H
halimun /n/ kabut
.
Norwegia. 2015.
Jungkook memandangi Hoseok dengan tatapan bosan, cenderung sinis malah.
"Kenapa kita jauh-jauh pergi ke Norwegia hanya untuk melihat kabut?" protesnya.
Hoseok masih sibuk jeprat-jepret menggunakan kamera Yoongi, Jungkook tahu dia hanya pura-pura tidak mendengar.
"Hyung," Jungkook mulai lagi, menyesali keputusannya karena tidak tinggal di hotel dengan Yoongi, "kalau hanya ingin menonton kabut, di Dlinggo saja juga bisa."
Hoseok akhirnya berhenti. Memutar badan untuk menghadap Jungkook, punggungnya disenderkan di pembatas jembatan kayu yang tegak berdiri di atas hutan pinus. "Kabut Norwegia beda dengan kabut Indonesia. Siapa yang tahu itu kabut asli atau kabut asap."
Jungkook memutar mata, tahu sepenuhnya ia sebenarnya tidak punya hak untuk protes. Toh yang membayar tiket dan akomodasinya adalah Hoseok. Hyung yang satu itu sangat putus asa mencari teman travelling sampai ia rela menawarkan tiket gratis untuk siapapun yang mau ikut. Bagaimana Jungkook bisa menolak penawaran semurah hati itu? Kapan lagi Jungkook bisa kabur dari universitas dan menghindar dari cewek fakultas tetangga yang terlalu genit?
"Apa kita perlu turun?"
Jungkook menaikkan alis. "Turun ke…?"
Hoseok mengedikkan bahunya ke arah hutan pinus dibawah mereka. Hanya pucuk tajamnya yang kelihatan, menyembul hijau-hijau di sela putihnya kabut tebal.
"Memangnya boleh?"
"Boleh."
Jungkook lagi-lagi memutar mata. Kenapa Hoseok yang menentukan boleh atau tidak?
Seolah tahu pikiran Jungkook, Hoseok menambahkan, "Memang boleh, Kook. Kita hanya tinggal menyewa guide agar tidak tersesat."
"Dan bagaimana caranya kita menyewa orang disaat kita bahkan harus membuka kamus untuk menanyakan letak toilet?" Jungkook menjawab, sedikit menolak ide tersebut, "Lagipula tidak ada yang bisa dilihat dibawah sana selain pohon pinus."
Hoseok cemberut, menimbang perkataan Jungkook dan yang lebih muda tahu ia hampir memenangkan argumen. Hampir. Jika tidak karena celetukan pemuda lain yang rambutnya berwarna oranye menyilaukan Jungkook sampai harus mengerjapkan matanya berkali-kali agar yakin kalau itu memang oranye.
"Sebenarnya jika kalian masuk sedikit lebih jauh ke dalam hutan, ada banyak bunga liar cantik yang bisa ditemukan." Ujar si pemuda, rambut oranye-nya menutupi seluruh kening dan senyumnya sama menyilaukan, penuh percaya diri.
Hoseok sumringah, "Yang benar?"
Si pemuda menyeringai, "Dude, apa aku terlihat seperti orang yang doyan berbohong?"
Tidak, Jungkook menjawab dalam hati. Sebaliknya, senyum si pemuda terlihat sama polosnya dengan senyum bocah lima tahun yang masih belum bisa membedakan atas dan bawah. Tapi ada sesuatu di nada bicaranya yang membuatnya terdengar dewasa, cerdik. Licik, dalam konotasi yang Jungkook belum bisa tentukan baik atau buruk.
"Jimin." Pemuda itu maju tiga langkah ke depan, mengambil jarak yang pas untuk mengulurkan tangannya ke Jungkook—bukan Hoseok, tapi Jungkook.
Tidak tahu hal apa yang lebih baik dilakukan, Jungkook menyambut tangan itu dan, sial, tangannya kecil sekali, sih. Hangat di tengah cuaca kabut subuh Norwegia. "Jungkook."
Pemuda itu tersenyum cerah sekali lagi, masih menjaga kontak mata dengan Jungkook dan yang lebih tinggi berharap ia tidak punya kotoran mata bekas tadi pagi. Jimin membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu saat Hoseok memperkenalkan dirinya tanpa diminta. "Hoseok."
Perhatian Jimin seketika berpindah untuk menyalami Hoseok, menyunggingkan senyum yang sama. Jungkook tidak tahu harus apa di situasi seperti ini.
"Korea juga?" Hoseok bertanya, pertanyaan yang sama dengan yang dibatin Jungkook. "Maksudku, bukan kebiasaan orang Norwegia untuk menamai anak mereka 'Jimin', 'kan?"
Jimin tersenyum, menyenderkan sikunya di pagar pembatas, bersandingan dengan Hoseok, berhadapan langsung dengan Jungkook. "Keturunan. Tapi aku tinggal di Jepang."
Pandangan Jungkook menangkap mata Jimin. Lagi-lagi Jimin tersenyum. Jungkook balas tersenyum canggung. Tapi menilai dari kerutan di kening Jimin, mungkin senyuman Jungkook terlihat lebih mirip cengiran nelangsa.
"Liburan di Norwegia?" Hoseok bertanya lagi.
"Mengunjungi bibi."
Jungkook menelengkan kepala. Keturunan Korea, tinggal di Jepang, dan punya bibi di Norwegia? "Keluargamu terdengar seperti Persatuan Bangsa-Bangsa."
Jungkook menyesali kalimatnya tepat ketika ia membuka mulut. Hoseok bahkan mendengus karena celetukan garingnya itu. Tapi Jimin tertawa, mungkin hanya untuk sopan-santun, tapi tetap saja dia tertawa dan Jungkook mau tak mau ikut tersenyum.
"Well, poin positifnya aku jadi bisa punya tempat menginap gratis dimana-mana." Sahut Jimin, hawa tawa masih menguar dari nada bicaranya. Jungkook membuat catatan pada dirinya sendiri bahwa gigi yang tidak rata tidak selalu terlihat buruk.
"Omong-omong," Jimin memulai lagi, "kalau hanya ingin ke hutan pinus, kalian tidak perlu bawa guide. Biayanya mahal."
Ekspresi Hoseok berubah, tipe yang Jungkook tidak suka melihatnya. Ekspresi yang keluar tiap kali hal tidak berjalan sesuai keinginannya dan ia mau Jungkook melakukan sesuatu untuk memperbaiki. Damn, sebenarnya siapa sih yang lebih tua?
"Kook-ah," Jungkook memutar mata mendengar nama panggilan itu meluncur dari bibir Hoseok, hal tidak akan baik. "Kau yang bayar guidenya, ya?"
Jungkook mengerutkan alis, seratus persen menolak ide itu. Dia berdiri disini kan karena Hoseok menyeretnya pergi, kenapa malah Jungkook yang disuruh membayar. Dari sudut mata, Jungkook bisa melihat Jimin tersenyum geli. Entah karena apa.
"Hei," Jungkook menyeringai, tiba-tiba mendapat ide. "Kau sering ke sini, 'kan? Tidak keberatan menemani kami melihat bunga liar?"
"Tidak," Jimin balas tersenyum, jenaka dan terdengar sedikit menantang. Ujung-ujung rambut oranye-nya meliuk terkena angin pagi Norwegia. "Aku tidak sering kesini."
Jungkook merasakan jantungnya berkontraksi di dalam sana, entah karena senyum menantang Jimin atau lanjutan kalimatnya yang tidak terduga. Di sebelah Jimin, Hoseok memanyunkan bibir. Jungkook seharusnya merasa jengkel karena dipermainkan tapi ia mendapati dirinya sendiri tersenyum.
"Tidak sering kesini bukan berarti kau tidak tahu jalan, bukan begitu?"
Jimin menelengkan kepala, "Mungkin iya, mungkin juga tidak."
Jungkook sadar Jimin hanya menggoda mereka—atau mungkin menggodanya—tapi ini seru. Jungkook suka tantangan, dan kali ini Jungkook akan membuat Jimin menuntun mereka menyusuri hutan pinus bagaimanapun caranya.
"Kau tahu ada bunga liar di dalam sana, kau pernah kesana." Jungkook membalas. "Dan kau akan kembali kesana, dengan kami."
"Sudah kubilang, Bocah," Panggilan itu menohok Jungkook, ia benci dipanggil 'bocah' dan dianggap tidak kompeten. "bayaran guide itu mahal."
"Kau bukan seorang guide."
"Bukan berarti aku tidak minta bayaran." Jimin menyunggingkan senyum dan, sial, kenapa senyumnya pas sekali dengan binar mata dan rambut oranye?
Hoseok terlihat dongkol, dia melirik pemuda di sampingnya dengan sangat intens Jungkook sampai takut akan ada lubang muncul di pelipis Jimin. "Sudah, Jungkook. Kita turun sendiri saja—,"
"Name your price." Jungkook memotong kalimat Hoseok.
Jimin menyeringai, sesuatu di belakang kepala Jungkook menjeritkan alarm tapi Jungkook mendapati dirinya sendiri terpukau oleh seringai si rambut wortel.
"Mudah," sahut Jimin, matanya masih lurus menatap Jungkook, "traktir aku sarapan."
.
.
"Jadi, sarapan, eh?" Jungkook tergelitik untuk memulai percakapan dengan pemuda di sampingnya sementara mereka berjalan lambat di antara batang-batang pinus yang kurus dan helaian kabut putih yang terasa dingin di kulit tapi tidak tersentuh (mereka keren, kabut itu, pikir Jungkook) "Aku bisa saja membelikanmu makan siang siang nanti, kau tahu."
"Yeah, tentu saja." Jimin tersenyum pada kejauhan, bukan seringai menantang yang tadi, lebih kepada senyumnya di awal perkenalan—seperti balita yang belum mengerti kanan dan kiri. "Tapi itu berarti kita hanya akan berjalan di hutan, makan siang bersama, dan sudah. Tidak ada lag—hei, jangan sentuh itu!"
Terlambat. Jungkook melihat Hoseok yang berjalan tiga meter di depan mereka (bertingkah seolah dia yang tahu arah, huh, tipikal Hoseok) meringis memegangi telapak tangannya. Jimin setengah berlari menghampiri, sekelebat rasa khawatir terbaca di wajahnya. Bukan sesuatu yang biasa Jungkook lihat di wajah orang yang hanya ingin makan gratis.
"Ini hutan, ingat? Ada banyak tanaman liar berduri disini, for God's sake. Kau tidak bisa berjalan petantang-petenteng sambil menyentuh mereka sesukamu seperti saat memilih sepatu di pasar!"
"Kukira ini tempat wisata! Bukannya seharusnya sudah ada jaminan keamanan untuk pengunjungnya?" Hoseok meringis lagi saat Jimin memencet kuat telapaknya, mengeluarkan getah putih kental dari bekas goresan, yang terluka menoleh ke Jungkook dengan tatapan itu dan Jungkook sengaja membuang muka.
"Serius deh, kalau kau masuk kesini hanya berdua dengannya, mungkin selanjutnya aku akan melihat kalian di surat kabar dengan headline: Dua Turis Bodoh Meninggal Karena Tergores Duri Beracun." Jimin membasuh tangan Hoseok dengan air dari tupperware-nya, seraya mengomel ke arah Jungkook. Somehow, it's endearing, mengingatkan Jungkook pada satu kakak kelas yang bawel dan suka mengomeli Jungkook sana-sini—cinta pertamanya saat kelas dua SMP.
"Beruntung ada aku disini," Jimin menambahkan.
"Oh, tentu saja." Jungkook memutar mata, mengucapkannya dengan nada datar, "Beribu terima kasih kuhaturkan padamu, wahai Penyelamat Hidupku."
Jimin terkekeh karena sarkasme tersebut dan meraih siku Hoseok untuk digandeng. "Kau, harus kukerangkeng agar tanganmu tidak menyentuh macam-macam."
Hoseok cemberut lagi, tipe orang yang tidak suka diberi tahu harus apa. Jungkook bertanya-tanya apakah ia harus menggoreskan tangannya ke duri juga.
Setengah jam berjalan, mereka sampai.
Ketika Jimin bilang bunga liarnya cantik, dia sedikit meremehkan. Bagi Jungkook, mereka indah. Tumbuh begitu saja di tanah seperti karpet yang dihamparkan. Mahkota putihnya kontras dengan tanah hitam dan batang pinus tapi senada dengan kabut yang masih menyelimuti hutan.
Hoseok terbahak saking senangnya—hyungnya yang satu itu memang punya titik lemah terhadap sesuatu yang lembut ("Makanya aku lemah terhadap Yoongi-hyung, Jungkook" ujarnya suatu hari dan Jungkook menelan kembali pertanyaan seperti: apanya yang lembut dari Yoongi? tapi itu cerita untuk lain waktu). Di dekat Hoseok, Jimin harus berusaha sekuat tenaga untuk membuat kenalan barunya itu berhenti meniatkan untuk berebah di atas bunga. Bukan salah Hoseok, sih, hamparan putih seperti ini memang terlihat nyaman untuk ditiduri.
Jungkook mengangkat kamera Yoongi yang tadi diserahkan Hoseok di tengah perjalanan. Mendecak kesal saat melihat hasil fotonya, bunga-bunga putihnya tidak terlihat seperti bunga karena warnanya berbaur dengan kabut yang masih lumayan tebal. Menyalakan blitz, hasilnya malah lebih parah.
"Kau harus cari bunga berwarna terang agar terlihat jelas di kamera, Bocah."
Jungkook menoleh, menyadari ia berjalan agak jauh saat yang bisa ia temukan hanyalah helaian rambut oranye Jimin di antara kabut. Dan garis tubuh Hoseok juga, tapi Jungkook hanya fokus pada yang oranye.
"Tentu saja, seolah ada bunga selain putih disini." Jungkook mendecak, agak dongkol karena Jimin menyatakan hal yang sudah dia tahu.
"Sebenarnya kalau kau berjalan sedikit ke Barat, kau akan bertemu dengan yang warnanya oranye."
Oke, di antara kabut begini, tanpa ada bulatan matahari terlihat, mana Jungkook tahu yang mana barat yang mana timur. Tapi dia bersemangat untuk mencari tahu apakah bunga oranye itu sama cantiknya dengan rambut Jimin, jadi Jungkook berjalan ke arah yang dia pikir adalah barat.
"Jungkook! Tunggu kami—hei, astaga! Hoseok! Berhenti mencoba berbaring di atas bunga-bunga!"
Jungkook terkikik kecil mendengar suara samar-samar Jimin yang terdengar frustasi—hah, that's Jung Hoseok for you, Jimin, pikirnya. Sekarang kau pasti berharap kau menggandengku alih-alih mesin bicara berjalan itu, pikirnya lagi.
Walaupun hanya setengah yakin ia menuju ke barat, Jungkook yakin ia berada di trek yang benar karena di sekelilingnya mulai muncul satu dua mahkota bunga berwarna oranye pucat. Mungkin semakin ke dalam warnanya semakin cerah. Jadi Jungkook berjalan terus, menggenggam kamera Yoongi di telapak tangannya yang kedinginan.
Ketika Jungkook sampai di depan hamparan bunga kecil-kecil berwarna oranye, tanpa pikir panjang ia menghabiskan hampir seluruh memori kamera. Tidak seindah yang warna putih, sih, kalau Jungkook boleh jujur. Tapi sejak tadi pagi, Jungkook mulai membuka hati terhadap semua hal yang berwarna oranye—apalagi jika mereka kelihatan jelas di kamera walaupun terhalang kabut sekalipun.
Ada banyak objek menarik di sekitarnya, Jungkook tidak jadi menyesali ide bodoh Hoseok untuk masuk ke hutan (meskipun Jungkook harus membayar satu porsi lebih sarapan demi itu). Sinar matahari yang samar-samar menembus kabut tebal dan dedaunan, batang pinus yang kurus dan berjejer rapi, dan, tentu saja, hamparan oranye bunga liar yang Jungkook cukup terpesona untuk lupa menanyakan namanya.
Ini, pikir Jungkook, membuatnya ingat masa lalu. Saat ia masih berlarian di sepanjang jalan setapak Busan, mengambil jalan pintas lewat bukit yang rimbun dan menemukan jenis burung yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Ini, mengingatkan Jungkook tentang seberapa besar ia pernah mencintai alam, bertualang di dalamnya dan mengamati keindahannya. Setidaknya sampai ia jadi orang dewasa dan masuk kuliah.
Jungkook tiba-tiba jadi merasa rindu, sentimentil. Sial, pikirnya, maybe Norway does this kind of thing to you.
Meraih ponsel untuk mengecek waktu, Jungkook sadar sudah saatnya kembali. Karena tadi ia pergi ke arah barat, Jungkook tinggal pergi ke arah sebaliknya.
…oke.
Sebelah mana tadi arah barat?
[part 'u' coming out (hopefully) soon]
[...or maybe not.]
author's note:
makasih banyak untuk yang follow dan favs.
beribu-ribu cinta buat yang review. damn, i love you guys so much!
