Lorong lantai satu nyaris sepertigannya diisi oleh orang-orang dengan air muka terheran-heran.
Baru saja terdengar peikikan kecil. Atau suara benturan ringan yang sesekali mendapat umpatan usai bertabrakan dengan pasien. Ritme antara high heels dan lantai keramik tempo cepat yang semula mengakrabi buram-muram warna vokal keramaian kini semakin menaikkan nadanya. Semakin laju, semakin keras.
Maka, semua rungu yang menangkap spontan memusatkan atensi kepada sumber; sang dara jangkung berhelai pirang pemakai bingkai magenta dan pakaian serba kuning tengah berpacu dalam waktu. Kilat bola mata di balik lensa menyiratkan sorot tegang disertai rajutan alis yang runyam.
"Maaf! Permisi … maaf!" rasa bersalah hilang dan timbul berkali-kali seiring tubuhnya menyapa tubuh lain; entah mereka dokter yang menggilir shift, perawat wanita, pengunjung jam besuk. Ia tidak peduli, hanya satu tempat dimana angannya tertuju. Biar seruan protes menusuknya, biar tubuh bermandikan peluh, biar rambut hancur awut-awutan. Yang ia inginkan hanya itu.
Satu tangan di depan tersembul antara kerumunan, menyusul kemudian sosoknya menyerobot cepat antrian lift tatkala denting pecah menampar sunyi.
Lantai dua. Ia pilin tangannya―gelisah, menengok lalu-lalang melesak dan keluar, serasa melompati satu detik butuh jeda antarmomen nan cukup lama. Ada rasa tidak nyaman di sana. Bukan aroma manusia yang berbaur tidak sedap. Bukan ributnya manusia bercakap. Harapnya tatapan mampu menyihir, digit ganda bergulir ke urut selanjutnya secepat mungkin. Lalu kembali lepas bebas merentangkan tungkai jenjangnya lekas-lekas.
Kamar 205. Begitu tutur suster, tiga puluh menit lalu usai menanyai destinasi.
Bagai kawanan ikan yang berlomba dalam kuatnya arus, berhasil dicapainya lantai empat, ia tembus gerombolan dan melesati ruang rawat inap.
Asa bagai di depan mata. Stamina yang terkuras tidak turut meredupkan niat membara demi sebuah sua walau sebatas kontak netra. Semangatnya naik ditemuinya pintu masuk, benturan high heels kali ini lebih ribut dikarenakan atmosfir berbalut tertib; sunyi, tenang. Hingga sanggup membiarkan dengung pendingin ruaangan leluasa menyatu. Dengan amat terpaksa ia ikuti alur di sana setelah desisan bibir penjaga ruangan tersilang telunjuk tertuju kepadanya. Luar boleh saja tunduk, namun hatinya kian menggebu semakin mendekati klimaksnya.
Tanpa ragu ia bunuh jarak terakhir. Daun pintu melebar. Pemuda Asia yang terbaring lemah dengan atribut medis sana-sini.
"… Tadashi."
Satu nama.
"Tadashi … Tadashi … Tadashi …."
Persetan Gogo menyebutnya sawan. Hiro mempertanyakan kewarasannya. Wasabi yang khawatir atas perilakunya. Atau Fred asyik terbengong heran.
Dirinya masih hidup. Dirinya masih ada.
"Honey―"
Langkahnya bergetar, dan perlahan menelusuri setiap inci lengan kokoh berbalut kasa. Bulir bening yang menganak-sungai mengungkapkan semua isi hati Honey Lemon.
"Syukurlah …"
.
.
Wake Up
by aruka
.
Alternate Story . TadaLemon . typos . OOC
.
Big Hero 6 belongs to Disney and Co.
.
.
.
MAAAAAAAAAAAAAAAAAAK ENTONG AKHIRNYA BISA NULIS LAGI ABIS NGEBAPERIN TADASHI DAN SHIPPING OTEPE ;;;w;;;)9
Review yang berkenan boleh ripiwnya? *winkwink
