Arun
(One of three)
BTS fanfiction
Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit
.
Arun
.
Jimin kembali dari komanya dan hanya mampu membawa ingatan yang tak sampai separuh. Dia bahkan tak bisa mengingat bagaimana caranya mengikat tali sepatu. Hal-hal sederhana sekalipun dia lupakan. Dia jadi seperti anak kecil yang polos dan butuh pengasuh. Di sinilah aku, di sinilah dia, di rumahku. Aku merawatnya dan sedikit demi sedikit membantunya untuk mengingat sesuatu.
"Kenapa kau tidak memasak saja?"
Sudah waktunya makan siang, dan kami tak punya apa-apa untuk disantap.
"Aku tidak bisa memasak."
"Bohong, seingatku kau bisa."
"Jangan andalkan ingatanmu yang payah itu."
Jimin tertawa dengan sindiranku yang sarkastik. Tapi memang benar adanya, dia payah. Aku tak tahu dari mana ingatan yang seolah meyakinkannya bahwa aku bisa memasak itu. Tidak, aku tak tahu. Aku tidak pernah becus untuk mengolah bahan makanan. Aku adalah lelaki yang hidup dari junk food dan makanan yang ku pesan dari restoran. Aku tak pernah memasak. Aku tak tahu bagaimana caranya meracik bumbu.
Ini bukan pertama kali Jimin keliru. Dia sudah sering begitu dan tugaskulah yang meluruskannya, memberitahunya apa yang sebenarnya terjadi, apa kenyataanya.
Dia sering mengatakan padaku kalau isi kepalanya hampir tak punya lembar-lembar memori yang tersisa sejak kecelakaan hebat itu. Sejak dia bangun dari koma. Katanya, dia memakai hatinya untuk meyakini bahwa dia pernah melakukan ini dengan orang ini, melakukan itu dengan orang itu. Tapi memang, hati yang diandalkannya terkadang salah menerka. Keliru.
Mungkin benar bila manusia tidak bisa mengandalkan salah satu dari hati dan pikirannya. Keduanya bekerja bersama. Mengingat dan memahami, mengingat dan merasakan.
"Kita pesan ayam saja." aku mengetuk-ketuk layar ponselku untuk mencari nomor restoran ayam. Ku lirik sekilas, Jimin memandangiku dengan bertopang dagu. "Halo?"
Aku tak tahu kenapa, ketika aku tengah bertelepon, aku merasakan sebelah tanganku yang menganggur digenggamnya tiba-tiba. Dia menyelipkan jarinya di antara jari-jariku, menjembatani kami yang terhalang sebundar meja makan. Aku melirik.
Ketika aku balas menautkan tanganku di jari-jarinya yang kurus, dia tersenyum simpul. Tersenyum sambil memandangi tangan kami yang saling tertaut.
Hanya saja aku tak bisa ikut tersenyum sepertinya.
Aku bukannya tak senang, tapi aku merasa bersalah.
.
Arun
.
Jimin sering memintaku untuk bercerita sebelum dia tidur. Ya, seperti anak-anak bukan? Tapi dia ingin aku begitu untuk membuatnya ingat, atau setidaknya tahu tentang apa-apa saja yang pernah dia alami di masa lalu. Tentang dirinya, teman-temannya, dan kehidupannya sebelum dia koma. Banyak hal yang ku ceritakan di tiap malamnya, tapi tak seluruhnya dapat ku sampaikan. Sebab, ada beberapa hal yang ku pikir akan sulit Jimin pahami.
Seperti tentang seseorang itu, seseorang yang benar-benar hilang dari ingatannya.
Maka ku simpan cerita itu, hanya sampai dia siap untuk mendengarnya.
Redup lampu tidur menemani kami yang berbaring di atas satu ranjang yang sama. Sudah larut, jam dinding terus berdetik dan bunyinya nyaring di antara keheningan malam. Aku dan Jimin tak saling bicara, hanya memandangi langit-langit kamar yang berbintang. Ya, di atas sana ada bintang-bintang kecil yang tertempel. Stiker berwarna-warni yang mengkilap dalam kegelapan. Khayalku melayang jauh, sembari memikirkan apa yang akan ku ceritakan pada Jimin.
Aku menoleh padanya yang sedang memandangi titik-titik kecil yang berkilauan itu. Dari sirat matanya, dia seolah sedang berkelana jauh, jauh sekali.
"Kau ingat tidak? Kau yang menempelkan stiker itu saat kita masih sekolah dulu." ku tunjuk bintang-bintang itu dengan jari tanganku yang teracung tinggi.
"Ya. Aku ingat. Aku yang menempelkannya di sana, menggunakan tangga milik nenekmu," katanya. "Karena kau bilang aku adalah bulan, maka kau adalah bintang, dan kita sama-sama menyinari langit malam yang gelap."
Dia mengalihkan pandangannya padaku. Senyumnya dia kelim di bibir itu, seolah merasa bahagia karena ada hal yang masih diingatnya dengan baik. Memang, dia adalah bulanku, dan dia menganggapku sebagai bintangnya. Ini adalah konsep yang telah kami sepakati sejak lama.
"Tae."
Dia memanggilku. Tubuhnya dia geser sedikit untuk lebih rapat, mendekat padaku. Aku merasakan ia mengadukan dahi kami pelan. Dia memejamkan matanya, menaruh satu tangannya melingkari pundakku.
"Aku bersyukur, setelah aku kembali, kau masih ada dalam ingatanku secara utuh."
Dia menatapku dengan matanya yang setengah terpejam, teduh seperti daun di dahan pohon.
Aku menyingkirkan ujung-ujung rambutnya yang sudah menusuk mata. Sudah lama rambutnya tak dipotong.
"Terimakasih karena kau tetap berada di sisiku," ucapnya, lalu dia memejamkan mata. "Aku mencintaimu."
Aku bisa mendengar napasnya yang halus berhembus. Dia tidur dengan memelukku.
Aku hanya membalasnya dengan mangadukan kepala kami.
Bukannya aku tak senang, tapi pernyataan cinta itu tak pantas ku dapatkan.
.
Arun
.
Makin hari, ingatannya makin membaik. Ah, aku tak tahu apa memang begitu atau dia yang belajar dengan cepat. Dia sudah mengerti bagaimana caranya memasak ramen. Bagaimana cara menelepon dengan ponsel. Ya, aku mengajarinya seperti mengajari orang yang gagap teknologi. Dia tertawa senang ketika berhasil melakukan sesuatu dengan ponselku. Mengambil potret misalnya. Kadang dia iseng merebut ponsel yang ku pegang hanya untuk membuka fitur kamera dan mengarahkannya padaku.
Aku senang melihat perkembangannya.
Tapi aku tak senang dengan tatapan, perlakuan, dan kata-kata cintanya yang sering dia ucapkan padaku.
Sampai suatu ketika dia menciumku, dan kutanya apa alasannya.
Memastikan seberapa besar cintanya padaku, katanya.
"Dadaku berdebar." dia berucap sambil mengelus dadanya dengan gerakan memutar, seolah menenangkan sesuatu yang berdetak di dalam sana.
"Kau tidak seharusnya menciumku," kataku.
"Kenapa?"
Ah, dia memang inosen.
Dia tak sepenuhnya ingat tentang aku, atau juga hubungan kami di masa lalu. Dia tak ingat.
"Kau hanya tak seharusnya menciumku." gelengku.
"Tae?"
"Aku kuliah dulu." ku sampirkan tasku di bahu. Lalu aku berjalan menuju pintu. "Aku pulang agak malam, kalau lapar masak ramen sendiri saja, ya?"
Memang sudah seperti suatu kewajiban bagiku untuk membantu dia mengingat kepingan memorinya yang tak utuh. Tapi kadangkala aku ingin dia berusaha sendiri. Aku ingin dia menggunakan kepalanya unuk berpikir.
Karena aku belum mampu untuk mengatakan kebenaran padanya. Mengatakan alasan kenapa aku tak pernah membalas perlakuannya. Kenapa aku tak senang dipeluknya. Kenapa aku tak senang ditatapnya. Juga kenapa aku tak senang mendengar pernyataan cintanya.
Karena sesungguhnya ada seseorang yang lebih pantas untuk mendapatkan itu. Sayang, dia benar-benar hilang dari ingatan Jimin.
Dan aku tak tahu harus mulai dari mana untuk memberitahunya. Jimin perlu tahu, Jimin perlu mengingatnya kembali. Tapi itu juga membuatku sakit. Membuatku mengingat bahwa aku juga pernah terluka karena Jimin dan ornag yang dilupakannya itu.
Jadi saat ini aku hanya ingin menunggu. Menunggu saat yang tepat untuk kami.
"Aku pergi." sambil bicara, ku tolehkan kepalaku ke belakang. Aku tahu dia berdiri di sana sejak aku duduk memakai sepatu.
"Hati-hati."
"Bye, Jimin-ah."
Ku buka pintu setelah aku berdiri. Aku meninggalkannya di rumahku sendirian.
.
Arun
.
Continued
Saya nulis apaan ya? MinV? Oh iya betul. Saya sebetulnya lebih memandang mereka sebagai sahabat, tapi kadangkala menulis keduanya dalam hubungan romantis harus dicoba, saya pikir. Alasannya? Entah. Mungkin untuk menyentuh yang selama ini belum terjamah (?) Tapi bukan berarti saya pindah haluan, heu. Saya tetap setia sama Minyoon kok, dan ChimJin *eehh*
Ini hanya satu dari tiga bagian yang saya tulis. Tiap bagiannya akan berbeda sudut pandangnya. Kalau sekarang giliran Taehyung, bagian dua dan tiga giliran...
