Disclaimer: Naruto's belongs to Masashi Kishimoto, but the story line and the OC (Haruto) is truly mine.

Pairing: Dark! Naruto (Haruto) x Naruto

Warnings: Yaoi, OC, Twincest / Selfcest, tsundere-Naruto, Alur Lambat (tuntutan cerita), missing word / typos, kata-kata kasar!, dll

Rate: M (saya mengkategorikan cerita saya dengan rate M karena hubungan sesama jenis dan twincest menurut saya adalah tabu dan berat)

Please don't read this fanfic if you hate the pairing or the story line!

Happy reading xx


My Bastard Twin

chapter 1

"Ibu, aku pulang."

Naruto Namikaze yang baru pulang dari kampus, merasa heran melihat ibunya yang tengah sibuk di dapur. Aroma sedap tercium dari meja makan. Barulah Naruto menyadari terdapat banyak makanan telah tertata rapi di sana. Alisnya terangkat. Tumben sekali ibunya memasak makanan dalam jumlah banyak. Biasanya ibunya hanya memasak untuk tiga porsi saja; ayahnya, ibunya sendiri, dan dirinya. Naruto mencoba mengingat. Seingatnya, ulang tahunnya masih beberapa hari lagi dan karena dirinya masih mahasiswa tingkat empat sangat mustahil jika semua makanan ini untuk merayakan wisudanya.

"Bu, kenapa hari ini ibu membuat makanan banyak sekali?" tanyanya keheranan, sembari mengambil salah satu udang di piring. "Ibu menang pachinko, ya?"

"Hush! Memangnya ibu itu kamu, Naruto!?" Kushina menarik telinga Naruto kencang; membuat anaknya meringis kesakitan, meminta ampun. "Hari ini adalah hari kepulangan saudaramu, maka dari itu ibu ingin menyambutnya."

Naruto cemberut, memegangi telinganya yang memerah. "Ugh, aku tidak mengerti maksud ibu. Saudara? Saudara yang mana? Yang dari Sapporo itu?"

"Bukan Paman Hiruzen, tapi Haruto," Kushina mengkoreksi, sembari meletakkan piring lain di atas meja. "Kembaranmu akan pulang hari ini."

Seketika, tubuh Naruto membeku. Dia hanya menatap lurus ibunya sembari memasang muka bengong; masih mencoba mencerna apa yang barusan dikatakan ibunya.

"Kenapa tiba-tiba diam? Jangan bilang kau melupakan saudara kembarmu sendiri?" Kushina mengerutkan dahi, curiga.

"Ya-Yang benar, bu?" tanya Naruto masih tidak percaya. "Si bre – ah, maksudku – Haruto, dia akan pulang hari ini?"

Kushina mengangguk. "Kalau tidak percaya, lihat saja di kalender. Haruto sendiri yang melingkari tanggal hari ini sebagai tanggal kepulangannya."

Mendengar penuturan ibunya, Naruto segera beranjak menuju kalender yang berada di ruang tamu. Hanya butuh hitungan detik matanya melebar setelah melihat tanggal hari ini tertutupi oleh tulisan 'Haruto's Back!' dengan lingkaran spidol merah di sekitarnya.

"Ah, ibu tidak sabar menantikan kepulangan Haruto. Oh, ya, Naruto, kau harus menjemput Haruto di—"

Bla bla bla...

Entah apa yang dikatakan oleh ibunya, Naruto sama sekali tidak mendengarkannya. Pikirannya tiba-tiba kosong, benar-benar kosong. Mungkin, dia terlalu syok mendengar kabar kepulangan kembarannya.

Sudah dua tahun ini, Haruto Namikaze tidak tinggal dengan mereka di Kyoto. Kembarannya itu lebih memilih tinggal sendiri di Tokyo setelah lulus dari sekolah menengah atas. Tentu saja, Naruto sangat bersyukur dengan keputusan kembarannya. Dia sudah terlalu muak menghabiskan delapan belas tahun dari hidupnya bersama dengan pria-sok-menyebalkan itu.

Mata Naruto menangkap sebuah pigura yang diletakkan di samping meja telepon. Pigura itu berisi foto dirinya dengan Haruto sewaktu masih anak-anak. Dengan wajah cerianya, Haruto melingkarkan tangannya di leher Naruto, sedangkan dirinya sendiri memasang wajah masam ke arah kamera. Dia tidak begitu ingat kenapa membuat wajah sejelek itu, tapi yang Naruto yakin itu semua karena kembarannya. Urat kemarahan Naruto menegang. Dia menutup kasar pigura itu. Suara bruk mengakihiri pidato panjang ibunya.

"Kau mengerti tidak, Naruto?" Naruto tidak menjawab pertanyaan ibunya, dia lebih memilih menaiki tangga menuju kamarnya dengan kaki yang dihentak-hentakan. "Jam 5 sore nanti kau harus menjemput Haruto di stastiun!" teriak ibunya dengan suara keras.

"Sialan!" rutuk Naruto, kesal, sebelum membanting pintu kamarnya dengan tak kalah kerasnya.

-x-

Selain mendengarkan dosennya menerangkan materi di depan kelas, menunggu adalah kegiatan yang paling tidak disukai oleh Naruto Namikaze. Ketika mempunyai janji bertemu dengan temannya saja, dia berusaha untuk telat karena saking antinya menunggu. Tapi, fakta di lapangan menunjukan dia sedang melakukan kegiatan itu.

Akibat diancam oleh sang ibu tercinta tidak akan diberi uang saku lagi, akhirnya Naruto menjalankan titah untuk menjemput Haruto. Mengingat kala itu jam telah menunjukkan pukul empat kurang lima puluh tujuh menit, Naruto yang baru bangun dari tidur sorenya segera mengayuh cepat sepeda milik ibunya.

Diejek oleh anak-anak karena menaiki sepeda wanita dengan model keranjang di depan, hampir menabrak seorang nenek yang sedang menyebrang, dikejar anjing tetangga—dan begitu sampai stasiun kembaran brengseknya belum datang! Rasanya dia ingin menghancurkan sepeda berwarna norak itu hingga berkeping-keping, tapi hal itu tidak Naruto lakukan karena dirinya masih sayang nyawa.

"Brengsek! Kenapa dia belum datang!?"

Dengan penuh emosi, Naruto mencari nama Haruto di kontak ponselnya; berniat untuk menanyakan keberadaannya sekaligus ingin memakinya. Namun, setelah mencari ketiga kalinya, dia baru ingat jika tidak memiliki nomor ponsel ataupun e-mail Haruto di ponselnya. Sebenarnya, Haruto pernah memberikannya namun dia buang karena merasa tidak perlu.

Sudah tiga puluh menit berlalu, kembarannya masih belum menampakkan batang hidungnya. Sembari merutuk, Naruto menguap untuk kesekian kalinya. Hanya duduk dan mengamati lalu lalang orang-orang di depannya membuatnya mengantuk. Matanya menjadi terasa berat. Perlahan, pengelihatannya memudar dan detik berikutnya pria pirang itu tertidur pulas.

-x-

"...to..."

Naruto merasakan tubuhnya berguncang.

"Naruto..."

Dia menggeliat sembari mengerang kesal.

"Bangun, adikku tersayang."

Merasa sesuatu yang lembut menyentuh telinganya, membuat mata Naruto langsung terbuka. Tubuhnya terpenjat kaget; hampir jatuh dari bangku yang didudukinya. Sudah dua tahun lamanya dia tidak dibangunkan dengan cara tidak manusiawi seperti itu. Satu-satunya orang yang berani melakukan hal itu padanya hanyalah—

"Ha-Haruto!?"

—tentu saja, kembarannya.

Kini, di depannya, berdiri seorang pria yang sangat dikenalnya. Rambut pirangnya berwarna sama dengan dirinya, hanya saja lebih panjang dibagian belakang dan jambang. Jika Naruto memiliki mata sebiru langit musim panas, maka kembarannya memiliki mata semerah darah. Dia sendiri tidak yakin bagaimana bisa Haruto memiliki warna mata merah – padahal kedua orang tua mereka memiliki warna mata biru – tapi, menurut penuturan dokter itu semua karena gen. Tapi, berkat fenomena genetika itu, tingkat kemanlyan kembarannya bertambah.

Meskipun kembar, Haruto lebih populer di antara para gadis. Beberapa kali, dia mencoba mendekati wanita, tapi selalu gagal karena si brengsek Haruto selalu mengambil 'mangsa'nya. Pernah, dia memberanikan diri untuk menyatakan cinta, tapi ditolak mentah-mentah dengan alasan wanita itu tidak ingin berpacaran dengan pria yang lebih cute daripada dirinya; bahkan wanita itu berkata Haruto adalah pria idealnya.

Harga dirinya sebagai pria langsung runtuh saat itu. Itulah salah satu penyebab mengapa Naruto tidak menyukai kembarannya – hingga saat ini.

"Sudah lama kita tidak bertemu, ya, Naruto?"

Rasa terkejut dengan cepat berganti marah, ketika melihat seringai khas yang dulu sering diperlihatkan; terlebih jika pria itu sedang mengejeknya.

"Kau! Tidak aku sangka kau punya nyali membuatku menunggu di sini selama – " Naruto melihat jam tangannya. " – dua jam!? Kau membiarkanku menunggu selama dua jam lebih!?"

Serasa mengabaikan kemarahannya, Haruto tertawa kencang, sembari terus melihat ke arah wajahnya. "Lebih baik kau segera menghusap air liurmu itu, Naruto. Aku tahu kau pasti tidak ingin orang-orang di sini melihatmu ngiler 'kan?"

"...?"

Suara tawa beberapa wanita terdengar di telinganya. Wajahnya sukses memerah ketika mendapati orang-orang melihat ke arahnya. Dengan cepat dan malu-malu dia mengusap air liurnya sebelum kembali memasang wajah marahnya.

"Jika tahu kau akan terlambat, aku tidak usah tergesa-gesa datang ke sini tadi!"

Kali ini Haruto memasang wajah bersalah. "Seharian ini aku ada latihan band sehingga lupa jika aku ada jadwal pulang ke Kyoto hari ini. Maaf."

Naruto mendengus. Ingin rasanya berkata jika lebih baik Haruto tidak perlu kembali ke Kyoto, tapi mengingat ibunya sangat menantikan momen kepulangan kembarannya niat itupun dia urungkan.

"Sudahlah, ayo kita pulang. Kau harus meminta maaf pada ibu karena ibu telah membuat makanan yang banyak untuk menyambut kepulanganmu. Gara-gara kau terlambat sepertinya ibu harus memanaskan semua makanan itu."

Senyuman lembut terukir indah di wajah tampan Haruto. Diapun merangkul mesra leher kembarannya sembari menyamakan langkah dengan Naruto yang melangkah keluar dari stasiun.

"Serahkan padaku, adik kecil."

Urat kemarahan Naruto menegang. "Sudah aku bilang... Jangan panggil aku seperti itu, Haruto!" dia menyingkirkan kasar tangan kembarannya. "Aku dan kau hanya beda tiga menit saat lahir!"

Haruto tertawa. "Tapi kau tetap adik kecilku yang paling manis, Naru-cha—oow!" serunya kesakitan saat Naruto menginjak kakinya, keras. "Tu-Tunggu aku, Naruto!" dengan kaki yang sedikit pincang, dia berlari kecil mengejar Naruto yang meninggalkannya.

Setelah beberapa kali melempar ejekan, akhirnya mereka berdua pulang ke rumah dengan Haruto yang mengendari sepeda sedangkan Naruto duduk membonceng di bagian belakangnya.

-x-

Setelah Haruto meminta maaf pada ayah dan ibu karena datang terlambat, entah kenapa mereka berdua langsung memaafkannya dan segera menuntun kembarannya ke meja makan. Jelas, Naruto tercengang, biasanya jika dirinyalah yang terlambat, ayah dan ibunya akan memberikan ceramah edukasi selama tiga hingga empat jam; tidak peduli jika dirinya dalam keadaan letih ataupun sedang dikejar deadline tugas.

"Naruto, ada apa? Kenapa diam saja di sana?" tanya Minato Namikaze; kepala keluarga merangkap ayah dan suami yang sangat menurut pada istri.

"Ah, tidak, yah," jawab Naruto singkat.

"Kalau begitu cepat duduk dan makan," perintah Kushina Namikaze; ibu sekaligus istri yang dijuluki Akai Chishio no Habanero oleh keluarganya jika sedang marah.

Naruto mengangguk, menurut. Setelah mengambil nasi dan beberapa lauk pauk yang tersedia, Naruto mengamati pembicaraan antara ayahnya, ibunya, dan Haruto dalam diam.

"Bagaimana dengan kuliahmu, Haruto?" tanya Minato membuka percakapan.

"Baik, yah," jawab Haruto sembari mengigit sepotong ayam. "Hanya kadang dosennya menjengkelkan dan mengajarnya tidak menyenangkan."

Minato mengangguk, paham. "Tidak semua dosen menyengangkan, Haruto, apalagi dosen-dosen di Universitas Tokyo, pasti killer semua. Lalu, bagaimana dengan prestasimu?"

Belum sempat Haruto menjawab, Kushina menyela pembicaraan. "Kau ini, Minato, dari tadi bertanya mengenai kuliah. Jangan kau interograsi anakmu seperti itu, aku yakin Haruto berusaha dengan baik di Tokyo. Lalu... bagaimana dengan pacar? Apa kau sudah punya pacar atau belum Haruto?"

"Aku belum punya, bu," jawab Haruto, santai.

"Apa!?" Kushina menggebrak meja makan, dramatis; membuat suami dan anak-anaknya terkejut. "Kau belum punya pacar!? Bagaimana bisa kau belum punya pacar, Haruto!? Jangan-jangan kau hanya belajar saja di Tokyo dan tidak pernah pergi ke luar!?"

Minato mencoba menenangkan istrinya. "Sudah, sudah..."

Haruto yang masih terkejut dengan tindakan ibunya hanya terdiam, sembari menerjapkan matanya beberapa kali; tidak tahu harus menjawab tuduhan ibunya seperti apa. Seharusnya, ibunya seperti ibu-ibu pada umumnya yang senang jika anaknya belajar dan tidak keluyuran tak tentu arah, tapi sepertinya justru kebalikannya.

"Ibu ingatkan, ya, Haruto, jangan jadi seperti ayahmu," Minato segera memandang Kushina; meminta penjelasan lebih atas perkataan istrinya yang tiba-tiba membawa namanya. "Ayahmu tidak memiliki inisiatif untuk mengejar wanita dan karena itu ibulah yang harus melakukannya! Ibu dengar para wanita di Tokyo sangat cantik-cantik. Apa kau tidak tertarik dengan mereka?"

Melihat Haruto yang terus menurut diberi pertanyaan oleh ibunya membuat Naruto tertawa dalam hati. Dia tahu betul jika kembarannya paling tidak suka – bahasa gaulnya – dikepoin, terlebih oleh orang tuanya.

"Daripada membicarakan tentang aku, bagaimana dengan Naruto selama dua tahun ini? Aku penasaran."

Naruto langsung melihat ke arah Haruto dengan tatapan mautnya, sementara kembarannya sendiri hanya menyeringai kecil.

Kushina menghela napas. "Meskipun sudah mahasiswa, semakin hari Naruto semakin malas saja."

"Selama empat semester ini indeks prestasinya selalu dibawah tiga. Tidak ada peningkatan signifikan padanya," timpal Minato sembari menggeleng kepala, heran.

Naruto memandang kedua orang tuanya dengan tidak percaya. Bisa-bisanya mereka berkata seperti itu meskipun dirinya telah berjuang keras mempertahakan prestasinya.

"Lalu, bagaimana dengan pacar?"

Kushina kembali menghela napas, tapi saat ini lebih dalam. "Sampai saat ini Naruto belum berhasil mendapatkan gadis pujaannya. Siapa namanya, Minato?"

"Sakura Haruno," jawab Minato cepat.

"Ya, gadis berambut merah muda itu," Kushina mengangguk, sembari membayangkan gadis yang dimaksud. "Sepertinya Naruto kurang berjuang dalam hal cinta. Tidak salah lagi, Naruto mewarisi sifat Minato."

Naruto yang menahan malu tidak menyadari perubahan raut wajah Haruto. Wajah kembarannya kini berubah dingin dan mata merahnya berkilat menahan marah.

"A-Aku sudah kenyang," semburat kemerahan tak luput dari wajah Naruto. "Aku naik duluan," diapun meninggalkan meja makan.

"Kau baru makan sedikit, Naruto!" seru ibunya setelah melihat makanan yang tersisa di piring Naruto masih banyak, tapi Naruto sudah terlanjur menghilang dari pandangan.

Sementara itu, diam-diam Haruto menggengam erat sumpitnya; berusaha menahan rasa cemburu yang memenuhi hatinya saat ini. Haruto tidak menyangka dia telah melewatkan sesuatu yang berharga selama dua tahun kepergiannya ke Tokyo.

-x-

Haruto membuka pintu kamar Naruto perlahan; tidak ingin membuat saudara kembarnya terbangun. Lampu kamar itu dalam keadaan hidup, sepertinya Naruto masih takut dengan gelap. Di atas tempat tidur, terlihat Naruto sedang tertidur pulas dengan baju setengah terbuka dan selimut yang tidak membalut sempurna tubuhnya. Haruto mengamati keadaan kamar Naruto, sepertinya selama dua tahun ini tidak ada perubahan yang berarti pada kamar itu. Cat dinding masih berwarna oranye terang. Kamarnya pun masih sangat berantakan. Banyak barang yang berserakan di lantai maupun di meja belajar; salah satunya adalah majalah porno.

Haruto memandang jijik pada majalah yang menampilkan seorang wanita telanjang di covernya. "Jadi, barang ini yang telah mengkotori pikiran polos, Narutoku, huh," dia menginjak majalah porno itu hingga beberapa lembarnya menjadi lusuh.

Merasa puas karena amarahnya telah tersalurkan, perhatian Haruto kini teralihkan pada Naruto. "Kau bisa sakit jika seperti itu, Naruto," katanya seolah Naruto bisa mendenganya.

Dengan cekatan, Haruto menurunkan baju yang dikenakan kembarannya hingga menutupi perut dan menyelimuti tubuh Naruto hingga sebatas dada.

Haruto menyeringai. "Memang benar, wajahmu sangat manis walaupun ngiler," dia mengelus rambut pirang kembarannya. Sebuah senyum terlukis di wajahnya ketika melihat Naruto menggeliat nyaman karena sentuhannya. "Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menyerahkanmu pada orang lain—" bisiknya di telinga Naruto. "—karena kita ditakdirkan untuk menjadi satu, untuk bersama."

Beberapa saat Haruto mempertemukan bibirnya dengan bibir Naruto sebelum melepaskan ciumannya.

"Kau adalah milikku, Naruto, milikku seorang," dan seringai licik muncul di wajah tampannya.

to be continued


EDITED: 19/04/2015

terimakasih pada Estrella Es-teller, uzumaky. tomatooranye , Aristy, Rabenda no Hana, Ri'llens Pavo, Monokurobo, gothiclolita89, CRH-Iluminnate, Himawari Wia, ailla-ansory, nay, shima, Redcas, suigetsu, Chiharu Nao TomatoOrange, hanazawa kay, dan all maerwaen telah mereview chapter 1! :D

with love,

brokenyouth0108 xx