a/n: saya wb. ;_;


Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

saya tidak mengambil keuntungan materiil apa pun dari menulis fanfiksi ini.

.

midoaka month #1 [firsts | lasts] spin-off


prologue

Seberapa pun aku ingin berkata bahwa keputusanku untuk berada di sini adalah kesalahan, aku tetap tidak bisa. Peringkat Cancer hari ini berada di urutan ke-sembilan, dan mungkin seharusnya aku memang langsung pulang saja seusai lemburku di rumah sakit, tapi sesekali, ada waktu ketika pekerja-pekerja yang lelah di kota metropolitan perlu melepas penat sejenak supaya mereka tetap waras, dan ini adalah salah satu dari momen-momen itu. Jadi kuizinkan diriku sendiri untuk duduk di meja bar, sembari mengambil satu-dua teguk dari gelasku yang pertama.

Tidak ada yang spesial dari bar ini, hanya satu dari sekian tempat minum yang tersebar di sekitar stasiun. Tidak ada yang spesial dengan isinya, tidak juga bartender-nya, ataupun pengunjung-pengunjungnya—para manusia berwajah lelah (dan aku adalah salah satu dari mereka). Lampu-lampu yang menggantung dari langit-langit sepanjang meja menyiramkan cahaya kuning, termasuk ke deretan botol kaca warna-warni yang ditata di rak di belakang si bartender; mungkin ada maksud estetika tersendiri sewaktu didesain, tapi sekarang semuanya jadi tampak lebih layu. Dari balik kaca jendela berbingkai kayu aku bisa melihat hujan bulan Juni mengguyur jalan, selalu seperti itu sejak minggu kedua.

Di sebelah pintu masuk, dipasang lukisan kontemporer, lumayan menangkap mata karena warna dasarnya merah, berhias lingkaran-lingkaran yang menumpuk seperti cincin Olimpiade. Itu jenis pajangan yang dilihat sekali saja bisa membuat bosan, atau barangkali memang hanya aku saja yang tidak begitu paham dengan seni berselera modern. Tapi bagiku, objek yang lebih menarik justru pintu kayu yang berada di sebelahnya, karena bagian atasnya dipasangi kaca-kaca persegi, sehingga yang di luar bisa mengintip sedikit situasi di dalam sebelum masuk, dan orang yang berada di bar dapat menangkap sekelebat setiap pengunjung yang akan masuk.

Orang yang berada di bar itu adalah aku, dan sekarang pengunjung yang masuk itu adalah kau.

Aku menoleh beberapa detik sebelum pintu itu mengayun membuka; kau datang sambil menggeret koper kecil khas para pebisnis, dan pintu menutup lagi. Tidak ada guntur di hujan ini, tapi aku mendengar suara gemuruh dari dadaku sendiri. Rasanya seperti tersambar petir di tengah hari yang cerah, hanya saja sekarang memang sedang hujan, tidak ada kilat, dan tinggal beberapa menit menuju tengah malam. Tanganmu mengusap rambut merahmu, yang lembab dan sedikit lebih gelap karena terkena hujan; ponimu jatuh hingga mata seperti yang terakhir kali kuingat. Napasmu pendek-pendek, mungkin habis berlari, namun dengan cepat kau mengaturnya kembali. Pundak dan sebagian jasmu dihiasi titik-titik air, tapi kau tampaknya tidak peduli. Manik-manikmu, masih setajam dan seterang rubi, juga persis seperti yang kutatap terakhir kali. Pandanganmu menyapu interior dengan arah yang berkebalikan dengan putaran jam, kemudian tertumbuk di meja bar, dan mata kita bertemu.

Dahi serta alismu mengerut, kebiasaanmu setiap kali sedang berpikir cepat atau tidak yakin akan sesuatu, lalu matamu berkata kalau kau mengenaliku dan melemparkan sepotong halo, sebuah isyarat tanpa kata yang sejak dulu hanya dimengerti kita berdua. Aku mengangguk, isyaratku balik bahwa aku menangkap maksudmu. Kau berjalan dalam langkah-langkah pelan, mengambil kursi di sebelahku.

Kau memesan sesuatu dan si bartender dengan sigap membuatkan, tapi aku terlalu sibuk untuk memerhatikan apa yang hendak kau minum.

Beberapa berkata, saat sedang bermimpi seseorang akan kesulitan mendengar sesuatu, dan ya, mungkin aku memang sedang bermimpi, karena—dentingan gelas-gelas, obrolan di latar belakang, ketukan air di kaca jendela—semuanya menghilang dari pendengaranku, membuat kau, aku, serta semua yang sedang terjadi sekarang, hampir berkesan surealis.

Setelah gelas berada di tangan dan kau mengambil satu tegukan, kau menoleh padaku. "Halo, Midorima."

Yang pertama muncul dalam kepalaku adalah bahwa aku tidak bermimpi, karena aku bisa mendengarmu, jelas dan jernih—masih juga dengan suaramu yang tenang dan ringan, persis bunyi yang menghantui mimpi-mimpiku (mimpi-mimpiku yang sebenarnya) selama beberapa tahun terakhir.

"Akashi."

Aku menelan ludah. Namamu di lidahku selalu terkesan seperti itu—seperti suatu masakan eksotis yang hanya bisa dinikmati segelintir orang, atau sebuah tempat indah tersembunyi yang juga hanya bisa dikunjungi oleh segelintir orang; dan aku, sebagai bagian dari kebanyakan masyarakat yang tidak termasuk ke segelintir elit itu, tidak akan pernah bisa menggapai.

"Apa kabar?"

Pertanyaan standar, wajar, umum, basa-basi. Tapi kujawab juga, "Baik. Aku tidak mendengar kalau kau sudah kembali ke Jepang."

"Wah, kau tidak menanyakan kabarku balik nih?"

"… bagaimana kabarmu, Akashi?"

"Lumayan," jawabmu, terlihat acuh tak acuh, "aku memang tidak memberitahu siapa-siapa ketika kembali ke sini. Lama juga kita tidak bertemu, ya?"

"Sejak kapan kau pulang?"

"Baru saja…," kau melirikku sekilas sebelum kembali memandang ke depan, "kok. Aku banyak bepergian belakangan ini."

"Kise dan Kuroko mengatur reuni Oktober lalu. Semua datang."

"Aku tahu. Tapi aku tidak bisa datang."

"Kau bisa menjelaskan pada kami suatu alasan."

"Aku juga tahu, dan maaf karena menghilang, tapi ada sesuatu yang perlu kuurus."

"Setahun lamanya?"

Kau menoleh. "Itu sangat penting."

Sekitar setahun yang lalu, kau—Akashi Seijuurou—menghilang. Yah, bukan jenis menghilang yang diberitakan di koran serta televisi atau yang semacamnya, tapi hilang kontak, dari teman-temanmu di Jepang; dariku. Kuroko berusaha menghubungimu lewat semua media, tapi tidak ada jawaban, aku tidak tahu sudah berapa ribu email yang dikirim Kise padamu, tapi kau bahkan tak membalas satu pun pesanku. Kami berinisiatif menghubungi telepon rumahmu, namun semua pengurus rumah berkata bahwa kau tidak dapat dihubungi, sampai waktu yang tidak ditentukan. Kami berhenti. Reuni dijalankan tanpamu. Berbulan-bulan kami tidak mendengar kabar darimu.

Untukku sendiri, kau sudah menghilang jauh sebelum itu, di musim semi setelah kita lulus dari SMA masing-masing, saat kau memberitahu Vorpal Swords pada hanami di Shinjuku Gyoen, bahwa kau akan melanjutkan kuliah di belahan bumi yang lain. Dari dulu pun sesungguhnya aku sudah tahu, bahwa kau selalu berada di tingkatan yang berbeda dari semua orang (dan aku, dengan bodoh serta keras kepalanya, masih tanpa henti berusaha menyaingimu). Aku paham bahwa kau hanya diciptakan untuk segala-galanya yang terbaik dan nomor satu, Akashi, sehingga tidak akan mengherankan jika kau berkata mau mendaftar ke universitas paling unggul di seluruh negeri. Tapi mungkin di sini letak kenaifanku, karena nyatanya visimu bukan lagi Jepang, melainkan dunia.

Aku mengembuskan napas. "Jadi, berapa lama kau akan tinggal kali ini?"

"Kali ini? Tidak ada kali ini. Yang benar seharusnya, mulai dari sekarang; aku tidak akan ke mana-mana lagi."

"Maksudmu, kau benar-benar kembali?" tanyaku cepat. "Settle?"

"For good."

"Ah," kataku, berita bahwa Akashi Seijuurou akan kembali selamanya terasa sulit dicerna; seketika, gelembung-gelembung harapanku muncul, "selamat datang kembali."

"Senang bisa kembali."

"Kau akan tinggal di sini, di Tokyo?"

"Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan terlebih dahulu, di Kyoto," kau melirik koper yang berdiri di dekat kakimu, "tapi, ya, aku akan tinggal di Tokyo."

Aku bukan orang yang menyukai segala sesuatu yang serbaemosional, sehingga sering kali aku pun kesulitan memahami perasaanku sendiri. Ada perasaan membuncah ini dalam dadaku, gelisah, sekaligus senang. Hubungan kita merenggang ketika kau kuliah di Amerika, bukan karena kita tidak lagi menjadi teman yang cocok, hanya saja, dengan segala kesibukan serta perbedaan waktu, kita tidak sebegitu sering lagi kontak seperti sebelumnya. Tapi sekarang kau sudah kembali, sepuluh tahun sejak malam hanami itu, dan aku tidak bisa berkata bahwa satu dekade adalah masa yang sebentar, namun perasaanku untukmu tidak pernah berubah.

"Kau kelihatanya senang," katamu lagi, terkekeh pelan, dan kusadari aku sangat merindukan suara tawamu, meski kau sering kali tergelak karena sebab-sebab yang lucunya tidak dimengerti orang lain. Aku mendengus, menaikkan kacamata. Tentu saja aku senang, tapi aku tidak perlu mengatakan itu, dan tanpaku berbuat begitu pun aku yakin kau sudah tahu. "Aku menyewa apartemen di sekitar sini, kau masih tinggal di apartemen yang sama dengan yang kukunjungi terakhir kali?"

"Ya."

Kau tersenyum, tidak mengucapkan apa-apa lagi, tapi itu sudah cukup. Jika menilai dari sifatmu, maka kemungkinan besar kita akan tinggal dengan jarak hanya beberapa blok; mau tidak mau hal itu mengirimkan percikan-percikan harapan lagi. Ada berapa banyak lelaki jenuh yang pergi ke sebuah bar lalu mendapati bahwa cinta pertama mereka telah kembali ke kota yang sama, dan mungkin akan tinggal tidak jauh dari mereka? Mungkin urutan ke-sembilan di Oha Asa tidaklah buruk-buruk amat.

Lusinan pertanyaan egois muncul dalam benakku; karena kau sekarang tinggal di sini, akankah kita sering main shogi lagi? Basket setiap minggu? Maraton film-film? Saling meminjami buku? Menonton konser musik klasik? Jalan-jalan sore hingga menjelang senja, hanya kau dan aku, seperti yang selalu kita lakukan dulu ketika libur musim panas dan kau memutuskan untuk kabur sejenak dari latihan Rakuzan yang padat untuk menikmati atmosfer Tokyo? Semuanya tertahan, enggan meluncur dari tenggorokan layaknya harga diri yang tidak ingin kujatuhkan. Tapi di atas segalanya, aku senang—bahkan mungkin gembira, bahagia kau telah kembali ke suatu tempat yang bisa kujangkau.

Malam ini, aku merasa pertemuan kita seperti awal dari kisah yang sempat tertunda, suatu permulaan, sebuah prolog.

Maka, aku bertanya kembali dengan suara yang lebih mantap, siap menyambar setiap kesempatan yang ada dan tidak akan kubiarkan kau lepas lagi, "Omong-omong, kau belum bercerita, apa yang membawamu kembali ke Jepang?"