hasil kerja sama bareng Eca nee-chan!! Maaf, nee-chan! saia lama publish naa!!!

ENJOY!!!

****Himeka Between Us****

Disclaimer : Kamichama Karin by Koge Donbo


Jemari kecil nan lentik Karin Hanazono menari kecil. Bergerak lincah memainkan tumpukan pasir yang ada didepannya, membentuk sebuah istana pasir yang mampu membuatnya tersenyum. Khayalan masa kecilnya pun bermain, membayangkan ini adalah sebuah istana yang megah, dimana didalamnya tinggal seorang putri cantik, yang menunggu seorang pangerannya.

Hari ini, di awal musim panas, permulaan bulan Juli, hari ulang tahun Karin yang ke-7. Tapi tak ada sesuatu yang istimewa. Biasa, layaknya hari-hari yang lain. Memang baginya, ulang tahun atau tidak, semuanya sama. Dia cuma tinggal dengan bibinya yang super sibuk, hampir tidak punya waktu untuknya. Orang tuanya? Karin sudah membuang jauh-jauh kesedihannya. Orang tuanya bahkan tidak pernah Karin dengan mengucapkan ulang tahun padanya. Karena sejak Karin mengenal suatu momen yang bernama ulang tahun itu, orang tuanya tidak lagi berada disisinya, melainkan sudah berada di tempat yang berbeda.

Ya.... Putri didalam istana ini sedang merayakan ulang tahunnya, khayal Karin. Semua rakyat bersuka cita, mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan kado yang indah untuk putri itu. Dan, seorang pangeran pun datang padanya, memberikan sebuah kado yang paling diinginkan oleh putri cantik sepertinya. Kebahagiaan.

Meski itu hanya khayalan, Karin berharap, menjadi kenyataan.

Karin tersenyum. Kapankah ia bisa menjadi seperti putri itu? Dengan banyak orang yang mengelilinginya?

Angin musim panas berdesir pelan. Meniup ke kiri dan kanan kepangan rambut Karin. Membiarkannya hanyut kembali dalam khayalan ala masa kecil yang sedikit demi sedikit juga menenggelamkannya dalam kantuk.

"Awwww!!!!" teriak Karin, spontan menutup matanya, begitu menyadari ada butiran-butiran pasir yang menerjang penglihatannya.

"Aw.... Perih....." ringisnya, sambil mengucek-ucek mata zamrudnya.

"Hei, jangan diucek begitu! Nanti matamu merah!! Ayo, basuh dengan air!!" seseorang yang tidak Karin kenali menggiringnya ke kran air yang memang tersedia di taman bermain itu. Karin tidak melihat wajahnya.

"Ukh...." Karin mengusap pelan matanya yang sudah dibasuh dengan air. Kemudian membukanya perlahan. Dan yang pertama kali dilihatnya adalah sosok anak laki-laki yang mungkin sebaya dengannya, berambut pirang, dengan mata safirnya yang besar dan indah.

"Te...Terima kasih...."

"Sudahlah. Justru aku yang ingin minta maaf. Istana yang telah kau buat jadi hancur karena bola yang kutendang......"

"Apa??!!!" Karin melihat istana yang dibuatnya susah payah sejak satu jam lalu sudah hampir rata dengan sekitarnya.

"Maaf.... Aku tidak sengaja...." katanya tampak menyesal.

"Aku sudah susah payah membuatnya, bodoh!! Kau pikir dari jam berapa aku duduk disitu membuatnya?!!" Karin berdiri bertolak pinggang, dan menatap marah orang yang berada didepannya.

"Aku juga tidak sengaja, tahu!! Mau apalagi? Duduklah kembali disitu, bangunlah lagi!" anak itu ikut-ikutan berdiri, bertolak pinggang, dan mencibir pada Karin.

"Kau tidak mengerti yang namanya capek, ya?"

"Kalau kau ingin main pasir, jangan di tempat ini, banyak orang, tuh!!" telunjuk anak itu mengarah pada orang-orang yang memang memenuhi taman bermain yang tak terlalu luas ini. "Jelas susah kalau orangnya banyak begitu!!"

"Ah, bodoh!!!" Karin menghentakkan kakinya, tandanya ia sedang kesal bukan main.

"Huh!!" anak itu menyilangkan tangannya, membuang muka dari Karin, sembari mendengus kesal.

"Kazune!! Ayahmu tadi memanggil!" seorang anak perempuan mendekat pada mereka.

Karin memperhatikan anak itu. Rambutnya pendek, tidak sampai sebahu, berwarna indigo dengan potongan rata pada bagian bawahnya. Poni di dahinya menambah imut wajah anak itu. Tampak sebaya juga, tapi membuat Karin seakan ingin mencubit pipinya, gemas sekali.

"Oh, Himeka, aku dipanggil ya? Baiklah." anak laki-laki itu pun mengikuti langkah anak perempuan didepannya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Karin yang memandangnya dengan kesal.

"Weeekk!! Bikin kesal saja!" Karin menjulurkan lidahnya, walau ia tahu anak itu tidak melihat padanya.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Siang itu, masih dengan suasana musim panas seperti hari sebelumnya, Karin duduk tenang di atas bangku di lokasi yang sama dengan hari kemarin juga. Menyeruput gelas minuman soda yang tinggal separuh. Disebelahnya berserakan bekas-bekas kemasan makanan, tanda bahwa ia sudah berada disini sejak berpuluh menit yang lalu. Daripada sendirian dirumah, sebaiknya ia kesini. Tidak ada siapa-siapa dirumah, lagipula, rumahnya tidak jauh dari taman bermain ini.

"DUAAKK!!!!" suara bola kaki yang ditendang dengan keras mengarah pada Karin, tepatnya pada gelas soda itu, hingga terlempar beberapa meter, dan bisa ditebak, isinya sudah tak dapat diselamatkan lagi.

"Eh, maaf!!"

"Kau lagi?!!!" Karin menggembungkan pipinya hingga seperti ikan buntal.

"Maaf!! Aku tidak sengaja!"

"Dari kemarin alasanmu selalu saja tidak sengaja!! Kenapa tendanganmu itu selalu kena padaku!!"

"Sudah kubilang tidak sengaja ya tidak sengaja!! Masih untung tidak kena wajahmu!"

"Akh, minumanku!! Ayo, kau harus menggantinya!!" bentak Karin.

'Anak yang kemarin lagi' itu kemudian merogoh saku belakang celana jeans-nya.

"Yah, uang yang diberikan padaku cuma tinggal segini. Aku juga haus....."

"Aku tidak mau tahu!! Pokoknya ganti!! Belikan lagi disana!!"

"Iya, iya...." anak itu lalu menjauh, menghampiri penjual minuman yang ada dibawah pohon disisi lain tempat ini. Karin menyilangkan tangannya, matanya tak lepas dari si rambut pirang itu, takut kalau-kalau dia malah kabur.

"Aku cuma beli satu, tapi ada dua sedotan, kita minum sama-sama ya...." tampang anak itu seperti memelas, membuat Karin jadi tidak tega untuk memarahinya lagi.

"Baiklah." Karin menyerah.

Si pirang itu kemudian duduk disamping Karin. Bersama-sama menyeruput soda itu. Wajah mereka berdekatan, membuat Karin mau tidak mau mengarahkan pandangannya ke wajah anak itu yang tampak cuek padanya.

Matany biru, seindah batu safir, yang berkilauan bening. Besar, lucu. Kulitnya putih, membiaskan cahaya matahari yang memantul disitu, membuatnya tambah bercahaya. Rambutnya pirang, berjuntai di depan wajahnya.

"Namamu siapa?"

"Eh, a...aku.... Karin. Hanazono Karin," Karin yang sedang memandangnya terkejut. "Kamu Kazune, kan?"

"Iya. Kujyou Kazune. Kau tinggal di dekat sini ya?"

"Iya. Rumahku cuma beberapa meter dari sini." Karin menunjuk arah jalan menuju rumahnya.

"Pantas kulihat beberapa hari ini, kau sering sekali main kesini. Memangnya di rumahmu tidak ada teman?"

Karin menunduk, menghentikan minumnya. "Bibi selalu sibuk. Oh, iya, rumahmu dimana?"

"Aku cuma liburan kesini. Aku tinggal di London. Tapi ayahku memang berasal dari sini. Sekalian liburan musim panas, ayahku mengajakku kesini."

"Oh, begitu ya....." terbersit sedikit kekecewaan yang terdengar dari kata-kata Karin.

"Eh, aku pulang dulu, ya. Nanti ayah mencariku lagi kalau aku terlalu lama main."

"Baiklah."

"Oh iya, malam ini bisa kesini lagi tidak? Aku mau menunjukkan padamu, bintang di malam hari yang indaah sekali!!"

"Bo...Boleh.... Jam setengah tujuh aku kesini, ya...."

"Oke. Ja nee!!" Kazune berjalan menjauh, melambaikan tangannya pada Karin.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Malam itu cerah. Ribuan kilau menghampar di langit yang gelap, tanpa awan. Angin cuma sesekali bertiup, tidak terlalu dingin, namun cukup menyejukkan untuk dirasakan. Karin dengan langkah kecilnya berlari menuju taman, dan ketika sampai disana, Kazune sudah menunggu. Karin dengan tangkas duduk ke atas bangku panjang itu, mengambil posisi samping kanan Kazune.

"Eh, Karin, lihat itu! Ada bintang jatuh! Ayo, ucapkan permohonan!" Kazune menunjuk-nunjuk langit.

"Ah, iya...." Karin lalu memejamkan matanya, mengucapkan permohonan hanya dalam hatinya.

Karin membuka mata perlahan. "Apa yang kau ucapkan?" tanya Kazune.

"Yah, cuma permohonan kecil kok."

"Apa itu?"

"Aku cuma ingin mendapatkan sesuatu yang istimewa di ulang tahunku kali ini." Karin tersenyum kecil.

"Memangnya kau sedang ulang tahun?"

"Ya.... Tapi itu kemarin kok. Tidak ada yang istimewa sama sekali."

"Tidak ada? Tidak ada yang mengucapkan selamat ulang tahun padamu?"

"Begitulah. Bibi sibuk.... Di rumah aku tidak punya teman, teman-teman sekolah tidak ada yang mengucapkan, karena sedang libur sekolah."

"Orang tuamu?"

"Ayah dan ibu.... Sudah tidak ada disampingku lagi."

"Oh, maaf....."

"Tidak apa kok...."

Suasana jadi hening. Karin menunduk, sementara Kazune cuma memandang langit.

"Kalau begitu, pada ulang tahunmu kali ini akan ada sesuatu yang istimewa." Kazune tersenyum lebar pada Karin. Karin menautkan alisnya.

"Apa itu?"

"Kau akan menyadarinya, nanti. Oh iya, coba lihat bintang yang disana."

"Yang mana?"

"Itu, yang paling terang. Namanya Sirius. Bagus kan?"

"Indah. Sinarnya paling bagus."

"Nah, kalau yang itu namanya Vega. Bagus juga, kan?"

"Dari mana kau tahu sebanyak itu?"

"Ayahku seorang peneliti. Kadang-kadang, dengan barang temuannya sendiri, aku diajak untuk melihat bintang, dan ayah menjelaskannya padaku."

"Ayahmu hebat, ya...."

"Tapi ayah jarang punya waktu banyak untukku. Gara-gara penelitiannya aku sering dicueki." Kazune cemberut.

"Sekarang kau kelas berapa?"

"Aku baru masuk sekolah musim semi tadi. Umurku masih tujuh tahun."

"Berarti kita sama! Aku juga baru masuk sekolah tahun ini."

Angin terus menusuk kulit, menggambarkan secara tidak langsung kalau malam ini sudah lebih dari kata larut. Orang-orang yang sedari tadi berlalu-lalang juga sudah sangat berkurang. Jumlah bintang tampak semakin banyak, menandakan bahwa ini tidak lagi bisa disebut 'petang' dimana hanya ada beberapa bintang yang muncul. Binatang-binatang nocturnal juga telah memberi tahu kedatangan mereka. Bulan membulat disana, dengan seberkas kabut tipis bernama awan berusaha menghalanginya.

"Kau tidak dimarahi bibimu kalau pulang selarut ini?" Kazune bertanya pada Karin yang tampak masih asyik dengan pemandangan malam yang ditunjukkannya.

"Biar saja. Bibi juga biasanya pulang lebih larut dari ini."

"Begitu, ya...."

"Hmm..... Tapi kalau bibi sudah pulang, gawat nih...."

"Ya sudah. Kau pulanglah." Kazune nampak agak kecewa. Walau raut mukanya yang mengekspresikan itu tidak kelihatan jelas karena malam.

"Baiklah. Besok malam kita main lagi, ya! Aku ingin tahu lebih banyak lagi!" senyum Karin sambil turun dari bangku panjang itu.

"Tapi......"

"Kenapa, Kazune?"

"Besok pagi aku harus pulang kesana....."

"Ha? Secepat itukah?"

"Yah, mau bagaimana lagi?"

Karin menunduk. Kesepian lagi?

"Begini saja. Besok pagi-pagi, kau datang kesini, ya, aku akan menyempatkan untuk datang sebentar." Kazune menepuk pelan bahu Karin.

"Tentu saja!! Aku pulang dulu, ya, Kazune!! Konbanwa!! Ja nee!!"

"Konbanwa!! Oyasuminasai!!"

Seiring derap langkah cepat Karin, sosoknya mulai hilang dari pandangan Kazune. Dengan pelan, ia membalikkan badan, berjalan ke arah yang berlawanan, mengayunkan langkahnya pulang.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Matahari mulai menyembul dari sisi timur. Embun masih bertahan di helaian daun yang hijau, memberikan pandangan kesejukan dan aroma kesegaran.

Karin dengan cepat memakai sepatu kets yang biasa dipakainya bermain, dengan kaki mungilnya, ia berlari secepat mungkin yang ia bisa. Ke tempat yang menjadi perjanjiannya dengan Kazune. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan terakhir bertemu dengan Kazune. Entah kenapa hatinya begitu susah melepas kepergian Kazune, ia juga tidak tahu alasannya. Padahal, mereka baru beberapa hari saling kenal, dan pertemuan mereka diawali dengan hal yang kurang menyenangkan.

Taman itu masih kosong. Belum ada siapa-siapa. Karin menjadi takut kalau-kalau ia terlambat, dan tidak sempat bertemu Kazune, mungkin untuk yang terakhir kalinya.

"Karin!! Hei, disini!!!" Kazune memanggil Karin dari atas sebuah sarana bermain, melambaikan tangannya, kemudian meluncur turun.

Karin tersenyum, sedikit lega. "Kupikir kau sudah pergi."

"Belum." Kazune pun melirik jam tangannya. "Mungkin beberapa menit lagi. Ayah ingin ke rumah nenekku dulu, baru langsung ke bandara."

"Begitu, ya."

"Oh ya, Karin, ada yang ingin kuberikan padamu. Nih, ambil ya, sebagai kenang-kenangan dariku." Kazune menyerahkan sebuah gelang yang manis.

"Wah, cantik sekali!! Terima kasih, Kazune!" Karin tertawa senang sambil memasang gelang itu di tangan kanannya.

Kazune balas tersenyum. Karin membalas senyuman itu, hingga seseorang menginterupsi mereka berdua.

"Kazune!" katanya, dengan suara lembutnya. "Ayo, kita berangkat!" katanya berlari ke arah Kazune, kemudian menggelayut di tangan Kazune.

Cewek yang kemarin lagi, pikir Karin.

"Ayo, Kazune, kita berangkat." kata dua orang lagi menghampiri mereka. Yang pertama mungkin ayah Kazune, sangat mirip dengannya, tapi hanya rambutnyalah yang berbeda, berwarna hitam. Yang seorang lagi wanita cantik, yang juga mirip dengan Kazune. Rambutnya berwarna seperti Kazune, pirang.

Jadi, anak perempuan ini siapa? Rambutnya hitam, tapi agak mengarah ke warna kebiruan. Matanya berbeda dengan ayah dan ibu Kazune. Berarti, dia ini bukan saudara Kazune. Lantas siapa? Kenapa dia begitu dekat dengan Kazune?

"Ja nee, Karin!! Aku akan kembali lagi padamu....... Tunggu aku, ya!" Kazune berlari menjauh, mengikuti kedua orang tuanya, dan anak perempuan itu.

Karin melambaikan tangannya. Tapi ia agak bingung dengan kata-kata 'tunggu aku tadi'.

Ah, biarlah, pikirnya. Kemudian ia berjalan pulang. Menjelang lagi hari-harinya yang sunyi. Tanpa teman dekat.

-8 Tahun Kemudian-

Karin berjalan di koridor sekolahnya sendirian. Sekarang, ia telah menjalani kehidupan anak SMA, yang menurutnya merepotkan penuh dengan tugas yang menyita waktu, tidak bisa santai seperti dulu lagi. Sampai-sampai, ia hingga beberapa hari kemarin sakit, kata dokter kelelahan.

Begitu memasuki kelas, Karin sudah disambut dengan heboh oleh salah satu sahabatnya, Miyon.

"Karin!!! Tahu berita baru tidak?" katanya menyambar Karin hingga Karin hampir terlonjak karenanya.

"Ah, Miyon! Mengagetkanku saja!!"

"Hee.... Maaf, maaf! Kau tahu tidak, hari ini ada dua orang siswa baru di kelas kita!!"

"Dari mana kau tahu?" Karin berjalan menuju bangkunya.

"Kemarin wali kelas memberitahukannya. Katanya mulai hari ini mereka akan mulai belajar disini!" Miyon terus mengikuti langkah Karin.

"Berapa orang? Laki-laki atau perempuan?"

"Dua orang lho! Yang satu laki-laki dan yang satu perempuan. Kata sensei sih, mereka berasal dari London, tapi aslinya mereka orang Jepang...."

"London?" Karin mengernyitkan dahi. Rasanya ia jadi ingat sesuatu.

"Iya! Eh, sensei sudah datang, tuh." Miyon setengah berlari menuju tempat duduknya di depan. Karin pun duduk di bangkunya.

"Ohayou, minna!"

"Ohayou, sensei!!"

"Nah, ayo, kalian berdua, silahkan masuk!" guru muda itu mempersilahkan dua orang yang sepertinya telah menunggu diluar.

Mata Karin melebar. Melihat siapa sebenarnya si siswa baru itu.

"Nama saya Kazune Kujyo, dan ini Himeka. Senang bertemu kalian, mohon bantuannya." yang laki-laki membungkuk hormat di depan kelas, kemudian memberikan senyuman manis, yang membuat sebagian besar dari wanita di kelas itu 'terpesona'.

Wajah Karin agak menampilkan semu kemerahan. Jujur, seandainya ia bisa mengakui, ia sudah menanti kedatangan Kazune, selama delapan tahun. Meski ia tahu, harapan itu semu, tapi tak pernah padam. Karin rasa, ia sudah mengalami yang namanya cinta pertama, dengan orang itu.

Meski sudah lama, dan ia mengerti mungkin cuma sebuah wujud kemustahilan belaka mengharapkan Kazune kembali, tapi ia tahu. Cinta sejati pasti akan datang pada waktunya sendiri.

"Silahkan duduk, Kujyo. Masih ada dua tempat duduk kosong. Dan maaf, kalian hanya kebagian tempat duduk di belakang." kata guru itu dengan ramah.

"Tidak apa, sensei. Terima kasih banyak." Kazune tersenyum penuh hormat. Memang tipe seorang laki-laki yang baik sekali.

Kazune tepat melewati tempat duduk Karin. Sesaat kemudian ia berhenti sejenak.

"Masih ingat aku, kan?" katanya, kembali dengan senyum yang bisa membuat siapapun yang melihatnya seperti 'meleleh'.

"E.... Err.... Iya...." Karin gagap, berusaha menyeimbangkan keselarasan detak jantungnya, dan tentunya semburat merah di wajahnya yang semakin nyata.

"Ayo, Kazune, kita duduk disana...." pemilik suara nan gemulai itu mengaitkan tangannya pada lengan Kazune, secara pelan menariknya untuk segera duduk.

Karin sedikit mendengus kesal. Aha, ia ingat siapa perempuan ini. Yang waktu itu, entah siapanya Kazune.

Sedikit bagian hatinya merasa senang yang tak terlukiskan. Namun, ah, entah apa hubungan antara Kazune dengan si Himeka itu.

******************************

Malam itu dingin menusuk. Dapat dimaklumi, sebentar lagi musim dingin menjelang. Langkah Karin hanya beriring sepi di jalan itu. Sudah hampir jam dua belas, namun tugas sekolah memaksanya untuk berjalan pada jam malam itu. Ia mesti 'membongkar' perpustakaan hanya untuk melengkapi tugas yang banyak itu.

Ia merapatkan jaket kurdoray-nya. Dan melilitkan sekali lagi scarf merah yang melingkar di lehernya.

Ia sedikit takut. Sesekali ia menghentikan langkahnya. Menoleh ke belakang, kalau-kalau ada sesuatu dibalik bayangannya sendiri, seperti di film-film horor yang sering ditontonnya. Dalam hati ia merutuk dirinya sendiri yang mau-maunya menonton hal yang menyebabkan tingkat ketakutannya bertambah.

Sekali lagi, ia menghentikan langkahnya. Menoleh lagi ke belakang. Sejurus kemudian, dia mengarahkan pandangannya ke langit.

Meski sebentar lagi musim salju, langit masih cerah. Dengan ribuan pendar kecil yang tersebar dari horizon timur hingga barat.

Ia jadi tersenyum sendiri. Mengingat saat delapan tahun lalu.

Saat ia duduk berdua dengan Kazune. Mengamati dan memaknai bintang-bintang yang indah. Walau waktu itu dingin, tidak berarti bagi Karin. Hatinya terasa hangat.

"Lihat itu, itu namanya Antares. Bintang paling terang dari rasi Scorpio. Warnanya agak oranye."

Bahkan suara Kazune terdengar jelas, pikir Karin.

Karin berjalan lagi.

"Nah, kalau kau hubungkan titik-titik yang kutunjukkan itu, maka itulah rasi Scorpio." suara Kazune lebih jelas lagi seiring langkah Karin.

"Wah, bagus sekali, ya...." sebuah jawaban terdengar.

"Cantik kan?"

"Ya. Kau memang hebat, Kazune, aku sayang Kazune....."

"Apaa??" batin Karin. Suara itu rupanya nyata, ia ketahui persis saat ia melewati taman yang biasa dikunjunginya. Matanya menangkap wujud dari dua orang yang duduk disitu, yang tentu saja sangat dikenalnya.

Kazune dan Himeka!!!

Karin menyaksikan, ehm, mungkin tepatnya mengintip dengan seksama. Himeka bersandar pada Kazune, sementara Kazune cuma memandangnya dengan senyum menghiasi.

"Jangan-jangan...."

=:=:=:To Be Continued:=:=:=