.
.
.
Memijit tangannya yang mulai pegal, Jaemin menarik nafas sebelum menghembuskannya sebagai umpatan yang disembunyikan dibalik bisikan. Mengangkat puluhan buku tebal dan alat praktikum bukanlah kegiatan yang biasa ia lakukan sehari-hari, namun karena ia tertidur di kelas saat pelajaran Mr. Seo, akhirnya dia disuruh mengembalikkan seluruh ensiklopedia dan alat praktikum setelah praktek di kelas tadi. Jangan salahkan Jaemin, bukan maunya kok tertidur di tengah pelajaran. Hanya saja penyakit susah tidurnya kambuh kemarin malam dan ia hanya tidur dua jam sebelum berangkat sekolah. Jeno sudah berkali-kali mengingatkannya agar ke dokter untuk memeriksa gangguan tidurnya itu, tapi menurut Jaemin tidak perlu. Lagipula biasanya 'gangguan' itu pasti akan hilang secepat ia datang.
Bunyi langkah kaki Jaemin menggema di lorong yang sepi, suatu hal yang cukup jarang Jaemin lihat karena lorong sekolah biasanya dipenuhi oleh siswa siswi dan juga canda tawa mereka. Menelusuri lorong sendirian terasa janggal namun menenangkan di saat yang bersamaan.
"Ah, coba saja kalau bisa bolos." Jaemin mengerucutkan bibirnya saat ia mengingat jam pelajaran Mr. Seo masih tersisa satu jam lagi. Rasa kantuknya belum juga hilang, malah bertambah karena capek bolak-balik dari kelas ke laboratorium.
Jaemin sekali lagi menghela nafas saat ia melihat kelasnya di ujung lorong. Ingin sekali rasanya ia ke UKS dan mengaku sakit hanya untuk istirahat sejenak, tetapi ia tau bahwa dokter yang berjaga hanya akan menyuruhnya mencuci muka dan kembali ke kelas. Dengan langkah kaki yang berat, Jaemin menyeret dirinya untuk kembali ke kelas.
Hanya beberapa meter dari pintu kelas, derap langkah kaki seperti drum yang datang dari belakang itu mencuri perhatiannya. Jaemin menoleh ke belakang, penasaran akan siapa yang berlari.
Ia menemukan Mark, kakak kelasnya yang selalu jadi bahan perbincangan anak-anak cewek. Rambut pirangnya berterbangan ke segala arah, dan saat mereka bertemu mata, Mark mempercepat langkahnya menuju Jaemin.
Mengikuti refleksnya, Jaemin mundur untuk memepetkan dirinya ke tembok. Kenapa dia jadi berlari kesini, sih?! Teriaknya panik dalam hati, takut jika nanti Mark terlambat nge-rem dan akhirnya tabrakan dengan Jaemin.
Untungnya Mark berhenti tepat di depannya, nafasnya memburu dan ia terlihat seperti habis berlarian selama belasan menit. "Kau pacarku," perintah Mark singkat dan ia menggenggam pergelangan tangan Jaemin kuat, menariknya dengan paksa.
Mata Jaemin membesar dua kali lipat mendengar ucapan Mark. Seenaknya saja dia bilang Jaemin itu pacarnya. Memangnya dia sudah mendekati Jaemin dengan benar? Sudah mendapat restu dari orang tua dan teman-temannya— tunggu. Mereka bahkan tidak saling mengenal! Apa apaan? Pacar?! Dia sudah gila, ya? "Sunbae, kau salah orang. Aku bukan pacarmu."
Badan mungil Jaemin mau tidak mau ikut terseret tarikan Mark. Jaemin menggerakkan tangannya, berusaha melepaskan cengkraman maut Mark namun sepertinya sia-sia saat ia melihat Mark tidak menunjukkan tanda-tanda ia akan melepaskan genggamannya.
"Sunbae, tolong lepaskan. Aku harus kembali ke kelas." Jaemin mencoba lagi, semakin panik saat ia dibawa semakin jauh dari kelas dan mulai menaiki tangga. Saat ia bilang ingin bolos tadi, yang dia maksud bukan bolos seperti ini. Apakah ia akan dipukuli? Atau— atau diambil keperjakaannya? Ya tuhan. Jaemin memucat membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin saja akan terjadi.
Menahan tangisnya, Jaemin memohon dengan lirih, "Aku minta maaf jika aku membuat kesalahan. Tolong jangan sakiti aku, Sunbae. Aku berjanji tidak—"
"Kau akan membuat kesalahan besar jika terus merengek seperti itu. Aku hanya memintamu untuk menjadi pacarku. Nanti kujelaskan," jawab Mark ketus, dan bulu-bulu halus di tengkuk Jaemin berdiri. Dingin sekali. Menuruti omongan Mark dan menutup bibirnya rapat, Jaemin membiarkan dirinya dibawa Mark— kemanapun itu.
Jaemin baru sadar bahwa ia dibawa ke atap sekolah saat Mark membuka pintu dan cahaya matahari dan udara dingin menyapanya lembut. Genggaman kasar Mark mengendur dan tangannya bergerak kebawah, menjalin jari-jari mereka jadi satu. Jaemin melihat ke tangannya yang sedang digandeng Mark dan bertanya-tanya berapa banyak anak cewek kelasnya yang rela melakukan apapun untuk berada di posisinya saat ini.
"Ini pacarku," suara Mark yang datar kembali terdengar dan Jaemin mendongak, melihat seorang gadis yang tengah berdiri dengan sebuah box merah muda berbentuk hati dengan hiasan pita putih di dekapannya. "Sudah kubilang, aku tidak bisa jadi pacarmu. Aku sudah memilikinya."
Entah kenapa, kata-kata Mark membuat telinganya terasa panas. Mungkin karena Jaemin tidak pernah membayangkan dirinya menjadi kekasih seorang Mark Lee, si pangeran dingin yang misterius. Ya, pasti karena itu. Sama sekali bukan karena Jaemin mempunyai perasaan atau apapun itu kepada Mark. Bukan.
Gadis itu terisak, wajahnya diselimuti oleh kejengkelan dan rasa malu. "Bohong. Sejak kapan kau suka laki-laki?"
Alis Mark mengerut, pandangannya tajam. "Memangnya urusanmu kalau aku menyukai laki-laki?"
"Tapi kau harusnya menjadi pacarku, banyak orang yang setuju! Apa kau tidak salah pilih?" Gadis itu bersikeras, berjalan mendekati Mark dan Jaemin.
Hei, hei. Bukankah itu sedikit berlebihan? Jaemin merasa sedikit tersinggung, meskipun dia bukan benar-benar pacar Mark. Lagipula, dia juga manusia dan dia sama-sama memiliki kesempatan untuk menjadi pacar Mark Lee (meskipun dia bukan dan bukan berarti dia mau menjadi pacarnya). Kalau dilihat-lihat, Jaemin sepertinya mengenal gadis itu. Dia yakin pernah sekali atau dua kali melihat gadis itu berbicara dengan nyaring di lorong, mencoba menarik perhatian banyak orang atau tertawa dengan nada tinggi yang dibuat-buat agar dibilang imut.
Mark mendecak, kesabarannya semakin menipis. Ia melepaskan genggaman tangannya dan merangkul leher Jaemin, mendekatkan tubuh cowok yang lebih kecil itu kearahnya. "Dia kekasihku, dan aku tidak salah pilih. Sebaiknya kau kembali ke kelas, aku sudah capek berargumen denganmu. Kau mau bukti, sudah kubawa orangnya kesini. Mau apa lagi?"
Bukannya mengalah, gadis itu malah kembali menekan Mark. "Tidak mungkin! Aku tidak pernah melihat kalian berdua dan aku yakin kalian berdua tidak saling mengenal. Jangan mencoba bohong, Mark, aku tau—"
Cowok berambut pirang itu mengumpat pelan sebelum merengkuh sosok yang lebih kecil itu sehingga Jaemin membelakangi gadis itu dan mengecup bibirnya pelan.
Karena matanya yang tertutup, Mark tidak bisa melihat bola mata Jaemin yang siap melompat keluar dari rongga matanya. Kalau seandainya momen itu digambarkan menjadi komik, pasti akan terlihat roh Jaemin yang sudah setengah jalan keluar dari tubuhnya.
Sesudah mengakhiri ciumannya, Mark menaruh dagunya di bahu Jaemin dan mengeluarkan senyuman penuh kemenangannya saat dia melihat gadis itu menjatuhkan boxnya ke tanah. "Aku sangat mengenalnya. Luar dan dalam."
Mark Lee dua ratus persen sadar bahwa kata-kata itu ambigu, sementara Jaemin tidak. Di dalam kepalanya sedang terjadi siaga satu, dan bila seandainya ada alat yang bisa melihat ke dalam pikiran Jaemin, maka akan terlihat Jaemin - Jaemin versi kecil yang sedang berlarian dengan panik karena tidak tau harus berbuat apa.
Gadis itu menginjak box nya dengan kuat dan berteriak, "Kau akan menyesal, Mark Lee!" lalu berlari pergi, isakkan tangisnya mulai terdengar.
Mark menghela nafas lega, melepaskan pelukannya dan bersender di railing. "Cih. Jadi repot kan."
Jaemin mana, kau mungkin bertanya? Jaemin masih membatu di posisi yang sama, belum bergerak satu senti pun.
Dengan malas Mark menoleh kearah Jaemin, menggeleng pelan. Jaemin terlihat seperti orang bodoh, berdiri seperti itu dengan ekspresi kosong sekaligus kaget. Kosong sekaligus kaget? Bagaimana bisa? Jangan tanya Mark, dia sendiri juga bingung.
"Siapa namamu?" Mark bertanya, menarik Jaemin dari lamunannya. Apa yang dilamunkan, Mark tidak tau.
Jaemin seperti terbangun dari mimpi saat dia menghadap Mark dengan tiba-tiba, hampir membuat Mark takut dengan gerakannya yang tajam dan cepat. "Kisseu?!"
Mark mengangkat alisnya. "Namamu 'Kisseu'? Aneh sekali."
"Bukan itu!" Jaemin berteriak, ingin menjambak rambutnya sampai botak karena frustasi. "Kau- tadi- kisseu!" Dan yak, sepertinya Jaemin kehilangan kemampuannya untuk menyusun kata-kata.
"Oh, yang tadi," jawab Mark santai. "Kenapa? Tidak suka?"
Sungguh, Jaemin sangat ingin membenturkan kepalanya ke tembok. Atau kepalanya Mark juga boleh. Pilihan kedua sepertinya lebih menggoda.
"Jangan berpikiran macam-macam, aku menciummu hanya karena aku perlu meyakinkan cewek tadi bahwa kau pacarku."
"Itu juga! Mengapa Sunbae harus berbohong dan menarikku kedalam masalah ini? Apa susahnya jujur dan bilang Sunbae memang tidak menyukainya?" Jaemin mengomel. Jujur, perasaan Jaemin memang tercampur aduk— semuanya terjadi begitu cepat untuk diproses otak Jaemin yang kapasitasnya tidak terlalu besar. Alhasil, dia meletup-letup seperti ini, lupa akan fakta bahwa orang yang sedang dia omeli itu seniornya.
Ia menatap Jaemin lekat-lekat, membuat Jaemin sedikit menciut. "Aku sudah menolaknya sebanyak lima kali. Dan jika kubilang aku tidak menyukainya, dia pasti akan membalasnya dengan 'aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku'. Membuatku mual."
Jaemin terdiam, rasa bersalah dan takut perlahan mulai mengambil alih. "Tapi dia pasti akan bilang ke orang-orang bahwa kita berpacaran."
"Lalu?"
Oke, Jaemin tidak tau Mark mencoba berlagak lugu atau dia memang tidak mengerti keadaan. "Jika kau lupa, kita tidak berpacaran."
"Biarkan mereka berpikir kita berpacaran. Aku tidak peduli asal cewek itu tidak mengganguku lagi." Mark membaringkan tubuhnya di lantai, menaruh kedua tangannya di belakang kepala dan mulai menutup matanya.
Jaemin tarik kembali perasannya. Dia sama sekali tidak merasa bersalah atau takut kepada kakak kelasnya yang egois ini. "Ya sudah, pokoknya kita tidak berpacaran. Aku tidak bertanggung jawab kalau nanti ada yang bertanya kepadaku dan kujawab dengan jujur." Dengan itu, Jaemin memutar tubuhnya berjalan ke pintu keluar menuju tangga, meninggalkan Mark yang berbaring dengan senyuman tipis di wajahnya.
"Keras kepala sekali sih, Na Jaemin."
.
.
.
.
.
.
"Jaemin," sebuah tangan mendarat di pundaknya, meremas pelan. "Kau sakit? Mau aku temani ke UKS?"
Cowok mungil bermata besar itu masih menyenderkan pipinya di mejanya, sama sekali tidak berusaha untuk bangkit dan menjawab pertanyaan sahabatnya. Sebentar lagi bel pulang sekolah berbunyi, dan ia ingin menggunakan kesempatan ini untuk meratapi nasibnya yang hari ini begitu buruk. "Tidak, aku tidak sakit."
"Terus kau kenapa? Loyo begitu. Apa ensiklopedianya sangat sangat berat?"
Jaemin menutup matanya, menarik nafas dalam-dalam untuk yang kesekian kalinya hari itu. Ia merasa seakan alam semesta bersekongkol untuk membuat hidupnya ekstra sulit hari ini. Kalau ia pikir-pikir, Jaemin juga tidak mengerti apa yang membuatnya begitu gusar. Apa karena Mark tiba-tiba melibatkan dirinya dalam masalah pribadi yang seharusnya Jaemin tidak tau dan tidak peduli, atau karena kakak kelasnya itu mencuri sebuah ciuman dari bibir sucinya?
Tak bisakah Mark mencari jalan lain untuk meyakinkan gadis itu bahwa mereka berkencan?
Tidak tau ah. Masa bodo. Jaemin mendengus sebal. "Mark Lee sudah gila." Ia tidak sudi memanggil Mark dengan embel-embel 'Sunbae' atau apapun itu. Orangnya juga tidak ada disini, Jaemin bisa memanggil Mark apapun yang dia mau.
"Mark Lee? Mark Sunbaenim?" kebingungan Jeno terdengar jelas di telinga Jaemin. Ia mengangguk. "Memangnya ada apa dengan Mark Sunbaenim?"
"Dia itu bodoh. Menyebalkan. Sombong." Jaemin membalik kepalanya sehingga ia masih menyender di meja tetapi sekarang posisinya menghadap Jeno. "Aku tidak mengerti mengapa cewek-cewek cinta mati padanya. Padahal kalau diperhatikan, tidak ada yang spesial darinya."
"Dia tampan."
"Kau juga tampan. Lebih tampan bahkan." Sebenarnya Jaemin belum memutuskan siapa yang lebih tampan, Mark atau Jeno. Ia juga belum pernah berada di situasi dimana ia harus memilih antara Mark atau Jeno. Tetapi untuk saat itu, Jeno jauh lebih tampan baginya. Dan ia yakin itu tidak akan berubah.
"Bicara apa sih," Jeno terkekeh, menjentik kening Jaemin. Ia menghiraukan protesan Jaemin dan meneruskan omongannya. "Kudengar dia pintar membuat rap dan pandai menari dan bermain musik. Suaranya juga bagus. Mark Sunbaenim juga datang dari keluarga kaya. Dia seperti seorang pangeran."
Wajah Jaemin yang tadinya sudah jengkel malah makin menjadi-jadi mendengar sahabatnya itu memuji Mark. Jaemin memeluk lengan Jeno manja, berharap agar Jeno berhenti. "Tidak peduli. Kalau ada pangeran macam dia, kuyakin kerajaan itu akan hancur dalam hitungan hari akibat perilaku buruknya."
Jeno mengelus rambut cokelat milik Jaemin sambil tersenyum simpul, "Kau ini kenapa sih. Tadi marah-marah, sekarang malah seperti ini."
Jaemin duduk tegak, menggembungkan pipinya. "Jadi kau lebih suka melihatku sedang badmood?"
"Tentu tidak. Selama kau senang, aku pasti senang."
"Mau tau caranya supaya aku makin senang?"
"Apa?"
"Traktir aku es krim pulang sekolah nanti," Jaemin tersenyum lebar dan Jeno menyipitkan mata kecilnya karena ia bersumpah terkadang senyum Jaemin dapat membuatnya buta karena terlalu terang. "Ya? Boleh ya?"
Jeno mengangguk dan ia dihadiahi oleh Jaemin dengan sebuah pelukan erat. "Nice! Jeno memang yang paling baik."
"Hanya paling baik?" Ia mengangkat alisnya, memancing Jaemin untuk pujian.
"Paling tampan juga, hehe." Jaemin memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi ke Jeno, merasa puas ketika Jeno membalasnya dengan ekspresi yang sama.
Saat suara bel yang nyaring memenuhi gedung sekolah, siswa siswi bangkit dari tempat duduk mereka masing-masing dan keluar dari ruang kelas, berhamburan ke lorong sekolah. Jaemin benci kerumunan orang dan tempat-tempat yang sempit dimana ia harus berdesak-desakkan, maka ia memilih untuk menunggu sebentar sebelum keluar kelas. Ia tidak klaustrophobia, tetapi ia sebisa mungkin menghindari tempat ramai. Badannya yang mungil juga menjadi salah satu faktor yang mendukung ketidaksukaannya terhadap tempat ramai, karena mudah sekali bagi orang-orang untuk menggencetnya.
Jaemin membiarkan Jeno jalan di depannya, sebuah kebiasaan yang dimulai sejak Jeno tau bahwa Jaemin tidak suka tempat ramai. Walaupun tinggi mereka tidak terlalu jauh berbeda, tetapi bahu Jeno yang lebih lebar dan kakinya yang panjang menjadikannya semacam tembok pertahanan Jaemin.
Cowok yang berjalan di belakang melihat ke depan, dan rambut cokelat muda Jeno memenuhi pandangannya, membuat hatinya sedikit bergejolak. Woah, apa itu tadi? Tanya Jaemin dalam hati. Gara-gara Mark sialan itu aku jadi sering deg-degan begini. Berusaha mengalihkan perhatiannya, Jaemin bertanya-tanya apa Jeno bertambah tinggi lagi, karena seingat Jaemin, sahabatnya itu tidak setinggi yang sekarang.
"Jeno, kau tambah—"
"Oi, kerdil!"
Jaemin menoleh kebelakang, ke arah datangnya suara itu. Dia merasa terpanggil karena pertama, suara itu datang dari arah belakang dan kedua, tubuhnya itu... erm. bisa dibilang kecil untuk ukuran cowok, dan dia juga tidak terlalu tinggi.
Jeno juga menoleh. Bukan, bukan karena dia merasa terpanggil. Tapi karena kaget. Suaranya lantang sekali sih, jadi wajar Jeno dan beberapa murid lain yang ada di lorong ikut menoleh.
Saat Jaemin melihat siapa yang berteriak, hatinya jatuh ke tanah.
Orang itu berjalan cepat kearahnya. Dalam hitungan detik dia sudah berdiri di hadapan Jaemin, wajahnya merah dan asap hijau keluar dari hidungnya.
"Kau pacarnya Mark?" Cewek itu bertanya, tetapi lebih terdengar seperti tuntutan.
Jeno langsung melempar pandangan ke Jaemin dan ikut bertanya, "Kau berpacaran dengan Mark sunbaenim?"
Jaemin merasa seperti ikan di daratan, menggelepar kekurangan oksigen. Mulutnya membuka dan menutup kebingungan, kata-kata tertahan di tenggorokannya.
Ia tau cepat atau lambat cewek itu akan bertanya kepadanya, tetapi ia tidak menyangka akan secepat ini, dan di depan banyak orang. Bisikkan yang ada disekitarnya mulai memenuhi Jaemin, mengikat kedua paru-parunya.
Dan kalau boleh jujur, ia takut akan cewek yang berdiri di depannya. Walaupun cantik, pandangannya sadis. Cewek itu terlihat seperti tipe cewek yang mau melakukan apa saja untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan, dan saat ini sesuatu yang dia inginkan adalah Mark, dan penghalangnya adalah Jaemin.
"T-tidak, Sunbaenim. Aku bukan—"
Sebuah lengan merangkulnya dari samping dan sebuah kecupan singkat mendarat di pipinya. Dalam sekejap, Jaemin menemukan dirinya bernafas kembali. "Disini kau rupanya. Aku dari tadi mencarimu, babe."
Dia kenal suara itu.
Si biang kerok.
Mata Jeno yang tadinya sipit mendadak jadi belo, dan mata Jaemin yang sudah belo malah jadi lebih belo.
Oh shit.
.
.
.
.
.
.
A/N: Taraa, fanfic baru! maaf buat yang nungguin sequel Snow White, aku belum ada ide ; - ; berhubung aku suka banget sama fake dating au, jadilah fanfic ini! bakal ada nomin nya juga ya, soalnya aku liat mereka berdua tuh ttm-an yang sama-sama baper tapi nggak berani bilang. karakternya mark memang melenceng dari sifat aslinya dia, tapi kalo yang lain bakal aku bikin semirip mungkin sama yang asli. gatau kenapa suka banget sama mark yang pendiem tapi bad boy gitu huhu. btw, kasian ya jaemin, bentar lagi tingginya kesusul jisung. aku juga belum tau karakter ceweknya bakal diperanin sama siapa, kalau ada ide boleh saran~ semoga suka bacanya ya! jangan lupa r&r and see you on the next chapter~
.
.
.
