Disclaimer: Harry Potter © J.K. Rowling
Warning: Ini fic multichapter pertama saya, jadi mohon maaf untuk segala kekurangan
CallyxCorolla present,
Tour Of Love
Chapter 1: The Tour Begin
(edited)
.
.
Ini kisah tentang sebuah musim.
Musim yang jika kau mencari tahu tentangnya di dalam buku-buku pelajaran dasar di Flourish and Bott atau toko buku lainnya di penjuru dunia, isinya akan sama. Yang bisa kau tangkap di pikiranmu adalah gambaran akan matahari yang bersinar terik, menantang kulit-kulit pucat itu berjemur di bawahnya, menunggu berubah warna. Menjadi lebih seksi, kalau boleh kutambahkan. Kemudian bayangan akan pantai-pantai yang pasir putihnya menghampar, merayu agar kau berguling-guling di atasnya untuk kemudian basah oleh ombak yang bergulung-gulung, laut terlihat sangat biru kau rasanya tidak ingin mengalihkan pandangan. Langit pun sama saja, saking panasnya awan pun enggan terbentuk sehingga yang bisa kau lihat hanyalah hamparan kubah sebiru bunga forget-me-not, tak ingin kalah dengan laut di bawahnya—
Damn it! Seandainya aku bisa ke California.
Ini adalah kisah tentang musim panas.
Waktu ideal untuk melakukan hampir segala hal yang kau inginkan, selama itu tak ada hubungannya dengan manusia salju. Berkumpul dengan keluarga besar yang ribut menanyaimu tentang sekolahmu dan kehidupan cintamu, menggerayangi mal-mal penyihir yang tengah memajang papan-papan bertuliskan diskon musim panas, berbaring di halaman berumput bersenjatakan sebuah payung besar dan segelas limun dingin—
Tidak.
Ini adalah kisah tentang musim panas, ya. Tapi bukan tentang hal-hal menyedihkan yang baru saja kusebutkan.
Ini adalah kisah tentang liburan.
Oh tidak, apa aku terlalu frontal? Screw that.
.
xxx
.
"Semua siap, sayang?"
"Sudah, M—"
"Tidak kekurangan baju ganti—"
"Sudah kucek—"
"Tongkat sihir? Kau sudah legal sekarang, jadi tongkat sihir tak—"
"Sudah kumasukkan sejak—"
"—boleh terlupa. Oh, jangan lupakan jaket, meski—"
"Mom!"
Aku mendesah, meringis saat menyadari pita suaraku melepas suara dengan intonasi lebih tinggi dari yang kumaksudkan.
"Mom—"
Ibuku mendesah. "Maaf, Rose. Aku hanya sedikit cemas. Kau akan bepergian lama—"
"Hanya dua minggu, Demi Merlin. Aku berada di Hogwarts hampir sepanjang tahun."
"Ya, tapi di Hogwarts ada Hagrid, Neville—"
"Hagrid bukan satu-satunya alasan aku bisa bertahan hidup di Hogwarts," aku memutar bola mata.
"Justru sebaliknya," terdengar gumaman adikku di belakangku.
"Diam, Hugo," kataku malas. "Dan, Mom, Professor Longbottom ikut dalam acara kali ini, kalau itu bisa membuatmu lebih tenang."
"Hermione!" kali ini ayahku yang menyela, "Sudah pukul delapan. Rose berangkat pukul sembilan, bukan? Kita harus bergegas."
"Okay, okay, Ron," sahut Mom. Mendelik pada Dad, dia mengacungkan tongkat sihirnya pada koperku.
"Locomotor Mortis," rapalnya, dan koper itu melayang, keluar melalui pintu depan yang terbuka dan jatuh berdebam di samping sebuah mobil berwarna metalik.
Aku menyambar mantel bepergianku dari gantungan dan mengikuti kedua orangtuaku melangkah keluar. Pintu menceklik terkunci oleh lambaian lain tongkat sihir Mum.
Beberapa saat kemudian, aku menoleh mendengar decak tak sabar Mum. Menatap kritis Dad yang tengah menjejalkan koperku ke dalam bagasi, ia berujar pelan, "Sungguh, Apparate akan jauh lebih cepat, dan kita tak perlu terburu-buru. Dan mengingat kemampuan mengemudimu yang tak bisa dibilang bagus bahkan dalam keadaan santai, kurasa—"
Debam bagasi ditutup menghentikan ucapannya, membuatnya berjengit.
Dad berbalik, "Rose belum sekalipun menaiki Land Rover baru kita sejak kepulangannya. Ayo semua naik," katanya kalem.
.
xxx
.
"Apa kau akan baik-baik saja, sayang?"
Aku menutup koperku dengan keras, ingin membuat suara berdebam. Tapi gagal, justru sebagian dari barang-barangku yang ada di bagian atas melesak keluar, menyembul dari sela tutup koperyang menganga, menolak menutup. Berantakan.
Mengerang, aku melirik ibuku yang berdiri di pintu, sekarang memijit pangkal hidung mancungnya.
"Kau. Sudah. Mengepak. Itu. Semalaman. Scorpius."
"Sudah kubilang jangan terus menerus memanggilku dengan panggilan sayang, Mother."
"Itu tidak relevan."
"Jangan bilang relevan tidak relevan. Ini bukan ruang sidang tempatmu dulu bekerja—" mata ibuku menyipit dan aku menutup mulutku.
Ibuku mengacungkan tongkat sihirnya ke arahku. "Cepat kemasi lagi. Kau hampir terlambat."
Terinspirasi, aku mengeluarkan tongkat sihir dari sakuku. Tapi dengan satu kata sederhana "Expelliarmus," dan sedikit jentikan tongkat sihir ibuku, senjataku satu-satunya itu melayang ke tangannya.
"Sudah kubilang tidak ada tongkat sihir. Harusnya kau masih memikirkan akibat perbuatanmu semalam menyihir makan malam kita, alih-alih memikirkan untuk melakukan sihir lain."
"Sudah kubilang si gadis Fransesconi itu menyebalkan."
"Fransesca. Dan kau pikir menyihir sup kalkun terbaik kita jadi sup katak bukan hal menyebalkan untuknya? Harusnya aku tidak mengijinkanmu ikut acara Hogwarts kali ini sebagai hukuman."
Aku mendelik sebal padanya di sela-sela usahaku merapikan koperku. Tapi usahaku membuat semuanya muat lagi sia-sia. Barangku nampaknya jadi mengembang.
"Bolehkah aku minta bantuan peri rumah?"
Ibuku menggeleng.
Aku menghela napas keras-keras. "Kalau sampai Father tahu hal ini—"
"Dia akan bilang kalau menghargai seorang perempuan adalah tindakan yang harus dilakukan semua laki-laki."
Tapi toh setelah berkata seperti itu ibuku mengayunkan tongkat sihirnya ke arah koperku. Dan beberapa menit kemudian kami siap ber-apparate.
.
xxx
.
Namaku Rose Weasley.
Musim panas ini, aku baru saja selesai menjalani tahun keenamku di Sekolah Sihir Hogwarts, salah satu sekolah sihir terbesar di Eropa.
Pada musim-musim panas di tahun sebelumnya, mungkin aku hanya akan berkumpul bersama keluarga besar Weasley— yang, saat aku bilang besar, aku benar-benar memaksudkannya. Mungkin kami akan berlibur di beberapa tempat, atau sekadar menikmati roti-roti buatan Grandma Weasley.
Atau mengunjungi Grandpa dan Grandma Granger yang menetap di Australia sejak perang besar berakhir. Yah, sayangnya Australia sedang berselimutkan salju acapkali kami pergi kesana, sehingga yang bisa kami lakukan hanya menonton film, minum cokelat panas, bermain tic-tac-toe, menonton film lagi, dan minum cokelat panas lagi sambil bergelung di dalam selimut.
Tapi, musim panas tahun ini akan berbeda.
Mengikuti hasil konferensi sihir internasional beberapa tahun sebelumnya, hubungan kerjasama penyihir antarnegara semakin gencar digalakkan. Peningkatan bisnis ekspor-impor, pertukaran tenaga kerja internasional. Bahkan tahun lalu, guru-guru dari Akademi Beauxbatons mengadakan kegiatan studi banding di Hogwarts.
Dan tahun ini, guru telaah muggle Hogwarts, Profesor Thomas, akan mengadakan sebuah kegiatan untuk siswa yang akan naik kelas tujuh. Bisa dibilang semacam penyegaran sebelum menghadapi tahun NEWT, yang seperti namanya, Nastily Exhausting Wizarding Level, benar-benar tahun yang akan sangat melelahkan. Kegiatan itu juga untuk mendukung pelajaran telaah muggle, yang sejak tahun lalu didapuk sebagai salah satu mata pelajaran NEWT.
Profesor Thomas bilang, kegiatan ini disebut Study tour.
Study tour.
Tur. Intinya, liburan. Tapi yang mengganjal batin para murid adalah adanya kata study di depannya.
Dan yang menyembul di ingatanku adalah aku yang berumur delapan tahun, menggigil kedinginan di januari yang basah, mendengarkan ceramah pemandu wisata tentang sejarah Museum London, sementara guruku yang galak melotot, menyuruh teman-temanku untuk mencatat penjelasannya.
Okay, itu study tour kelamku saat di sekolah dasar muggle.
Sekarang, study tour Hogwarts, siapa yang tahu?
"Aku masih belum mengerti, mengapa kalian semua harus mengantarku ke stasiun. Kubilang Dad saja cukup. Aku kan hanya pergi dua minggu, Demi Merlin."
"Dan ingatkan aku lagi, kenapa kalian harus berkumpul di stasiun di saat kalian akan naik bus alih-alih kereta," jawab Dad sambil melajukan Land Rover miliknya.
"Kan, aku sudah bilang, King's Cross itu tempat paling strategis untuk berkumpul. Jadi kami disuruh berkumpul di sana."
Dad menggeleng-geleng, "Pergi keluar negeri naik bus, lalu apa gunanya penyihir belajar berapparate."
Aku memilih tak menanggapi, karena yang kupikirkan adalah tiga kata di awal kalimat Dad barusan.
Pergi keluar negeri. Karena, ya, kami akan keluar negeri.
Negara lain, percayakah?
Dan karena kegiatan ini adalah salah satu subjek dalam pelajaran telaah muggle, maka kami akan bepergian dengan cara muggle,dan akan mengunjungi tempat-tempat wisata muggle– yah, mungkin nanti juga mampir ke tempat wisata penyihir yang, sayangnya, bisa dihitung dengan jari.
Bisa kau bayangkan, kan, reaksi para Slytherin yang arogan.
Profesor Thomas bilang, kegiatan ini juga bertujuan untuk mempelajari kebudayaan penyihir dan muggle di negara lain. Well, sejujurnya aku bertanya-tanya apa Profesor Thomas sedang berusaha bernostalgia mengingat-ingat study tour di sekolah mugglenya dulu.
Yah, apapun alasan para guru mengadakan acara ini tidaklah penting. Para murid toh langsung menyetujuinya. Yah, siapa yang akan menolak liburan, kan?
"Rose?" panggil adikku. Aku hanya mengangkat alis menjawabnya.
"Aku punya satu alasan mengapa kami semua harus mengantarmu ke stasiun."
"Hmm?"
"Kurasa agar kami bisa mengingatkanmu di detik-detik terakhir untuk tak lupa membelikan kami oleh-oleh yang memadai."
Aku mendengus mendengar ultimatum Hugo.
"Serius, Rose. Kalau kau tak membelikanku gantungan kunci setidaknya masing-masing lima dari setiap tempat yang kau kunjungi, aku akan—"
"Akan apa?" kataku acuh.
"Aku akan memberitahu Dad apa yang kau lakukan bersama Scorpius Malfoy tiap akhir pekan di kamar—"
Aku membekap mulut Hugo, yang –sialan— bahkan tak berusaha memelankan suaranya.
"Tutup mulut, Hugo!"
"Kamar apa, Rosie? Kamar tidurmu? Kamar tidur Malfoy?" nada suara Dad terdengar berbahaya.
"Atau kamar mandi?" celetuk Mom nakal.
"Mom!" aku menatapnya tak percaya.
"Rose?" itu Dad yang berkata.
Oh, berakhir sudah lamunanku tentang study tour yang damai.
"Dengar, aku tak pernah melakukan hal apapun dengan Scorpius di kamar manapun. Dan Hugo, aku akan berterimakasih kalau kau tidak mengatakan hal yang aneh-aneh tentangku dan Scorpius!" bentakku.
"Rose—" tegur Mum.
Hugo mengangkat bahu.
"Tadinya aku mau bilang kamar kebutuhan. Kan kalian sering mengerjakan PR bersama di sana."
"Kids, berhenti bertengkar," sela Mum, "kita hampir sampai."
"Apa kita harus masuk peron ¾ ?" tanya Dad.
"Hei, ngomong-ngomong soal peron 3/4, apa mobil bisa masuk kesana?"
"Jangan meremehkan sihir, Hugo, tentu saja bisa. Tapi kalau kau ingin mobil ini ditembak security."
Aku mendengus, mengalihkan pandang dari perdebatan konyol tidak berguna dua orang itu. Menatap stasiun King's Cross yang terlihat semakin besar, seiring menipisnya jarak di antara kami.
Well, seperti yang kubilang tadi, kami akan bepergian dengan cara muggle.
Dalam hal ini, bus.
Ya, kami akan naik bus. Dan- aku malas mengakuinya- Dad dan Hugo benar, bahwa stasiun adalah tempat pemberhentian kereta, alih-alih bus. Tapi, stasiun King's Cross yang berada di tengah kota adalah tempat yang paling ideal untuk berkumpul, dan jelas lebih dekat dengan tujuan pertama kami. Yah, alih-alih Hogwarts, misalnya. Jadi, para guru meminta murid-murid untuk berkumpul di sini.
Dan, di sinilah aku, di King's Cross yang panas, mencari tanda-tanda keberadaan murid Hogwarts yang lain.
.
xxx
.
Namaku Scorpius Malfoy.
Musim panas ini, aku baru saja selesai menjalani tahun keenamku di Sekolah Sihir Hogwarts, salah satu sekolah sihir terbesar di Eropa. Yah, bukannya ada gunanya aku menjelaskan, karena semua orang sudah tahu.
Jadi, study tour.
Sungguh, aku tidak ingin menjelaskan apapun tentang itu. Intinya, kami akan liburan.
Aku sudah menghilang dari pandangan ibuku sejak menit pertama kami tiba di sini. Biar, daripada dia terus menerus menempel dan menunjukkan afeksinya yang berlebihan. Paling sekarang dia sudah bertemu Missus Missus penyihir yang lain dan memutuskan untuk mengobrol. Yah, begitulah Mother. Sementara Father, katanya dia akan menyusul kemari, entahlah, aku tidak peduli.
Aku memutar pandangan ke sekeliling stasiun yang ramai dipenuhi orang, mencari tanda-tanda keberadaan gerumbul-gerumbul rambut merah.
Dan, itu tidak sulit dilakukan.
Satu rambut merah yang secara spesifik kucari berada agak jauh dari kawanannya, tengah mengobrol dengan seseorang berambut hitam. Aku mendekati mereka, lamat-lamat mendengar pembicaraan mereka.
"Jadi, kita akan naik Bus Ksatria?"
"Mm-hmm, tapi percayalah, mereka sudah mendekorasi ulang. Lihat, bahkan untuk perjalanan kita bus ini dibuat hanya bertingkat satu."
Si rambut merah meringis. "Sama sekali bukan dekorasi buluknya yang merisaukanku, tapi—"
"Dan kita tidak menggunakan Ernie Prang junior."
Si rambut merah menghela napas lega, dan juga aku, tanpa sadar. Entah terkena kutukan atau apa, Ernie Prang junior mewarisi bakat ayahnya, yang merupakan sopir Bus Ksatria sebelumnya, yaitu menyetir ugal-ugalan seenak jidatnya.
Dan kali ini kita tak menggunakan jasanya. Well, semua boleh bersulang untuk ini.
Aku sudah mencapai tempat mereka, dan tanganku memeluk pinggang si rambut merah, yang terlonjak.
Si rambut hitam memutar bola mata. "Aku melihatmu mendekat dan kubiarkan, Malfoy. Jadi tolong jauhkan pemandangan menjijikkan ini dari mataku."
"Kau bisa ke bus dulu Al, aku akan menyusul," si rambut merah berkata dan berbalik.
"Rindu padaku, Miss Weasley?"
Dia memutar bola mata.
"Ada jutaan mata di sini, Mr. Malfoy," katanya dengan nada manis.
Okay, biar kujelaskan satu hal—atau beberapa.
Gadis yang berdiri di hadapanku ini adalah Rose Weasley. Tahu sendirilah siapa dia. Salah satu anggota keluarga berambut merah yang bermarkas besar di The Burrow itu. Keluarga pemuja singa emas dan merah sejak turun temurun.
Rose adalah salah satu pentolan asrama Gryffindor, yang, katakanlah adalah musuh bebuyutan Slytherin, asramaku. Perselisihan, perdebatan, pertengkaran, perkelahian– dan per-per berkonotasi buruk lainnya, adalah hal yang biasa terjadi di antara dua asrama. Memang sih belum sampai menimbulkan korban jiwa, tapi kalau hanya luka-luka sih sudah tak terhitung banyaknya.
Well, aku dan Rose jelas terlibat dalam banyak 'per-per' itu. Tapi kami belum pernah terlibat konfrontasi satu lawan satu.
Karena akan menggemparkan Hogwarts jika ada sepasang kekasih yang berduel.
Ya, dia pacarku.
"Rose, aku baru saja mendapat tips liburan dari ibuku."
"Oh ya? Apa?"
Aku mendekatkan wajahku ke arahnya. Dia memundurkan wajahnya, menatapku dengan tatapan mengancam.
"Rahasia keluarga, Rose."
Menyerah, dia membiarkanku berbisik di telinganya.
"Tipsnya? Selalu dekat-dekat dengan pacarmu," bisikku. Dan saat aku menarik wajahku, aku mengambil kesempatan mengecup kilat bibirnya.
"Hei!"
Tinju Rose mendarat di lenganku.
.
xxx
.
"Jangan lupakan oleh-oleh untuk kami, okay, Rosie?" Dad nyengir lebar dari balik badan Mum saat dia sedang memelukku.
"Yang penting jangan lupa makanan," lanjutnya, "makanan basah juga tak apa, yang penting sesuai dengan seleraku. Beri mantra anti basi—"
"Sayangnya, Ron," sela Mum, "tak ada makanan yang tak sesuai dengan seleramu. Sana naik, Rose."
"Da-dah semua, aku akan merindukan kalian," Aku melambai lalu masuk ke dalam bus.
Tempat dudukku berada di tingkat teratas— tingkat tiga, jadi aku langsung naik.
Di bangku paling depan, terlihat Scorpius.
Tahu sendirilah siapa dia. Anggota terakhir dari klan Malfoy yang tersohor sekaligus pewaris utama kekayaan mereka yang melegenda, sang Pangeran Slytherin, si pemenang sepuluh kali berturut-turut senyum paling menawan Witch Weekly, dan julukan-julukan lainnya.
Scorpius Malfoy yang tampan, dengan rambut pirang platinanya yang mempesona, dagunya yang runcing, serta iris abu-abunya yang memabukkan– deskripsi lengkap bisa dilihat di Daily Prophet edisi 23 tahun ini.
Dia pacarku, sayangnya.
Setelah sembarangan mendaratkan pelukan pinggang dan ciuman tadi, kami berpisah untuk mengucapkan selamat tinggal pada keluarga masing-masing. Dan sekarang dia sedang mendebatkan entah apa dengan sepupu arogannya, Davine Zabini.
Kau tahu, kan, sepupu. Putri tunggal dari kakak satu-satunya ibu Scorpius, semacam itulah. Untuk apa aku repot-repot menghafal nama sepupu orang lain, sementara untuk menghafal sepupu-sepupuku saja butuh waktu seminggu.
"Okay, Dave. Kau duduk di belakang bersama Potter. Aku duduk di sini bersama Rose."
Zabini hendak mendebat, tetapi sepupuku Al, yang sudah duduk, mengangkat alis melihat kedatanganku.
"Begini saja," selanya, "Bagaimana kalau aku duduk bersama Rose. Dan kau, Malfoy, duduk bersama Zabini."
"Mana bisa? Aku tetap duduk dengan Rose. Kau duduk dengan Potter, Dave. Please."
Zabini mengerucutkan bibir, menghentak-hentakkan kaki melewati Al untuk duduk di sebelahnya.
Aku menggeleng-geleng melihat tingkah mereka. Well, kita berempat diharuskan duduk bersama depan-belakang, karena kita satu kelompok dalam tur ini. Yah, satu kelompok saat berjalan-jalan, maupun saat nanti membuat laporan perjalanan– ini kan study tour.
Aku ingat saat kami masih di Hogwarts beberapa minggu lalu. Saat itu Profesor Thomas menyuruh murid kelas enam membentuk beberapa kelompok. Masing-masing empat orang, dua laki-laki dan dua perempuan.
Saat itu, Zabini langsung menyalak, "Aku mau bersama Scorpius."
"Dan aku mau bersama Rose," sahut Scorpius cepat.
"Aku mau dengan Al," aku tak mau kalah.
Al memutar bola mata, "Bagaimana kalau kubilang aku ingin bersama Profesor McGonagall?" katanya sarkastis.
"Well, Al, kita tak selalu bisa mendapat apapun yang kita inginkan," aku menepuk bahunya bergaya simpati.
"Kalau aku tak salah hitung, kita sudah berempat sekarang," Scorpius mengangkat bahu.
"Ya, dua laki-laki dan dua perempuan," gumam Zabini dengan nada kesal seakan berpasangan denganku dan Al adalah hal yang paling menjengkelkan di dunia.
Aku mendengus. Dasar Slytherin.
"Ya, kita satu kelompok. Hidup ini memang sempurna."
Dan, voila! Di sinilah aku bersama ketiga orang ini.
Aku langsung duduk di samping Scorpius, tepat di samping jendela.
Melirik ke belakang, tertangkap mataku Al sedang asyik dengan mp3 playernya– dunia sihir tak seketertinggalan jaman seperti dulu, okay. Meski demikian, Al sesekali melirik Zabini di sampingnya yang tengah berkutat dengan buku 'Panduan Wisata Eropa' di pangkuannya. Meski aku yakin ia sama sekali tak membacanya, karena mata cokelatnya hanya memelototi satu kata yang sama sejak tadi.
Aku meringis melihat pemandangan ini.
Scorpius terkekeh, "Well, siapa tahu perjalanan ini bisa mendekatkan mereka."
Tersenyum, aku mengangguk menyetujui.
"Atau kita?"
"With my pleasure, Mister Malfoy."
.
xxx
.
Dan, setelah semua siswa dan guru naik, Profesor Thomas membuka acara, mengabsen, dan sebagainya– tahu sendirilah, protokol standar.
Diiringi ucapan biasa, "Semoga kita selamat sampai tujuan," bus pun melaju.
Siap membawa kami menuju tempat tujuan pertama—
–lihat saja nanti.
Atau besok, maksudku.
.
xxx
.
—TBC—
.
.
Terimakasih buat para reviewer yang mereview fic-fic saya sebelumnya, buat yang saran, request– atau apapun namanya supaya saya bikin fic multichapter. Dan voila! Jadilah fic abal ini. Ini adalah fic multichapter pertama saya jadi mohon maaf untuk segala kekurangan.
Saya masih yakin nggak yakin buat nglanjutin fic ini.
So, next or delete?
Boleh saya dapet review?
.
Edited 18/6/2016
Author's note. Please read
Halo again. Oke saya tahu saya udah menelantarkan fic ini sejak (almost) 2 tahun yang lalu. Jeongmal mianhamnida. Maaf sekali. Yah, enggak yakin juga sih ada yang nungguin xD
Sekarang saya mau memberitai sekaligus curhat, ya.
Chapter 1 sampai 3 saya edit, dan banyak sekali bagian yang berubah. Mungkin gaya menulis saya berubah, mungkin akan terjadi pembengkakan,pemelaran(?) chapter dan sebagainya. Buat yang dulu pernah baca fic ini, mungkin chapter 4 nggak seperti yang kalian harapkan (nggak seperti yang diharapkan. Tolong itu dibold,italic, underline) . Saya minta maaf. Saya cuman mau bikin fic ini lebih baik.
Saya memang milih replace chapter daripada delete lalu apdet lagi. Itu karena saya bener2 apresiasi reviews yang saya dapat, dan nggak mau sembarangan ngehapus, karena kalau saya delete chapter nanti reviewsnya juga ikut kehapus, padahal saya tahu review itu nggak gampang (itu saya xD). Jadi kalau ada reviews yang jadi kurang nyambung sama isi chapternya, ya let it be lah *beg.
Dan file chapter 3 saya di laptop ilang T,T padahal yang di ffn udah terlanjur di backspace(?) Jadi kalau ceritanya tambah beda lagi, jeongmal mianhamnida lagi :'v
Itu saja. Terimakasih udah nyasar sampai kalimat terakhir ini.
Mungkin ada yang mau review? I'll appreciate it so much.
See ya.
