Disclaimers: Shingeki no Kyojin/Attack on Titan belongs to Isayama Hajime. This fanfiction is published online, solely a not-for-profit fan work.
HAUTE: ARLERT ATELIER
Summary: Kisah desainer muda pemimpi. Fanfiksi HAUTE dari sudut pandang Armin Arlert.
Pair: EruAru / Erumin, RivaEre
Genres: Drama, Romance, Friendship, Comedy
Warnings: Nama-nama merek yang dipelesetkan. Vogue jadi Voogue, dsbnya.
AN: HAUTE dari sudut pandang Armin Arlert. Sudah lama saya menyiapkan fanfiksi ini. Bisa dibilang ini HAUTE di balik layar. Banyak adegan di HAUTE yang tidak tertangkap kamera Rivaille, tapi Armin yang mengabadikannya.
Bukan cuma Eren yang punya mimpi dan berpetualang di HAUTE, Armin punya kehidupannya sendiri dan percaya tak percaya, tanpa Armin, perjalanan Eren di HAUTE tak mungkin bisa berhasil. Perjuangan desainer muda juga tak kalah seru dengan model muda.
Bab spesial fanfiksi Arlert Atelier juga bisa dibaca di dalam HAUTE Fanbook vol 01, jadi untuk pembaca fanbook tersebut mendapat kesempatan pertama melirik beberapa bab fanfik Arlert Atelier. Yang berminat pre-order HAUTE Fanbook, lusa ini terakhir ya. Info lengkap ada di fesbuk saya (ada juga link order di profile FFN saya).
Atelier berasal dalam Bahasa Prancis yang berarti workshop/studio. Maksudnya di sini adalah studio pribadi fashion impian milik Armin.
Chapter Summary: Prolog kisah desainer muda pemimpi.
o
ARLERT ATELIER
Aratte
o
Prolog
ARMIN Arlert lahir di dusun kecil Shiganshina.
Ia lahir beberapa bulan setelah tetangga mereka, Dokter Jaeger, baru kelahiran putra pertama. Rasanya seperti ciuman kupu-kupu; tak terasa hanya geli-geli lucu. Karena warga kompleks sudah lelah merayakan kelahiran Eren Jaeger, bayi Armin disambut datar saja.
Setahun kemudian orang tua Armin hijrah ke negara lain dan tak pulang-pulang. Kakek Arlert, tangguh perkasa, seorang diri mengawasi Armin dari bayi sampai remaja. Harapannya ingin melihat Armin hidup mandiri.
Armin tumbuh dengan wajah manis dan surai pirang. Alergi debu dan sakit-sakitan, tapi rajin, berbudi dan disayang tetangga. Walau sang kakek memangkas rambutnya secepak mungkin, rambut pirang Armin tak bosan bertumbuh. Helainya halus dan ujungnya meliuk ke dalam. Gaya rambut nge-bob seleher. Kebetulan Kakek menggemari grup musik The Queens yang potongan rambut personilnya nge-bob semua, kakek berhenti memangkas rambut Armin.
Sayang, beda generasi beda apresiasi. Armin yang kondisi fisiknya lemah dan rambutnya nge-bob acapkali di-bully. Armin pulang dengan menangis dan bercelana bolong sebelah. Kakek Arlert membubuhi antiseptik dan menepuk bob pirangnya, berujar: "Armin anak baik, suatu hari kalau kau bersabar dan jadi lelaki pemberani, kau bisa dapat semua yang kau mau. Ayo menangkan pertarunganmu!"
Armin mengangguk pilu. Tumbuh dari dasar hatinya semangat untuk maju. Esok harinya, dengan semangat bertarung, dia mengajak anak-anak kampung berkelahi. Armin diserbu, tetapi Armin begitu berani. Mata biru menyala-nyala setajam api biru gas elpiji. Tinju Armin keras, tapi anehnya tak pernah tepat sasaran. Armin kalah. Armin tertindas lagi. Armin kapok.
Kejadian ini terus berulang, sampai-sampai satu dusun tahu; Ada Armin Arlert si rambut pirang nge-bob, yang mukanya manis seperti perempuan penyakitan, dan selalu diusili anak kampung seumuran. Hal baiknya, nama Armin si anak ter-bully akhirnya sampai ke telinga Eren dan Mikasa.
Armin bertarung melawan lima anak kampung di suatu senja di musim durian. Dia nyaris kalah, namun ditolong oleh Eren dan Mikasa. Armin tak pernah melupakannya; ekspresi wajah Eren yang babak belur dan mengulurkan tangan. "Kau tak apa-apa? Tenanglah! Tak akan kubiarkan mereka mengganggumu lagi! Ada aku, Eren Jaeger, yang ditakuti semua anak kampung di sini."
(Kalau boleh jujur, Mikasa-lah yang berperan menolong Armin saat itu, karena Eren terlalu bersemangat berkelahi sampai terjungkal dan tak sadarkan diri cukup lama. Ia tersadar kembali setelah Mikasa selesai mengusir musuh-musuh Armin).
Mereka menjadi teman akrab dalam sekejap mata.
Walau hidup pas-pasan dan punya mainan layangan rusak-rusak, Armin mensyukuri pertemuan dengan mereka berdua. Mereka anak layangan. Bebas nestapa. Mereka pergi, berlari, dan datang pada waktunya. Di tepi sungai mereka berbagi cerita dan mimpi bersama. Eren berhasrat ingin pergi ke kota besar. Mikasa berhasrat ingin mengikuti Eren ke manapun. Armin berhasrat-
Keinginan Armin yang manis dan mulia tersembunyi di bawah bantal lapuk tidurnya, jauh di luar nalar Eren dan Mikasa. Setiap malam Armin memadam lampu kamar, dan menyorot bawah dagunya dengan senter. Muka Armin gelap penuh misteri. Matanya polos tapi kalau kau lihat lama-lama, senyumnya agak maniak.
Armin membaca majalah Men Voogue setiap malam, memeloloti balutan jas berbahan sutra Prancis, sepatu-sepatu hitam bergradasi diterpa lampu kamera, wewajah tirus dan kotak model pria masa kini. Dan. Ah. Lihat otot-otot mereka yang mengembang seperti pola lemari bersekat tempat kakek menyimpan popok dewasa! Sungguh tampan dan berani.
Armin mengelap liur sebelum tumpah.
Bukan berarti Armin ganjen, ia hanya sedikit dari para pemimpi ulung, yang bilamana sudah punya impian, matanya berbinar dan dagunya teralir liur, dan yakin mimpi pasti terwujud. Kau tahu kan ada banyak orang-orang sukses di luar sana? Yang hidup di lingkungan serba kekurangan, tapi bisa masuk majalah Forbez sebagai konglomerat termuda karena gagasannya yang luar biasa?
Selayaknya pemimpi besar seperti mereka, Armin memulai segala sesuatu dari hal kecil: celana dalam bekas kakek yang tak terpakai.
Celana dalam itu ia preteli benangnya hingga membentuk benang limbah. Gorden kamar yang sudah usang tapi masih bercorak kilau sebab mengandung benang satin sintetis emas ikut dipreteli. Armin merajut kedua material itu menjadi saputangan halus berkilau.
Klien Armin yang pertama adalah nenek tetangga sebelah. Yang matanya sudah siwer. Karya Armin dibeli dengan harga tinggi dengan testimonial sang nenek: "saputangan ini indah sekali. Nak Armin bisa saja membangkitkan kenangan lama nenek saat masih muda dulu. Saputangannya warna kuning seperti ini (padahal saputangannya putih)."
Armin bahagia.
Hal kecil memuai jadi hal besar. Armin mulai belajar menjahit sendiri. Bilamana celana butut kakek bolong, Armin menawarkan jasa jahit gratis. Bilamana tidak bolong, Armin yang akan mengoyaknya sendiri, lalu menjahitnya rapi lagi bersih. Kakek Arlert sampai menangis haru.
Majalah Voogue bukan majalah murah. Tapi percayalah, Armin membeli, bukan mencuri. Bagaimana ia dapat membeli majalah itu?
Ketahuilah; Favorit Armin adalah model bernama Erwin Smith, dan itu bukan tanpa alasan.
Saat itu Armin baru pulang sekolah. Matahari terik menggiling aspal. Armin menjilati eskrim sepanjang jalan, dan nyaris menabrak gerobak tuang loak. Di dalam gerobak itu, Armin menemukan malaikat bercelana dalam segitiga hitam, menyempil kasihan dan tertekuk ironis di dalam gerobak.
Ada wajah tampan. Wajah tampan lelaki bak bidadara surga dan mirip Kapten Amerika (saat itu Armin belum tahu ia bernama Erwin Smith). Wajah model tampan itu bercokol pada sampul majalah Voogue, dan majalah tersebut sedang tergencet di antara majalah tua siap loak.
Langkah Armin terhenti, lubuknya perih, eskrimnya jatuh ke bumi. Ia tak bisa berkedip. Ia melihat wajah Erwin yang peyot hendak dibumihangus. Armin iba, kemudian jatuh cinta.
Tangannya bergerak sendiri seolah-olah dibimbing oleh Tuhan. Inilah titik persinggungan takdir: Ia menyelamatkan majalah mode termahal dari dalam gerobak tukang loak. Armin membawa majalah itu pulang.
Sejak itu Armin rajin menyambangi tukang loak majalah. Ia menghabiskan semua uang sakunya untuk membeli majalah Voogue bekas. Tentunya majalah itu tak lagi berbentuk kotak, kadang bergelung bahkan mengerucut. Anehnya Armin masih dapat secara seksama menilai lekuk-lekuk otot peraga fashion pria yang mengisi lembaran spread berkelas.
Ia membuka setiap lembarnya dengan penuh harap, dengan penuh mimpi muluk tak berdosa. Armin mulai menggambar di atas kertas. Kemeja klasik dan vest bermotif bunga. Setelan jas pria warna hitam hingga gaya rebel pria yang bersabuk paku-paku. Armin menggambar wajah model Erwin Smith. Armin mencuri-curi waktu untuk menggambar di kelas. Armin tetap menggambar bahkan saat sedang mengejan di toilet.
Dalam waktu singkat, Armin sudah menghapal deretan merek fashion pria ternama. Armin jadi punya kosakata baru dalam bergaul. Kalau guru sedang mengajar di kelas dan memanggil Armin untuk mengejutkannya, kadang Armin refleks mengumpat dengan kalimat-kalimat: "Oo, Channel!" atau "Apa kata dunia, Ralph Lawren!" atau "Ya ampun, Hugo Bos." Sungguh, Armin memang alay. Dia memang anak layangan sejati.
Ilustrasi fashion Armin telah menggunung di bawah ranjang. Armin sengaja menyusun gambar ilustrasinya meniru pola petakan sawah, jenius dan punya maksud. Tumpukan pola itu mewakili kategori gaya berpakaian yang akan dipilah untuk segera dimuat dalam album portfolio. Portfolio! Setiap desainer wajib memilikinya jika ingin melamar kerja di kota besar. Sementara Armin berlari ke toko koperasi desa untuk membeli buku album, Kakek Arlert sedang keranjingan bersih-bersih di usia tua. Kertas gambar Armin di bawah ranjang ditemukan, diungsikan, dibawa ke halaman, dibakar bersama sampah dedaunan.
Armin menangis.
.
.
Di malam kelulusan SMP, Eren berkata, "Aku sudah berhasil mendapat izin dari Ayah dan Ibu. Kita akan masuk SMA yang sama dengan Armin!"
Saat itu Armin baru saja menerima beasiswa masuk sekolah SMA di Kota Trost, yang merupakan langkah awal mimpinya menjadi desainer gedongan. Eren, dengan mata berbinar, minta diboyong serta. Mikasa masih dengan mimpi awalnya; mengintili Eren ke mana anak itu pergi.
Dusun Shiganshina dalam seminggu mengadakan acara syukuran kelulusan dan acara perpisahan. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, satu kampung tahu rencana kepindahan Eren, Armin dan Mikasa ke Kota Trost; kota besar metropolitan yang warganya punya martabat setinggi awan. Carla Jaeger menangis memeluk anaknya dan berkata, "Jadilah anak yang membanggakan orang tua. Jadilah lelaki panutan kami!"
Armin, di sisi lain, merasa tak enak hati meninggalkan kakeknya.
Kakek Arlert tua renta, masih semangat bergaul dan bersih-bersih, tapi untuk mengambil bumbu dapur saja kadang sering tertukar antara mayones dan busa cuci piring (sungguh bahaya!). Pun Kakek Arlert sangat bahagia melepas kepergian cucunya. Dia sampai memeluk berkas beasiswa Armin berkali-kali.
Armin jadi galau.
Kapal transportasi antar provinsi sudah siap berekspedisi, cerobongnya meluap dengan kepulan asap nan tinggi. Eren dan Mikasa bersiaga dengan koper di pelabuhan. Grisha Jaeger, Carla Jaeger, dan ibu-ibu kompleks tetangga mengiringi kepergian mereka.
Armin masih belum datang juga.
Kakek Arlert menggigil di bawah selimut. Armin menyuapi Kakek dengan sup dan mengompres kening keriput. Kakek Arlert demam tinggi yang katanya karena rindu.
"Aku belum pergi, Kek!"
"Tapi Kakek sudah rindu."
Armin makin galau.
Sementara Eren dan Mikasa sudah naik kapal, gayanya bak remaja penting, sibuk semenit sekali mengecek jam dinding. "Armin di mana sih!"
Armin masih galau.
Kapal bergoyang pelan siap meluncur. Ibu-ibu kompleks dan orang tua melambaikan tangan kepada Eren dan Mikasa. Si remaja bermata hijau itu berdiri celingukan, mencari rekannya yang berambut bob pirang.
Kapal angkutan umum pun pergi, tak sudi menunggui si desainer pemimpi.
.
.
Senja temaram.
Demam Kakek Arlert sudah turun. Armin duduk tertunduk di dalam kamar.
Kopernya tergeletak diam di samping payung dekat pintu. Armin tak jadi berangkat ke Kota Trost. Mimpi-mimpinya sebagai desainer gedongan telah menciut jadi tukang jahit ibu-ibu dusun. Armin mengusap air matanya dan hendak membumihangus koleksi majalah Voogue.
Ada Erwin Smith tersenyum di sampulnya. Dada Armin ngilu. Ia tutupi muka Erwin dengan koran.
Api memercik hangat, menyala dari ujung puntung korek, menunggu dijatuhkan ke atas dedaun dan koran bekas. Majalah-majalah itu akan mengabu selamanya.
Saat itulah Kakek Arlert bangun dari tidur. Seperti dalam drama keluarga lain, ia berlari ke halaman, ia berteriak menghentikan Armin.
"Jangan bakar celana kakek lagi, Armin!"
"Eh Kakek?! Ini bukan celana kakek kok!"
"Pokoknya hentikan, jangan bakar-bakar!"
Armin tak jadi membakar muka sang idola Erwin Smith.
Kakek Arlert memeluk Armin, berkata, "Pergilah, Nak. Kakek tahu mimpimu ada di seberang laut sana. Kakek akan baik-baik saja di sini. Asal jangan kau bakar celana kakek."
Armin membenamkan wajah ke dada kakek. "Aku tidak membakarnya, Kek. Tapi semua celana Kakek memang sudah ketinggalan zaman."
"Ya sudah, kalau begitu Armin jadilah perancang hebat, dan jahitkan celana yang bagus untuk Kakek. Kejar mimpimu di kota besar."
"Tapi—"
"Pergilah, Armin." Wajah Kakek Arlert berselaput cahaya. "Pergi untuk kembali."
Mata safir Armin membola, berbinar ria seperti gugusan es mengkristal.
Sesimpel itu.
Malam itu juga Armin berlari tergopoh menyeret kopor. Hanya ada satu kapal pemberangkatan terakhir ke Provinsi Rose. Di pelabuhan, Armin berteriak-teriak. Kapal malam bergerak syahdu, melepas jangkarnya dan siap berlayar. Armin lompat tinggi di ujung pelabuhan, mendarat sempurna di atas geladak.
Mimpi jadi desainer besar di depan mata.
