A/N: ^^ Senengnya bikin fanfic~ Pertama-tama makasih udah baca karyaku sebelumnya, sekedar pemberitahuan buat beberapa orang (terutama yang nggak ber-akun) yang pernah baca fic Truth of Sketch, fic itu oneshoot, jadi udah tamat. Mungkin bakal dibikin sekuelnya, tapi nggak janji soalnya sibuk sih! Tapi makasih udah baca.
.
Sebenarnya fic ini projek lama… Tapi karena ada kecelakaan kecil―yang menyebabkan seluruh data USB saya menghilang―Stella memutuskan untuk melupakan projek ini. Tapi seletah sekian tahun berlalu, ternyata cukup tergoda untuk nulis ulang fic ini…
I wish you all will love it… Jujur saja, aku ngerasa bahasa di fic ini bakal beda banget sama bahasa di fic Truth of Sketch, bisa dibilang fic Out of Reach bakal make tipe bahasaku setahun yang lalu―bahasa anak SMP kalau kata teman saya mah…
Oh, ya, setting ceritanya di sekitar tahun 1200-an, negaranya bukan di Jepang tapi Kerajaan Konoha, jadi bisa dianggap ini adalah suatu kerajaan khayalan saya. Karena ini bukan di Jepang, maka mereka punya sejarah yang berbeda dan sedikit kebudayaan yang berbeda juga sama Jepang, tapi banyak miripnya…
Yah, semoga semuanya suka!
Enjoy!^^
Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
Out of Reach © Stella de Mare
Rated: T
Genre: Romance/Angst
Warning: AU, OOC, etc.
"DON'T LIKE, DON'T READ!"
Terinspirasi dari —percaya atau tidak—Chicken Little presented by Walt Disney Picture
…~*~…
Out of Reach
"When the Earth reach the Heaven"
.
Prolog: Our Simple Life
Musim Semi, 1217, Istana Timur Konoha
"Naruto-kun! Tunggu!" jerit sebuah suara anak kecil, perempuan. Gadis kecil yang bersuara nyaring itu berlari-lari kecil dalam balutan kimono sutranya. Juntaian hiasan rambut terlihat bergelayutan pada surai-surainya yang sama warnanya dengan bunga sakura yang bertebaran disekelilingnya. Dan dalam balutan keringat, emeraldnya memandang tajam. Marah.
"Sudah lelah Sakura-chan?! Heh, tuan putri?!" teriak sebuah suara kecil lainnya sambil tertawa, kali ini laki-laki. Ia berlari mundur, sambil terus memandangi sang putri yang kelelahan, sementara seringai jahilnya itu terus terpasang. Tangannya melambai-lambai menggenggam sesuatu.
"Naruto-kun! Kembalikan! Nanti aku dimarahi!" jerit Sakura semakin kejer.
"Kalau kau mau, coba kejar aku!" mendengarnya Sakura terlihat hampir menangis. Dipandanginya benda dalam genggaman Naruto dalam-dalam, seakan dengan memandangi benda itu begitu ingin, benda itu akan kembali dengan sendirinya. Sayangnya, itu mustahil.
Sakura terus berlari, sekuat yang dia bisa. Memang tidak mudah berlari dalam balutan kimono furishode―kimono lengan panjang, yang jelas jauh berbeda dengan Naruto yang hanya mengenakan kinagashi tipis―kinagashi adalah kimono nonformal untuk laki-laki.
Sakura merasa tak adil, marah, dan bingung pada saat yang bersamaan. Sakura dan Naruto adalah teman lama, sejak umurnya yang ke-5 hingga sekarang sudah berumur 12 tahun mereka selalu bermain bersama. Naruto memanglah anak salah seorang pejabat istana pusat dan ditugaskan untuk menjadi teman bermain Putri Sakura. Dan karena Naruto lebih tua darinya 2 tahun, selama ini Sakura sudah menganggapnya sebagai kakak.
Sakura merasa sudah sangat mengenal Naruto―sebagai orang yang santai, baik, jahil, namun pengertian dan punya pandangan yang dewasa bagi anak seumurannya. Sebab mereka selalu bersama, bermain bersama, belajar bersama, memanjat pohon bersama… Sakura selalu mengira bahwa ia sangat mengenal Naruto.
Maka tak aneh kalau saat ini Sakura menganggap Naruto bersikap aneh. Dan tak aneh juga kalau Sakura marah. Sebab sikap Naruto saat ini sangat tidak khasnya, sangat kekanakan. Ini sudah keterlaluan. Sakura memang tak pernah mau membeda-bedakan status―tak suka malah. Tapi adalah terlampau kurang ajar bagi seorang anak pejabat istana utama mengambil kanzashi—hiasan rambut—kebesaran seorang putri pertama dari raja yang tengah menjabat. Terlebih pada hari sepenting hari ini…
Setiap bulan purnama bulan ke-4, permaisuri dan anak pertamanya akan pergi ke Istana Utama untuk bertemu dan merayakan bulan purnama bersama Raja. Dan untuk bertemu Raja, ia harus berpakaian pantas. Dan ia butuh kanzashinya atau kali ini semuanya akan hancur total. Walaupun Sakura adalah putri pertama dari permaisuri raja, ia tidak serta-merta dapat masuk ke Istana Utama, dalam setahunnya saja ia hanya bisa bertemu ayahnya pada hari-hari besar saja, dan hari-hari itu amat langka, karena itu Sakura marah. Dalam marahnya ia mempercepat langkahnya, dan bulir-bulir keringat mengalir di seluruh badannya. Kepalanya pusing.
Naruto tetap berlari kecil di depannya. Dan Sakura terus mengejar. Dan tiba-tiba ia lunglai, dan jatuh.
"Na, ruto…" dan bunyi bedebam mengiringi kejatuhannya. Naruto menengok, kaget, bola matanya yang safir membulat, seakan akan keluar dari rongganya. Dan ia panik.
"SAKURA!" dan dalam ketidak sadaran Naruto segera berlari menghampiri Sakura yang sudah ambruk. Kanzashi itu ia lempar begitu saja, membuat kain-kain sutra berbentuk lambang kerajaan itu berlumpur dan juntaian mutiaranya lepas, seakan kanzashi pusaka kerajaan itu tidaklah berharga sedikitpun.
Teriakan membahana Naruto cukup membawa sepenjuru Istana Timur berkumpul. Segerombolan prajurit istana berlarian, berteriak-teriak, berusaha bertanya apa yang terjadi. Tapi Naruto hanya terus memanggil-manggil nama Sakura. Tak memedulikan panggilan-panggilan padanya, sama seperti ia tak memedulikan kanzashi yang tergeletak hancur di pinggiran tanah.
.
Ruang Pertemuan Istana Timur Konoha
Seorang pria kecil duduk dalam balutan baju resminya. Matanya yang safir memandang lurus pada pria dewasa di hadapannya. Pria dewasa itu terlihat seperti versi besar dari si pria kecil, dan safirnya yang serupa memandang balik pada anaknya.
"Kau buruk, tahu itu Naruto?" ucapnya sarkastik.
"Saya memohon ampun ayah," jawab Naruto dengan tangan bersimpuh ke lantai. Memohon ampun pada Namikaze Minato—ayahnya.
"Kau tidak lupa ini hari apakan, nak? Hari ini bulan bulat penuh, dan Sakura-hime harusnya pergi ke Istana Utama," ucapnya kembali dalam wibawa.
"Ya ayah, saya tahu."
"Dan kau tidak lupa bahwa hari ini putri akan dijodohkan dengan Putra Mahkota kerajaan lain, kan?" tanya Minato lagi.
"… Ya, ayah, saya ingat…" jawabnya ragu-ragu.
"Lalu kenapa kau melakukan hal seperti ini? Ayah tahu kau tidak mungkin hanya main-main… Kau tidak sekanak-kanakan itu, ayah tahu," tanya Minato lagi. Kali ini matanya memandang lurus pada putranya yang tunggal. Dan Naruto bisu, bingung harus manjawab apa. Hening sejenak. Dan safir Minato terus menginterogasi anaknya.
Mendadak Naruto bersujut, dan berkata pelan, namun jelas.
"Maafkan anakmu ayah… Aku, mencintai gadis itu!"
Seketika itu juga Minato bangkit berdiri, dan berteriak murka.
Seakan tak pernah ada kelembutan dalam wajah itu.
.
Sakura terbangun. Dan sekarang ia telah berbaring pada futon di kamarnya. Kepalanya masih agak pening.
Dengan langkah agak terhuyung, Sakura melangkah keluar dari kamarnya, dan disepanjang lorong ia mendengar suara sayup-sayup, ia mengikuti arah suara tersebut. Dan suara itu makin jelas.
"Alasan macam apa itu?!" teriak suara itu membahana. Suara itu terdengar begitu menggelegar namun tetap berwibawa, terdengar begitu familiar. Itu suara Namikaze-san… Namikaze Minato adalah ayah Naruto, dia orang yang lembut, tapi juga tegas, walaupun Sakura sama sekali tidak menyangka bahwa dia bisa membuat suara segalak itu.
Diam-diam Sakura semakin penasaran, maka ia mendekatkan diri pada pintu. Berusaha mencuri dengar. Suara Namikaze-san kembali terdengar.
"Kau benar-benar keterlaluan Naruto! Kau telah membawa Sakura-hime dalam kesulitan, membuatnya pingsan, menghancurkan kanzashi warisan mendiang ratu…"
Sakura mengintip dari celah pintu.
"Mohon berikan anakmu pengampunan, ayah," pinta Naruto dalam-dalam. Ia bersujut di depan ayahnya hingga mencapai tatami di bawahnya. Sedangkan safir sang ayah hanya memandangnya semakin tajam, jelas murka. Pandangan dingin itu baru sekali ini Sakura lihat, ia menggigil.
"Bukan aku yang harus kau pinta ampunannya anakku," ucapnya sehabis menghela napas, lalu ia menyambung, "seharusnya, kepada Tennou Heika—Baginda Kaisar—kamu meminta maaf. Kamu merusak acara pertemuan itu dengan membuat putri sakit, lalu kau juga merusak pusaka warisan ibunda dari Tennou Heika. Kali ini perbuatanmu sungguh fatal dan egois. Putri bisa ada dalam masalah sekarang," sedetik setelah mendengar kalimat terakhir, Naruto mengangkat kepalanya dan menyeletuk.
"Ini bukan salah Sakura-chan, ayah!"
"Jangan lancang, panggil putri dengan gelarnya! Sudah dari dulu ayah bilang, kau bukan anak kecil lagi Naruto, hanya dalam beberapa tahun kau akan masuk dalam jajaran anak buah raja, tunjukanlah rasa hormatmu! Sudah hampir waktunya kau berhenti menjadi teman bermain putri, sebentar lagi! Dewasalah!" bentak Minato sekali lagi. Naruto kembali menunduk. Minato kembali menghela napas, sabar.
Sakura terkejut mendengar kabar itu. Naruto akan berhenti datang ke istana. Dalam sepersekian detik ia merasa kesepian. Naruto adalah satu-satunya teman dalam hidupnya. Sebelumnya, memang banyak anak lain yang dikirim untuk menjadi teman bermain putri, tapi mereka semua hanya penjilat. Tak satupun diantara mereka sungguh-sungguh mau berteman dengannya. Anak-anak itu hanyalah boneka politik, yang kepalanya telah dicuci dan digunakan untuk mengambil simpati orang lain. Mereka sungguh manipulatif, dan Sakura tahu itu, dan ia tak menyukainya. Hanya Narutolah satu-satunya teman yang tulus menyukainya. Tapi kini Sakura harus menerima kenyataan pahit.
Naruto akan pergi, dan walaupun ia sudah sadar sejak lama bahwa hal ini akan terjadi, ia tetap sedih. Dan dalam penerimaan pasrah, Sakura kembali melangkah ke kamarnya. Ia muak mendengar obrolan itu. Muak dan mual, hingga ia ingin muntah… Dan Sakura dalam tiap langkah ke kamarnya, kata-kata itu terus terngiang.
'Naruto pergi, pergi, pergi, pergi, dan aku sendirian, dia pergi, pergi…' terus terulang bagaikan barisan puisi tak berujung. Sakura terisak, menangis.
Sementara kesunyian terus menerkam di dalam ruangan itu.
Naruto kembali bersujut dalam-dalam, hingga hanya punggungnyalah yang dapat dipandang oleh sang ayah.
"Maafkan, aku," ucapnya tulus. Minato mulai melunak.
Lalu perlahan, dalam balutan kimono resmi khas penajabat istana Minato bangkit, mendekati putranya yang bersujut dalam-dalam. Punggung anaknya bergetar.
Lalu Minato merunduk dan berkata lembut, berusaha menenangkan, "Kau harus tahu Naruto, untuk dapat hidup aman dalam lingkup istana ini, kau tidak boleh gegabah. Kesalahanmu kali ini sangat fatal, dan alasanmu tadi sangat tidak masuk akal. Kau harus sadar dimana tempatmu, kau orang bawah langit Naruto, hanya rakyat jelata, sedangkan gadis itu anak dewa, ia dewi, orang langit. Sampai kapanpun bumi tak akan pernah menggapai langit Naruto, tak akan pernah. Kau harus menerimanya, ini takdir…" ucapnya sambil mengelus punggung putra tunggalnya itu.
Dan Naruto bergetar hebat, dan air matanya mengalir…
.
Sang gadis menangis, sadar bahwa yang paling berharga akan pergi sebentar lagi. Ia mencintai pria itu, baru hari ini ia sadar…
Sang pria merintih, dalam sakit hati menerima kenyataan, betapa pahitnya takdir ini. Karena ia mencintai sang gadis, sudah lama, hingga terlalu dalam, dan baru hari ini ia sadar, semuanya percuma.
Air mata mereka mengalir bersamaan. Dalam ruang jarak yang berbeda. Keduanya dipermainkan oleh takdir.
Tapi sungguh, kita tak akan tahu, sejauh apa takdir itu akan mempermainkan mereka...
.
'Sebab biarkan waktu yang bicara pada sang takdir, kemana dua manusia kecil ini akan dibawanya'
.
To be continued
Yah, begitulah... Sebenernya ini fic angst pertamaku, jadi nggak gitu berpengalaman... Semoga semuanya suka ya^^
Kritik dan saran ditunggu. Riview saya ya!X3
