Ansatsu Kyoshitsu milik Matsui Yuusei.

.

Beberapa chara Naruto milik Masashi Kishimoto.

.

Story mine.

.

Mungkin OOC, Typo(s) serta kawan-kawan.

.

Selamat membaca, minna-san!

.

Tch.

Ingin rasanya berteriak. Memaki mereka yang menatap kagum padaku. Aku muak dengan mereka tapi juga tidak memungkiri aku senang dengan itu. Aku memang orang yang buruk.

Tapi siapa peduli? Selama aku masih ada di peringkat atas tidak ada yang salah denganku. Selama aku masih jadi yang pertama aku sempurna. Hanya itu kan yang mereka lihat.

Jadi, bukan masalah kalau aku berbuat sesukaku.

Oh. Ayolah, siapa yang akan tahan dengan tekanan kau harus selalu jadi yang terbaik? Rasanya ingin muntah saat melihat orang-orang membebani harapan itu dengan senyum pura-pura mereka.

Hei, mereka tidak pernah memikirkan perasaanku bukan? Aku ingin membalasnya dengan membuat peringkatku tiba-tiba turun ke tingkat paling bawah dan melihat ekspresi shock mereka.

Hahahaha.

Pasti menyenangkan melihat ketidakpercayaan mereka terhadapku. Sayangnya itu tidak mungkin kulakukan. Aku tidak ingin hanya sejenak menuruti ego dan merasakan kesenangan tak terbatas yang sementara itu lalu menyesali dampak berikutnya.

Ah, tapi jika dengan kepalaku yang seperti ini aku pasti bisa melakukannya. Tentu saja, aku Asano Gakushuu, remaja SMP yang kejeniusannya tidak perlu lagi di uji coba.

Terlalu percaya diri?

Ayolah... jangan menganggapku begitu. Itu pantas untukku yang memiliki segalanya.

Pintar? Tentu saja.

Kaya? Tidak perlu dipertanyakan.

Teman? Ada beberapa pengikut setia.

Dipuja? Hampir semua orang melakukannya.

Posisi? Kedudukan? Aku hanya seorang ketua OSIS yang hanya bisa melakukan segalanya.

Apa yang kurang? Katakan.

Oh, ada satu. Kasih sayang orang tua.

Cih! Aku memang menginginkannya. Tapi telat jika kuminta itu sekarang dari pak tua keparat yang tidak pernah menganggapku sebagai putranya. Disamping itu sangat memalukan.

Kasih sayang, ka?

Aku tidak memilikinya. Kalau begitu mudah, aku hanya tinggal membuatnya. Akan kumiliki itu, suatu hari nanti, dari orang yang kucintai dan untuk orang yang kucintai. Akan kudapatkan kasih sayang itu.

Heh.

Aku sudah mendapatkan gambaran hidup bahagia yang sempurna suatu kelak. Akan kuwujudkan setelah mengalahkan satu-satunya tembok besar yang menahanku. Asano Gakuho.

Hah...

Kenapa rasanya muak sekali membicarakan tentangnya? Lihat, bahkan bantal di kamarku mengimajinasikan wajahnya. Menyebalkan.

Aku tahu itu bukan dia, tapi posisi bantal itu sangat menyenangkan jika bisa memukulnya. Aku tidak ragu mengambil tongkat baseball di sudut kamar dan memukul bantal itu.

Hahaha. Hahaha. Hahaha.

Kenapa? Kenapa?

Rasanya begitu menyenangkan. Dengan tongkat ini serasa aku bisa menghancurkan semua yang menghalangiku. Aku bisa menghancurkan semua yang tidak kusukai.

Saa... siapa lagi sekarang?

Akabane Karma.

Guling itu boleh juga. Wow! Menyenangkan sekali. Sugooooi!

Kuso... Isogai Yuuma.

PRANG!

Vas itu pecah berantakan. Tidak sampai berkeping-keping, tapi itu sudah cukup. Siapa yang mengatakan kepemimpinannya lebih baik dariku? Akan kuinjak orang seperti itu.

Kelas E ya?

Tumpukan bantal di sofa itu terlihat seperti mereka yang seperti sampah. Mungkin aku harus membuatnya semakin terlihat buruk. Tambah kacau. Tambah tidak pantas dilihat.

Ah, di laci ada cutter.

Gumpalan-gumpalan kapas itu bukan darah. Tetap saja, ini menyenangkan. Rasanya tidak ada yang menghalangiku lagi. Aku merasa puas.

Hahaha.

"Tanoshikata ne..."

Bruuk!

"Hah..."

Kamar ini selalu rapi. Pemandangan yang sangat berbeda sekarang, sofa tersayat, bantal guling berhamburan, vas pecah. Cukup berantakan. Tapi masih ada yang rapi, kalau begitu harus disamakan.

PRANG!

BRAK!

Ah, piala-piala dan piagam yang sudah kuraih sekarang berantakan di lantai. Tidak lebih baik dari sampah lain di kamar ini. Itu juga hanya kumpulan benda.

Tak!

BRAK!

Miniatur Tokyo Tower yang kulempar tepat mengenai jam dinding dan langsung membuatnya jatuh. Itu juga pecah. Ah, semua di kamar ini hanya barang rapuh.

Semua?

Ah ya, semua. Termasuk aku. Aku juga hanya manusia yang rapuh, yang melindungi diriku dengan kesombongan. Sifat arogan itu kutunjukkan karena aku tidak ingin terluka. Ya, itu benar.

Di mana letak rapuhnya aku?

Mungkin di sini. Di hati ini. Ini kosong. Hahaha. Aku merasa seperti Sasori, dia juga merasa kosong di sini. Mungkin aku mirip dengannya.

Jenius tanpa kasih sayang. Lebih tepatnya jenius yang sudah lupa kasih sayang. Ternyata memang benar, Gaara benar, manusia tidak pernah bisa menang dari rasa kesepian.

Are?

Aku merasa kesepian? Padahal ada empat orang yang selalu mengikutiku. Ada orang-orang yang selalu memujaku. Kenapa aku kesepian? Kenapa?

Oh.

Kasih sayang rupanya.

Cih. Kenapa topik harus mengarah padanya lagi? Lagi-lagi akar masalahnya di sana. Tidak merasa memiliki keluarga memang menyakitkan.

"Hah! Hah! Hah!"

Ada apa? Aku hanya menusuk-nusuk bantal yang kuanggap wajah ayahku, aku tidak harus merasa terengah bukan? Keringat ini juga tidak perlu, aku tidak melakukan pekerjaan berat.

Kenapa? Kenapa tanganku bergetar. Itu bukan darah. Itu bukan darah. Bukan darah. Ini hanya gumpalan kapas. Hanya kapas. Bantal itu bukan ayahku. Bukan Asano Gakuho. Dia tidak selemah itu kan? Ne?

Tes.

Apa yang basah di pipiku? Tidak mungkin aku menangis. Tidak. Tidak. Tapi... ini air mata.

Aku menangis? Karena kesepian? Tidak ada yang menyayangiku?

Rasanya sakit sekali. Aku ingin berteriak sekeras mungkin.

"AAAAMMMMPH!"

Yappari... menahan teriakan dengan bantal memang tidak memberi kelegaan yang kuinginkan. Apa aku tidak bisa merasa lega?

Ugh.

Aku dibesarkan dengan keras. Aku jenius. Aku kuat. Harusnya air mata ini tidak keluar begitu mudah. Tidak boleh!

Mengusapnya saja tidak cukup. Itu masih keluar. Semakin deras. Untuk apa aku menangis? Untuk siapa aku menangis? Agar apa aku menangis? Padahal aku tahu tidak akan ada yang datang menghiburku, harusnya aku sangat tahu untuk tidak melakukannya.

Lalu kenapa? Apakah aku sudah tidak tahan lagi?

Ah, aku merasa gila. Apakah baik-baik saja? Merasa seperti ini?

"AAAARGH!"

.

.

.

Asano Gakuho melirik ke pintu kamar anaknya. Pintu itu dingin. Kokoh dan tidak tertembus. Kau tidak akan mudah bisa membukanya, memang konyol memikirkan itu, tapi Gakuho merasa pintu itu mengejeknya.

Kaka diingat, sudah berapa lama ia tidak membuka pintu itu? Masih samakah dengan yang dulu? Bagaimana keadaan di dalamnya?

"AAAAARGH!"

Teriakan itu lagi. Ia yakin di dalam sana sudah banyak rongsokan yang dibuat oleh si pemilik kamar sendiri. Gakuho menghela nafasnya panjang, pandangannya sendu.

"Gakushuu..."

Sudah cukup lama keadaan ini berlangsung. Mulai dari suara ketukan meja. Barang-barang yang dilemparkan atau dipecahkan. Hingga suara teriakan Gakushuu yang terdengar putus asa.

Asano Gakuho tahu, anaknya tidak baik-baik saja.

Tidak harus diingatkan, ia tahu ia bukan ayah yang baik. Tapi kali ini ia ingin mencoba bersikap layaknya ayah. Meskipun ini sudah sangat terlambat dan mungkin malah menyakiti perasaan Gakushuu.

"Gakushuu-kun."

Tidak ada sahutan. Pintunya juga dikunci. Asano senior menghela nafas, ia merogoh kunci duplikat yang ada di sakunya.

Mungkin ia menyesali membuka pintu itu saat ini. Pemandangan yang ditangkap matanya terlalu menyakitkan untuk dilihat.

Gakushuu menangis dalam diam sambil memeluk lututnya sendiri. Di antara kepala dan lututnya ada bantal yang sudah tersayat yang ia gunakan untuk topangan.

Gakuho menutup pintu itu perlahan. Gakushuu tidak pantas dilihat dalam kondisi seperti itu. Kondisi itu tidak seharusnya dialami Gakushuu, ia juga masih anak yang masih membutuhkan bimbingannya. Ini salahnya.

Tapi sekali lagi, dia bukan seorang ayah yang baik. Dan gagal untuk menjadi itu.

Gakuho menekan beberapa tombol di ponselnya, ia berniat menghubungi psikiater. "Maaf tidak menghadapimu saat seperti ini."

Owari.