Never Let You Go
One Piece Fanfiction; Zoro X Sanji; Romance & Angst; Rated M
Warning; Sick!Sanji, M rating for blood and torture, Death Fic
One Piece © Eiichiro Oda
...
Chapter 1. Rumah Sakit
Zoro benci rumah sakit. Dia benci segala hal yang berbau dengan obat-obatan yang entah mengapa selalu berhasil membuatnya ingin keluar dari tempat tersebut. Namun kali ini dia benar-benar harus datang ke rumah sakit itu. Sebenarnya dia sendiri juga tidak mengerti mengapa kedua orangtuanya menyuruhnya menjenguk seseorang di rumah sakit ini.
Siapa namanya itu?
Apa?
Santi? Sani? Oh... Sanji.
Dengan selembar kertas kecil sebagai penunjuk jalannya, Zoro tidak yakin dia bisa sampai di tempat tujuannya dengan selamat. Mungkin dia malah ke ruangan dimana tubuh seseorang dilubangi dan digunting dan dipotong atau ke ruangan dimana dia akan menemukan puluhan tubuh terbaring kaku di atas kasur dengan kain menyebar di wajahnya. Makanya orang tuanya menyuruhnya menjenguk anak itu pukul enam pagi –dimana rumah sakitnya belum buka- dan dia harus berterima kasih untuk Dokter Kureha dan Chopper yang mengizinkannya untuk mencari ruangan anak itu.
Kamar 201, bungalow C, V.I.P Room.
Zoro yakin kalau anak itu terlampau manja.
Mendengar silsilah keluarganya yang luar biasa kaya dan berkuasa di segala cabang-cabang restoran, tidak menutup kemungkinan kalau anak itu manja. Mungkin kakinya hanya keseleo dan dia merengek masuk rumah sakit hanya untuk menghindari mata pelajaran yang tidak disukainya. Memikirkannya saja membuat Zoro ling-lung dan jijik. Namun pikirannya mulai tertambat pada sesuatu. Yaitu perkataan orang tuanya.
Mereka berteman semenjak taman kanak-kanak.
Berteman baik walau seringkali berkelahi.
Namun beberapa bulan di taman kanak-kanak dia dilarikan ke rumah sakit.
Jadi mungkin dia tidak patah kaki atau sakit sepele.
Penyakit yang dideritanya mungkin penyakit yang parah.
...
Zoro berhenti tepat di depan pintu putih. Tiba di rumah sakit pukul enam pagi, dan dia berhasil menemukan bungalow C dan kamar 201 pada pukul delapan pagi. Tangannya sudah bersiap membuka pintu tersebut dan menemui sosok yang tidak diingatnya. Rasa ragu sesekali membuatnya melepaskan knop pintu dari genggamannya, namun dia segera menancapkan genggamannya kembali dan memutar knop pintu tersebut.
Pintu perlahan terbuka.
Pemandangan yang dilihatnya benar-benar berbeda dari apa yang dipikirkannya.
Rambut pirang, kulit porselen pucat, lengan dan tubuh kurus, dan selang infus yang menancap di punggung tangannya.
Dan matanya yang luar biasa biru.
Anak itu tidak terlihat sakit di matanya –terkecuali kulit porselen dan infusnya- anak itu terlihat segar. Terutama matanya tersebut. Zoro mungkin tidak percaya dengan hal-hal gaib, namun dia merasa tersihir oleh mata tersebut. Anak itu menatapnya dengan aneh, matanya terbuka lebar juga dengan mulutnya, seolah tidak menyangka Zoro masuk ke kamarnya.
Namun perlahan anak itu menyunggingkan senyum tipis, menutup segala keterkagetannya atas kedatangan Zoro yang tidak terduga.
"Ada yang bisa kubantu?"
Zoro melangkahkan kakinya ke belakang, dan anak itu bangkit dari duduknya dan mulai berjalan ke arah Zoro.
"Permisi? Apa ada yang sa..."
Ketika Sanji melambaikan tangannya di mata Zoro dan belum sempat menyelesaikan perkataannya, Zoro sudah keluar dan membanting pintu kamar tersebut. Cukup untuk membuat Sanji terdiam di tempat.
Di balik pintu, Zoro bernafas terengah-engah. Dia bisa merasakan wajahnya memanas.
Anak itu benar-benar cantik.
...
"WAAAA! Jadi kau sering bermain pedang?!"
Zoro tidak yakin kalau Sanji menyukai berpedang, namun sepertinya dia salah. Anak itu lumayan tertarik, dia tipe orang penyakitan yang menyukai tantangan. Dia menyukai segala olahraga yang pernah diikuti Zoro, namun dia hanya betah pada kendo dan berpedang. Setiap kali Zoro menceritakan segala bidang olahraga, Sanji sangat senang, namun matanya berbinar-binar mendengar kata sepak bola.
Dia menyukai sepak bola.
Dan Zoro yakin akan itu.
"Aku pernah bermain sepak bola. Saat itu aku kelas dua SD, guru kami membagi cowok-cowok dalam dua tim. Saat itu aku sangat senang berlari, aku merasa melayang lalu terbang. Namun yang paling menyenangkan adalah ketika aku berhasil menendang bola. Namun..."
Ada jeda yang menyakitkan ketika Sanji berhenti. Zoro bisa melihat mata biru tersebut sayu dan layu. Ada sesuatu.
"Kau langsung dibawa ke rumah sakit."
...
Zoro berhenti tepat di depan gerbang rumahnya. Di depan kotak pos kecilnya yang berwarna merah. Ada sepucuk surat yang menggantung di sela lubangnya, Zoro mengambilnya. Dan dia melirik surat tersebut. Amplop putih dengan bingkai rangkaian dedaunan tipis dikunci dengan cap lilin merah tua.
Ini sudah surat yang keberapa ratus kali pada Zoro, dan dia tidak pernah sekalipun membacanya. Jadi, seluruh surat tersebut dikumpulkannya di dalam laci mejanya, dan hari ini dia kembali mengisinya.
Surat itu selalu datang sekali seminggu.
"Orang yang selalu salah alamat." Zoro menghempaskan badannya ke atas kasurnya. Matanya menerawang ke langit-langit kamarnya, lalu melirik ketiga lacinya yang sudah penuh dengan surat yang dikirimkan padanya –walau itu salah alamat.
Zoro mendesah kesal, "Apa dia tidak pernah marah atau sedih ketika surat itu tidak dibalas sekali pun?" tanyanya sambil menutupi matanya dengan lengan bawahnya yang ditekuk.
Sekalipun begitu... mengapa dia begitu setia menunggu?
...
"Kau butuh minum obat, Sanji-kun..."
Sanji menggelengkan kepalanya. Wajahnya memucat. Temannya yang berambut oranye –Nami, hanya bisa menghela nafas pasrah. Mata cokelat mudanya menatap mata biru Sanji yang dalam. Tatapannya serius menusuk Sanji.
"Jangan manja..." ujarnya tidak senang.
Dua pil dan beberapa keping tablet bertaburan di atas permukaan kertas. Dan segelas besar air jernih.
"Kau butuh minum obat. Ayolah..." bujuk Nami, namun Sanji menggeleng. Begitu dia menyadari sesuatu, barulah dia berbicara lagi.
"Tumben-tumbannya kamu begini. Apa ada sesuatu? Kau tidak pernah sekalipun menolak menenggak obat sebelumnya." Tanya Nami, tangannya menjamah rambut pirang Sanji. Sanji menatap Nami, gadis oranye itu mendekatkan kepalanya. Dan barulah dia sadar.
"Sanji... kau... kau sangat pucat." Nami tergagap, kedua tangannya meraba-raba wajah Sanji, dari keningnya, pelipis, pipi, hidung, dan dagunya. Sanji sangat pucat, walau nyaris tidak terlihat karena kulitnya memang dari dulunya layak porselen, tapi Nami sebagai teman sejak kecilnya tahu kalau Sanji tidak pernah sepucat itu.
Nami yakin dia melihat semburat kebiruan di sepanjang dahi Sanji.
"Nami... aku tidak apa-apa, sungguh..." Sanji mencoba membujuk gadis kecil itu, namun Nami hanya semakin memaksakan kedua tangannya meraba-raba wajah Sanji kembali. Raut wajah anak itu semakin lama semakin penuh ketakutan dan kekhawatiran.
"Tidak Sanji. Ini parah. Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya. Apa kau belum makan?" Nami tahu kalau itu pertanyaan yang bodoh. Sekalipun Sanji sakit, dia akan tetap memakan makanan rumah sakit walau ketika dia memakannya dia sesekali akan muntah. Prinsip nomor satu Sanji, tidak membuang makanan dan menghargai setiap makanan yang dibuatkan.
"Nami, aku sungguh-sungguh tidak apa-apa..." Sanji mencoba melepaskan tangan gadis itu dari wajahnya, namun sepertinya tangannya yang ringkih tersebut tidak terlalu kuat untuk melakukan apa-apa lagi.
"SANJI!" Nami menghardiknya.
Sanji menundukkan kepalanya. Seketika Nami merasa bersalah. Dia tahu kalau Sanji sama sekali bukanlah tipe orang yang ingin orang lain cemas akan dirinya, anak itu benar-benar baik hati –walau mulutnya terkadang kasar.
Krieet...
"Selamat siang..."
Sanji dan Nami menoleh ke arah pintu. Seorang pria dengan rambut hijaunya yang terkesan nyentrik.
"Sanji?" Zoro seolah-olah mengetahui perbedaan atmosfer yang dirasakannya saat ini. juga dengan wajah Sanji. Anak itu begitu pucat.
"Zoro..."
Dan Sanji memuntahkan darah segar di sekujur selimut putihnya.
...
EEEEEE! Aku kesulitan membuat fict yang Angst. Entah kenapa lagi pengen bikin. Uuuugh... Death Fic, tentu saja Sanji akan masuk di dalamnya. Aku sangat suka menyiksa Sanji walau aku begitu mencintainya #eaaaa..., namun aku hanya akan membuat fict ini dalam bentuk tetralogi. Berbahagialah kalian yang membaca dan me-review fict-fict-ku yang biasanya terus bersambung dan ga jelas kapan selesainya. Saya udah bertekad ni fict harus selesai dalam bentuk TETRALOGI! FIX!
