"Nakal itu dipuas-puasin waktu masih SMA. Kalau nggak, takutnya kuliah nanti jadi bencana."

. . .

Puas?

Prolog

. . .

Pintu konbini dibuka, denting bel dan sapaan ramah pegawainya menyambut satu pelanggan yang masuk dari teriknya dunia luar. Ia pandangi toko itu dengan bosan sebelum berjalan ke salah satu rakyang memamerkan beragam buku dan majalah. Kedua manik hazelnya mencermati setiap judulnya hingga berhenti di salah satu buku—tepatnya, sebuah majalah remaja mingguan. Ia tersenyum simpul setelah membaca headline-nya:

Komunitas Sekolah: Antara Ekstrakurikuler atau Ngumpul Bareng?

"Yah... keduluan..."

Jean menoleh ke belakang, ia temukan seorang remaja laki-laki yang sedikit lebih tinggi darinya, berbintik wajah dan berambut hitam belah tengah sedang menatap lesu pada majalah yang kini dipegangnya. Cepat-cepat remaja itu meminta maaf dan menyilahkan Jean untuk memiliki majalahnya saja, tapi—

"Kamu mau?" tawar Jean.

"Sudah, tidak apa-apa. Itu stok terakhir juga, kurasa. Kau yang memegangnya duluan, jadi—"

"Ambil aja," dengan itu, Jean menyodorkan majalah itu tepat di wajah si remaja. "Toh lainnya sini masih banyak."

Remaja itu nampak ragu. Akhirnya, tangannya pun bergerak dan mengambil majalah itu sambil mengumbar senyum, "Thanks!"

Jean mengangguk. "Ngomong-ngomong, kamu anak mana?"

Pemuda berbintik yang hendak menuju kasir itu menghentikan langkahnya. "SMA Shiganshina."

Alis Jean terangkat heran, "Kok sampai sini?"

"Aku ambil jalan memutar untuk pulang, sekalian jalan-jalan. Aku mampir karena teringat untuk membeli majalah ini saja, sih. Yang minggu lalu sudah kubaca, aku ingin tetap update dan di majalah ini ada semua yang aku butuhkan! Kenapa, ya?"

Jean mengangguk-anggukkan kepala dan sambil mengambil ponsel untuk mengirim pesan singkat, ia mengucapkan, "Ya sudahlah. Hati-hati."

"Er... Oke. Sekali lagi, makasih ya."

Jean memperhatikan pemuda itu untuk terakhir kalinya kemudian berjalan ke rak snack untuk mengambil sebuah bar cokelat. Ia bayar makanannya setelah si pemuda dan menyusulnya keluar. Di sanalah mereka bertolak jalur.

Jean yang memunggunginya tidak melihat detik-detik pemuda itu mendadak ditarik masuk ke celah gelap di antara dua bangunan, disusul seru-seruan panik yang kemudian terbungkam oleh suara hantaman benda-benda tumpul.

Namun Jean tidak tuli. Matanya menyipit sinis, sebuah seringai terukir di wajahnya. Dengan santainya ia berjalan menyusuri trotoar, membuka bungkus makanan kecilnya dan mengambil gigitan kecil. Lidah menyesap manisnya krim cokelat yang semanis suara pertarungan di belakang sana.

Seenaknya saja masuk teritori orang.

.

=sirupmarjan=

.

Hampir seluruh warga SMA Trost sudah berada di rumah sore itu, kecuali beberapa yang mengikuti klub dan tentunya sekelompok pelajar yang kini tengah berbagi cerita di bawah pohon akasia besar di halaman sekolah. Canda tawa mereka terpecah ketika ada teriakan menantang dari luar gerbang. Suasana menegang tepat mereka melangkah keluar untuk bertatap muka dengan gerombolan remaja laki-laki berjaket kulit cokelat. Wajah mereka tertekuk-tekuk, menatap garang pada lawannya.

Seorang remaja bersurai cokelat gelap melangkah maju, kedua iris kehijauannya melotot penuh racun. "MANA KIRSCHTEIN!"

Dari kubu yang berlawanan, pemuda berambut pendek cokelat kepirangan mengenakan hoodie hijau kusam berlambang kuda jingkrak di punggung maju di depan kelompoknya dengan langkah santai. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, mata cokelat keemasannya berkilat tajam layaknya pedang. Menaikkan dagunya, ia membalas, "Apa nyari-nyari?"

"POKOKNYA KAMU HARUS TANGGUNG JAWAB!"

Kerumunan di belakang Jean mulai berkomentar yang cukup menggelitik telinga.

"DIAM!" Jean membentak, membungkam mereka seketika. Ia kembali pada lawan bicaranya, "Masalahmu apa lagi sekarang, Eren? Heh?"

"Masalahku?! Kamu itu yang punya masalah, muka kuda! Cemen banget main keroyok diam-diam! Tiga lawan satu, pula! Makasih, ya! Gara-gara ulah anak buahmu, bos kita nyaris setengah bonyok, tahu nggak?!" balas Eren berapi-api.

Jean tidak mau kalah, "Eeeh, udah tahu daerah minimarket itu punya sini—"

Kalimatnya terpotong. Sesuatu terasa seperti menyentil pikirannya tiba-tiba.

"Uh... Jean?" seorang remaja bertubuh kecil berkepala plontos memanggil.

"... Ya, Connie?"

"Kita nggak salah denger, kan?"

Dengan suara pelan, Jean berkata, "... Ti-dak. Bos mereka masih Eren Jaeger. Yang kemarin Thomas, Millius dan Nack kusuruh hajar itu hanya seorang bocah yang melanggar dua hal; masuk teritori kita dan mengambil majalah favoritku."

"WOI! MASIH BELUM PERCAYA JUGA, KALIAN?!" seru Eren, membuat perhatian kembali terlempar padanya. Tiba-tiba ia tarik seseorang dari belakang barisannya, "Nih! Lihat!"

Kedua iris keemasan itu melebar kaget, mulut menganga namun tak sepatah kata apapun keluar.

Cokelat gelap dan hazel bertemu. Pemuda yang ditarik Eren tadi pun tersenyum dan menyapa, "Hai."

Baru saja kemarin bertemu, Jean ingat betul bagaimana ciri fisiknya; cukup tinggi, rambut hitam belah tengah—meski kini ada koyo yang menghiasi pipi kanannya serta lebam di beberapa titik. Bintik-bintik gelap di pipinya membuat pemuda itu nampak culun di mata Jean, namun ia tidak menyangka itu pula yang menyembunyikan pangkatnya sebagai ketua geng lawan...

... Dengan sempurna.

Suara dering handphone memecah keheningan, Connie segera memeriksanya dan mendapati sebuah SMS, "Dari Franz."

"Gimana?"

Connie membacakan kalimat pertama.

"HAH?! MASUK RUMAH SAKIT?!"

"Jangan teriak pas di kupingku, dong!" Connie menggosok-gosok telinganya dan melanjutkan, "Franz lapor langsung dari sana. Thomas patah tulang di kaki kiri, lutut Millius geser ditambah retak tulang hidung dan lengan kanan Nack retak plus pelipisnya robek..."

"Pantesan mereka bertiga nggak kelihatan hari ini," celetuk salah satu yang lain.

"Ehee... Maaf ya, soal kemarin," seluruh perhatian tertuju pada pemuda tadi, "Sebelumnya, biar aku memperkenalkan diri dulu. Namaku Marco Bodt. Aku diminta Eren untuk menggantikannya belum lama ini."

Jean masih membatu di tempat penuh tanda tanya.

"Bos, yakin dia yang masuk wilayah kita kemarin?" bisik salah seorang anggota gengnya kepada Jean. Yang bersangkutan hanya mampu mengangguk kaku.

"Jujur, aku kaget tiba-tiba ada tiga orang menarikku masuk gang dan menyerangku. Anak buahmu ya, ternyata? Mereka kuat juga!" Marco berkomentar. "Niat awalnya sih, ingin melindungi diriku sendiri. Tapi maaf ya, kalau aku membalas mereka terlalu keras."

"TUNGGU DULU!" Jean menyela, telunjuknya diarahkan tepat ke hidung Marco. "Apa-apaan ini?! Bocah macam kamu harusnya nggak ada di sini! Mending cepatlah pergi sebelum kuremukkan tulang-tulangmu!"

Sontak kedua geng mulai adu mulut. Meski sempat kewalahan, kedua ketua geng berhasil mendinginkan masing-masing anak buah mereka seperti semula.

"Hei kau, Marco! Harusnya sudah dengar kan, kalau tempat yang kau lewati kemarin itu punya sini? Hah?!" Jean memulai.

Marco tertawa renyah. "Memangnya kenapa kalau kalian menganggap area konbini itu milik kalian?" Pernyataan itu mengundang tarikan nafas syok dan keheranan dari kubu seberang. "Setahuku, itu area umum. Kalau daerah situ memang punya kalian, kenapa kalian hanya menghajarku saja? Padahal ada bapak-ibu, kakek-nenek, om-tante, anak-anak dan yang lainnya lewat situ. Kenapa kalian diamkan? Kenapa juga pegawai konbini itu nggak kalian hajar sekalian?"

Jean gemas. Sangat gemas. Tangannya mengepal erat, rasanya ingin segera menghapus senyuman inosen itu dari wajahnya. Ia tak habis pikir, bocah sepertinya tidak sepantasnya ada di lingkungan ini. Anak sok baik seperti dia harus diberi pelajaran.

"Marco! Kepala batu macam dia nggak bakalan ngerti kamu bilangin begitu aja. Hajar!" ujar Eren, disusul sorak dukungan yang lainnya.

Marco memijit pelipisnya, menghela nafas lelah. Ia berbalik sambil mengangkat kedua tangannya, berseru, "Sudah! Sudah semuanya! Tenang!"

"Mau tenang bagaimana?! Lihat apa yang mereka lakukan padamu kemarin!" balas salah satu orang.

"Iya, iya! Aku tahu! Nah—" Marco membalik punggungnya menghadap Jean. "Sebenarnya aku lebih menyukai menyelesaikan masalah personal secara langsung daripada melibatkan orang lain. Tapi karena teman-temanku memaksa, jadi... apa boleh buat.

"Ngomong-ngomong, aku merasa ada suatu hal tentangmu yang cukup... menarik," ungkap Marco sambil melepas jaket kulitnya dan dititipkan pada orang dibelakangnya. Lengan kemeja putihnya pun ia gulung hingga siku. "Tapi sebelum itu... Sepertinya masalah ini harus diselesaikan secara tradisional. Jean nyaman dengan cara itu juga, kan?."

Marco memasang kuda-kuda. Kedua manik cokelat hangat itu kini berkobar penuh tekad, menatap fokus pada satu target di hadapannya.

"Jean Kirschtein. Lawan aku. One on One!"


(A/N)

Yo, readers~

"Gimana kalau anak-anak Angkatan 104 adalah anak geng?"

... dan TADAAAA jadilah fic absurd ini- :"D

Jadi, tiba-tiba saja sebuah ide tentang geng sekolahan muncul begitu saja dan jadilah fic MarJan sebagai... model? *plak
Tenang, tenang... Marco masih anak baik, kok. Masih anak baik... anak baik... anak... ok, agak nggak baik. :")

Matur nuwun sudah menyempatkan membaca. ^^

Mohon review/kritik/saran-nya, saya masih belajar. :D