Yo, Kei is back. Kali ini, mumpung ada sarana dan mood buat ngetik, Kei putuskan untuk ngetik cerita ini. Ok, ini cerita lama sebenernya, tapi yah itu tadi, MUMPUNG ada mood buat nglanjutin, kenapa nggak? Gak banyak bicara lagi, langsung aja, ^^
.
.
.
Happy Read
Tittle : Kupu-kupu kertas pembawa pesan
Warning : KaitoLuka, Death chara, Typo,
Declaimer : Vocaloid milik Yamaha dan pengembangnya, yang penulis miliki hanya cerita sederhana yang meminjam beberapa karakternya saja.
Note,
"Abc" : Percakapan biasa
'Abc' (Petik satu) : Perkataan dalam hati, percakapan tak langsung (Dari TV, HP, Radio, Dll)
.
.
.
"Kau mau kemana, kak? Rumah sakit?" tanya seorang pria berambut merah muda pada seorang gadis berambut merah muda yang berjalan melewati ruang tamu.
"Iya," jawab si gadis tanpa menengok.
"Hati-hati di jalan," pesan si pria.
Gadis itu mengangguk,"Aku berangkat," pamit si gadis sebelum menutup pintu rumahnya.
Dia adalah Luka, Megurine Luka sedangkan pria tadi adalah adiknya, Luki. Luka adalah seorang gadis biasa berumur 19 tahun yang baru saja menyelesaikan masa belajarnya di SMA. Dia berasal dari keluarga yang tidak akur.
Beberapa hari yang lalu, ayah dan ibunya bertengkar. Ayahnya mengamuk dan memukul ibunya dengan botol sehingga dia harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari, sedangkan ayahnya tak pernah pulang lagi kerumah. Karena itulah selama beberapa hari terakhir dia sering mengunjungi rumah sakit untuk menengok ibunya.
"Ara Luka-chan, mau ke rumah sakit?" tanya seorang wanita paruh baya berambut coklat.
"Oh Meiko-san, ya aku mau menjenguk Ibu."
"Baiklah kalau begitu, hati-hatilah dijalan, salam untuk ibumu ya," ucap Meiko sambil berlalu.
"Tentu Meiko-san," jawab Luka. Tak membutuhkan waktu lama bagi Luka untuk sampai di rumah sakit karena jaraknya yang tak terlalu jauh dari rumahnya.
"Ibu, aku masuk,'' ucap Luka sambil membuka pintu kamar di mana ibunya dirawat.
"Luka, kenapa kau datang?" Mizki ibunya menampakkan wajah heran.
"Tentu saja untuk menemani Ibu bukan? Bagaimana keadaan Ibu?" Luka tersenyum lembut.
"Sudah lebih baik, kau tak kesekolah?"
"Aku sudah selesai Ibu, tinggal menunggu hasil pengumuman."
"Benar juga ya, bagaimana dengan Luki? Kau tak mengajaknya?"
"Dia bilang ada hal yang harus dia kerjakan."
"Oh,begitu.."
Setelah cukup lama mereka berbincang, tiba-tiba seorang dokter masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Saatnya pemeriksaan rutin, Megurine-san,"ucap sang dokter.
"Ibu, kurasa aku akan berjalan-jalan sebentar," pamit Luka.
"Baiklah, hati-hati," jawab sang ibu. Luka segera keluar dari ruangan tersebut.
Karena bingung akan kemana, Luka memutuskan untuk pergi ke atap rumah sakit. Setelah sampai, Luka hanya duduk di sebuah bangku yang ada. Tak ada siapapun disana, yang ada hanyalah beberapa buah sprei yang dijemur dan beberapa buah bangku panjang. Matanya menerawang ke sekeliling tempat tersebut, kemudian matanya tertuju pada satu arah.
Terlihat seorang pria yang sedang duduk pada salah satu bangku yang ada. Rambutnya berwarna biru, sebuah syal berwarna senada dengan rambutnya terlilit di lehernya—tampak sedang membuat sesuatu dengan kertas ditangannya.
Cukup lama Luka memperhatikan pria itu. Pria itu terlihat sedih, walaupun seulas senyuan tipis terlukis di wajahnya, tak diragukan sebuah ekspresi tertekan tergambar jelas pada raut mukanya.
Tiba-tiba seorang perawat mendekati pria itu dan mengatakan sesuatu -mungkin soal pemeriksaan atau semacamnya. pria itu menagangguk, kemudian bangkit dan meletakkan kertas yang ada di tangannya ke bangku. Ia berjalan masuk kedalam bangunan rumah sakit melalui pintu yang lain. Karena penasaran, Luka medekati bangku tempat pria tadi duduk dan disana dia menemukan sebuah origami berbentuk kupu-kupu berwarna biru.
"Lucu sekali," komentar Luka. Dia memutuskan untuk membawa origami yang dianggapnya menarik tersebut. Kemudian kembali ke kamar ibunya.
'Kira-kira pria tadi siapa ya?' batin Luka. Tak sengaja dia melihat pria tadi sedang berjalan di koridor dan masuk ke sebuah kamar
"Apa dia pasien disini?" Gumam Luka sambil meneruskan jalannya. Ketika melewati kamar tempat pria tadi masuk, Luka melihat papan nama yang ada di samping pintu kamar tersebut.
"Shion... Kaito..."
Hari ini Luka kembali ke rumah sakit. Disamping untuk menemani ibunya, Luka juga penasaran dengan pria kemarin yang kelihatannya bernama Shion Kaito. Untuk itu, Luka pergi ke atap dengan harapan pria kemarin juga ada disana.
Namun hasilnya nihil, yang ada hanya seorang perawat yang sedang menjemur beberapa buah sprei. Luka berjalan menuju bangku tempat pria itu kemarin lalu mendudukinya.
"Mungkin dia hanya menjenguk keluarga atau temannya saja," gumamnya dengan nada kecewa."Hhhhhhh..." Tanpa sadar dia menghela nafas.
"Sedang ada masalah?" Tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari belakang Luka hingga membuat Luka terlonjak karena terkejut. Rupanya Luka sedang beruntung—pria tersebut adalah pria yang kemarin. Berambut biru, menggunakan syal dengan warna senada, juga mempunyai iris berwarna deep blue yang menawan.
"Ah, maaf jika aku mengagetkanmu." Ucapannya membuat Luka tersadar dari lamunannya.
"A-Ah, ti-tidak masalah," jawab Luka gugup sambil menundukkan kepalanya.
"Boleh aku duduk?" tanya pria itu. Luka masih tetap menunduk,"Silahkan."
"Jadi, kau sedang ada masalah?" tanya pria itu dengan nada ramah.
"..." Luka tak memberikan jawaban.
"Ah, maaf aku tak bermaksud menyinggungmu," ucap sang lelaki dengan cepat melihat reaksi Luka.
"Hn, bukan apa-apa kok," kata Luka kemudian.
"Kau tau? Ini adalah tempat favoritku," ucapnya sambil mengeluarkan secarik kertas origami yang sewarna dengan rambut Luka.
"Kenapa?" tanya Luka.
"Bukan apa-apa, hanya saja aku suka melihat langi dari sini. Akan lebih baik jika melihat langit sambil tiduran di rumput, tapi jika aku melakukannya di taman Rumah sakit aku akan dianggap aneh, bukan?" jelasnya sambil tertawa. Luka ikut tertawa pelan.
"Kau suka origami ya?" Luka memperhatikan tangan pria itu yang tampak begitu terampil melipat kertas origami.
"Begitulah, apalagi bentuk ini," jawabnya sambil memperlihatkan origami yang sudah jadi di tangannya—bentuk kupu-kupu.
"Lucu. Ah, ini milikmu?" Luka mengeluarkan origami kupu-kupu berwarna biru yang kemarin dia ambil.
"Jika kau mau, buatmu saja. Ah—aku harus kembali. Jaa!" Pria itu berdiri dan berjalan mendekati pintu.
"Teima kasih, emm.." Luka agak ragu untuk mengatakan nama 'Shion Kaito' pada pria itu.
"Shion Kaito. Panggil saja aku Kaito, aku di kamar no. 197 jika kau membutuhkanku. Jaa na," katanya sambil menutup pintu
"Ah..." Luka hendak menjawab, tapi pintu sudah terlanjur tertutup. 'Aku belum mengatakan namaku...' batinnya.
"Sudahlah," gumamnya sembari bangkit dan kembali ke kamar ibunya.
"Nee Ibu, apa Ibu tau pasien penghuni kamar 197?" tanya Luka pada ibunya.
"Emmm, maksudmu Kaito-kun? Memangnya ada apa?" tanya Mizki.
"Bukan apa-apa, hanya bertanya," jawab Luka.
"Kau bertemu dengannya?"
"Iya, tadi sewaktu aku sedang diatap."
"Dia memang suka disana."
"Begitu ya, memang dia sakit apa?"
"Entahlah, dia bilang hanya sakit biasa. Ara, apa kau suka dengannya?" goda Mizki.
Wajah Luka otomatis memerah,"Bukan begitu! A-aku hanya penasaran saja," Luka langsung membantah.
"Tak apa, lagipula dia pria yang baik, bahkan pada orang yang belum dikenalnya. Terkadang dia kemari untuk sekedar berbincang," jelas Mizki sambil tersenyum.
Tiba-tiba seorang pria memasuki ruangan itu,"Bibi, aku masuk," katanya sambil membuka pintu.
"Ara, Kaito-kun, masuklah, kami baru saja membicarakanmu," sambut Mizki dengan ramah.
9
Mata Kaito tertuju pada Luka,"Ah, kau yang tadi," kata Kaito padanya.
"Dia putriku, Kaito-kun," Mizki menjelaskan.
"Namaku Megurine Luka, maaf baru memperkenalkan diri," Akhirnya Luka mendapat kesempatan untuk mengenalkan diri.
"Tak apa Luka, lagipula tadi salahku karena langsung pergi."
"Ngomong-ngomong ada apa, Kaito-kun?" Mizki memotong percakapan di antara mereka berdua.
"Aku hanya rindu pada Bibi saja, kau akan segera pulang bukan?"
"Ya, mungkin lusa."
Luka memandang Kaito dengan penasaran,"Kalau kau kapan, Kaito?"
"Mungkin dalam waktu dekat ini. Eh, kau tidak sekolah, Luka?"
"Aku sudah lulus," jawab Luka.
Percakapan itu berlanjut hingga sore saat Luka harus pulang. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin Luka tanyakan, namun waktu yang membatasi.
Sejak saat itu, Luka selalu menemui Kaito di atap rumah sakit. Terkadang mereka membiacarakan tentang Luka, kadang tentang Kaito, atau bahkan terkadang tak membicarakan apapun. Aneh, ya Luka menyadarinya, tapi entah kenapa baginya waktu bersama Kaito begitu menenangkan. Seperti hari ini, mereka saling diam di atap rumah sakit. Tampak Kaito sedang membuat origami kupu-kupu sedangkan Luka memperhatikannya dengan serius.
"Kaito," Luka memecahkan keheningan.
"Ya?" jawab Kaito tanpa memalingkan wajah atau menghentikan kegiatannya.
"Aku penasaran sejak dulu, kenapa kau suka sekali membuat origami kupu-kupu?" Luka mengutarakan rasa penasarannya.
Kaito tersenyum tipis,"Kenapa? Aneh ya?"
"Bu-bukannya begitu…"
"Tak apa, kau bisa menyebutnya begitu. Jadi? Kenapa?"
"Hmmm, kenapa ya?" Luka sendiri tidak tahu kenapa. Ia hanya penasaran karena Kaito tak pernah lepas dari kegiatan membuat origami kupu-kupu.
Kaito terdiam sejenak,"Mungkin karena aku ingin seperti kupu-kupu." jawabnya kemudian.
"Maksudnya?" Luka memandangnya tidak mengerti.
"Kau tau kupu-kupu sebelum mereka menjadi kupu-kupu?"
"Ulat?"
"Yup, buruk bukan?$" Dengan ragu Luka mengangguk mengiyakan," seperti aku yang dulu," Ucap Kaito pelan, nyaris seperti berbisik.
"Kau yang dulu?" Luka masih belum mengerti dengan penjelasan Kaito yang tidak jelas.
"Sudahlah, ayo masuk, disini semakin dingin," ajak Kaito karena hari yang mulai gelap.
"Hn," Luka mengikuti langkah Kaito dengan wajah yang menunjukkan rasa penasaran sekaligus kecewa karena tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Merekapun kembali ke kamar Mizki dalam diam.
"Jadi, besok kau sudah pulang, Bibi?" tanya Kaito pada Mizki.
Mizki mengangguk,"Begitulah, kau juga segeralah sembuh Kaito-kun."
"Ahaha, tentu saja, tapi kurasa aku mulai betah disini."
"Ya, aku tau. Perawat yang ada disini memang cantik" canda Mizki
"Begitulah. Apalagi yang datang untuk pemeriksaan siang, yang berambut pirang, dia sangat mempesona," Balas Kaito. Luka menatapnya heran, apakah Mizki dan Kaito sellalu seperti itu saat mengobrol?.
"Jadi kau mau disini terus?" sahut Luka.
"Eh? Bukan begitu juga."
"Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu," pamit Luka.
"Hati-hati dijalan," pesan Kaito dan Mizki bersamaan. Luka hanya membalas dengan sebuah senyuman tipis lalu keluar dari ruangan tersebut.
.
"Aku pulang," kata Luka ketika sampai di rumahnya. Tampak Luki muncul dari sebuah ruangan.
"Selamat datang, tumben kau pulang selarut ini, Kak?" tanya Luki.
"Um, hanya terlalu asyik saja,"Luka mengambil minuman dari dalam kulkas.
"Ohh, apakah dia tampan?" goda Luki yang membuat Luka langsung tersedak,"Uhuk! A-apa maksudmu?"
"Yah, kau bilang terlalu asyik jadi aku pikir ada seorang pria yang tampan lalu kau pacaran dengannya."
"A-aku tak pacaran dengannya!"
"Hoo, jadi benar-benar ada ya?"
"A-a-anoo, yah...begitulah..." jawab Luka pelan—kepalanya menunduk dan wajahnya terlihat merah.
"Kau lucu sekali jika tersipu, Ka-kak-ku-sa-yang"
"Mou! Sudahlah diam! A-aku hanya menganggapnya teman!"
"Yah terserahlah, ngomong-omong siapa namanya?"
"Bukan urusanmu!" Luka berjalan menuju kamarnya di lantai atas.
"Oy Kak! Hari ini giliranmu masak makan malam!" Baru saja Luka sampai di kamarnyaLuki sudah meneriakinya.
"Sebentar! Bawel," jawab Luka dari kamarnya.
"Dasar," Luki tersenyum tipis
.
.
"Luki, hari ini Ibu keluar dari rummah sakit, kau ikut menjemput?" tanya Luka yang sedang memasak di dapur.
"Maaf, aku masih ada urusan di sekolah. Katakan permintaan maafku pada Ibu ya!" teriak Luki dari lantai atas.
"Umm, baiklah," sahut Luka tanpa mengalihkan perhatian dari masakannya.
"Kak, aku berangkat!" Luki kembali berteriak sambil berlari ke ruang depan dan buru-buru memakai sepatunya.
"Hey, kau tak sarapan dulu?"
"Aku sudah terlambat, Aku berangkat!" ulang Luki—sosoknya sudah tak terlihat karena dia sudah berlari keluar.
"Anak itu..." Luka tersenyum tipis. Setelah sarapan dan bersiap-siap, Luka segera berjalan keluar rumah untuk menjemput ibunya. Baru saja Luka mengunci pagar rumahya, tiba-tiba terdengar seseorang memanggilnya.
"Hoy Luka!" Seorang pria mendekatinya.
"O-Ayah.." Luka terkejut dengan kedatangan pria yang ternyata adalah ayahnya.
"Hmm, kau rapi sekali, mau kemana kau?" Tercium aroma alkohol dari pria tersebut.
"Me-menjemput Ibu," jawab Luka lirih.
"Heh, jadi perempuan itu masih hidup?"
Luka tak menjawab. Dia menunduk, tangannya mencengkeram bajunya sendiri.
"Sudahlah, serahkan kunci rumahnya padaku! Aku mau masuk!" perintah ayah Luka dengan keras.
"…." Luka masih menunduk tanpa menatap wajah ayahnya.
"Hei kau mendengarku?!" bentak Ayah Luka.
Luka masih tidak mengangkat wajahnya,"Ke-kenapa? Kenapa aku harus memberikannya padamu?" ucap Luka lirih hingga hampir tak terdengar.
"Hah? Kau mengatakan sesuatu?"
"Kenapa aku harus memberikan kuncinya padamu!" ulang Luka setengah berteriak.
"Tentu saja karena aku mau masuk, gadis bodoh! Sekarang berikan kuncinya!" Ayah Luka menarik tangan Luka dengan kasar. Namun Luka menolak,"Tidak akan!"
"Gadis jalang! Beraninya kau membantah ayahmu sendiri!" Yuuma menarik tangan kanan Luka dengan kasar.
"Ayah? Ayah meLukai Ibu lalu pergi dari rumah! Dan Ayah masih ingin aku menurut?" Luka berusaha melepas tangan kanannya.
"Dasar sialan," Yuuma semakin mencengkram tangan Luka.
"Ukh.." erang Luka.
"Kalian seharusnya bersyukur aku tak mengusir kalian! Semakin hari kalian semakin merepotkan, kalian tau!" bentak Yuuma sambil sedikit menarik tangan Luka.
"Mengusir? Sejak awal ini adalah rumah Ibu!" Luka menarik tangan kanannya.
Yuuma berusaha mencengkram tangannya lagi, tapi seketika Luka memukul Yuuma menggunakan tasnya,"Jika ada yang harus pergi, itu adalah Ayah!"Teriak Luka lalu berlari meninggalkan Ayahnya itu.
"Sialan, hei Luka!" Teriak Yuuma.
Luka terus berlari sampai Halte dan langsung masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti di halte tersebut. Tak lama kemudian Luka sampai di rumah sakit. Di depan pintu masuk, terlihat ibunya sedang berbincang dengan seorang dokter dan seorang wanita berambut biru.
"Ibu," panggil Luka ketika jarak mereka sudah dekat, ketiga orang itu otomatis menoleh.
"Kau sudah datang, Luka. Dia ini anakku," ucap Mizki pada kedua orang dihadapanya.
"Jadi ini Luka-chan," respon wanita berambut biru.
"Dia Hiyama-san, dokter yang mengurus Ibu, dan ini Kaiko-san, ibu Kaito-kun," jelas Mizki pada Luka.
"Ko-konnichiwa," sapa Luka.
"Kalau begitu aku masuk sekarang, sekali lagi selamat atas kesembuhanmu, Megurine-san, jaga ibumu baik-baik, Luka-kun" kata dokter bernama Hiyama itu sambil berlalu.
"Ha-ha'i," jawab Luka.
"Aku juga akan pulang sekarang, sampai nanti Luka," Ibunya menggandeng tangan Luka, namun Luka hanya diam tanpa mengikuti ibunya.
"O-Ibu," panggil Luka pelan. "Ada apa?" Tanya Mizki.
"Bi-bisakah kita disini sebentar?" kata Luka— terdengar lebih seperti memaksa.
"Kenapa? Kau ingin bertemu Kaito-kun dulu?" "Bu-bukan begitu. Ayah, Ayah tadi ke rumah, tapi aku tak memberikan kuncinya, mungkin dia masih didekat rumah sekarang," Luka menunduk, tangannya menggenggam erat tangan ibunya. Mizki tampak terkejut sesaat, lalu dia tersenyum kecil—mungkin untuk menenangkan Luka.
"Baiklah, lagi pula obrolan kita tadi belum selesai, iya kan Kaiko-san?" kata Mizki pada Kaiko.
Kaiko tersenyum,"Ya, begitulah," jawabnya.
.
.
Di atap rumah sakit tampak seorang pria berambut biru membuka pintu dan melangkahkan kakinya keluar.
"Ehmm, cuaca yang sangat cerah," kata pria yang tak lain adalah Kaito itu sambil merenggangkan tubuhnya. Tiba-tiba matanya menangkap sesosok manusia berambut merah jambu yang sedang duduk di sebuah kursi panjang. Kaito pun langsung mendekati orang tersebut dan menyapanya.
"Hei Luka, sedang apa disini? Bukankah...Eh.?" Kaito terkejut saat Luka menoleh dan tampak cairan bening mengalir dari matanya.
"Luka, ada apa?" tanya Kaito cemas.
"Kaito..." Luka sedikit terisak.
"Jadi begitu..." kata Kaito sambil membuat kupu-kupu kertas.
"Hn," Luka mengangguk pelan, hening cukup lama menghampiri mereka.
"Hei, Kaito," panggil Luka.
"Ya?" jawab Kaito.
"Menurtmu, apa yang harus kulakukan?" tanya Luka.
"Yang harus kau lakukan? Biar aku yang bertanya, apa yang INGIN Luka lakukan?" Kaito menekankan kata 'Ingin'.
"Aku... Aku tak tau," jawab Luka pelan.
"Kenapa?" tanya Kaito. Luka terdiam sebentar.
"Setelah semua penderitaan yang terjadi, apakah aku bisa memiliki keinginan?!" Luka sedikit membentak.
"Penderitaan?" gumam Kaito sambil berjalan mendekati Luka.
"Kenapa aku selalu menderita?" kata Luka lirih, air mata kembali mengalir.
"Luka," Kaito menepuk pelan bahu Luka. Luka terkejut,"Ah, maaf, bicaraku mulai kacau" Luka menundukkan kepalanya.
Kaito menyodorkan sebuah sapu tangan.
"Eh?" Luka melihat ke arah Kaito.
"Mau ke taman bersamaku?" ajak Kaito. Luka menerima sapu tangan tersebut, lalu mengangguk pelan,"Hn"
.
"Apa yang kita lakukan disini, Kaito?" tanya Luka. saat ini dia dan Kaito sedang duduk di sebuah bangku yang ada di taman rumah sakit.
"Hanya mengganti suasana," jawab Kaito singkat.
"Hmm," gumam Luka. Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis.
"Kaito-san," terlihat seorang gadis kecil yang duduk di kursi roda melambaikan tangannya pada Kaito. "Dokter kiyo-, bisa tolong bawa aku kesana?" pinta gadis itu pada seorang dokter dibelakangnya.
"Baiklah" kata dokter yang ternyata bernama Hiyama Kiyoteru itu. Dia mendorong kursi roda gadis berkuncir dua itu ke arah Kaito.
"Sedang apa disini, Kaito-san?" tanya gadis itu.
"Ah, Yuki-chan, hanya melihat-lihat" jawab Kaito.
"Jarang sekali melihatmu disini, Kaito-kun," kata Kiyoteru.
"Begitulah, aku hanya mengganti suasana, Hiyama-san" Kaito tersenyum tipis.
"Kau belum pulang, Luka-kun?" tanya Kiyoteru pada Luka.
"Be-belum, ada sedikit masalah uhm..." Luka sedikit ragu.
"Kau sudah lupa padaku? Padahal kita baru bertemu tadi pagi," Kiyoteru tersenyum.
"Ah, ma-maaf, Hiyama-san," Luka agak membungkuk. Kiyoteru membalasnya dengan senyuman tipis.
"Bagaimana keadaanmu Yuki-chan?" tanya Kaito pada Yuki.
"Sudah lebih baik! Aku sudah bisa berdiri, Kaito-san mau lihat?" kata Yuki Riang.
"Tidak boleh!" cegah Kiyoteru.
"Eh? Kenapa?" rengek Yuki.
"Tunggulah sampai kau benar-benar kuat, Yuki," jelas Kiyoteru.
"Uh, Dokter Kiyo pelit," Yuki menggembungkan pipinya.
"Dengarkan apa kata Hiyama-san, Yuki-chan," kata Kaito.
"Uhm, hai', oh ya ngomong-ngomong kakak siapa?" tanya Yuki pada Luka.
"Ah maaf, namaku Luka, salam kenal Yuki-chan," kata Luka.
"Nee, Luka-san, apakah kau pacar Kaito-san?" tanya Yuki dengan mata berbinar.
"Eh? Bu-bukan! Kami hanya berteman saja," jawab Luka, wajahnya terlihat memerah.
"Benarkah? Kaito-san?" Yuki mengalihkan pandangannya pada Kaito.
"Seperti yang Luka bilang, kami hanya berteman, Yuki-chan."
"Hahaha, baiklah kami harus kembali, sudah saatnya Yuki meminum obatnya. Ayo Yuki, sampai nanti Kaito-kun, Luka-kun," kata Kiyoteru.
"Un! Sampai jumpa Kaito-san, Luka-san," Yuki melambaikan tangannya. Kiyoteru mendorong kursi roda Yuki dengan perlahan. Sesekali tampak dia agak membungkuk, mungkin dia sedang bicara dengan Yuki.
"Anak yang Riang," gumam Luka lirih.
"Begitulah, dia mengalami kecelakaan sebulan yang lalu hingga membuatnya tak bisa berdiri ataupun berjalan," jelas Kaito.
"Hmm..." gumam Luka prihatin.
"Orang tua Yuki jarang menengoknya. Mereka bersikeras untuk merawat Yuki di RS dengan alasan agar Yuki mendapatkan perawatan yg tepat, tapi mereka malah seperti menelantarkan Yuki. Dalam sebulan ini tak sampai 5 kali mereka menjenguknya," jelas Kaito lagi.
"Orang tua macam apa itu, bukankah anak seusia Yuki sangat membutuhkan orang tuanya?" kata Luka agak kesal.
"Entahlah, aku juga tak mengerti apa yang mereka pikirkan. Tapi..." Kaito menggantung perkataannya.
"..." Luka menunggu apa yang ingin dikatakan Kaito. Tiba-tiba Kaito melihat ke arah Luka,"Apa kau melihat raut wajah sedih di muka Yuki?" sebuah pertanyaan yg terkesan retoris keluar dari mulut Kaito. Luka terhenyak.
"Ti-tidak," jawab Luka lirih.
"Anak lain mungkin akan murung jika mempunyai keadaan seperti dia. Kecelakaan yang membuatnya tak bisa bergerak bebas, harus tetap tinggal di rumah sakit tanpa orang tua yg menemani. Tapi dia tetap tersenyum, tetap menjadi gadis yang Riang," kata Kaito. Dia kembali menatap ke depan.
"Hn, begitulah.." kata Luka lirih. Dia menunduk, tangannya sedikit mencengkram bangku yang dia duduki.
"Bukankah dia gadis yang hebat?" kata Kaito. "Yah, dia gadis yang luar biasa," Luka semakin menunduk.
"Kupikir aku yg paling menderita," gumam Luka hampir seperti berbisik. Tiba-tiba di depan wajahnya tersodor sebuah kupu-kupu kertas.
"Jadilah kupu-kupu, Luka. Jadilah lebih kuat dan lebih cantik, terbanglah" kata Kaito. Luka menerima kupu-kupu kertas tersebut ragu.
"Ta-tapi...aku..." perkataan Luka dipotong oleh Kaito,"Tersenyumlah, jika kau terus bersedih, kesulitan itu tidak akan selesai. Karena itu kembangkan sayapmu dan tersenyumlah, Luka itu gadis yg manis lho. Sayang sekali kalau kau bersedih."
BLUSHH
Kalimat terakhir Kaito sukses membuat muka Luka memerah,"Terima kasih Kaito," Luka menerima kupu kertas itu kemudian berdiri.
"Uhuk uhuk..." tiba-tiba Kaito terbatuk cukup keras.
"Eh, kau kenapa,Kaito?" Luka panik.
"Ah, aku baik-baik saja, disini semakin dingin. Lagipula sudah sore, bukannya kau harus pulang dengan Bibi?" Kaito terkesan menyembunyikan sesuatu. Dia berjalan perlahan ke dalam rumah sakit.
"Ayo, kuantar ke depan," kata Kaito.
"Hn," Luka mengangguk pelan lalu mengikuti langkah Kaito walaupun ada perasaan mengganjal dihatinya.
.
.
.
End,
.
G'night gaes. Demikian chapter satu berakhir terima kasih sudah baca sampai sini, apakah ada bagian yang perlu diperbaiki? Ok kita simpan itu nanti. Pertama, Kei ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada winkiesempress yang pernah ikut beretribusi... berkontribusi untuk cerita ini. Sungguh, aku benar-benar berterima kasih. Kedua, cerita ini direncanakan akan jadi 3 chapter, namun tergantung situasi saat ngetik cerita mungkin bisa melebar (Yah kita semua mengalaminya). Ketiga, aku udah capek, jadi udah gitu aja. Terakhir, seperti biasa. Bolehkah Kei minta review? Tolong jangan flame karena Kei gak tahan panas.
Jaa na ^^
