kurobas (c) fujimaki tadatoshi.
warning: kagami/fem!furihata
balik pelan-pelan dari hiatus. Coba-coba nulis pair gb baru 8D (bukan pair juga sih, karena mereka platonik doang di sini).
Kuncup bunga itu berwarna putih. Cantik, seperti goresan-goresan kuas Furi pada kanvas kotor di ruang seni. Kagami ingin tahu bagaimana Furi menyelesaikan lukisan pada kanvas yang telah dilukis terlebih dahulu, menyulap jejak-jejak abstrak bercoretkan tanda silang besar-besar warna merah, menggantinya oleh sekuntum bunga. Putih, cantik—Kagami tidak tahu apa yang membuat ia terpikir frasa tersebut, tapi Furihata hanya tersenyum.
Cabang-cabang bunga di kanvas belum diberi warna. Apakah hijau? Tanya Kagami suatu kali, sambil memutar bola basket pada ujung telunjuk. Furihata menunjuk palet yang belepotan seperti ujung jarinya. Menyebutkan beberapa hal. Aku akan mencampur warna ini dan itu. Ada saran lain? Kagami mencibir karena Furi seolah mengejek. Aku tidak punya jiwa seni sama sekali.
Furihata meraih kain lebar yang disampirkan di kursi. Membentangkan lalu kanvas tertutup sempurna. Furi tidak pernah membawa kanvas itu pulang. Dia hanya mewarna di sekolah, di ruang seni lukis lantai tiga, menyenandungkan lagu sambil satu-dua-tiga-belasan kali mengamati rekan-rekan satu hobi menyelesaikan sketsa. Sketsa mereka lebih indah, pikir Furihata, lalu berpikir dia harus jadi lebih baik pula.
Furi tidak bisa melukis dengan rapi. Bukan tentang goresan kuasnya (karena itu justru indah), namun cara Furi menggenggam kuas. Belepotan sampai rongga kuku. Kagami kerap mencemooh tapi Furi tampak tidak peduli, tetap menggosok jemari di bawah aliran air sebisa mungkin. Ujung-ujung rambutnya bergerak turun setiap kali ia menunduk, mungkin sudah harus dipotong. Nanti, setelah lukisan bunga putih itu selesai.
Apa lukisan itu akan kauberikan pada seseorang? Kagami iseng bertanya. Sekadar mengisi kekosongan sambil mengunyah biskuit milik si gadis.
Ya, jawab Furihata, tetap menekuni kanvas. Hadiah ulang tahun.
Untuk siapa?
Untukmu.
