PROLOG

JAUH, jauh, jauh….

Sejauh apa pun itu, aku tak peduli. Sekalipun jarak yang kutempuh akan membuatku tak dapat kembali, aku tetap tak peduli. Sejauh apa pun itu, asalkan aku bisa menyingkirkan orang jahat ini dari hidupku, aku tetap takkan peduli.

Aku memacu mobilku lebih cepat, lebih cepat lagi, menyusuri jalanan panjang yang asing tanpa peradaban di kanan-kiri. Kecepatanku mencapai 180 kilometer per jam, namun bagiku itu tetap belum cukup. Aku belum bisa berhenti di titik ini; kalau aku berhenti di sini, orang itu pasti akan tahu jalan kembali. Meski nyatanya aku sudah berada begitu jauh dari perbatasan Korea Selatan, namun bagiku semua jarak itu takkan pernah cukup. Aku takkan berhenti sebelum kakiku terasa terlalu sakit karena telah begitu lama menginjak pedal gas.

Jauh, jauh, jauh….

Ingin rasanya aku terus memacu diriku sampai ke akhir jalan tak berujung ini. Tetapi aku tak bisa melakukannya. Aku telah sampai pada batasku. Aku telah sampai di tempat di mana aku akan bertemu dengan seseorang yang akan menghentikan segala penderitaanku selama ini—paling tidak, itu janji yang telah ditawarkan kepadaku.

Aku perlahan menepi, tepat di hadapan seseorang yang telah lama menungguku. Kami diam sesaat, membiarkan raungan mesin mobil berhenti dengan sendirinya. Kemudian segalanya terasa terlalu sunyi, tak ada suara kecuali hanya embusan angin dan kegaduhan kecil di dalam bagasi mobil. Kami tak saling bicara sampai aku melangkahkan kaki keluar dari mobil.

"Aku tidak bisa, Sunghyun," gumamku, lelah. Rasanya seakan ada sebongkah batu besar membebani pundakku.

"Sudah kukatakan berulang kali, akan kulakukan ini untukmu. Jadi jika nanti ada orang yang mencarimu, kau akan punya alibi. Aku pun akan punya cukup waktu untuk bersembunyi."

"Tapi, ini tindak kriminal, bukan?"

"Tetap tak sebanding dengan apa yang sudah dia lakukan."

Aku memilih mengalah. Tak ada gunanya memperdebatkan hal ini. Sunghyun akan selalu menang dengan segala argumennya yang harus kuakui, memang hampir selalu masuk akal dan akan mematahkan semua bantahan. Napasku seketika terasa semakin berat.

"Mana kunci bagasinya?"

Aku merogoh saku mantel dan menemukan benda yang diinginkan Sunghyun. Terasa dingin dan mengingatkanku pada raut wajahnya saat ini. Terlalu berbeda, ketika kuingat bagaimana Sunghyun selalu menjadi orang yang memicu tawaku jika sedang tak ada seorang pun yang bisa kuandalkan. Bahkan ketika Kwon Jiyong pun sedang berada pada masa-masa tergelapnya dan membuatku benar-benar ketakutan, Sunghyun ada untuk menjadi apa saja yang dapat membuatku kembali tertawa.

Namun saat ini, segalanya terasa begitu jauh dari genggaman…

Sunghyun beranjak menuju bagasi. Perlahan, dia membuka pintu bagasi mobil menggunakan kunci yang kuberikan. Begitu dia memutar kunci, suara gaduh di dalam bagasi semakin menjadi-jadi. Aku bahkan dapat mendengar suara raungan dari dalamnya.

"Tentu saja. Ikatannya tidak cukup kuat untuk bisa membuatnya tutup mulut…"

Sunghyun membuka pintu bagasi. Di dalamnya terbaring sesosok pria yang telah sejak lama kami kenal. Tangan dan kakinya terikat kuat, ditambah dengan ikatan sehelai kain di mata dan mulut yang membuatnya tak bisa berteriak atau bahkan melihat. Ruang bagasi yang begitu sempit membuatnya harus menahan sakit karena tubuhnya tertekuk selama berjam-jam perjalanan yang kutempuh. Di luar dugaan, meski telah terkunci begitu lama di dalam bagasi, dia masih hidup. Meski begitu, aku dapat mendengarnya bernapas begitu berat ketika pintu bagasi terbuka seluruhnya. Kemudian kulihat Sunghyun membuka ikatan yang menutupi mata pria itu, dan lantas membiarkannya mengerjap-ngerjap sebelum akhirnya menggeram keras ketika dia mengenali siapa kami.

Kulihat Sunghyun memamerkan senyum terbaiknya dan menyapa, "Halo, Kwon Jiyong."

Kwon Jiyong menggeram murka. Jung Sunghyun menertawainya. Di sisi lain, aku terpaksa memalingkan wajah, menahan air mata sekaligus berusaha tidak menyesali keputusanku untuk mengakhiri nyawa kekasihku sendiri.

Ϩ Ϩ Ϩ