Author's Note:

Huaaaaaah akhirnya bisa nulis lagi! Soalnya minggu ini author udah masuk sekolah, dan hari-hari dihantam sama ulangan harian *lemes

Di second fanfic ini lagi pengen bikin tentang sekolah dan ada cinta-cintaannya gitu. Apa ya namanya? Shouju-Ai? Pokoknya itulah :D dan di tiap chapter cerita dan karakternya berbeda, tapi masih ada sangkut pautnya.

Author udah berusaha membuat dengan sebaik mungkin, kalo ada yang kurang misalnya kayak penulisannya atau malah ceritanya kurang nonjok silahkan tonjok saya.. EH BUKAN! Duh udah malem sih jadi ngelantur. Pokoknya jangan ragu untuk mengkritik atau malah memuji *ngarep* dengan mereview ya ^^ tenang, akan diterima dengan lapang dada! *mindahin perabotan di hati biar lapang* *loh*

Baiklah, sebelum semakin larut dan saya semakin ngelantur. Hope you enjoy this one :)

XxX

Disclaimer: Yoshihiro Togashi

Title: Kisah Hunter di Sekolah

XxX

Jam Pelajaran Pertama / Matematika / Kelas 3-B

Pintu kelas terbuka dan kulihat pemandangan yang selalu sama setiap pagi, ruang kelasku beserta teman-teman sekelasku. Setelah menyapa selamat pagi aku berjalan menuju mejaku. Kuletakkan tas sekolah di kursi dan duduk di meja.

"Ohayou," sapa teman yang duduk di samping mejaku.

"Ohayou, Nobunaga," balasku.

"Kau bermain game sampai larut malam lagi ya, Danchou? Matamu merah tuh," Nobunaga tersenyum sarkastis menebak kebiasaanku itu. Danchou adalah julukan yang diberikan teman-teman padaku, mungkin karena aku adalah yang paling kuat diantara anak-anak kelas 3.

"Yah, begitulah," baru aku menjawabnya, bel masuk berbunyi. "Pelajaran pertama apa ya? Aku berharap gurunya tidak datang."

Nobunaga tertawa, "Matematika. Pecah rekor kalau guru kita yang satu itu tidak masuk kelas! Terlambat masuk saja tidak pernah."

Sedetik kemudian pintu kelas terbuka. Masuklah seorang guru berambut pendek pirang keemasan. Kelas yang sebelumnya ramai seketika menjadi hening menyadari kehadirannya. Anak-anak segera duduk rapi di tempatnya masing-masing. Sementara aku masih belum beranjak dari posisi dudukku di meja.

"Kuroro Lucifer, duduk itu di kursi, bukan di meja," guru itu berkata sinis terhadapku tanpa menoleh sedikitpun. Dia hanya berjalan lurus ke meja guru. Aku hanya berdiri dengan enggan dan duduk dengan benar di kursiku.

Sang ketua kelas berkomando untuk memberi hormat. Kemudian suara-suara lembar kertas buku yang dibuka dan suara pensil-pensil yang beradu di kotak pensil menghiasi ruangan kelas. Guru itu berdiri dari kursinya dan mengambil posisi di depan kelas. Seperti biasa, dia langsung memulai pelajaran tanpa banyak basa-basi.

"Baiklah, anak-anak. Kita lanjutkan pelajaran kita sebelumnya, yaitu Trigonometri," guru itu meraih spidol dan mulai menulis di papan tulis. Selanjutnya, dia menjelaskan pelajarannya secara rinci dengan bahasa yang mudah dipahami. Tidak heran dia menjadi salah satu guru favorit di sekolah ini. Sayangnya, guru ini terlalu serius dan seriusnya itu dibawa kemana-mana.

Suara guru pirang itu mengalun di penjuru kelas. Anak-anak mendengarkan dengan serius, kecuali aku. Ya, aku. Memang aku mendengarkan dengan seksama setiap vokal maupun konsonan yang keluar dari mulut mungilnya itu. Memang aku tahu yang terucap adalah deretan angka-angka dan istilah-istilah sin cos tan dan kawan-kawan. Tapi aku tak memperhatikan semua itu. Aku hanya menikmati suaranya yang terdengar merdu di telingaku. Apalagi ketika dia menyebut namaku. Karena itu, aku suka membuat masalah di kelasnya.

Aku menguap keras-keras. Seluruh mata memandangku. Tak terkecuali sang guru serius itu. Mata birunya yang tajam menatap lurus mataku dengan ekspresi jengkel. Aku dapat melihat di ujung mataku si Nobunaga tersenyum kecil dan bibirnya bergerak seolah berkata, "Mulai lagi deh."

"Kuroro Lucifer, kalau kau mengantuk dan tidak ingin ikut pelajaran saya, kau boleh pergi ke UKS dan tidur di sana. Saya tidak suka ada yang tidur pada jam pelajaran saya," katanya tegas. Sekali lagi, suaranya yang menyebut namaku masuk ke telinga dan merasuk ke hatiku.

"Maaf sensei, saya main game sampai larut malam jadi saya kurang tidur. Tidak akan saya ulangi," kataku semanis mungkin dan tersenyum dengan senyuman yang selalu berhasil membuat gadis-gadis di sekolah bersemu merah.

Guru matematika itu berbalik dan kembali menulis rumus-rumus di papan tulis. Tanpa mengacuhkan senyuman yang sudah kurancang sedimikian rupa untuk membuatnya terpesona. Sedihnya, tidak pernah sekalipun berhasil. Tapi itulah yang membuatku semakin bersemangat.

"Danchouu~ Bandel yaa~" suara itu berasal dari meja di belakangku. Shalnark. Aku memundurkan sedikit kepalaku ke belakang agar dapat mendengar suaranya dengan lebih jelas.

"Aku tau hobi Danchou selain main game, yaitu mengusili guru matematika kita yang satu ini kan? Jangan kira aku tidak menyadarinya yaa~" hanya dengan mendengar suaranya aku tahu dia sedang tersenyum jahil. Aku hanya balas tersenyum tanpa memalingkan muka.

"Shalnark. Jangan berbicara selama pelajaran,"

"Ups,"

Guru ini pendengarannya tajam juga, pikirku. Apalagi guru jutek itu mengatakannya tanpa berpaling dari papan tulis yang tengah dicoretkannya dengan serangkaian angka. Dingin sekali. Tapi itulah yang membuatku tertarik ingin mencairkannya dan melihat apa jadinya. Karena aku tahu dari mulutnya yang biasanya keluar kata-kata tajam, dapat terbentuk senyuman yang menjerat hatiku seperti dirantai erat.

"Nah, ada yang bisa menjawab soal ini?" tanyanya pada anak-anak.

Aku mengangkat tangan.

Pemilik mata biru itu memandangku dengan ekspresi antara tidak senang dan ragu. Tapi karena tidak ada lagi yang mengajukan diri, dengan enggan dia menyuruhku maju. Di saat seperti ini, kekompakan kelas memang berguna. Seisi kelas tau bahwa aku suka usil di jam pelajaran matematika ini, terlebih pada gurunya. Mereka tersenyum kecil memandangku beranjak menuju papan tulis.

Guru yang tidak sadar sedang diusili ini menyodorkan spidol padaku. Aku menggenggam jarinya yang memegang spidol agak lama baru menarik spidol itu dari tangannya (kesempatan bro!). Guru itu lekas-lekas menarik tangannya dari genggamanku, dan menggosokkannya di rok. Sedihnya, aku disamakan dengan kuman. Tapi aku sedikit terhibur melihat wajahnya yang seperti merinding jijik, rasanya aku ingin tertawa.

Nyatakan bentuk berikut sebagai jumlah atau selisih kosinus!

6 cos 40 cos 30

Aku terdiam cukup lama. Aku hanya asal mengangkat tangan tadi, sama sekali tidak memperhatikan soalnya. Tapi soal ini tidak sulit, aku bisa mengerjakannya. Aku sengaja berlama-lama, menikmati tatapan dari mata biru tenang yang menungguku menyelesaikan soal.

"Hei Nobunaga, penyakit usil Danchou kumat lagi," bisik Shalnark sambil tertawa kecil.

Nobunaga tersenyum, "Dasar Danchou!"

Pembicaraan Shalnark dan Nobunaga diluar jangkauan pendengaran kami. Kemudian aku mulai menulis.

= 3 (2 cos 40 cos 30)

Aku diam lagi.

"Kenapa? Kesulitan, Kuroro?" tanya guru itu.

"Agak, sensei," bohongku.

"Wooooo~ uda tau nggak bisa kenapa maju coba!" sahut Shalnark menggodaku.

"Hei, justru karena nggak bisa makanya berani maju biar bisa!" balasku tidak mau kalah.

"Alasan aja tuh!" kompor Nobunaga dengan senyuman yang jelas-jelas ingin mengerjaiku.

"Harap tenang. Benar kata Kuroro, meskipun tidak bisa tidak apa kalian mencoba maju dan mengerjakannya. Meskipun salah, itu yang akan membuat kalian akan benar nantinya," guru yang sempat merasa terganggu dengan keributan yang didalangi oleh Shalnark dan Nobunaga itu segera menenangkan kelas.

"Perlu bantuan , Kuroro?" tawarnya.

"Ehem, tidak apa sensei," aku meggoreskan spidol pada papan.

6 cos 40 cos 30 = 3 (2 cos 40 cos 30)

= 3 {cos (40 + 30) + cos (40 – 30)}

= 3 (cos 70 + cos 10)

Mata biru yang sebelumnya memperhatikanku itu berpaling ke papan tulis. Membacanya secara seksama kemudian berkata,

"Kuroro," mata biru itu kembali menatapku lurus.

"Ya, sensei?"

"Tuh, kau bisa mengerjakannya tanpa kesulitan," ujarnya seakan mempertanyakan waktu lama yang kuperlukan untuk mengerjakannya.

"Tadi kan, saya bilangnya agak, sensei," kataku enteng sambil tersenyum manis. Jawabanku secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa aku sengaja berlama-lama.

Merasa dirinya dikerjai, mata biru itu memancarkan kekesalan yang amat sangat, "Silahkan kembali duduk,"

Aku berjalan kembali ke mejaku dan sebelum menghempaskan diri ke kursi, aku ber-high five dengan Shalnark dan Nobunaga. Tentu saja tanpa suara dan tanpa terlihat.

Aku melirik benda yang melingkar di pergelangan tanganku, lebih kurang lima menit lagi pelajaran matematika usai. Setelah berdiam diri beberapa saat, aku mengangkat tanganku lagi.

"Ada apa lagi, Kuroro?"

"Mau permisi ke toilet, sensei," kataku. Semua orang di kelas, kecuali guru itu tau bahwa aku berbohong lagi. Sengaja ingin menambah kejengkelan guru itu dari setengah mati jadi tiga per empat mati, sebab guru itu kurang senang ada siswanya yang keluar di jam pelajarannya. Tapi sepertinya pada kasusku, guru itu lebih senang jika aku keluar jadi dia tidak perlu melihat wajahku yang selalu senyum – senyum mencurigakan di hadapannya.

"Silahkan,"

Aku sengaja berjalan sangat perlahan saat melewatinya. Alasannya apalagi kalau bukan ingin membuatnya kesal. Tapi aku tidak akan menambah dari kesal ¾ mati, karena kalau sampai 4/4 aku yang susah kan?

Sementara anak-anak, sepertinya menganggapnya sebagai tontonan menarik selama jam pelajaran matematika. Aku keluar kelas dan bersandar pada dinding di samping pintu kelas. Menunggu disitu selama lima menit terakhir.

Akhirnya bel berbunyi. Tak lama aku mendengar pemberian hormat dari dalam kelas. Kemudian pintu kelas terbuka dan keluarlah sesosok wanita berambut pirang dan mata biru yang kutunggu itu.

"Kuroro? Daritadi kau disini?"

"Iya, sensei."

"Oh, kamu sengaja tidak mau ikut pelajaran saya ya?" tanyanya sinis.

"Kalau memang begitu pasti saya sudah keluar dari awal, sensei. Sensei jutek banget deh,"

"Jangan bicara lancang begitu padaku, aku ini gurumu. Jadi apa yang kau lakukan disini?"

"Berbicara dengan sensei jutek," jawabku enteng, karena memang tujuan utamaku agar bisa mengobrol bebas dengannya.

"Aku punya nama, Kurapika. Jangan memanggilku begitu," katanya dengan nada tidak senang.

"Baiklah, sensei Kurapika jutek," balasku sambil tersenyum.

Kurapika menunjukkan ekpresi bahwa dia mulai malas dengan pembicaraan 'tidak penting' denganku. Aku bisa membaca ekspresinya dengan mudah. Mungkin karena aku keseringan memperhatikannya.

"Terserah. Tapi ku harap kau mau belajar dengan lebih serius karena kau akan lulus sebentar lagi sementara kerjamu main game sampai larut malam. Tapi lain ceritanya kalau kau tidak mau lulus," katanya sarkastis dan mulai berjalan melintasiku.

Aku menatapnya yang tidak menatapku. Aku tak kuasa menahan untuk tidak tersenyum mendengar sindiran pedasnya. Aku setia memandangnya yang mulai jauh berjalan meninggalkanku.

"Tentu saja aku mau lulus. Tidak mungkin aku bisa mendapatkanmu kalau aku masih jadi muridmu, ya kan, sensei jutek?"

XxX

Author's Note:

Disini Kuroro nya dibikin jadi anak SMA yang suka iseng sama orang yang disukainya. Entahlah, tapi di mata author Kuroro yang asli sepertinya kalau jadi anak SMA image nya ya seperti ini #bletak

Dan disini sengaja Kurapika dibikin jadi cewek. Maaf ya, Kurapika! *dicekik rantai*

Dan sebagai catatan, berhubung author tidak punya buku matematika kelas 3 SMA, jadi soal yang disertakan di atas itu sebenarnya soal kelas 2 SMA *dikejar orang kurikulum seenaknya ngeganti pelajaran anak sekolah* *sembunyi di balik rerumputan*

*bisikbisik* tapi yang paling penting, author pengen ngucapin makasih buat pembaca yang mau menyediakan waktu untuk membaca ff ini. dan juga buat yang mau ngereview. review yaaa? yaaaaaa? *lah koq maksa

*celingak-celinguk* okeh, author mau balik ke kasur dulu. oyasumi! :D