"Semua jangan bermalas-malasan! Ayunkan raket kalian seratus kali lagi!"
"Oi, oi, Mamushi, jangan terlalu keras seperti itu! Coba perhatikan, semua terlihat kelelahan. Ya kan, Echizen?"
"Bukannya itu hanya Momo senpai saja?"
"Ahh! Kamu sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama!"
"Cih, kamu masih saja lemah seperti itu."
"Apa kamu bilang?"
"Sepertinya setahun ke belakang kemampuanmu semakin menurun."
"Bukannya itu kata-kata yang pantas kamu ucapkan ke diri sendiri, Ma-mu-shi!"
"Kamu ingin berkelahi, huh?!"
"Siapa takut?!"
"Momo senpai, Kaidou buchou, tolong jangan berkelahi di tengah latihan."
Klub tenis laki-laki Seigaku selalu ramai seperti biasanya. Setiap pagi dan sore hari, lapangan tenis sekolah tidak pernah terasa sepi. Semua anggota berlatih dengan penuh semangat di bawah bimbingan Kaido, sang bucho. Tujuan mereka semua masih sama seperti tahun lalu, yaitu mempertahankan peringkat pertama pada pertandingan nasional.
Di saat yang bersamaan, seorang gadis berdiri di luar lapangan. Rambut panjangnya yang dikepang dua bergoyang-goyang tersibak angin. Namun badannya seakan terbujur kaku, tak bergeming sedikitpun sejak beberapa saat yang lalu. Mata bulatnya memicing, tertuju ke satu arah yang sama. Terus menatap lekat para angota klub tenis laki-laki yang tengah berlatih. Tidak, tepatnya salah satu anggota tenis laki-laki yang hari ini pun berlatih dengan penuh semangat seperti biasanya.
"Sakuno! Kamu sedang apa sih? Dari tadi aku mencarimu kemana-mana!"
"Oh, maaf Tomo chan, aku tadi ke toilet."
"Kenapa lama sekali, sih?"
"Hehe."
Tomoka yang marah-marah mendadak terdiam saat sadar bahwa sahabatnya berada di sana karena suatu alasan. Dan tentu saja dia pun sudah mengetahui secara jelas apa alasan tersebut. "Kalau mau memata-matai Ryoma-sama ajak-ajak aku dong!" godanya.
"A-apa sih. Aku tidak sedang memata-matai siapapun!"
"Tidak apa, meski aku pun mengagumi Ryoma-sama, tapi sebagai sahabat, aku akan selalu mendukungmu." Tomoka memasang wajah serius sembari menepuk pundak Sakuno yang semakin tersipu malu.
"Bi-bicara apa sih kamu? Ayo cepat kita kembali sebelum Ayano bucho mencari kita!"
Dengan wajah memerah, Sakuno mulai berjalan dengan cepat untuk menyembunyikan salah tingkahnya.
Sejak awal bertemu, Sakuno tidak bisa membohongi perasaannya yang terlanjur jatuh hati kepada sang pangeran tenis, Ryoma Echizen. Pada awalnya, dia merasa mungkin akan membenci teman lelakinya itu yang selalu berwajah sinis dan terlihat dingin. Namun, semakin dia berpikir seperti itu, semakin muncul perasaan aneh di dalam dadanya. Hingga akhirnya Sakuno menyadari sendiri bahwa dia menaruh perasaan kepada Ryoma. Perasaan yang begitu bertolak belakang dengan anggapannya selama ini.
Akan tetapi, Sakuno hanya dapat menyimpan perasaannya seorang diri. Dia merasa bahwa Ryoma sama sekali tidak tertarik kepadanya. Meski beberapa kali sengaja membuatkan bekal makan siang, niat baiknya itu pasti berakhir dengan ucapan 'mada mada dane'. Seharusnya hal tersebut dapat membuat Sakuno membenci Ryoma dengan mudahnya. Tapi, cinta memang tidak pernah bisa dimengerti. Hingga detik ini pun gadis berambut panjang itu masih berharap Ryoma akan menyambut perasaannya.
"Ngomong-ngomong, apa Ryoma-sama tahu kamu akan ikut bertanding di kompetisi tenis wanita minggu depan?"
Sakuno menggeleng pelan. "Entahlah… mungkin tahu."
"Kenapa tidak kamu beritahu? Atau minta tolong untuk membantumu berlatih."
"Tidak perlu, Tomo chan. Ryoma kun pasti sedang sibuk juga mempersiapkan diri untuk kejuaraan bulan depan."
"Tapi kan…"
"Sudah, sudah. Aku kan bisa berlatih bersama senpai-senpai yang lain."
Mendengar hal tersebut, Tomoka sedikit cemberut dibuatnya. Sebagai sahabat, dia tahu benar seperti apa perasaan Sakuno yang sebenarnya. Berkali-kali dia menyuruh gadis berkepang itu untuk menyatakan perasaannya pada Ryoma. Namun berkali-kali pula Sakuno menolak dengan tegas.
Setahun ke belakang, Sakuno berlatih keras sekali untuk bisa masuk ke dalam tim regular klub tenis wanita. Alhasil, usahanya terbayar dan dia langsung lolos seleksi setelah mengalahkan banyak anak kelas tiga. Dan kini, dia mendapatkan kesempatan untuk mewakili sekolah dalam ajang turnamen tenis wanita se-Kantou. Sebenarnya dia ingin sekali memberitahu Ryoma mengenai kabar tersebut. Hanya saja dia belum cukup berani, bahkan takut kalau-kalau Ryoma datang dan dia tidak bisa lolos pada putaran pertama. Jadi, Sakuno bermaksud untuk memenangkan turnamen dan mempersembahkan piala kemenangan kepada Ryoma.
Hari-hari pun berlalu tanpa terasa, hari ini Sakuno harus merasakan dadanya berdegup dengan lebih kencang. Dia tidak bisa berhenti merasa gugup dan cemas. Namun, demi meraih kemenangan, dia harus bisa melawan semua itu.
Turnamen pun dimulai. Pada awalnya Sakuno berhasil mengalahkan lawan dengan mudah. Dia terus melaju hingga sampai pada delapan besar. Rasanya gerbang besar menuju puncak terbuka besar sekali. Akan tetapi, bayangan tersebut harus kandas dengan seketika saat dia dikalahkan oleh seorang gadis bernama An Tachibana.
Sakuno menghela napas panjang dan terduduk dengan lemas. Tentu saja dia kesal, meski sebenarnya sudah sempat berpikir mustahil untuk bisa menang. Sebagian besar lawannya anak kelas tiga dan sudah lebih berpengalaman daripadanya. Namun, satu hal yang lebih membuatnya tenang adalah karena dia membuat keputusan tepat untuk tidak mengundang Ryoma menonton turnamen.
"Mada mada dane."
Tiba-tiba sebuah suara muncul dari arah belakang. Tentu saja mendengar hal tersebut membuat Sakuno terkejut dan sedikit melompat dari kursi. "Ryo-ryoma kun, kenapa ada di sini?" tanyanya gugup.
"Tentu saja untuk menonton turnamen," jawab Ryoma santai sembari meneguk Ponta-nya.
"A-apa Ryoma kun menonton pertandinganku barusan?"
"Iya."
Wajah Sakuno semakin memerah. Dadanya pun semakin berdetak dengan kencang.
"Se-sebenarnya aku malu sekali. Ryoma kun harus melihat aku kalah dengan mudah seperti itu…" Kini Sakuno merasa wajahnya panas, bahkan ingin sekali dia menangis.
"Permainanmu berkembang dengan pesat setahun ini."
Perkataan Ryoma barusan memberikan secercah kehangatan pada dada Sakuno. Mungkin hanya sebuah pujian biasa bagi orang lain. Namun bagi dia sendiri, hal tersebut lebih dari kata berharga. Dan kini dia semakin berharap akan mendengar lebih banyak kata-kata serupa dari dalam mulut san pangeran.
"Tapi," Ryoma melanjutkan kata-katanya. "Kemampuanmu yang seperti itu masih kurang untuk mengikuti turnamen ini."
"Eh?" Senyuman yang semula tampak pada wajah Sakuno memudar dengan seketika.
"Tenismu memang jauh lebih bagus dari tahun lalu. Tapi masih belum bisa dibandingkan dengan orang-orang yang ada di delapan besar turnamen ini. Terutama adik dari Kippei Tachibana itu. Wajar jika kamu dikalahkan hanya dalam waktu sepuluh menit. Kemampuan dia sudah sebanding dengan atlet wanita di tingkat nasional. Apa kamu benar-benar bermaksud untuk memenangkan turnamen ini?"
"Te-tentu saja," jawab Sakuno singkat. Dia sedikit tertunduk.
"Kalau begitu seharusnya kamu berlatih lebih keras. Aku tidak tahu mengapa kamu yang dikirim ke sini. Padahal lebih baik jika Ayano senpai yang bertanding. Meski kamu cucu dari nenek Ryuzaki, tapi tidak seharusnya dia memilihmu yang masih mentah seperti ini. Seharusnya kamu-"
"Cukup," potong Sakuno.
"Hm? Aku belum selesai berbicara."
"Sudah cukup! Aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi!" Air mata berjatuhan ke atas tanah kering. Baru kali ini Sakuno merasa sesedih dan semarah itu. Dan baru kali ini pula dia membentak seseorang, yang bahkan orang tersebut adalah laki-laki yang dia sukai.
"Aku tahu kemampuanku belum seberapa. Aku tahu aku tidak mungkin bisa menang. Semua yang Ryoma kun katakan barusan memang benar… Tapi, aku benar-benar sudah berlatih sekeras mungkin yang aku bisa! Aku bahkan melakukannya berkali-kali lipat dari yang biasa aku lakukan! Dan, bukan nenek yang mengirimku ke sini. Nenek pun bilang kemampuanku belum seberapa. Tapi aku ada di sini atas permintaan Ayano senpai! Dia mempercayai aku yang bahkan berkata tidak mungkin bisa melangkah dari tiga puluh dua besar! Tapi…" Sakuno tidak sanggup melanjutkan kata-katanya berkat rasa sakit yang terus menjadi-jadi dalam dada.
Sementara itu Ryoma hanya dapat terdiam melihat anak perempuan di hadapannya terisak dengan penuh rasa perih. "Sudah cukup…" ucap Sakuno lagi. "Setidaknya aku menjadi tahu beberapa hal. Bahwa aku tidak berbakat dalam tenis. Dan… bahwa aku telah salah sudah menyukai Ryoma kun selama ini!"
Tanpa menunggu respon dari sang lawan bicara, Sakuno bergegas berlari meninggalkan Ryoma yang masih mematung. Dia sudah tidak peduli apa yang Ryoma pikirkan setelah mendengar semua kata-katanya barusan. Untuk saat ini dia berharap untuk pergi sejauh mungkin dari orang yang disukainya itu. Berharap perasaan yang saat ini dia rasakan akan menghilang di keesokan hari.
