Di atap, hari-hari sebelum Shintarou sepenuhnya menutup diri dari dunia, ia akan mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan membuat halo matahari membayang dari membutakan matanya. Hingga sore hari, saat langit biru itu dipecah semerbak senja yang menembus dadanya, dan membayangkan hal-hal seperti ini: Ayano berdiri di pinggir pagar itu dan Ayano melihat pemandangan ini. Ayano memanjat dan melepaskan jemarinya yang kurus dan membiarkan dirinya dihempas gravitasi.
Lepas, dan jatuh dari langit.
Mungkin ia memang pengecut.
Pengecut, dan hipokrit. Tidak ada kepuasan dari torehan tinta merah di kertas ujian yang bisa berarti segalanya bagi Ayano, dan ia juga telah egois, egois tidak pernah berusaha lebih bagi Ayano. Dan kini, Shintaro hanya mampu termenung dibawah payung langit sore dan warnanya yang menoreh oranye di atas biru.
Kertas yang dilipat, sentuhan terakhir Ayano di dunia ini pada lembar ujian munafiknya, ia pegang dengan hati-hati.
Shintaro takut jika pemandangan yang dihadapinya bila ia memanjat nanti akan mengundangnya; membangkitkan bayang-bayang senyum Ayano yang terbenam di pelupuk matanya hingga ia ingin melepaskan diri dan ikut jatuh bersamanya (toh dunia ini membosankan, bukan?). Tentang: pipi Ayano yang memerah saat ia tersenyum dengan manis (mengapamengapamengapa ia harus pergi bukannya ia dulu pernah bahagia di sini?), yang mungkin cukup untuk membuat Shintaro melepaskan pegangannya pada teralis besi itu dan melompat ke bawah. Dirinya akan melayang sedemikian rupa dengan percepatan gravitasi sebelum momentum meremukkan dirinya ke bawah, dan ia mati.
Tapi Shintaro takut, takut akan semua itu dan takut membayangkan bagaimana syal Ayano terbang ke angkasa seperti merah, merah langit ini, ketika ia mengucapkan selamat tinggal pada dunia dan menutup lembaran masa depannya. Semua hal ini bertumbukan dengan Shintarou dalam rasa bersalah dan ribuan aku seharusnya bisa melakukan sesuatu untuknya.
Suatu kali ia pernah melihat retakan di sekujur eksistensi Ayano, menganga di hadapannya lewat titik-titik air mata yang kering, dan berbekas di senyumnya yang sedikit pedih. Seharusnya Shintaro pernah berbuat lebih. Ia tidak bisa- mengkalkulasikan apa dan bagaimana karena waktu tak pernah mundur satu langkah saja, dan kini, semuanya telah terlambat hanya karena ia memalingkan mata dan pura-pura buta. Nama Ayano tercekik di lehernya dan merembes seperti pasir dari genggamannya, dibawa angin, seolah ia tidak pernah ada.
Untuk mengenang semua ini, Shintaro menengguk semua rasa bersalah, dan hidup satu hari lagi.
