Aku selalu mencoba menyenangkan hatinya agar ia memaafkanku. Aku tidak tahu buah prem yang mencuat dari semak-semak tinggi di pinggir jalan yang aku makan setiap pagi itu adalah bagian dari kebunnya. Usiaku saat itu masih 7 tahun. Namun ia tidak peduli. Usia dan ketidaktahuan tidak pernah menjadi pertimbangannya. Belas kasihan tidak pernah ada di hatinya.

Diiringi bentakan dan sumpah serapah, ia menyeretku paksa ke rumah tuanya yang suram. Tangannya yang ramping dan kuat mencengkeramku hingga berbekas ungu. Jeritanku sudah tanpa suara di malam ia mengurungku di lemari kayu. Ujung-ujung jariku merah dan beberapa kuku terlepas. Berapa lama aku di dalam sana? Aku takut sekali. Ibu... Oh ibuku yang malang. Ia mungkin tidak pernah tahu aku pergi ke mana. Andai kata ia tahu pun, lelaki mana di desa yang bisa menghadapi wanita ini? Karena ia, wanita kejam ini, adalah penyihir yang paling ditakuti di negeri ini. Di bawah kuasanya sama saja dengan mati di luar sana.

Tahun demi tahun berlalu dan aku tumbuh dewasa, namun ia tidak juga menunjukkan sikap melunak. Sebaliknya, setiap pagi tatapannya semakin keji, setiap hari pula perintahnya semakin mustahil dipenuhi. Lalu tibalah hari ketika kegagalan melaksanakan perintah akan berujung kematian...

Aku terus menangis tersedu-sedu ketika keranjang yang ia perintahkan untuk terisi air terlalu mustahil dipenuhi. Saat itulah kali pertama aku bertemu Bensiabel.

Bensiabel adalah pemuda bertubuh tinggi dan berwajah tampan. Suaranya begitu lembut ketika menanyakan situasiku. Ia berjanji akan membantu, namun ketika aku tahu bahwa ia adalah putra penyihir itu, aku segera menolak baik bantuan maupun imbalan yang ia pinta sebagai balasan, sebuah kecupan di bibirnya. Tapi Bensiabel, walau tampak kecewa, tetap melakukan apa yang telah ia janjikan, dengan atau tanpa imbalanku.

Penyihir itu tampak murka ketika tahu aku berhasil melakukan perintahnya. Ia lebih murka lagi ketika aku berhasil melakukan perintah selanjutnya; membuat roti dalam waktu yang mustahil, atau kembali dari rumah kakaknya yang kejam dengan peti yang ia inginkan. Berkali-kali ia menuduh Bensiabel telah membantuku, berkali-kali pula aku menunduk dan diam membisu.

Aku pergi tidur dengan perasaan bahwa semua ini tidak akan pernah berhenti, bahwa suatu saat nanti, ia akan menemukan cara agar aku mati. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku juga yakin Bensiabel akan selalu datang membantu... Bensiabel... Setiap kali ia menawarkan bantuan dengan imbalan kecupan, setiap kali pula aku menolaknya. Tapi ia tetap mengulurkan tangannya. Wajah sedihnya setiap aku menolaknya kini semakin mengganggu. Rasa bersalahku semakin dalam. Tapi apa boleh buat. Bensiabel adalah putra penyihir itu. Aku tidak boleh memenuhi permintaan putra seorang penyihir kejam. Aku juga tidak boleh jatuh cinta padanya. Sama sekali tidak boleh. Sama sekali...