Kuroko no Basuke milik Fujimaki Tadatoshi.
.
.
.
SPLINTER
oleh dimlightcious
.
.
.
"Kenapa kau suka basket, Aomine?"
Deja vu.
Tangan terhenti di udara. Pandangan beralih, kemana saja, asal bukan pada benda bulat oranye yang menjadi objek pertanyaan di tangannya, juga bukan pada satu-satunya pemuda yang pernah mengalahkannya–dan akhirnya dia memutuskan untuk menatap angkasa. Warna kuning, oranye, dan merah bergradasi di atas Barat kota, membawa nuansa nostalgia dan suara tawa samar yang berkumandang jauh ditelan gulungan masa.
Aah, dia pernah mendengar pertanyaan seperti itu.
Ralat, sering–terlalu sering. Dari kerabat, teman, sahabat, wartawan–siapa saja. Dia ingat, ada saat dimana dia menjawab penuh semangat, mata berkilat, serta suara yang mantap–namun sayang jawabannya telah lama dia lupakan. Dia ingat, ada saat dimana dia menjawab dengan angkatan bahu, mata sayu, dan suara tak menggebu. Jawabannya adalah, "Entahlah. Aku hanya melakukannya setiap hari sejak dulu." Lalu, belakangan, apalagi ketika pertanyaan ini entah mengapa menjadi topik yang sedikit sensitif baginya, dia hanya mendengus, sorot mata mati dan semangat yang rasanya tak akan pernah menyala lagi. Yang ada di kepalanya hanya bosan, bosan, dan berhenti. Dia ingin berhenti, agar kebosanan ini tidak mencekiknya setiap hari, agar tidak perlu menghadapi pemandangan yang sama lagi–musuh tak bernyali, dan kemenangan pasti. Jawabannya tidak ada, bahkan dia bertanya-tanya apakah kata 'basket' dan 'suka' masih bisa disatukan dalam kamusnya. Semuanya berubah.
Tapi, langit yang dia tatap sekarang tidak banyak berbeda dengan apa yang ada dalam ingatannya. Langit yang sama yang memayunginya ketika menjalani hari-hari gila basket bersama kawan-kawannya semasa SMP. Itu adalah wadah yang memberinya tempat untuk terbang setinggi yang dia mau namun juga menendangnya jatuh tanpa ampun.
Dia sering memimpikan tentang hari-hari itu, yang pernah berarti segalanya; dimana semangatnya meletup-letup bagai gunung berapi, dimana pemandangan di matanya tidak sekelabu ini.
Hari-hari yang tak pernah kembali.
Namun, saat dia mengingat kembali hari-hari tersebut, seolah-olah itu adalah ingatan milik orang lain yang ditanamkan ke otaknya. Dia tak bisa memanggil kembali semangat hidup yang dia rasakan saat itu. Jauh, ingatan yang sangat jauh.
Dan dia berhenti memimpikannya kemudian, tak pernah menengok ke belakang punggungnya lagi.
"... Mana kutahu, Bodoh."
Jari-jemari kasar mencengkeram bola basket lebih erat.
Aomine hanya tahu dia pernah menyukai basket. Dan dia tidak perlu mencari alasan mengapa di setiap pagi kala dia membuka mata, ada dorongan kuat untuk meraih ke sisi tempat tidur dimana benda oranye itu berada dan memainkannya di tempat terbuka.
Mungkin basket itu sama seperti Satsuki yang terus berkeliaran seperti parasit di sekitarnya, atau seperti oksigen yang dia hirup setiap hari. Dia terlalu terbiasa sehingga dia lupa bahwa mereka ada.
"Hah?" Sepasang alis ganda berkerut. "Ahomine."
Dengusan lolos dari hidungnya.
"Daripada bertanya tidak jelas seperti itu, sini lawan aku. Skormu masih jauh, tahu."
Omelan yang datang setelahnya membawa seringai di bibir Aomine.
Basket tidak pernah berubah, langit pun juga. Dialah yang berubah.
Aomine tahu dan selama dia masih bisa bermain basket sesuka hatinya, itu sudah cukup.
.
.
.
... end.
Note: OWOH. INI APAAN.
Note: Parah. Total parah. Drabble nonsens apalagi ini. Hentikan kegalauan saya dengan melempar sedekah review hauhauhau. Aomine nangis di chapter terbaru, gays. Saya sendiri udah berhenti ngikutin chapter terbarunya, just wake me up when KnB ends coz I can't stand too much dramas. OTL
