rasa apa-apa padanya.

Dia pun masuk, duduk di sofa, tepat disampingku. Tangannya mulai membuka-buka buku yang kuserahkan. Matanya bergerak cepat, melintasi setiap baris tulisan tanganku di buku itu.

"Kenapa kau tidak belajar dirumahmu sendiri saja?"

"Ah, kau seperti tidak tahu ayahku saja. Bisa luntur semangatku kalau mendengarnya berteriak-teriak tidak jelas di rumah. Lebih baik aku disini, tenang." sahutnya tanpa melihat ke arahku.

"Ya sudah."

Kami terhenyak dalam diam dan keheningan. Kakakku sudah tidur, sedangkan kakak iparku sedang berada diluar kota. Jadi hanya ada kami berdua, atau tepatnya bertiga dengan Ichigo di rumah ini.

Aku kembali meneruskan pemikiranku tentang 'cinta' barusan. Meski ini sakit, tapi ini cuma bentuk penyesalanku. Entah kapan penyesalan ini akan berujung dengan kebahagiaan.

"Kau ini sebenarnya kenapa?"

Pertanyaan Ichigo tadi sontak membuatku terkejut. Apalagi dengan posisi wajahnya yang memang sengaja ia dekatkan ke wajahku, membuat detak jantungku kembali berdetak lebih cepat, mungkin juga wajahku jadi berona kemerahan. Jujur, ini pertama kalinya kurasakan lagi setelah hatiku kututup untuk sebuah chemistry cinta baru.

"Sakit?" tanyanya meletakkan punggung tangannya ke dahiku.

Kutepis tangannya.

"Ti.... Tidak apa-apa." aku memalingkan wajahku.

"Wajahmu murung begitu, jangan bohong...."

"Aku.... cuma...." aku tak sanggup lagi menahan air mataku. Tapi segera kuseka karena aku tidak suka menangis. Aku ingin menjadi wanita yang kuat.

"Ada yang membuatmu sedih ya?"

"Bukan salah siapa-siapa. Cuma menangisi kebodohanku saja."

"Kebodohan?"

"Ya. Kebodohan. Aku bodoh karena terlambat mengungkapkannya."

Mudah-mudahan Ichigo bisa mengerti maksudku. Aku malas menceritakannya lebih lanjut.

"Cinta ya?"

Tepat sasaran.

"Semacam itulah...." kataku malas.

"Ngapain kau pakai memikirkan cinta segala? Anak-anak baiknya belajar saja!"

"Bodoh!!" umpatku. Kata-katanya tadi benar-benar menohokku. "Kau sendiri? Masa sudah SMA tidak memikirkan itu sama sekali?"

Ichigo menutup buku yang dipegangnya. Kemudian menyandarkan kepalanya pada sofa.

"Tentu saja iya. Tapi, aku tidak tahu orang yang kusuka juga menyukaiku seperti rasa cintaku padanya....."

Sekilas aku agak kecewa mendengar pernyataannya. Dia sudah mempunyai orang yang dia suka ternyata. Aku juga heran kenapa aku merasa seperti itu.

"Kau pasti merasa sedih karena tidak bisa memiliki orang yang kau cinta kan?" tanya Ichigo padaku.

"Begitulah.... Aku selalu terlambat untuk menyatakan bahwa aku 'suka'. Hingga aku tak bisa memilikinya."

"Cinta itu hakikat. Tapi cinta bukan berarti 'hubungan untuk memiliki'. Kau bisa memiliki rasa cinta tanpa memiliki orangnya. Karena tak ada larangan untuk merasakan cinta meski pada orang yang telah memiliki cintanya sendiri....." Ichigo menggantungkan kata-katanya.

Aku terdiam. Meresapi makna perkataannya.

"Eh, kenapa arah pembicaraan kita malah kesana?" Ichigo berbalik bertanya dengan keheranan yang tergambar jelas dari wajahnya.

"Mana kutahu. Kau juga yang mulai berpuitis ria tadi." aku mencibir padanya.

"Haha...." tawa garing keluar dari mulutnya.

Tanpa sadar aku menjawab dengan senyuman. Kali ini tulus.... Ya, kurasa begitu.....

Entahlah. Aku juga bingung apa yang tengah kurasakan sekarang.....

0:0:0-To Be Continued-0:0:0

GAJE......

awalnya cuma one-shot, tapi karena sampe 4ribu karakter, diputus aja jadi dua chapter......

Review?