ENOUGH
[Jericho x Ban]
Nanatsu no Taizai/Seven Deadly Sins!
Romance + Angst
WARNING!
Canon, Typo(s), OOC, EyD tidak ter-notice, etc.
Siang itu terasa sangat sejuk. Langit yang cerah, burung yang terbang ke sana kemari, dan daun-daun saling bergesekan karena tiupan angin yang sepoi-sepoi. Suara tawa Ban yang keras mendominasi suasana dalam bar. Ban terlihat sudah mabuk. Wajahnya memerah dan omongannya sudah melantur. Escanor sibuk melayani Ban yang tidak ada hentinya meminta tambah sake. Sedangkan Meliodas terlihat begitu sibuk dengan Elizabeth. Dia sibuk menyentuh sana sini.
Diane dan King tidak terlihat ada di sekitar bar. Mungkin mereka sedang berburu untuk mempersiapkan makan malam. Merlin dan Gowther terlihat sedang menghayati sebuah buku. Duduk, diam dan fokus.
Jericho memandangi mereka semua. Tersenyum lembut. Nanatsu no taizai bukanlah pengkhianat bangsa atau pembunuh berdarah dingin. Mereka bukan monster. Ya, memang mereka memiliki kekuatan yang melebihi manusia dan sebenarnya mereka bukan termasuk golongan manusia.
Meliodas adalah iblis. Merlin adalah penyihir. Ban adalah mantan manusia. King adalah peri. Diane adalah raksasa. Oh, hanya ada satu manusia yaitu Escanor, manusia dengan kekuatan super. Gowther adalah boneka. Eizabeth? Dia memang manusia, tetapi dia meruakan keturunan dewi.
Sebenarnya keberadaannya di sini malah membebani mereka, terutama Ban. Walau Ban terlihat cuek dan sering sekali memanfaatkan, tetapi dia akan tetap melindunginya.
Jericho adalah manusia terlemah di bar ini.
Mungkin memang seharusnya dia pergi dari bar ini. Berhenti untuk mengikuti Ban dan mulai mengabdikan seluruh hidupnya untuk bangsa. Ya, itu yang harus dilakukan oleh Jericho.
Lagipula, dia sudah membalas budi terhadap Ban yang sudah menyelamatkannya dulu. Jericho sudah selesai dengan urusan balas budinya. Tak ada alasan lagi untuk tetap berasa di samping Ban. Si Pria Brengsek itu juga menemukan cinta sejatinya, Elaine.
Urusan Jericho sudah benar-benar selesai.
Jericho menghampiri mereka. Elizabeth adalah orang pertama yang menyadari keberadaannya. "Jericho-san?"
Jericho mengusap tengkuknya. Seluruh perhatian tertuju padanya. Ia jadi merasa gugup, padahal tinggal bilang kalau dia ingin kembali ke kerajaan. Tidak susah, yang susah adalah melepas perasaannya terhadap Ban dan mulai menerima kenyataan.
"Apa apa, Jericho?" tanya Meliodas. "Kau ingin pergi kemana?" Meliodas mengamati Jericho yang sudah lengkap membawa senjata dan tasnya.
Jericho melirik sebentar ke arah Ban. Pria itu sama sekali tidak peduli dengan keberadaanya, Ban sibuk menegak bir sembari terus mengoceh tentang Elaine. Astaga! Itu membuat hati Jericho menjadi panas. Hmm, ini resiko menyukai Ban.
"Aku..ingin kembali ke Britannia."
Elizabeth terkejut. Tidak perlu menunggu Jericho curhat dengannya. Elizabeth sudah tau kalau Jericho sangat menyukai – em, mungkinmalah mencintai Ban. Dia mendengar kalau yang membantu Ban dan Elaine lari dari kejaran Galan adalah Jericho. Bahkan dia juga mendengar kalau Jericho rela mempertaruhkan nyawanya demi melindungi mereka berdua.
Rasa yang dimiliki Jericho terhadap Ban lebih dari kata menyukai. Jericho dengan rela dan tanpa dendam, dia mau membantu Ban dan Elaine. Dia juga merelakan Ban yang lebih memilih Elaine. Rasa itu lebih dari kata 'menyukai'. Elizabeth menatap Jericho dengan iba. Dia terharu dengan sikap Jericho yang terlihat dewasa.
"Jericho-san, apa kau serius?" tanya Elizabeth sembari berjalan mendekat ke arah Jericho.
"Ya. Aku akan kembali ke Britannia. Mungkin…tempatku memang di sana, bukan di sini."
Elizabeth terhenyak. Kalimat 'bukan di sini' terasa amat perih di telinganya. Kalimat itu terasa menyakitkan. Elizabeth segera memeluk Jericho, air matanya menetes perlahan. "Jericho-san! Terima kasih sudah mau bergabung dengan kami selama ini."
Jericho terkekeh ringan dan membalas pelukan Elizabeth. "Jaga dirimu baik-baik, Tuan Putri."
"Yo, Jericho! Jaga dirimu baik-baik di sana!" Meliodas menepuk bahu Jericho pelan. "Jangan menyerah!"
Jericho sedikit tersentak dengan nasehat Meliodas. Dia mengangguk pilu. Jericho sadar kalau dia tidak boleh cepat menyerah. Dia akan terus berjuang untuk menerima kenyataan. Lagipula dia memang harus kembali pada kenyataan kalau dia adalah perajurit Britannia. Dia harus terus mengasah kemampuannya.
"Ya!" Jericho menatap Ban yang sudah tergeletak lemas dengan kepala di atas meja. Kepala yang menghadap tembok, namun tangan kanannya masih kuat menggenggam gelas bir. Pemandangan Ban yang mabuk dan Ban yang konyol akan menjadi kenangan tersendiri baginya. "Sampaikan salamku pada Ban dan Elaine jika dia sudah sadar."
Elizabeth dan Meliodas mengangguk. "Baiklah. Selamat tinggat, minna!" Jericho keluar dari bar dengan senyum merekah.
Meliodas menatap kepergian Jericho, kemudian ia menghela napas. "Kau tidak berniat mengantarnya atau sekedar mengucapkan kalimat perpisahan pada Jericho?"
Kalimat tanya itu bukan ditunjukan pada Merlin atau Gowther atau Escanor. Tanpa perlu menyebut nama, mereka yang ada di sana tau untuk siapa pertanyaan itu.
Ban mendesah malas. Dia beranjak dari kursinya. "Itu tidak perlu." Ban melangkahkan kakinya menuju tangga. "Siang-siang begini enaknya tidur."
Meliodas menghela napas. "Setidaknya ucapkan terima kasih padanya. Dia adalah orang yang menyelamatkan kalian."
Ban sempat berhenti di anak tangga pertama. Lalu mendesah lagi. "Sudah kubilang itu tidak perlu." Ban kembali melanjutkan langkahnya dan menghilang di ujung tangga. Dalam hati Ban berusaha menguatkan tekadnya untuk tidak mengejar Jericho. Memang ini yang harus dia lakukan, berhenti untuk bersikap peduli terhadap gadis itu. Dia tidak bisa seenaknya mempertahankan Jericho di sampingnya, tetapi hatinya masih milik Elaine. Apalagi sekarang Elaine hidup kembali. Itu menjadi semakin rumit.
Biarlah Jericho pergi tanpa ucapan perpisahan dari Ban. Kalau memang dia membenci Ban, biarkan karena memang begitu seharusnya. Ban tidak pantas dicintai dan diperjuangkan oleh Jericho. Gadis itu akan terus terluka karenanya.
Sayounara, Jericho!
Sementara itu, Jericho yang sudah berada di perjalanannya merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Entah kenapa, air matanya perlahan keluar dan jatuh dari pelupuk matanya. Ternyata semenyakitkan ini sebuah pengorbanan dan perpisahan.
–
Malam harinya, seperti biasa ban akan memasakkan makanan super lezat untuk kawan-kawannya. Escanor membantu dalam menyiapkan minumannya. Mereka terlihat begitu sangat menikmatinya.
"Eh? Tunggu aku merasa ada yang kurang." Celetuk Diane. Diane sekarang berada dalam pengaruh sihir Merlin yang membuatnya menjadi seukuran manusia.
"Apa itu, Diane?" King jadi ikut-ikutan melihat ke sekelilingnya.
Diane tampak berpikir. "Dimana Jericho?"
Ban terhenyak sebentar. Meliodas menghentikan acara makannya. "Dia pergi."
"Heeee? Kemana?!" Diane terlihat tampak panik.
"Kembali ke Britannia." Meliodas kembali melanjutkan makannya.
Diane terlihat begitu terkejut. King pun juga memasang wajah terkejut dan tidak percaya. "Apa dia pergi sendiri?" tanya King.
Meliodas menjawab dengan ringan. "Ya."
Diane dan King berpandangan. Sekarang wajah mereka terlihat begitu panik dan khawatir.
"Memangnya ada apa, King-sama, Diane-sama?" tanya Elizabeth.
King berdeham. Dia menatap Ban yang sedang meneguk minumannya. "Saat aku dan Diane pergi untuk mencari bahan makan di desa terdekat, kami sempat bertemu dengan beberapa orang jahat."
Elizabeth menghentikan makannya. Kali ini dia yang terlihat begitu khawatir.
Ban terkekeh pelan. "Hanya orang jahat, kan? Tenang saja, Jericho tak akan semudah itu untuk dibunuh." Katanya.
King menatap Ban. Dia akui betapa brengseknya pria itu. Ban adalah pria paling brengsek yang pernah ia temui. Ia tau, Ban hanya akan mencintai Elaine untuk seumur hidupnya. King salut dengan perasaan yang tak akan lekang oleh waktu itu. Tetapi Ban sesekali harus diajarkan bagaimana menghormati dan melindungi perempuan.
King mengarahkan tombaknya untuk menusuk leher Ban. Ya, walaupun itu tidak akan membuat Ban mati. Semua orang di sana terkejut dengan serangan mendadak dari King. Suasana bar menjadi tegang.
"Hoi hoi! Apa maksudmu dengan ini?" Ban menatap jengkel terhadap King. Ban selalu salah di mata King.
King dengan kejam mencabut tombaknya dari leher Ban. Darah mulai muncrat kemana-mana. "Setidaknya belajarlah untuk menghormati perempuan! Apalagi dia adalah orang yang sudah berjuang mempertaruhkan nyawa dan hatinya untukmu, brengsek!"
"Apa urusanmu?"
"Kau harus tau seberapa besar penderitaan yang kau berikan pada Jericho, sialan!"
Ban memandang remeh King. "Kau tau apa? Biarkan saja. Lagi pula tidak ada yang menyuruhnya untuk mencintaiku. Perasaannya padaku…itu adalah masalahnya sendiri. Aku tidak peduli–"
PLAK.
Semua tercengang. Elizabeth menampar Ban dengan sangat keras. Wajahnya yang memerah dan matanya yang sudah berlinang air mata. Elizabeth menatap Ban dengan penuh kekesalan. "Ban-sama! Maaf jika saya lancang. Tetapi apa yang anda katakan itu lebih lancang!"
Ban menatap Elizabeth tak percaya.
"Memang benar bukan anda yang menyuruh Jericho-san untuk mencintai anda, tetapi anda haruslah sadar dan menghargai perasaanya. Dia rela mengorbankan nyawanya dan merelakan perasaannya untuk belajar ikhlas bahwa anda lebih memilih Elaine."
Ban termenung. Dia menahan segala emosinya.
"Jericho-san mencintai anda tanpa pamrih! Dia tidak pernah memaksakan anda untuk menyukainya atau menjadi miliknya. Jericho yang selalu setia mengikuti anda walau tujuan anda adalah Elaine, itu karena Jericho telah mencintai anda dengan segenap hatinya. Dia meninggalkan egonya agar tetap bisa bersama anda. Dia bahkan rela anda manfaatkan!"
Ban mengepalkan tangannya hingga buku-buku tangannya terlihat putih. Perkataan Elizabeth terasa lebih pedih daripada tamparannya.
Jericho, sialan!
"Ban-sama. Memang benar kalau anda tidak boleh menaruh perhatian lebih pada Jericho agar tidak semakin membebani perasaannya, tetapi setidaknya anda–"
"Cukup." Lirih Ban dengan nada tajam mampu membungkam kecerewetan Elizabeth. "Diamlah atau kau akan kubunuh."
"Ban. Kau yang akan mati." Meliodas menatap Ban dengan tajam.
Ban menghela napas. Lalu melangkah keluar dari bar. Dia merasa sesak di dalam situ. Ban butuh udara segar.
Sebelum Ban benar-benar keluar dari bar, Elizabeth kembali berucap. "Terserah apa yang mau anda lakukan. Tetapi bersiaplah dengan segala resiko."
Cih, resiko? Apa yang dia maksud itu karma? Ban melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Dia tidak berniat membalas ucapan si Tuan Putri itu.
Kalau yang dimaksud Elizabeth adalah karma. Ban tidak peduli, dia bersahabat baik dengan karma itu sendiri.
–
Jericho mengosokkan kedua telapak tangannya. Udara malam ini begitu dingin. Dia harus segera menemukan tempat tinggal sementara.
"Hei, nona!" Seorang pria dengan badan besar dan tato yang hampir memenuhi kedua lengannya berdiri menghadangnya.
Jericho mulai waspada. "Apa maumu?"
"Berikan segala harta yang kau punya."
"Bagaimana jika aku menolak?"
"Aku akan membunuhmu."
Jericho menatap remeh preman yang ada di depannya ini.
"Atau mungkin akan memperkosamu sampai mati." Secepat kilat, orang itu melayangkan pukulannya ke wajah Jericho.
Sialan..!
–
Diane masih cemas. "Orang jahat yang kita maksud bukanlah preman biasa."
"Mereka adalah segerombolan orang yang memiliki kekuatan lebih dari manusia normal, apalagi tingkat kecepatan dalam bergerak dan ketepatan dalam membidik." Lanjut King.
"Mereka adalah pembunuh kejam di desa itu. Aku bahkan sampai kualahan menghadapi mereka." Tambah Diane.
TBC
Ngetik ini cukup bikin galau dan sedih setengah mati.
Sungguh dulu saya shipper Elaine x Ban, tetapi semenjak ada Jericho, aku jadi belok ke shipper Jericho x Ban.
regards, kiriko saki.
