Tap. Tap. Tap. Tap.

Derap langkah yang memecahkan keheningan memenuhi suasana malam yang sepi. Kegelapan yang tengah menguasai kota membuat sosok pemuda bertubuh mungil itu bergidik takut. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya yang memucat dengan peluh yang membasahi pelipisnya. Rambut coklatnya yang berantakan layu karena keringat dan sepasang manik coklat besar itu terus menatap sekelilingnya dengan panik—waspada.

Brak!

Mendadak pemuda bertubuh mungil itu jatuh tersungkur saat kakinya menabrak sebuah tong sampah yang berada di perempatan. Dengan panik sang pemuda langsung menatap ke belakang—menatap horror suasana mencekam di belakangnya. Tidak ada siapapun di sana.

Sang pemuda bernafas lega.

Dengan sedikit kepayahan pemuda berambut coklat itu mencoba bangkit berdiri. Ia merintih saat tiba-tiba merasakan denyut sakit di pergelangan kaki kirinya. Ah, sepertinya ia terkilir. Dengan agak sedikit pincang pemuda itu langsung melangkah seraya meraba-raba tembok di sampingnya—memanfaatkannya menjadi tumpuan. Setidaknya, ia harus segera bersembunyi sebelum pengejarnya berhasil menemukannya. Ya, ia harus bersembunyi.

Pemuda mungil yang bernama lengkap Sawada Tsunayoshi itu menghela nafas berat seraya merutuki nasipnya yang sial. Ia baru saja sampai di kota kecil ini tadi sore dan berniat untuk jalan-jalan agar lebih bisa mengenali lingkungan sekitar. Malang, rasa penasarannya justru membawanya ke tempat yang jauh dari rumah hingga membuatnya tersesat dan kini, lihat hasilnya? Ia dikejar-kejar beberapa orang preman hanya karena tidak sengaja menabrak salah satu diantara mereka hingga jatuh dan masuk ke dalam aquarium besar yang berisi penuh ikan hias.

Well, jangan salahkan pemuda yang biasa dipanggil Tsuna itu. Salahkan kenapa jalanan yang ia lalui begitu ramai hingga membuatnya menabrak beberapa orang dan hampir terjatuh beberapa kali. Dan siapa yang tidak akan kabur bila melihat 4 orang preman berwajah sangar terlihat akan memkanmu hidup-hidup karena kesalahan konyol yang kau perbuat sendiri? Dan untuk yang kesekian kalinya, Tsuna menghela nafs berat.

"ITU DIA!"

DEG!

Jantung Tsuna terasa berhenti berdetak begitu mendengar seruan itu. Lamunannya seketika buyar dan dengan panik ia langsung menoleh ke belakang. Terlihat 4 orang pemuda berandalan berlari ke arahnya. Sepasang manik coklat itu terbelalak tidak percaya.

ITU MEREKA! batinnya histeris lalu langsung melangkah untuk melarikan diri. "Ittai! Ah!?" Tsuna mengerjap tidak percaya saat kakinya justru terasa sangat sakit saat ia melangkah. A, astaga! Ia lupa tadi kakinya terkilir!

"Kena kau!" mendadak lengan Tsuna sudah dicengkram hingga sukses mengagetkan pemuda itu.

"Hie!? A, ampun! Aku benar-benar tidak punya uang!" mohon Tsuna seraya mencoba melepaskan lengannya yang dicengkram. Ia menatap horror ke empat pemuda yang menatapnya dengan pandangan marah.

"Tidak punya uang ya? Kalau begitu gunakan tubuhmu sebagai gantinya!"

Wajahnya Tsuna seketika memucat. Astaga! Apa tadi? Tsuna yakin pendengarannya masih sangat baik. "A, aku tidak mau jadi gigolo!" elaknya. Ia langsung memberontak dan meninju wajah pemuda yang mencengkram lengannya.

"Aw!" satu bokeman tepat mengenai sang pemuda hingga membuatnya melepaskan legan Tsuna. Tsuna refleks langsung mencoba melarikan diri kembali namun ke tiga pemuda lainnya langsung mengepungnya—menahannya untuk kabur.

"Ho… berani juga kau ya? Kecil-kecil melawan."

"Sepertinya memang harus diberi pelajarn dulu."

"Jadi? Mau kita apakan dia?"

Tsuna menelan liur paksa. Sungguh… rasanya ia benar-benar ingin menangis sekarang. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Habis sudah riwayatnya. Baru beberapa jam ia menginjakkan kaki di kota ini, ia sudah terlibat masalah serius seperti ini. Sungguh, rasa menyesal langsung hinggap di dadanya saat dengan mudah menyetujui keputusan kedua orang tuanya untuk pindah ke kota kecil ini.

"Ku, kumohon… lepaskan ak—"

BRAK!

Semua pasang mata langsung menatap ke sumber suara. Salah satu dari ke empat pemuda itu jatuh pingsan dengan luka pada bagian kepalanya. Dengan perasaan ngeri mereka menatap pemuda reven yang berdiri tepat di samping pemuda yang baru saja dihabisinya itu.

Wush!

Sang pemuda reven mengibas-ngibaskan tonfanya hingga membuat darah yang menempel di logam panjang itu memercik ke sekitarnya. Tsuna menelan liur paksa saat sepasang mata kelabu itu menatap ke arahnya. Seringai langsung merekah di bibir pemuda itu dengan aura yang menyeramkan.

"Herbivores yang berani mengacau di daerahku…" pemuda itu semakin menyeringai. "Kamikorosu."


.

.

.

69 STREET

Disclaimer: Amano Akira

Genre : Friendship, Romance

Rated: T

Pair: 1827 dan sedikit 6996?

WARNING!: BL (Boys Love), Sangat OOC dan Sangat AU, Mungkin masih terselip Typo(s), dll... Dengan Segala Kekurangannya.

Special for Fujoshi Independenc Day #6

.

.

.


Tsuna menelan liur paksa. Ia mengerjab beberapa kali seraya mencoba meyakini apa yang ia lihat beberapa detik lalu. Hanya dalam hitungan detik—ya, detik dan bukan menit, pemuda yang menjadikan tonfa sebagai senjatanya itu menghabisi ke empat preman yang mengejarnya. Bagaimana bisa? Sungguh, Tsuna benar-benar tidak percaya ada seseorang sekuat ini.

Pemuda berambut reven itu mengibas-ngibaskan tonfanya—kembali membersihkan darah yang menempel di tonfanya. Ia mendengus saat menatap tumpukan para korbannya yang tidak sadarkan diri. Sungguh sangat lemah dan tidak sesuai dengan harapannya. Tidak mau membuat gakura yang sejak tadi tergeletak di atas tanah lebih kotor, pemuda reven itu memungut gakuranya—yang tadi ia jatuhkan saat menghabisi ke empat preman—dan menggantungkannya di bahunya.

"A, ano…" sepasang manik kelabu itu langsung menatap ke arah pemuda yang berdiri beberapa meter darinya. Tsuna menelan liur paksa saat sepasang mata kelabu itu menatapnya tidak bersahabat. Perasaan takut langsung menghinggapi dada Tsuna. "E, etto… A, arigatou sudah menyelamatkanku," ucap Tsuna takut-takut. Tangannya terasa membeku dan gemetaran saat mencoba mengucapkan terimakasih.

"Huh?" sebelah alis pemuda reven terangkat—bingung. "Jangan salah sangka, aku tidak menolongmu," balas sang pemuda dingin. Tsuna mengerjab beberapa kali mendengarnya—mencerna ucapan itu. Bila aksi sang pemuda bukan bermaksud menolongnya, lalu apa? Ah sudahlah, Tsuna tida mau memikirkannya, yang jelas berkat pemuda itu, Tsuna jadi tertolong.

Tidak mau berlama-lama, pemuda itu mulai melangkah meninggalkan Tsuna—sudah merasa menyelesaikan tugasnya dengan baik.

"Eh? Ah?" Tsuna refleks langsung menatap sekelilingnya saat pemuda yang menyelamatkannya itu menjauh. Sebuah plank yang bertuliskan '69 Street' membuat alis pemuda berambut coklat itu terpaut—bingung. Sepasang manik coklat besarnya memperhatikan perempatan yang saat ini menjadi tempatnya berada.

Sepi dan hanya disinari cahaya lampu jalan saja. Tsuna menelan liur paksa. Ia tersesat. Ya, satu hal yang pasti sangat ia ketahui sekarang. Terlebih tidak ada siapapun sekarang untuk ia tanyai jalan pulang. Yah… kecuali ke empat preman yang masih tidak sadarkan diri itu. Bisa Tsuna bayangkan bila ia terus berlama-lama di tempat asing ini dan bila salah satu—atau ke empatya—sadar. Habis sudah riwayat Tsuna. Tsuna menggigit bibir bawahnya. Ia menatap punggung sang penolong yang terlihat menjauh. Baiklah, sekarang atau tidak sama sekali.

Dengan ragu Tsuna melangkahkan kakinya ke arah pemuda asing yang tadi menolongnya. Dengan berjalan sedikit pincang—karena kakinya terkilir—Tsuna mencoba mengikuti langkah pemuda yang ada di hadapannya walaupun jarak mereka tidak bisa dibilang dekat.

Tsuna menggigit bibir bawahnya saat rasa sakit mendera pergelangan kakinya sementara sosok yang sejak tadi ia ikuti tidak kunjung menunjukan tanda-tanda ingin berhenti atau bahkan memperlambat langkah kakinya. Namun Tsuna juga terlalu takut untuk buka suara bila mengingat sepasang manik kelabu yang menatapnya dengan tajam itu. Jelas, pemuda itu bukanlah pemuda yang ramah, namun semoga saja pemuda yang beberapa meter di depannya ini adalah orang yang baik. Yah… bukankah pemuda itu telah menolongnya tadi?

"Apa yang kau inginkan Herbivore?"

Langkah Tsuna langsung terhenti begitu pemuda yang sejak tadi ia ikuti berbicara dan menghentikan langkahnya. Tsuna menelan liur paksa mendengar pertanyaan itu. Well, dari nada suaranya saja sudah sangat ketahuan pemuda reven itu merasa terganggu karena terus diikuti. Dan lagi, kenapa Tsuna dipanggil Herbivore? Bagaimana pun ia tidaklah suka sayur, ia lebih suka daging.

"A, aku tidak tahu jalan pulang," jawab Tsuna akhirnya. Wajahnya memanas saat menyadari kesalahan konyolnya. Dia sudah kelas 1 SMA dan malah tersesat!? Yah… Tsuna benar-benar merasa seperti anak hilang sekarang.

"Bukan urusanku," komentar pemuda reven itu dingin—sukses membuat hati Tsuna tertohok dan bungkam begitu mendengarnya. Benar kata pemuda itu. Mau Tsuna tersesat atau pun tidak, bukankah itu memang bukan urusannya? Well, sudah bagus Tsuna tadi ditolong. Tsuna menghela nafas kecewa.

Melihat tidak ada reaksi apapun dari pemuda mungil yang ditolongnya—kecuali aura gloomy yang mulai mengeluar—pemuda reven itu kembali melangkah meninggalkan Tsuna.

"Eh? Cho, chottomate! Aku—

Bruk!

"Ittai…" pemuda mungil itu merintih saat ia jatuh terjerambat ketika mencoba mengejar pemuda di depannya. Matanya berair saat mencoba menahan rasa sakit yang menyiksa di pergelangan kakinya. Oh bagus… sekarang ia benar-benar merasa hari ini hari terburuknya. Tsuna benar-benar merutuki kebodohannya. Bagaimana caranya ia pulang sekarang?

"Biar kulihat."

Tiba-tiba sebuah tangan putih menyentuh kaki Tsuna. Refleks Tsuna langsung mendongak dan menatap sang pemilik tangan. Pemuda yang tadi menolongnya. Sepasang manik coklat itu terbelalak—kaget karena si reven masih mau menolongnya kembali. Namun Tsuna langsung mengalihkan perhatiannya saat tangan yang dingin itu menyentuh permukaan kulitnya yang sakit—ia meringis perih.

"Tahan," peringat pemuda reven itu tiba-tiba. Sebelah alis Tsuna terangkat saat mendengarnya—tidak mengerti. Namun saat kedua tangan pucat itu memegang kakinya dengan kokoh, barulah Tsuna mengerti. Sepasang manik coklat itu terbelalak—tidak percaya dengan apa yang akan pemuda itu lakukan.

"Cho, chott—"

TAK!

"! #$%^&*()_+?" saking sakitnya pemuda mungil itu tidak bisa mengeluarkan suaranya. Badannya langsung terasa lemas dalam seketika dengan sepasang manik coklat yang telah meneteskan air mata—kesakitan. Tsuna yakini bunyi 'tak' yang tadi ia dengar adalah suara tulangnya. Ya, tidak salah lagi. Sungguh, pemuda yang menolongnya ini benar-benar pemuda yang… sadis. Sangat sadis.

"Eh?" sepasang manik coklat itu terbelalak saat sepasang tangan putih yang tadi menyakiti pergelangan kakinya mendadak melingkar di tubuhnya dan membuatnya terangkat ke udara—digendong. A, astaga! Dirinya digendong!? Ter, terlebih ala pengantin!? "A, aku bisa jalan sendi—"

"Lebih memaksakan diri lagi akan membuat kakimu menjadi lebih parah," sela sang reven. Tsuna bungkan begitu mendengarnya—tidak mau sang kaki lebih tersakiti. "Di mana rumahmu?" tanyanya.

Dan dalam seketika kepala Tsuna langsung terasa error begitu mendengar pertanyaan sang reven. "Ru, rumahku?" ulang Tsuna meyakinkan."Hie!?" teriakan itu refleks lolos begitu pemuda reven menghadiahinya sebuah death glare. Dari jarak sedekat ini, tentu saja pandangan itu jauh lebih menakutkan—sukses membuat pemuda mungil itu mendadak pucat. "A, aku tidak tahu alamat rumahku," aku Tsuna ngeri.

"Huh?" alis sang reven terpaut mendengarnya. Wajah Tsuna langsung tambah memucat. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Sepasang manik coklatnya menatap ke tempat lain—manapun selain pemuda yang tengah menggendongnya ini.

"A, aku baru sampai di tempat ini tadi sore da, dan… yang kutahu hanya aku tinggal di kota Namimori,"aku Tsuna dengan tangan yang sudah gemetar—gugub. Dan kota ini bernama Namimori. Ah, sungguh Tsuna benar-benar ingin mengubur dirinya hidup-hidup sekarang juga!

"….."

Sang reven tidak mengatakan apapun begitu mendengarnya. Benar-benar merasa 'takjub' dengan kebakaan pemuda yang ia gendong.

.

.

.

Teng… Teng… Teng…

Suara bel yang berbunyi nyaring di gedung putih itu sukses membuat murid-murid yang berada di dalam gedung bersorak senang—menyambut bel bertanda jam pulang yang mereka tunggu akhirnya berbunyi. Beberapa murid terlihat dengan segera keluar dari kelas begitu Sensei mereka keluar dan beberapa terlihat bermalas-malasan sambil melepaskan penat di bangku mereka sendiri.

"Kenapa Sawada?" tanya pemuda berambut silver itu tiba-tiba seraya menengok ke belakang mejanya—menatap sang murid baru yang sudah seminggu menghuni di kelasnya. Sepasang manik emerald itu menatap pemuda mungil yang terlihat lemas menempelkan pipinya di meja.

"Aku tidak menemukannya," jawab pemuda berambut coklat itu lirih. Kelopak mata itu terpejam—menyembunyikan sepasang manik coklat yang hangat didalamnya. Terdengar helaan nafas dari pemuda mungil yang mengenakan kemeja putih lengan pendek dengan dilapisi rompi hitam itu.

"Menemukan?" ulang pemuda reven yang duduk di samping kanan Tsuna. Pemuda jangkung itu sudah membereskan bukunya dan bersiap untuk keluar dari kelas sampai sepasang manik coklatnya melihat keganjalan dari pemuda mungil teman barunya itu. "Menemukan apa?" tanyanya tertarik.

Tsuna menggeleng. Kedua teman barunya ini tidaklah harus tahu segala hal tentang dirinya. "Bukan hal penting," sangkalnya.

Senyuman pemuda reven merekah. Pemuda yang bernama lengkap Yamamoto Takeshi itu terlihat geli dengan jawaban yang diberikan teman barunya itu. "Ahahaha… kau tidak perlu sungkan Tsuna," tawa Yamamoto. "Bila ada masalah, katakan saja kepada kami. Kami mungkin bisa menemukan barangmu yang hilang itu" tambahnya meyakinkan—benar-benar sok tahu apa yang tengah dicari Tsuna.

Tsuna tersenyum canggung mendengarnya. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban. Meskipun mereka akrab, namun Tsuna benar-benar merasa hal ini bukanlah hal yang harus diceritakan. Well, ia tidak mungkin mengatakan mencari seseorag yang bahkan tidak ia kenal bukan? Tsuna menghela nafas berat. Mendadak ia benar-benar merasa sangat tidak beruntung karena tidak sempat menanyakan siapa nama pemuda yang menolongnya itu.

Malam seminggu yang lalu itu masih terus membayang-bayangi Tsuna. Bagaimana tidak? Mungkin itu adalah malam terburuk yang penah ia alami sepanjang 15 tahun hidupnya! Namun… di sisi lain, ia dapat melihat sesuatu yang positif. Bahwa walau pun kota kecil ini berbahaya di malam itu, namun tetap saja ada orang baik yang mau menolongnya. Dan Tsuna benar-benar berhutang nyawa dengan pemuda itu. Pemuda misterius yang mengenakan gakura.

Tsuna mengerjab beberapa kali. Reflesk ia langsung menegabkan tubuhnya dan menatap Gokudera Hayato yang tengah membereskan buku-bukunya. Ah, jelas Yamamoto telah pergi tanpa Tsuna sadari.

"Ne, Gokuder-kun," panggil Tsuna hingga sukses membuat sang empunya nama menoleh ke belakang lagi. "Di kota ini sekolah yang mewajibkan murid laki-lakinya mengenakan gakura, sekolah mana ya?" tanya Tsuna semangat. Yah… SMA yang Tsuna huni saat ini tidaklah mewajibkan muridnya mengenakan gakura, melainkan rompi.

Gokudera terlihat berfikir mendengarnya. Alisnya terpaut mencoba mengingat-ngingat SMA atau SMP mana yang mengenakan gakura. "Kurasa tidak ada."

"Eh?"

"Setahuku hampir semua siswa SMP dan SMA tidak ada yang mengenakan gakura. Kebanyakan mengenaka blezer atau rompi. Mungkin yang mengenaka gakura itu di kota sebelah," jelas Gokudera seraya mengangkat bahu.

Sebelah alis Tsuna terangkat mendengarnya. Bila tidak ada, kenapa pemuda itu mengenakan gakura? Tetapi bila dipikir-pikir kembali, cukup aneh seorang siswa mengenakan seragam sekolahnya di tengah malam. Tsuna menghela nafas berat. Penolongnya sungguh penuh misteri.

"Sou desu ne," gumam Tsuna lesu. Ia tersenyum canggung ke arah Gokudera yang menatapnya dengan pandangan bertanya. "Arigatou infonya," ucapnya lalu mulai membereskan bukunya dan dengan segera keluar dari kelas untuk memulai pencariannya.

.

.

.

Pemuda reven yang menggantungkan gakuranya di bahu itu melangkah di pinggir jalan trotoar. Sepasang manik kelabunya yang tajam membuat beberapa orang yang sudah mengenal sang reven dengan baik refleks langsung menghindar—tidak berani menjadi penghalang pemuda yang selalu memasang wajah galak itu.

Pemuda bertubuh tegap yang sejak tadi berjalan tanpa arah itu tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Sepasang manik kelabunya menatap siluet pemuda yang terlihat celingukan di sebrang trotoar sana. Pemuda mungil dengan rambut coklat itu masih mengenkan seragamnya. Ia terlihat mencari-cari sesuatu—entah apa. Dan hanya melihat rambut coklat berantakan itu, Hibari Kyoya—nama sang pemuda reven—langsung mengenali siapa pemuda itu.

Sang pendatang baru yang seminggu lalu ia tolong. Melihat dari kondisi sang herbivore yang terlihat lincah(?) jelas kakinya sudah sembuh. Diam-diam pemuda reven merasa sedikit bangga dengan kemampuannya menyembuhkan kaki itu. Ia mendengus lalu kembali melangkah. Agak bingung kenapa tiba-tiba ia memilih untuk menghentikan langkahnya hanya untuk melihat pemuda asing yang tidak ia kenal.

.

.

.

Pemuda berambut coklat itu melangkah dengan lesu di lorong yang diapit rumah-rumah. Kepalanya tertunduk seraya menatap kakinya yang terus melangkah. Masih terekam dengan jelas pristiwa di malam itu, dimana keluarganya memanggil seorang dokter untuk memeriksakan kakinya.

"Anak ini beruntung. Tulangnya sempat bergeser tadi, walau di normalkan kembli dengan cara yang terlihat kasar, namun berkat itu proses penyembuhannya bisa berlangsung lebih cepat."

Dan saat sang dokter mengatakan hal itu, yang terbayang di benak pemuda Sawada adalah sosok yang menyelamatkannya. Ah, sosok itu tidak hanya menyelamatkan nyawanya, dia juga yang menyembuhkannya dan membantunya menemukan rumahnya kembali. 3 kebaikan yang sangat penting dalam satu malam. Bagaimana bisa Tsuna mengabaikannya? Ia harus membalas jasa pemuda itu—bagaimana pun caranya. Pemuda baik hati itu setidaknya harus diberikan hadiah.

Tap.

Langkah pemuda mungil itu terhenti. Kepalanya terangkat dan hanya bisa mematung di tempat. Sepasang manik coklat itu mengerjab beberapa kali—ingin mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia sedang tidak bermimpi.

Tidak mungkin… batin Tsuna horror begitu menyadari dirinya ada di sebuah perempatan. Ya, perempatan dengan plank yang bertuliskan 69 Street. Perempatan dimana ia bertemu dengan penolongnya itu. Wajah Tsuna seketika memucat saat sadar dirinya selalu mencari-cari tempat ini namun sedikit pun tidak penah menemukan perempatan ini. Bahkan bertanya dengan teman-temannya tentang perempatan ini pun tidak ada yang tahu. Lalu… bagaimana bisa ia berada di sini sekarang!?

Tsuna menelan liur paksa. Entah bagiaman firasatnya terasa buruk. Terlebih dengan suasana perempatan yang sepi tanpa seorang pun terlihat berlalu-lalang. Oh, bagus! Sekarang ia benar-benar merasa takut. Bahkan Tsuna bisa merasakan tubuhnya merinding begitu saja saat hembusan udara dingin membelai kulitnya. Bagaimana bisa!? Ini kan masih awal bulan September, udara seharusnya tidak sedingin ini!

"Apa yang kau lakukan di sini Herbivore?"

"HIIEEE!?" Tsuna sukses merinding mendengar suara barritone tepat di belakangnya. Dengan panik pemuda mungil itu berlari namun baru selangkah ia akan berlari, sebuah tangan putih mencengkram lengannya—menahannnya untuk melarikan diri. "A, ampuni aku! Ampuni aku! Jangan makan aku! Dagingku tidak enak! Benar-benar tidak enak!" teriaknya memohon seraya memejamkan kedua matanya—benar-benar takut dengan makhluk yang entah apa itu.

"Berisik."

Duak!

"Aw!?" sebuh benda keras mendadak menyakiti kepala coklat itu hingga refleks membuat Tsuna membuka kedua matanya. Matanya berair dengan sebelah tangan yang mengusap kepalanya yang terasa sakit. "Aw… uh, Ittai," lirihnya—mulai tenang.

Sebelah alis pemuda reven itu terangkat. Agak kaget ternyata aksi pemukulannya itu malah membuat pemuda yang tadi bersifat sangat annoying ini mendadak tenang. Lalu sepasang mata coklat besar itu menatap ke arah Hibari. Manik coklat yang sebelumnya terlihat berair—menahan sakit—tiba-tiba saja terbelalak kaget.

"KAU!" pekik Tsuna senang. Benar-benar tidak menyangka bahwa kini ia bertemu dengan penolongnya kembali. "Aku sudah mencarimu ke mana-mana! Aku benar-benar ingin berterimakasih, tetapi kau sulit sekali dicari! Bagiaman bisa kau berada di sini? Ah ya, ini tempat apa? Kenapa tidak ada seorang pun yang tahu tempat ini? Lalu—oh ya, namaku—HIE!?"

Sebuah benda silver panjang tiba-tiba muncul. Sukses membuat mulut kecil yang sejak tadi mengoceh itu bungkam. Dengan pandangan menusuk Hibari menatap pemuda yang sejak tadi dicengkramnya. Ia mengeratkan cengkraman tangannya— membuat Tsuna merintih kesakitan.

"Bila kau berisik lebih dari ini, kujamin kau tidak akan pernah bisa pulang," ancam Hibari dengan suara rendah seraya menempelkan tonfanya di leher Tsuna. Tsuna menelan liur paksa saat merasakan dinginnnya besi silver itu dilehernya. Gawat… ia benar-benar lupa bahwa penolongnya ini adalah orang yang sangat galak atau mau lebih cocoknya, sadis.

"Go, gomenasai," lirih Tsuna. Wajahnya sudah memucat sekarang. Sungguh, rasanya Tsuna benar-benar ingin menangis bila melihat sepasang mata kelabu yang menatapnya marah dari jarak sedekat ini. Seandainya tatapan memang bisa membunuh, Tsuna yakin sekarang ia sudah berada di pemakaman—terkubur bersama jasad-jasad yang mati karena ketakutan.

Hibari langsung melepaskan tangan Tsuna begitu melihat kepatuhan pemuda itu. Pemuda mungil itu langsung melangkah mundur—menjaga jarak dengan Hibari begitu terbebas.

"Pergi dari sini," perintah HIbari.

Tsuna meringis seraya mengusap lengannya yang memerah karena cengkraman Hibari. "Ha, hai," ucapnya patuh seraya melangkah dengan cepat menuju arah Selatan—berlawanan dari arah datangnya Hibari. "Hie!?" sesuatu mendadak menarik kerah belakang Tsuna—sukses membuat pemuda itu menghentik langkahnya. Dengan preasaan horror dan jantung yang terasa berhenti berdetak, Tsuna menatap sosok reven yang ternyata menjadi pelaku yang menarik kerahnya.

"Kau mau ke mana huh?" tanya sang reven dingin. Tsuna menelan liur paksa mendengar pertanyaan itu. Ia benar-benar merasa ciut bila dihadapan penolongnya ini. Ah, bahkan niatnya yang semula ingin berterimakasih dan memberikan masakan Kaasannya kepada sang reven hilang sudah—tertelan rasa takut.

"Pu, pulang," jawab Tsuna lirih.

"Arah rumahmu bukan di sini, tetapi di sana Herbivore," ucap sang reven seraya menunjuk ke arahnya tadi datang—masih benar-benar ingat dimana rumah sang Herbivore satu ini. Tsuna mengerjab beberapa kali mendengarnya. Penolongnya…. Menolongnya lagi? Tanpa sadar sebuah senyuman merekah di bibir Tsuna.

"Arigatou," ucapnya tulus. Dengan segera Tsuna langsung melangkah ke arah tunjukan Hibari. Namun baru beberapa langkah, Tsuna langsung menghentikan langkahnya dan membuka tas ranselnya dengan segera. Tiba-tiba kebaikan kecil sang reven melecutkan keberanian untuknya.

"A, ano… kemarin kau sudah menolongku," ucap Tsuna kemudian saat berhasil mengeluarkan sebuah kotak bento berwarna ungu—bento makan siangnya yang dengan sengaja tidak ia makan. Sebelah alis Hibari terangkat saat melihat kotak bento itu dan mendapati pemuda mungil itu melangkah mendekatinya kembali. "Ini bento untukmu. Sebagai ucapan terimakasih karena sudah menolongku kemarin dan… hari ini," jelas Tsuna.

Hibari langsung berbalik begitu mendengarnya. Melangkah meninggalkan Tsuna tanpa memperdulikan pemuda itu kembali.

"Eh?" Tsuna mengerjab tidak percaya. Penolongnya menolak bentonya? Dadanya terasa mencelos mendapati penolakan langsung itu. Apakah pemuda itu mengira di dalam makanan ini ada racun? Atau masakan Kaasannya tidak sesuai dengan lidahnya? "Cho, chotto!" peringat Tsuna seraya melangkah mendekati Hibari. Ia menyesuaikan langkahnya dengan pemuda yang lebih tinggi darinya itu.

"I, ini masakan Kaasanku, setidaknya ciciplah sedikit. Aku jamin rasanya enak, bila tidak enak, kau bisa meminta makanan lain saja, atau meminta masakan buatanku yang lebih sederhana? Tetapi lebih enak masakan Kaasan, kau bisa—"

Tap.

Langkah pemuda reven itu terhenti. Wajahnya terlihat kesal dengan pemuda yang sejak tadi mengikutinya dan menyodorkannya bento asing itu. Dengan jengkel Hibari menghadiahi sang pemuda dengan death glarenya—sukses membuat sang pemuda menelan liur paksa namun jelas, tidak menyurutkan niat sang pemuda asing untuk menjauh.

"Apa maumu Herbivore?" geram Hibari. Bisa saja ia memukul sang Herbivore satu ini hingga tidak sadarkan diri, namun Hibari masih tahu tempat. Ia tidak mau membuang-buang tenaganya hanya untuk makhluk lemah seperti Tsuna.

"Aku ingin berterimakasih," jawab Tsuna mantap. Ia tersenyum menatap Hibari. "Aku tahu kau tidak mengenalku dan aku pun tidak mengenalmu, tetapi setidaknya biarkan aku berterimkasih dengan kau mempercayaiku. Terimalah bento ini, setelahnya terserah kau mau kau apakan. Kau buang pun tidak apa-apa," jelas Tsuna.

Sebelah alis Hibari terangkat. Agak tidak menyangka pemuda satu ini sangat pintar berkata-kata. Tidak mau membuang waktu, akhrinya Hibari menerimanya. Senyuman Tsuna semakin mengembang saat tangan pucat itu mengambil kotak bentonya.

"Arigatou sudah menerimanya. Ah, namaku Sawada Tsunayoshi," Tsuna memperkenalkan dirinya. Sungguh, entah bagaimana ia benar-benar merasa senang melihat penolongnya menerima bento itu. Yah… walau Tsuna tidak yakin sang reven akan memakannya. Namun setidaknya, pemuda itu menerimanya bukan? "Gomen kalau itu tidak hangat, bentonya dibuat tadi pagi. Umn… kalau begitu aku pulang. Sekali lagi arigatou," Tsuna membungkuk ke arah Hibari dan dengan segera berbalik dan berlari ke arah rumahnya tanpa sedikit pun menengok kembali ke belakang.

Tsuna memegang dadanya. Dapat ia rasakan jantungnya berdegub tidak karuan. Sungguh, rasanya sangat gugup namun juga… menyenangkan? Entahlah, namun yang jelas sekarang Tsuna sudah merasa sedikit bebas. Ya, sekarang ia sudah merasa sedikit lega karena akhirnya berhasil memberikan bento itu walaupun tidak yakin bentonya akan berakhir di dalam perut sang reven.

.

.

.

Tap. Tap. Tap.

"Ohayou Gokuder-kun! Yamamoto!" ucap pemuda mungil itu seraya tiba-tiba merangkul kedua temannya dari belakang. Dengan kaget kedua pemuda itu menatap Tsuna yang terlihat habis berlari dari gerbang menuju halaman.

"Ohayou," balas Gokudera.

"Ohayou Tsuna," balas Yamamoto geli. "Nani? Pagi ini kau ceria sekali," tanyanya penasaran. Senyuman Tsuna semakin mengembang mendengarnya. Ah, apakah ia benar-benar terlihat ceria? Tsuna menggelengkan kepalanya.

"Nandemo nai," ucapnya lalu memlepaskan rangkulannya. "Ne, hari ini ada tugas?" tanyanya seraya mulai melangkahkan kaki menuju gedung sekolah.

"Tidak ada kurasa," jawab Gokuder. "Tetapi besok ada," tambahnya.

"Eh? Tugas apa?" tanya Yamamoto bingung.

"Bahasa Inggris, minggu kemarin kan—"

"Aaahh! Iya! Tugas itu!" sela Tsuna frustasi. Ia paling benci bahasa Inggris setelah Matematika. Well, tugas kelompok sebenarnya, namun yang tugasnya lebih seperti percakapan sehari-hari yang harus dihafal. "Kita bahkan belum membuat apa yang harus dihafal," lirihnya.

"Ah, benar juga.." gumam Yamamoto.

"Oh, soal itu aku sudah membuatkan percakapannya, hanya percakapan singkat, jadi kurasa bisa dihafal sebentar," jawab Gokudera santai. Yamamoto dan Tsuna sontak langsung menatap Gokudera dengan mata yang ber-blink-blink ria seolah-olah melihat seorang dewa yang jatuh(?) dari kayangan. "Na, nani?" tanya Gokudera—risih dengan pandangan itu.

"Gokuder-kun benar-benar penolong kami!" ucap Tsuna senang.

"Um! Sebagai balasan, sesudah kelompok kita maju besok, aku akan mengajarimu cara bermain baseball!" tambah Yamamoto. Gokudera sweatdrop mendengarnya. Agak aneh dengan kedua temannya yang bereaksi terlalu berlebihan. Namun toh akhrinya ia hanya meng'iya'kan dan larut dalam renca-rencana mereka agar mendapatkan nilai 65—nilai pas-pasan agar tidak disuruh mengulang lagi minggu depan.

.

.

.

Ceklek.

Pintu coklat itu terbuka dan dengan segera pemuda mungil dengan rambut coklat berantakan itu melangkah memasuki rumahnya. Senyumannya mengembang karena di sekolah tadi berhasil menghafal teks yang diberikan Gokudera.

"Tadaima," ucap Tsuna setelah menaruh sepatunya di dalam lemari sepatu. Terlihat seorang wanita yang mengenaka celemek keluar dari salah satu pintu yang berada di lorong dekat tangga.

"Okaeri Tsu-kun," sapa balik Sawada Nana. Ia tersenyum melihat anaknya melangkah mendekatinya. Jelas, ingin segera makan. Makan malam mengingat jam berapa ia pulang. "Kenapa pulang terlambat Tsu-kun?" tanya Nana seraya menatap putranya yang memasuki dapur dan duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja persegi di dapur itu.

"Gomen Kaasan, tadi kerja kelompok di rumah Gokuder-kun," aku Tsuna. Ia menatap lapar omlet yang ada di depannya. Tidak lagi hangat, namun tetap terlihat menggiurkan untuk perutnya yang kelaparan. "Kami mengerjakan tugas kelompok bahasa Inggris," tambahnya lalu menyantap omlet buatan Kaasannya.

"Ara, Kaasan jadi ingat," ucap Nana tiba-tiba. Ia duduk di hadapan Tsuna yang menyantap makan malamnya. "Tad siang Tsu-kun meninggalkan bento Tsu-kun kan?" tebak Nana. Sebelah alis Tsuna terangkat. Meninggalkan? Tidak, seingat Tsuna ia tidak meninggalkan kotak bentonya. Tsuna masih sangat ingat kotak bentonya masih berada di dalam tasnya.

"Tadi siang teman Tsu-kun datang ke rumah, dia mengembalikan kotak bento Tsu-kun," jelas Nana saat melihat ekspresi bertanya putranya. Mengembalikan? Baiklah… sekarang Tsuna semakin bingung.

"Tetapi Kaasan merasa familiar dengannya. Apa Kaasan pernah melihatnya ya? Oh ya, sekolah Tsu-kun tidak pakai gakura kan? Lalu kenapa teman Tsu-kun—"

"Ga, gakur—uhuk! Uhuk!" mendadak Tsuna langsung tersedak begitu mendengar kata gakura. Dengan cepat Tsuna langsung meminum segelas air putih dan menatap Kaasannya dengan tidak percaya. "Ga, gakura?" ulang Tsuna—mencoba meyakinkan pendengarannya.

"Um, dia mengenakan gakura. Nande? Apa dia senpai Tsu-kun?" tanya Nana bingung begitu melihat kekagetan putranya. Tsuna langsung menggelengkan kepalanya. Ia kembali menunduk seraya menyantap makanannya. Entah bagiaman perasaan kecewa mencubit hatinya.

Yah… Tsuna sangat tahu kenapa penyelamatnya datang ke rumah. Mengembalikan bentonya. Jadi penyelamatnya memilih untuk mengembalikan makanan itu? Tsuna menghela nafas berat. Setidaknya ia sudah mencoba untuk berterimakasih. Mungkin penyelamatnya—yang sampai sekarang tidak diketahui Tsuna siapa namanya itu—menginginkan hal lain?

Melihat anak semata wayangnya terlihat lesu mendengar berita yang diberikannya, Sawada Nana mengerjab bingung. "Ah ya, Tsu-kun," tiba-tiba saja Nana teringat sesuatu. "Teman Tsu-kun juga berpesan, katanya ia mau warna yang sama tapi lebih sederhana," tambah Nana.

Tsuna mengerjab beberapa kali mendengarnya. Ia menatap Kaasannya dengan raut bingung namun beberapa saat kemudian, ekspresi kaget mendominasi wajahnya.

"Ja, jangan bilang kotak bentonya kosong," ucap Tsuna tidak percaya. Nana terlihat bingung mendengar pertanyaan itu.

"Tentu saja kosong, Tsu-kun memakannya kan di sekolah?" jawab Nana. Mendengar jawaban itu seketika wajah Tsuna berubah cerah. Dengan segera ia langsung menghabiskan makan malamnya. Sungguh, dapat ia rasakan dadanya terasa sesak oleh rasa senang dan menggebu-gebu yang aneh. Tsuna jadi tidak bisa menyembunyikan senyumannya tatkala ia mengartikan pesan itu sebagai 'aku menyukai bentonya, aku ingin memakannya lagi'.

"Ara… pelan-pelan makannya, Tsu-kun," nasehat Nana lembut begitu Tsuna tersedak untuk yang kedua terkekeh geli seraya meminum air putihnya. Ah, moodnya mendadak bagus sekarang.

"Ne, Kaasan, besok tolong bangunkan aku lebih pagi ya?" pinta Tsuna saat akhrinya makan malamnya habis. Sebelah alis Nana terangkat mendengarnya. Agak bingung kenapa Tsuna ingin bangun lebih cepat.

"Nande?" tanyanya penasaran.

Senyuman Tsuna merekah mendengar pertanyaan itu. "Aku mau memasak bentoku sendiri," jawabnya mantap. Kemarin Tsuna memang selalu sengaja tidak memakan bentonya hanya untuk mempersiapkannya kepada penyelamatnya. Dan bentonya adalah masakan Kaasannya. Dan sekarang, Tsuna akan membuat bento. 2 kotak bento untuk dirinya dan juga sang penyelamat. Ah, mendadak Tsuna jadi tahu dimana ia akan menemukan sang penyelamat. Di perempatan itu. 69 Street.

.

.

.

Udara berhembus lembut membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Cahaya keemasan sang mentari tak kunjung terlihat dai ufuk timur sana—menandakan suasana pagi dimana hampir semua penghuni bumi belum terbangun dari mimpi mereka.

"Apa sebaiknya saat pulang sekolah saja ya?" gumam pemuda mungil yang tengah menyandarkan punggungnya di salah satu tembok itu. Ia berdiri di salah satu jalan yang berada di perempatan ini. 69 Street. Ya, perempatan yang kini telah pemuda berjaket orange itu hafal jalannya.

Sepasang manik coklat besar itu menatap ke atas. Memperhatikan keindahan langit gelap yang secara berlahan menunjukan kebiruannya. Terlihat titik-titik kecil yang bersinar indah di atas sana. Sukses membuat Tsuna tersenyum—merasa agak menyesal karena ia selalu terbangun di jam dimana matahari telah terbit. Tsuna mencatat dalam hati bahwa ia harus bangun lebih pagi mulai besok—agar dapat melihat suasan tenang dan damai yang sangat jarang ia dapati ini.

"Kau menungguku?"

Seketika Tsuna langsung mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Senyumannya mengembang saat melihat pemuda yang mengenakan gakuranya itu berdiri beberapa meter dari tempatnya.

"Ohayou," sapa Tsuna ramah. Pemuda reven itu melangkah mendekati Tsuna—mengabaikan sapaan hangat itu. Mengerti apa maksud dari tatapan itu, Tsuna langsung membuka tasnya dan mengambil bento yang sudah ia siapkan. Ia menelan liur paksa saat sadar bahwa ini adalah masakannya. Yah… kemarin Hibari meminta masakan yang lebih sederhana bukan? Masakan kaasannya bukanlah masakan yang sederhana—selalu penuh warna dan rasa walaupun enak.

"Ini masakanku—lebih sederhana. Semoga kau juga menyukainya," ucap Tsuna gugub saat Hibari sudah berada tepat di depannya. Ia memberikan kotak bento itu dan langsung diterima Hibari dengan segera. Sepasang manik kelabu itu menatap bentonya sekilas, lalu kembali menatap Tsuna.

"Kau tahu siapa aku, Herbivore?" tanya Hibari tiba-tiba—sukses membuat Tsuna bingung sendiri mendengarnya. Jujur, Hibari tidak menyangka akan mendapatkan bento untuk yang kedua kalinya. Sebenarnya ia tidak mengharapkan akan mendapatkan makan siang lagi, namun pemuda yang bahkan tidak tahu siapa namanya itu dengan senang hati membuatkannya makan siang, padahal sang Herbivore tidak mengenalnya bukan?

"Umn… sebenarnya aku tidak tahu," jawab Tsuna jujur seraya menggaruk pipinya canggung. "Boleh aku tahu… siapa namamu? Setidaknya aku jadi tahu harus memanggilmu apa," tanyanya. Yah… sejak kemarin Tsuna sudah penasaran tingkat dewa dengan nama penyelamatnya ini dan terlalu takut untuk bertanya bila mengingat pertemuan mereka pastilah tidak memungkinkan untuk bertanya.

"Hibari Kyoya," jawab Hibari kemudian. Tsuna mengerjab beberapa kali begitu mendengarnya. Ia menatap sosok yang lebih tinggi darinya itu dengan sepasang manik coklatnya. Hibari…. Kyoya?

"U, Umn… Hibari Kyoya… san?" ulang Tsuna dengan ragu. Entah bagaiman ia benar-benar merasa canggung memanggil nama penyelamatnya ini. Bagaimana pun, Hibari terlihat lebih tua darinya.

"Terserah kau, Herbivore," dengus Hibari lalu berbalik dan melangkah meninggalkan Tsuna setelah berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan. Bekal makan siangnya.

Tsuna terkekeh geli seraya menggelengkan kepalanya dengan tidak percaya saat Hibari meninggalkannya. Astaga… ada apa dengan dirinya? Entah bagaiman ia melihat sifat Hibari yang pergi begitu saja setelah mengambil bentonya benar-benar terlihat… kekanakan? Tsuna mengulum senyumnya lalu mulai mengenakan topi jaketnya. Dengan segera ia langsung melangkah ke arah yang berlainan dari Hibari—menuju sekolahnya.

Yah… sepertinya mulai dari hari ini, ia akan lebih dekat dengan penyelamatnya.

.

.

.

TBC


Fic ini special kupersembahakan untuk Fujoshi Indpendenc day#6 hohoho~ ah, yg FID#5 sayangya ak gk ikut. makanya kalinin buat 2shoot tuk bales tahun kemarin! XD *alesan#digorok

sambungannya nanti d tanggal 9. kan sesuai tuh ma tema tahun ini 69 =w= #seenaknyasendiri

yah... tuh fic" yg belum ak tamatin sabar nunggu yak~ pasti bkl d selesein kok, cuma masih lama gra" udah terkena WB duluan (o_o;)

okay, langsung aj. yang berniat memberikan kritik, saran, masuka, pujian, ato apalah selain flame silahkan REVIEW!