My Pride

Shiki © Fuyumi Ono

Fanfic by BlackKiss'Valentine 2011

Summary : Ritsuko, pekerjaan, desa Sotoba dan cinta yang kandas…

-

Namaku Ritsuko. Ritsuko Kunihara.

Aku pindah ke desa Sotoba yang terpencil ketika aku masuk SMP. Lingkungan yang asri dan udara yang masih segar sangat menyenangkan, seakan dengan ramah menyambutku yang sedikit tak pandai bergaul. Walau begitu, adik perempuanku rupanya merasa begitu sengsara harus pindah kesini. Dia yang ceria terus-terusan cemberut karena harus meninggalkan teman-teman sekelasnya di sekolah.

"Nee…Ricchan. Kau akan menulis apa untuk kuisioner cita-citamu?"tanya teman sekelasku ketika guru pembimbing dari BK memberikan kuisioner yang menanyakan cita-cita kami dan akan bersekolah dimana kami nanti.

Aku menggeleng, "…Tadinya aku bercita-cita menjadi perawat. Tapi…"

Kami pindah kesini karena ayahku baru saja meninggal bulan lalu. Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih murah dan suasana yang baru, Ibu memutuskan untuk pindah ke Sotoba yang jauh dari modernisasi. Untuk kembali ke kota yang pasti akan memberatkan keuangan Ibu, aku lebih memilih menyerah terhadap cita-cita itu. Ya, pasti aku akan bersekolah disini, dan akan mendapatkan pekerjaan sekedarnya sampai salah seorang pemuda dari sudut desa ini meminangku… Benar-benar klasik seperti novel.

"Hee? Enaknya… Berarti nantinya kau bekerja di klinik keluarga Ozaki, ya? Senangnya!"

"Eh? O-Ozaki?"

"Kau belum tahu? Itu klinik yang ada di bukit sana, milik keluarga Ozaki. Calon generasi berikutnya masih SMA, lho! Tampan pula!"

"Kau menyukainya?" tanyaku polos yang disambut gelak tawa berkepanjangan. "Bodoh! Mati pun aku tak sudi dengannya! Dia memang tampan, tapi kasar seperti Ayahnya. Aku lebih suka anak kepala kuil, Seishin-san. Dia sangat baik dan sama tampannya."

Mendengar itu, aku hanya bisa tersenyum.

"Tadaima!" seruku ketika memasuki rumah sore itu. Tidak ada jawaban. Sepertinya ibu pergi jalan-jalan disekitar untuk beramah-tamah dengan tetangga. Tapi aku melihat sepatu merah adikku berhamburan di gekkan. Apa dia tidur siang, ya?

Aku memasuki dapur untuk mengambil air minum, dan kudapati adikku tergolek di depan wastafel.

"Midori! Bertahanlah!" Aku menghambur mendekati adikku dan membalik tubuhnya. Napasnya ada, tapi begitu lemah. Wajahnya pucat. Aku ingat, sudah beberapa hari ini dia melewatkan makan bersama untuk mengurung diri di kamarnya. Ya Tuhan, sesedih itukah kamu untuk berpisah dengan teman-temanmu, Midori?

Dalam kepanikan itu, nama Ozaki yang terlontar dalam pembicaraan tadi siang melintas dikepalaku. Tanpa sempat mengganti pakaian, aku berlari sambil menggendong adikku keluar rumah. Niatnya berlari sendiri ke Klinik Ozaki, tapi tetangga yang kebetulan melihat segera membantu mengantarkan kami dengan sepeda motornya.

Dari kejauhan, aku bisa melihat bangunan putih beratap hijau semakin jelas terlihat. Itulah Klinik Ozaki yang sedang kami tuju.

Klinik Ozaki adalah sekomplek bangunan yang digunakan sebagai klinik dan rumah pribadi keluarga Ozaki selama beberapa generasi, yang luas dan mewah kendati tidak seheboh puri Kanemasa yang kukira istana dongeng ketika melihatnya untuk pertama kali.

Dan digerbangnya berdiri seorang dokter muda dengan rambut berantakan yang langsung menggendong adikku ke dalam klinik dengan sigapnya. Aku mengikutinya dibelakang, bertanya-tanya dalam hati, 'jangan-jangan ini Ozaki-san yang dibicarakan itu?'

Aku menunggu dengan cemas diruang tunggu sambil menahan tangis karena tak ingin terlihat memalukan di depan tetanggaku. 5 menit, 10 menit… Dokter itu belum keluar juga. Setelah 15 menit menunggu, seorang perawat cantik keluar dari kamar dan mendekatiku. "Kamu kakaknya, 'kan? Adikmu tidak apa-apa. Kamu temuilah Ozaki-san di kamar itu, dia mau bicara."

Aku agak takut karena teringat perkataan bahwa Ozaki-san orang yang kasar, sekalipun aku tak yakin kalau dia orang yang dimaksud karena dia bertindak sigap seperti dokter sungguhan… Bukannya Ozaki-san itu masih SMA?

"Dozo." kata dokter muda itu sambil menarik sebuah kursi untukku. Kulihat adikku terbaring dengan selang infus menancap sampai ke tangannya, membuatku melupakan rasa segan untuk bicara dan menanyakan keadaannya.

"Tidak apa-apa. Adikmu hanya anemia dan sedikit dehidrasi. Setelah beristirahat dan makan makanan bergizi pasti sehat …Sepertinya dia ambruk karena belum makan…"

Aku menunduk mengingat nafsu makan adikku yang memang sedang turun. "Dia tidak suka pindah kesini, jadi beberapa hari ini mogok makan."kataku lirih. Tetanggaku menimpali, "Mereka keluarga yang baru pindah di Sotoba, Toshio-kun."

Jadi namanya Toshio?

Dokter muda yang bernama Toshio itu mengangguk paham dan berpikir. "Siapa namamu?"tanyanya kemudian.

"Ritsuko."

"Nah, Ritsuko… Mungkin ini agak sulit karena penyakit yang diderita adikmu kini bukan berasal dari kuman atau virus, melainkan dari hatinya yang terluka karena harus menghadapi lingkungan baru yang tidak dikenalnya… Tapi, kuharap sedikit demi sedikit kau beri ia dukungan moral agar ia tidak stress sampai menolak makan. Ia masih dalam pertumbuhan dan masih kecil, mogok makan selama 1 hari bisa membuatnya sakit parah."

Aku mengangguk dan berkata 'ya' dengan berat. Tangisku tumpah disana. Tetanggaku menepuk pundakku dengan kasihan. Titik cairan infus berjatuhan dengan irama yang sama tanpa bersuara, membiarkan senggukanku yang lemah menggema sendirian diruangan itu.

Tangan yang sigap membopong adikku dan menolongnya itu mengelus kepalaku dengan lembut.

"Tidak apa-apa… Tidak apa-apa…" katanya menghiburku. "Kau sudah membawanya kemari dengan tepat waktu dan sekarang dia sudah tidur. Kau kakak yang hebat. Kau hanya perlu membujuknya sedikit lagi untuk membuka hatinya pada desa ini, supaya dia semakin sehat." Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat wajahnya saat mengatakan kata-kata itu, dan yang ada disana adalah wajah penuh pengertian dengan senyum indah yang mengembang diantara kumis dan janggutnya yang sedikit bertumbuh.

Entah kenapa, aku jadi merasa tidak boleh menyerah dengan cita-citaku sebagai perawat setelah mendengar perkataannya yang lembut dan merasakan kehangatan dari kulit tangannya dikepalaku. Air mataku masih menetes, tapi aku merasa kelegaan yang luar biasa didalam dadaku. Bukan hanya karena adikku telah ditolongnya, tapi juga karena telah diselamatkan dari kegundahanku selama ini tentang masa depan yang tidak pasti dan kelihatan muram semenjak Ayah tiada.

"Terima kasih…"

Malam itu juga adikku dibawa pulang setelah sadar dan ditengah jalan aku bertanya pada tetanggaku.

"Siapa nama dokter itu?"

"Oh, dia Toshio Ozaki, calon generasi berikutnya di Klinik Ozaki…"

Betapa Ozaki yang sangat berbeda dengan yang dibicarakan.