Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Plot/story © toothyberries

.

.

.

VANILLA
(And The Tender Love It Owns)

.

.

.

Terimakasih untuk beta reader yang paling keren seantero dunia fanfiksi, shrinkingscore105!

.

.

.

(Pacaran dengan Tetsu-kun itu, seperti vanilla—)

-:-

Kata orang, Tetsu-kun itu membosankan. Plain. Tidak menonjol. Ah, bahkan untuk terlihat saja sulit baginya.

Tetsu-kun memang biasa saja. Tidak punya hal mencolok yang bisa langsung menarik perhatian seperti anggota Generation of Miracles lainnya. Wajahnya memang lumayan imut, tapi tak cukup imut untuk bisa dikomersilkan seperti Ki-chan. Tinggi badannya biasa saja, sama seperti siswa SMA pada umumnya, tidak menjulang seperti Murasakibara-kun atau bahkan sedikit lebih atletis seperti Dai-chan. Ia juga tidak seunik Midorima-kun atau sememesona Akashi-kun. Kemampuannya dalam basket memang keren, nyaris sama ajaibnya dengan para jenius yang lain, tapi, yah—rasanya tidak bisa berharap jadi menonjol dengan gelar The Phantom Sixth Man.

Intinya, Tetsu-kun itu benar-benar... vanilla.

Satsuki lupa kapan ia mengenal kata vanilla untuk digunakan dalam mendeskripsikan orang dan bukannya es krim, tapi intinya ia mengerti seratus persen makna kata tersebut. Vanilla itu polos, tidak variatif. Meski tergolong sebagai perintis rasa-rasa yang lain, cukup sering orang menjadikan vanilla sebagai pilihan kesekian.

Satsuki juga tidak akan mengelak, sih. Pacaran dengan Tetsu-kun memang begitu adanya. Hari Sabtu paling-paling ke bioskop, lalu makan siang di Maji Burger. Minggunya piknik di taman, mengobrol tentang sekolah—atau apapun sebenarnya, tergantung Satsuki. Tidak ada hal-hal yang... menggebu-gebu, meledak-ledak, membuat hati berdebar. Biasa saja.

"Satsuki-san?"

Dalam mata beriris pink yang mengerjap kemudian, Satsuki melihat Tetsu-kun; duduk di hadapannya, balas menatap. Helai rambutnya yang menyamai warna langit—biru, biru muda yang cantik, lembut, dan sangat vanilla—bertiup bersama angin, diiringi gemerisik daun di pohon yang menjulang di atas mereka. Oh, ya—Satsuki nyaris lupa. Mereka, 'kan, sedang berkencan, dengan bekal makanan enak buatan Tetsu-kun, mengingat Satsuki akan menghancurkan dapur jika dia berniat memasak.

Sembari menyelipkan seuntai rambut merah jambu ke belakang telinga, Satsuki tersenyum malu. "Ah, ya, maaf, Tetsu-kun. Sampai mana tadi?"

"Sampai Satsuki-san rebutan tempat duduk dengan Aomine-kun. Ada apa, Satsuki-san? Tidak biasanya Satsuki -san berhenti di tengah cerita," Tetsu-kun berujar, masih dengan tatapan matanya yang lembut itu.

Pelan-pelan, ujung bibir Satsuki terangkat. Ternyata Tetsu-kun benar-benar mendengarkan lantunan suaranya nonstop dari tadi, sungguh tidak disangka. Kalau dia Dai-chan, sudah dari entah kapan Satsuki disuruh diam.

"Satsuki -san?" Pacarnya memanggil sekali lagi, sekali lagi membuat Satsuki melebarkan senyumnya.

Ia tak segera menjawab. Sepasang matanya memperhatikan sosok di hadapannya. Tetsu-kun, pacarnya, yang sangat baik, sangat pengertian. Masa bodoh dengan orang-orang yang bilang ia terlalu pendiam, ia terlalu plain, ia terlalu membosankan, apapunlah. Untuk Satsuki, begini juga sudah cukup.

Ketika akhirnya ia menyahut, Satsuki tertawa. "Maaf, Tetsu-kun. Aku tadi… sempat kepikiran beberapa hal."

"Aku sama sekali tak keberatan untuk mendengarkan lebih banyak, kok, jika Satsuki-san berkenan," ujar Tetsu-kun, tersenyum tipis.

Ucapan Tetsu -kun itu lagi-lagi mengundang tawa dari Satsuki. Ah, Tetsu-kun ini, sudah berstatus sebagai pacar saja masih formal sekali bahasa yang digunakan.

"Iya, Tetsu-kun, jadi begini. Teman-teman sekelasku itu banyak yang mengatakan kalau aku—"

"Ah, sebentar, Satsuki-san."

Satsuki kembali mengerjapkan matanya, bingung, karena sejujurnya—jarang sekali Tetsu-kun memotong pembicaraannya. Ia menutup mulut, menunggu perihal yang akan dikatakan pacarnya itu—yang anehnya malah membalikkan tubuhnya daripada berbicara.

"Tetsu-kun ada ap—"

Kata-katanya terhenti ketika Satsuki merasakan hangat di wajahnya—jemari Tetsu-kun menyentuh pipinya, bergeser ke helai rambutnya, diikuti dengan goresan benda asing di antara telinganya. Terkejut, Satsuki membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, namun suaranya membisu.

"Maaf, Satsuki-san. Bunganya indah, jadi kupikir akan cocok dengan Satsuki-san. Dan memang cocok sekali," ujar Tetsu-kun.

Satsuki terpana. Sedetik kemudian, hangat di pipinya bertambah. Dan bukan lagi karena sentuhan jari Tetsu-kun di sana. Apa-apaan, Tetsu-kun, tidak adil! Kenapa tiba-tiba menyerang begitu tanpa pemberitahuan? Dengan wajah serius pula!

Dua detik kemudian hanya ada keheningan, hembusan pelan angin, sudut bibir Tetsu-kun yang membentuk senyuman kecil, dan Satsuki yang masih merona.

Kemudian Satsuki tersadar. Ia menyentuh bunga di telinganya itu dengan malu-malu, membiarkan rasa panas di pipinya memudar dan air mata di bola matanya menguap. "A-ah,Tetsu-kun bisa saja!" ia menundukkan wajahnya malu-malu.

Ketika ia tersadar, Satsuki mengangkat sebelah tangan, meraba tekstur bunga di telinganya dengan ragu, perlahan mengendalikan kembali rasa panas di pipinya dan rasa basah di bola matanya.

"A-ah, Tetsu-kun, bisa saja!" Ia menundukkan wajah, namun masih sempat menangkap lengkung bibir Tetsu-kun yang semakin naik. Satsuki juga tersenyum, sedikit lebih tenang sekarang karena hatinya berkata, tak mengapa.

Ya, tak mengapa bila orang bilang pacaran dengan Tetsu-kun itu terlalu vanilla. Biar saja. Lagipula, vanilla toh tak kalah manis dengan rasa yang lain.

(Mungkin malah yang paling manis.)

.

.

.

(—seperti Tetsu-kun, iya, 'kan?)