.
.
.
.
Sakura's Unexpected Love
Chapter 1
Sakura and Haruno's Family
.
.
.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
The character belong to him
But the story originaly mine
.
.
.
Warning!
OOC inside
.
.
Romance, Hurt/Comfort, General
.
.
Summary : Ketika kita mencintai seseorang pasti ada rasa tak ingin kehilangan, maka kita akan berusaha mendapatkan dia agar tidak dimiliki oleh orang lain. Namun tepat harus siap dengan resiko./Aku sudah lama menyukaimu, Sasuke-kun! Jadilah pacarku!/Maaf. Tapi aku tidak mengenalmu./-/Kenalkan, namaku Sakura, Haruno Sakura/Aku Takumi Harada, kamu bisa panggil aku 'Takumi'/ Setelah penolakan itu Sakura menjadi bahan ejekan kakak-kakaknya. Tapi Sakura tak seberuntung itu, ada seorang anak baru dari kelas X-A yang menemaninya menghabiskan waktu selama pelajaran pertama berlangsung di luar kelas karena sama-sama terlambat masuk kelas.
Enjoy!
.
.
.
.
Sakura's POV
Saat ini aku sangat gugup sekali. Sangaaaat gelisah. Tapi jika aku mundur, maka kekuatan ini tak akan terkumpul lagi. Kau tahu, menyatakan cinta itu butuh keberanian yang saaaangat besar. Selama ini aku terus mengumpulkan keberanianku untuk hari ini, makanya jangan kamu sia-siakan, Sakura.
Sekarang aku berada di atap sekolah besama seorang pria yang sudah mencuri hatiku. Dia adalah Sasuke Uchiha. Pangeran es yang sangat tampan dan cerdas. Siapapun akan terlena karena kelebihan yang dia miliki.
"A-ano... Sasuke-kun, ma-maaf sudah menyuruhmu datang ke sini," ucapku yang mendadak gagap.
"Hn. Jadi apa yang ingin kamu katakan?" tanya pria itu mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku.
"Begini. A-aku! Aku sudah lama menyukaimu, Sasuke-kun! Jadilah pacarku!" dengan lantangnya aku menyatakan cintaku pada pria ini dan sedikit tertunduk karena saking malunya, sambil memejamkan mata.
'Aku pasti ditolak...' pikirku dalam hati. Sepertinya Sasuke-kun sedang berpikir.
"Maaf. Tapi aku tidak mengenalmu, ja–" Tuh kan. Kupotong ucapan Sasuke-kun karena tak tahan dengan jawabannya.
Aku tegakkan kepalaku, senyum terlihat di wajahku – senyum paksaan lebih tepatnya.
"Oh! Tak apa-apa, Sasuke-kun. Maaf sudah mengganggu waktu sengganmu karena hal yang tak penting ini, hehe. Maaf sekali lagi. Jelas kamu tidak mengenalku karena kita beda kelas. Bodoh sekali aku ini. Hahahah Aku tidak akan menggangumu lagi," ucapku gemetar. Tenggorokanku terasa perih karena menahan tangis yang akan keluar kapan saja dari sudut-sudut pelupuk mataku. Tapi untunglah, masih bisa aku tahan sekuat tenaga. Aku tak ingin terlihat lemah di depan pria yang aku sukai.
Akupun mundur perlahan dan melambaikan tanganku ragu-ragu sekedar ucapan salam perpisahan. Aku berbalik menghadap pintu keluar, dengan sekuat tenaga aku berlari. Menjauh, sejauh mungkin menghidari Sasuke-kun. Menuruni tangga dengan cepat hingga pada anak tangga terakhir aku tersandung dan terjaruh dengan lutut yang menyentuh lantai terlebih dahulu. Aku terjatuh dengan tidak elitnya, dan tengkurap.
"Hiks... hiks... hiks... Sakiiit." Rasanya sakit sekali, lututku dan hatiku. Aku pegang lutut kiriku dengan tangan kiri dan baju seragam –lebih tepatnya dada– aku remas. Akhirnya aku berdiri dan pulang langsung ke rumah menggunakan bis. Dengan darah di kedua lututku.
End of Sakura's POV
.
.
.
.
.
.
Normal POV
BRAK!
Pintu rumah keluarga Haruno dibuka dengan kasar oleh seorang gadis bermakhotakan merah muda, Sakura Haruno.
Tanpa mengucapkan apapun, Sakura melesat masuk ke lantai dua yang merupakan tempat di mana kamarnya berada.
Ibunya yang sedang di dapur sontak kaget dengan suara yang ditimbulkan oleh anak gadisnya. Karena Sakura sempat melewati pintu dapur ketika Sakura hendak menaiki tangga.
"Sakura, kamu kenapa?" tanya Mebuki dari bawah. Sakura yang mendengar ibunya bertanya hendak membalas pertanyaan ibunya namun belum sempat menjawab sudah ada yang menyahut duluan.
"Paling dia ditolak, Bu. Tak usah khawatir, nanti juga puling sendiri. Iya kan, Sakura?" Iya, itulah jawaban yang hendak dia jawab, tapi tidak dengan ucapan terakhir dari kakaknya, Karin Haruno. Karin yang berada di ruang keluarga sambil mengerjakan tugas sekolahnya hanya tersenyum. Mereka, Sakura dan Karin satu sekolah, hanya saja Karin sekarang kelas 3 SMA sedangkan Sakura kelas 1 SMA.
Merasa apa yang dikatakan oleh kakaknya benar menambah rasa sakit yang dia dera sekarang. Matanya semakin memanas, rasanya ingin menangis lagi. Air matanya tidak bisa dibendung lagi, lalu terdengarlah tangisan Sakura dari kamarnya hingga ruang keluarga, tempat Karin berada.
"Huuuuaaaaaa... Kaaa-saan... " pecah sudah tangis Sakura. Sakura keluar kamar kemudian menuruni tangga dan menghampiri ibunya yang berada di dapur. Tangan kanan dia gunakan untuk menutupi matanya yang terus mengeluarkan cairan bening yang hangat tersebut.
Kini Sakura berada di pintu dapur dan berlari ke pelukan ibunya. Sakura memeluk ibunya dari belakang, kepalanya dia tundukkan di antara leher dan bahu ibunya, sambil masih sesegukan.
"Hiks... hiks... Ibu, aku sakit hati. Hatiku patah, pecah berkeping-keping," ucap Sakura pada ibunya. Ibunya membenarkan posisi mereka supaya nyaman. Kini Sakura dipeluk oleh ibunya, begitu pula Sakura.
"Sakura. Kenapa? Cerita pada ibu. Kenapa kamu bisa "Hatiku patah, pecah berkeping-keping"?" tanya sang ibu dengan nada sedikit menggoda Sakura, apa lagi di kalimat terakhir.
"Kaa-san malah mengejekku lagi. Aku ditolak, Kaa-san. Dengan alasan dia tidak mengenalku. Memang wajar dia tidak kenal aku karena beda kelas. Tapi masa dia tidak kenal aku, kan kelas kami bersebelahan... huhuhu," Sakura menyuarakan isi hatinya kepada sang bunda yang hanya tersenyum namun merasa iba juga.
"Oh.. jelas dia menolakmu," ucap ibunya. Bukan membela anaknya, tapi menambah rasa sedihnya.
Karena merasa tubuh Sakura menegang sesaat, Mebuki langsung melanjutkan kalimatnya
"Kamu lupa ya. Ada pribahasa 'Tak kenal maka tak sayang'. Yaah wajar juga sih," lanjut Mebuki yang sedang mengelus kepala anaknya lembut.
Merasa tidak puas dengan jawaban ibunya, Sakura mendongakkan kepalanya dan berpendapat kembali.
"Tapi kan kami bertetangga. Maksudku kelas kami bersebelahan, masa masih tidak kenal aku. Tega sekali," cecar Sakura.
Karin jadi penasaran siapa yang membuat adiknya seperti ini dan bertanya.
"Memangnya siapa cowo yang kamu taksir, Sakura?" tanya Karin dan menghampiri Sakura, Sakura menolehkan kepala untuk melihat kakaknya. Karin duduk di meja makan dan menuangkan air ke gelas yang ada di depannya. Air di gelas itu pun dia teguk perlahan sambil menunggu jawaban dari Sakura.
"Iya Sakura. Siapa anak laki-laki yang kamu sukai itu?" tanya Mebuki penasaran juga.
"Kakak penasaran siap yang membuat adik manismu seperti ini?" tanya Sakura yang melihat kakaknya masih meneguk air.
Karin menganggukkan kepalanya pertanda dia ingin tahu siapa pria yang Sakura taksir.
"Si Pangeran Es." Dengan singkat Sakura menjawab.
Karin kaget bukan main hingga air yang tengah dia teguk tersedak masuk semua ke rongga mulutnya dan ada air yang mengalir keluar karena tak sanggup Karin tampung di mulutnya. Karin nepuk-nepuk dadanya yang sakit karena air tersebut.
"Karin! Kamu tidak apa-apa?" tanya sang ibu pada anak sulungnya. Mebuki melepaskan pelukannya dari Sakura dan menghampiri anaknya yang masih menepuk-nepuk bagian dadanya. Begitu pula Sakura, mengikuti langkah ibunya menghampiri kakaknya, juga merasa sedikit bersalah.
"Tidak, Kaa-san. Aku tidak apa-apa. Tapi adikku yang yang sudah tidak waras," jawab Karin yang terengah-engah. Menatap tajam pada Sakura pula. Sakura yang sadar dengan tatapan kakaknya hanya nyengir tak karuan. Karena dia juga tahu maksud ucapan Karin.
"Beraninya kamu memanggil adikmu tidak waras!" tegur sang ibu sambil mencubit pipi kiri Karin dengan gemas.
"Aw. Itai. Iyalah. Kalau saja Kaa-san tahu bagaimana orang yang Sakura taksir, ibu juga akan mengucapkan hal yang sama sepertiku. Dari sebutannya saja ibu juga pasti mengerti. Es, Kaa-san, Es" Karin membela diri. Karena memang benar adanya.
"Memangnya siapa dan seperti apa orang yang kamu suka, Sakura?" tanya Mebuki kepada anak bungsunya.
"Sasuke Uchiha," jawab Sakura malas-malasan. Ibunya yang memang mengenal nama yang baru saja Sakura sebut, hanya bisa terbelalak, untuk mulutnya tidak sampai membentuk huruf O. Karena Mebuki dan ibunya Sasuke merupakan sahabat yang sudah seperti adik-kakak saja. Dan pasti Mebuki tahu bagaimana anak-anak dari sahabatnya itu. Sesekali Mebuki bertamu ke kediaman Uchiha itu
"Sasuke? Kamu bilang 'Sasuke'? Sebaiknya kamu gali tanah saja, dan sembunyi di dalamnya. Lalu renungkan apa tindakanmu itu benar atau tidak. Mungkin hal yang bodoh, menurut Kaa-san," itulah kata-kata yang terlontar dari mulut ibunya. Sakura hanya cemberut karena tak ada seorangpun yang mendukungnya.
"Kaa-san seperti tahu saja seperti apa Sasuke," ucap Sakura yang tak terima.
"Tentu saja. Kaa-san kadang-kadang pergi ke kediaman keluarga Uchiha karena Nyonya besar keluarga itu sahabat Kaa-san," jawab Mebuki bangga.
"Apa? Kenapa Kaa-san tidak pernah bilang padakuuu~.. Kenapa tidak mengajakku sekalian?" ucap Sakura setengah terkejut dan tak percaya.
"Bagaimana Kaa-san mau mengajakmu, kamu sendiri yang setiap kali diajak tidak mau," bela Mebuki.
"Karena Kaa-san tidak menyebutkan siapa nama sahabat Kaa-san. Kalau saja aku tahu itu keluarga Uchiha, aku pasti akan menemani Kaa-san," kilah Sakura.
Karin hanya menatap kedua orang di depannya sedari tadi.
"Ya sudah. Toh sudah terjadi," timpal Karin yang jengkel dengan perdebatan kedua orang di hadapannya ini.
"Tapi bagaimana bisa kamu suka sama Sasuke, Sakura?" tanya ibunya. Dari nada bicaranya terdengar tak percaya.
"Iya aku tahu ini hal yang paling bodoh yang pernah aku lakukan seumur hidupku. Tapi Kaa-san, aku menyukai Sasuke-kun, aku takut dia keburu direbut orang lain. Kan banyak sekali yang naksir sama Sasuke-kun. Makanya aku beranikan diri untuk menyatakan cintaku. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa jatuh hati padanya," ucap Sakura membela diri (lagi) plus wajahnya merona merah.
"Kamu tidak tahu ya? Belum pernah ada yang berani menyatakan cinta pada Sasuke. Mereka sudah pesimis duluan sebelum menyatakannya, karena mereka sadar dengan kekurangan mereka. Mereka merasa tidak pantas bersanding dengan Sasuke," ucap Karin panjang lebar. Berusaha menyadarkan Sakura akan tindakan sembrononya.
"Neechan tahu dari mana?" tanya Sakura tak percaya.
"Karin. Kamu masih melakukan 'kegiatan' bodohmu itu, huh?" tiba-tiba ada suara yang mewakili jawaban Sakura akan pertanyaannya pada Karin. Sontak semua mata tertuju pada suara yang tersebut. Dan ternyata sang pemilik suara berada di ambang pintu dapur.
End of Normal POV
.
.
.
.
Sasori's POV
"Tadaima~," salam terucap dari mulut pria berambut merah tersebut yang sambil membuka sepatunya dan menyimpannya di rak.
'Gah. Gak ada orang apa?' ucapku dalam hati. Tapi saat menyusuri lorong rumah, aku mendengar suara kakakku, Karin sedang berbicara. Arahnya dari dapur. mereka sedang makan? Tapi kan sekarang bukan jam makan perasaan.
Semakin dekat aku dari pintu dapur. Aku dengar Karin sedang memaparkan hasil temuannya. Pasti hasil 'kegiatan' bodohnya itu. Haaah...
End of Sasori's POV
.
.
.
Normal POV
"Kegiatan bodoh itu sewaktu-waktu akan berguna, BODOH! Yang kulakukan masih bisa bermanfaat untuk orang lain. Tidak sepertimu, yang keluyuran tak tau arah, Sasori," bela Karin. Sasori hanya mendengus mendengar pernyataan dari kakaknya.
"Sasori. Kenapa tidak memberi salam saat masuk?" tanya sang ibu pada laki-lakinya. Karena kesopanan sangat penting dalam didikan keluarga Haruno.
"Sudah. Tapi tidak ada yang menjawab. Mungkin kalian terlalu asik mengobrol jadi tidak terdengar," jawab Sasori dengan jujur.
"Sasori-nii, dari mana saja? Dasar tukang keluyuran," tanya Sakura sambil mendukung pendapat kakak perempuannya, Karin.
Sasori bukannya menjawab, tapi malah menghampiri Sakura dan sedikit menyeretnya agar memastikan pandangannya. Sasori menyadari ada luka di kedua lutut adik perempuannya yang sangat dia sayangi.
"Lututmu kenapa?" tanya Sasori datar. "Kaa-san tidak sadar ya kalau Sakura terluka? Ayo sini aku obati," lanjut Sasori dan menyeret Sakura ke ruang keluarga.
"Duduk!" perintah Sasori pada Sakura. Sakura hanya menurut dengan perintah kakaknya.
"Aku bawakan P3K, ya," ucap Karin yang pergi untuk membawa kotak P3K.
"Sakura maaf. Kaa-san tidak tahu. Kaa-san bawakan air panas dan handuk kecil ya," ucap Mebuki yang merasa bersalah tidak menyadari lutut anaknya berdarah walaupun darahnya sudah kering.
"Terima kasih semua," ucap Sakura dan tersenyum. "Kakak kenapa bisa sadar aku terluka?" tanya Sakura pada Sasori yang duduk di samping kanan Sakura.
"Mataku jeli. Perih? Kalau aku tidak menyadarinya pasti lukanya akan infeksi kalau kamu biarkan seperti ini. Lihat darahnya sudah sedikit mengering. Memangnya kamu kenapa bisa sampai seperti ini, hm?" tanya Sasori yang mengkhawatirkan adik manisnya.
"Kamu terjatuh dari tangga ya?" tebak Karin yang datang dengan kotak P3K dan menyerahkannya pada Sasori. Sasori terkejut dengan apa yang diucapkan Karin bahwa Sakura jatuh dari tangga.
"Hah? Tangga? Kenapa bisa?" tanya Sasori pada Sakura yang sekarang tambah khawatir.
"Haaah... haruskan aku menceritakannya?" tanya Sakura pada kedua kakaknya.
"Aku sudah cukup tahu," jawab Karin yang sudah menyimpulkannya sendiri bagaimana saja kejadian yang menimpa Sakura.
"Tidak! Aku ingin dengar. Kenapa kebiasaan cerobohmu tidak pernah hilang sih, Sakura?" tolak Sasori.
"Tapi jangan marah setelah aku menceritakannya, ya Sasori-nii," ujar Sakura. Dengan mata yang menunjukkan ketakutan.
"Itu tergantung dari ceritamu," balas Sasori yang kini membuka kotak P3K dan mengobati lutut Sakura, sedang Karin kembali lagi dengan tugas sekolahnya yang tadi sempat tertunda di samping kiri Sakura. Mereka berkumpul di ruang keluarga dan disusul oleh Mebuki, ibu mereka. Mebuki menyerahkan baskon yang berisi air hangat dan handuk ke Sasori yang sekarang berada di bawah Sakura, (depan lututnya).
"Jadi kenapa bisa sampai seperti ini?" tanya Sasori yang membasuhkan handuk basah pada luka kering di lutut kanan Sakura. Bergantian dengan lutut kirinya. Sakura sedikit meringis dari perih walaupun darahnya sudah mengering.
"Aku memberanikan diri menyatakan perasaanku, tapi ditolak," ucap Sakura sambil tertunduk. Matanya dia tutup mengingat lagi apa yang telah terjadi di atap sekolah.
"Ada yang berani menolak adikku? Siapa? Bodoh sekali orang itu," tanya Sasori lagi.
"Mmm... Sa-sasuke-kun," jawab Sakura tergagap. Takut dimarahi Sasori. Makanya dia menutup matanya rapat-rapat.
"Oh kalau begitu kamu yang bodoh. Benar apa yang dikatakan Karin. Tak ada yang berani menyatakan cinta padanya," ucap Sasori yang semakin menambah kegundahan Sakura. Sakura membuka matanya dan menatap kakaknya yang sedang sibuk dengan antiseptik itu tak percaya. Dia senang tidak dimarahi tapi dia juga merasa bodoh karena dibilang bodoh dua kali dari orang yang berbeda.
"Kalian menyebalkan, huh," Sakura mendengus dan menyandarkan diri ke sofa.
"Lalu luka ini?" tanya Sasori lagi.
"Karena aku menyatakannya di atap sekolah. Begitu tahu aku ditolak aku langsung lari sambil menuruni tangga, dan aku terjatuh dengan luka seperti sekarang," meski kesal, Sakura tetap menjawab pertanyaan kakaknya.
"Oke. Beeeres!" (Plak!) Sasori memukul kedua lutut Sakura yang diperban cukup keras hingga Sakura meringis lagi.
"Pfft," Karin yang melihatnya sekilas hanya menahan tawa. Pasalnya Karin tahu, sebenarnya Sasori sedikit cemburu karena adiknya kini punya tambatan hati. Karena dari dulu Sakura terus bermanja-manja padanya. Makanya Sasori merasa tak rela kalau harus kehilangan adiknya.
"Apa-apaan Niichan ini? Sakit, Baka Aniki!" Sakura geram karena perlakuan tak jelas dari kakaknya.
"Supaya tidak lepas perbannya, Baka Imouto!" balas Sasori asal-asalan.
"Sudah-sudah. Sebaiknya sekarang kita makan," sang ibu menengahi pertengkaran anak-anaknya kali ini.
"Tapi ibu belum masak nih. Ada yang mau bantu?" tanya sang ibu menatap anak-anaknya satu persatu.
"Aku," ketiganya mengacungkan tangan bersamaan. Kalo sudah berkaitan dengan masak memasak, mereka bisa kompak banget. Apalagi Sasori. Meskipun laki-laki, dia tidak gengsi untuk memasak. Itulah kebanggaan yang dimiliki Sasori. Dia ingin belajar sedikit-sedikit memasak, karena dia bercita-cita untuk kuliah jauh dari orang tuanya.
"Kalau begitu Sakura dan Karin belanja bahan-bahannya, ya. Ini daftarnya," sang ibu menyerahkan daftar belanjaan pada Karin.
"Sasori kamu siapkan alat masak ya, kita akan memasak ... ah rahasia," ucap Mebuki dengan wajah dimisteriuskan. Anak-anaknya hanya saling pandang dan tertawa. "Baiklah, Kaa-san. Aku siapkan dulu peralatannya. Kalian lebih baik cepat belanjanya," suruh Sasori pada adik dan kakaknya.
"Iya, iya. Ayo Sakura. Sudah tidak terlalu sakit'kan kakimu?" tanya Karin.
"Hm? Tidak. Kami berangkat yaaa," sahut Sakura yang kini sudah di ambang pintu rumah.
.
.
.
.
Sesampainya di supermarket, Karin membawa troli dan Sakura memilih bahan makanan yang tertera di daftar belanjaan yang ibunya berikan.
"Apa sudah semua, Sakura?" tanya Karin dari belakang.
"Masih ada beberapa yang harus dibeli. Kecap, daging sapi, hah?! Sake?! Neechan, aku tidak salah baca kanji ini kan?" tanya Sakura yang kaget dengan temuannya.
"Mana? Benar kok, ini tulisannya Sake. Ngapain ibu beli ini? Ibu mau meracuni kita sebelum waktunya," ucap Karin yang heran juga.
"Iya aku juga heran. Kita kan belum cukup umur. Eh... Neechan sudah cukup umur tahu," ujar Sakura.
"Iya. Tapi aku tidak begitu tertarik," ucap Karin. (Karin anak baik, ya)
"Ya sudahlah kita beli saja dulu kecap dan dagingnya, baru sake," usul Sakura dan mereka bergegas ke tempat daging juga kecap. Setelah mereka menemukan apa yang mereka butuhkan, Sakura segera menuju tempat sake berada.
Di tempat tersebut banyak jenis sake. Sakura membaca lagi daftar belanjaan memastikan jenis sake yang ditulis oleh ibunya.
"A! Ini dia sakenya," ucap Sakura riang. Saat hendak mengambil sake tersebut, ada tangan lain yang sama-sama ingin mengambil sake tersebut, dan sempat menyentuh tangan Sakura. Sakura menoleh pada sang pemilik tangan, betapa terkejutnya dia saat mengetahui siapa pemilik tangan tersebut. Dia pria yang tadi di sekolah, yang telah menghancurkan hatinya. Laki-laki itupun ikut terkejut mengetahui gadis itu adalah gadis yang tadi sore menyatakan cinta padanya.
Sakura pun segera mengambil sake lain secara asal. Bisa dipastikan Sakura mengambil sake yang salah. Sakura pergi dari tempat tersebut dengan sedikit berlari meninggalkan Sasuke yang berdiri terpaku di tempatnya. Sebisa mungkin dia tidak melihat Sasuke lagi. Karin yang sedang mengobrol dengan temannya yang berambut silver memanggil Sakura yang berjalan tergesa-gesa ke arahnya.
"Ah Sakura. Kau sudah mengambil sakenya?" tanya Karin dan menghampiri Sakura dengan diikuti oleh temannya di belakang.
"Sake? Dasar anak nakal," komentar pria silver itu.
"Itu bukan untukku, Suigetsu. Tapi orang tuaku yang menyuruh kami membelinya. Dan asal kau tahu aku belum mau minum-minuman beralkohol," bela Karin.
"Karin-nee, kita segera pulang. Pasti ibu dan Sasori-nii menunggu," ucap Sakura tiba-tiba.
"Hei. Wajahmu kenapa Sakura? Merah sekali? Kamu sakit? Jangan bilang kamu meminum sakenya?!" pertanyaan bertubi-tubi dilayangkan oleh Karin kepada adiknya yang bertingkah aneh.
"Tidak mungkin aku minum sakenya, Nee-chan. Ini kan barang supermarket, bukan pasar biasa," balas Sakura sambil meraih lengan Karin dan menaruh sakenya ke troli.
"Kalau begitu sampai jumpa, Suigetsu," ucap Karin pada temannya.
"Ya. Hati-hati di jalan," balas Suigetsu melambaikan tangannya dan kembali ke aktivitasnya membeli barang keperluannya.
"Ada-ada saja. Hei Sasuke kau sudah mengambilnya?" tanya Suigetsu menghampiri Sasuke di tempatnya. Tak ada respon dari Sasuke, Suigetsu menepuk pundak Sasuke untuk mengembalikan Sasuke dari 'ketidaksadaran'nya.
.
.
.
.
.
Setelah membayar semua keperluan, mereka bergegas pulang. Untunglah rumah mereka dekat dengan supermarket, hanya beberapa meter. Jadi mereka tidak akan kerepotan membawa barang belanjaan yang lumayan banyak.
"Bukannya itu Sasori, ya Sakura?"
Sakura menoleh ke arah di mana kakaknya memandang.
"Iya. Itu Nii-chan. Mungkin dia batang untuk menjemput kita," ucap Sakura lalu melambaikan tangannya memberi sinyal pada Sasori untuk mendatangi mereka berdua. Dengan kepekaannya, Sasori tahu bahwa yang melambai itu adiknya dan berlari menghampiri mereka untuk membantu barang belanjaan mereka.
"Kalian lama sekali belanja nya. Jajan dulu ya," tuduh Sasori mengambil barang yang ada di tangan Sakura.
"Enak saja jajan dulu. Bawakan punyaku juga dong," jawab Karin membela diri dan Sakura.
"Sakura juga bisa membantumu. Lagian bawaanmu ringan ko. Lebih baik kita segera pulang dan bantu ibu sebelum ayah pulang dari kantor," jelas Sasori sambil mempercepat langkahnya.
"Ya bagus kalau ayah pulang. Jadi ibu ada yang bantu, eh maksudnya kalau ayah membatu juga kan akan lebih cepat," ucap Sakura polos. Sasori hanya menghela napas karena kelemotan adik dan kakaknya.
"Kalian lupa hari ini hari apa?" tanya Sasori yang terus saja berjalan tanpa menoleh kepada orang yang berada di belakangnya.
"Hari selasa," jawab Karin tak kalah polosnya dengan jawab Sakura. Lagi-lagi Sasori mendesah karena ketidakpekaan kakak dan adiknya.
"Haah~," desah Sasori.
"Kenapa? Salah ya?" tanya Sakura.
"Hari pernikahan ibu. Ulang tahun pernikahan orang tua kita. Ah kalian payah. Cepat ah, kalian lelet banget," ucap Sasori kesal. Karin dan Sakura hanya terbelalak, lupa dengan ritual tahunan yang sering mereka rayakan bersama-sama.
"Kami-sama! Maafkan kami. Tunggu Sasori/Sasori-nii!" ucap mereka berdua bersamaan. Mereka terlalu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Terutama Karin yang sudah kelas 3, dia harus fokus belajar agar nilainya membaik. Dia bertekad ingin masuk ke Fakultas Hukum atau menjadi detektif. Detektif wanita yang cantik, pasti sangat mengasikan pikirnya. Sasori, meskipun dia terlihat tidak peduli, dia masih mengingat ulang tahun pernikahan orang tuanya. Sedangkan Sakura, dia sibuk mengumpulkan keberanian untuk menyatakan cintanya pada Sasuke. Ini anak jangan dicontoh ya permirsa.. ("Hei, menyatakan cinta itu butuh energi yang cukup besar tahu,".. author dimarahi Sakura #kabuuur!)
.
.
.
.
Sesamapinya di rumah, mereka langsung sibuk mengerjakan bagian mereka masing-masing. Sakura mengiris bahan-bahan, Sasori memasak, Mebuki menyiapkan piring, gelas, dan alat makan lainnya kemudian membantu Sasori memasak. Karin ahli dalam membuat kue, makannya dia sedang membuat adonan kue, dengan sangat cepat dia dapat menyelesaikannya dalam waktu 30 menit kemudian dia masukkan ke oven. Sakura menghias kue tersebut menjadi lebih menarik.
Dalam waktu 2 setengah jam, masakan sudah tersaji dengan tertata rapi. Mereka kompak sekali bukan? Berterimakasihlah kepada Kami-sama dengan anugerah yang Dia berikan kepada mereka.
TING TONG
"Tadaimaaa... " sang kepala rumah tangga mengucapkan salam.
"Okaeri...!" sambut sang istri dan anak-anaknya dengan gembira. Juga ditambah suara dari peluit dan terompet.
"Waah... seingat Tou-san, Tou-san masih jauh dari tanggal ulang tahun Tou-san. Kenapa rame-rame begini?" Kizashi mengusap kepala Sasori yang paling dekat dengannya lalu beralih pada anak-anak gadis dan istrinya. Sakura mengambilkan tas ayahnya.
"Biar Sakura bawakan, ya Tou-san," ucapnya dan tersenyum.
"A. Iya. Terima kasih Sakura. Jadi sebenarnya ada apa ini, Mebuki?" tanya sang kepala rumah tangga lagi karena kelampau penasaran. "Hari ini tak ada yang ulang tahun kan?" lanjutnya lagi.
Semua saling pandang dan tersenyum.
"Selamat ulang tahun pernikahan yang ke 18!" sorak mereka berempat bersamaan. (Aiih, ni keluarga bikin iri ajaaa )
"A.. Astaga hahaha... kalian ingat. Iya terima kasih kalian semua. Mebuki, maaf aku tak ingat hari ini hari ulang tahun pernikahan kita," ucap Kizashi terlihat sendu namun dia bahagia masih ada yang ingat dengan hari bersejarah itu. Kizashi mendekati Mebuki dan mengecup pipi kemudian dahinya cukup lama. Mebuki hanya merona merah dan tersenyum lembut.
"Ahem! Mesranyaaa.. hihihi.. kalau begitu kita langsung ke acara utama," ucap Sasori tiba-tiba dan mengajak mereka semua ke dapur untuk merayakan hari istimewa ini.
"Ayo!" semua tersenyum bahagia. Dan Sakura seketika itu melupakan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu untuk menghormati hari perayaan ini.
.
.
.
.
"Agar hari perayaan ini lebih berarti alahkah baiknya kita mengupkan rasa syukur kita kepada Tuhan yang telah memberi kita nikmat. Memberi kami seorang anak-anak yang baik dan pintar," ucapan Kizashi membuat ketiga anaknya tersenyum senang dan bangga. "Juga terimakasih karena telah mengirimkanku seorang wanita yang luar biasa. Wanita hebat yang pernah aku temui. Wanita pertama dan terakhirku," Kizashi mengucapkannya sambil melihat istrinya dan memegang tangan kanan istrinya erat. Mebuki hanya tersenyum ke arah suaminya, laki-laki yang telah mengubah hidupnya. Memberinya kebahagiaan bersama ketiga orang anaknya.
"Terimakasih Tuhan atas semua nikmat yang telah Kau berikan kepada kami. Amiiin," ucap Kizashi.
"Amiiin." Dibalas oleh yang lainnya bersamaan.
"Kampaiii!" semua setempak mengangkat gelas berisi minuman favorit mereka masing-masing. Mereka memulai acara makan-makan yang terlihat mewah namun ekonomis ini. Karena masakan rumah lebih enak dan ekonomis.
Sekedar informasi sake yang tadi dibeli Sakura benar-benar salah. Karena sake yang dibawanya mengandung alkohol yang lumayan tinggi. Maka Kaa-san nya menyimpan sake itu untuk dirinya dan sang suami nanti (mungkin).
.
.
.
Acara perayaan tersebut akhirnya selesai. Selama acara banyak yang mereka bicarakan, bahkan topik tadi sore mengenai Sakura ditolak oleh Sasuke terulang kembali. Ini karena Karin yang terus menggodanya. Topik ini berlanjut hingga mereka berkumpul di ruang keluarga. (Aduuh harmonis, ne readers?)
"Jadi lutut ini menjadi bukti? Seperti itu, Sakura?" tanya sang ayah.
"Hmmm. Begitu, seperti perwakilan dari rasa sakit hatinya, Tou-san," timpal Karin seenaknya. Sakura tersentak ingin protes tapi tak bisa karena mereka sudah tertawa dengan ucapan Karin. Sasori juga terkekeh pertanda dia setuju dengan pemikiran Karin.
"Ah sudah. Jangan menggodaku teruuus," rengek Sakura tak terima. Diapun beranjak pergi ke dapur untuk mengambil minum. Dia tersenyum, sejujurnya dia suka diperlakukan seperti itu. Karena Sakura sedikit narsis, ingin diperhatikan. Maklum anak bungsu.
"Ah. Sudah hampir larut malam. Kalian cepat tidur sana. Kalian besok kan harus sekolah," perintah Kizashi. Dan anggukan dari Mebuki sang ibu.
"Yaah. Baik Tou-san. Oyasumi," ucap Karin dan diikuti oleh Sasori. Sakura mencium kedua orangtuanya sebelum pergi tidur dan langsung menyusul kakak-kakaknya ke lantai dua di mana kamar mereka berada. Sakura dan Karin satu ruangan.
"Oyasumi~ Sasori-nii," ucap Sakura pada Sasori. Kamar mereka bersebelahan.
"Hm. Oyasumi minna," balasnya pada Karin dan Sakura. Karin sebenarnya sudah masuk duluan tanpa mengucapkan selamat tidur pada Sasori.
Mereka, Karin dan Sakura sudah di tempat tidur masing-masing. Tapi Karin tidak mematikan lampunya.
"Ne, Sakura. Kamu belum tidur'kan?" tanya Karin tiba-tiba dan berbalik menghadap kiri untuk sekedar melihat adiknya.
"Hm? Belum sih. Ada apa?" jawab Sakura yang mengubah posisinya menghadap kanan. Karin bangkit dan terduduk di kasurnya.
"Sebenarnya tadi di supermarket ada apa?" tanya Karin to the point.
"Tidak ada," kilah Sakura. Sebenarnya ada.
"Bohong. Jelas-jelas kamu tertunduk saat menyeretku tadi di supermarket dan segera ke kasir. Terus sake yang dibeli juga salah. Kamu tak seceroboh itu setahuku," ucap Karin seolah mengiterogasi. Tapi Sakura tetap diam dan menatap Karin seolah tak mengerti dengan apa ang diucapkan oleh Karin. Lalu Karin bersuara lagi karena jengkel dengan sikap adiknya.
"Haah. Percuma berbohong padaku. Katakan saja siapa yang tadi kamu temui," lanjut Karin yang sudah berada di tempat tidur Sakura.
"Sasuke-kun," ucapnya. Jeda sejenak. "Aku tadi melihatnya. Kami sama-sama hendak mengambil sake yang ada pada daftar belanjaan. Aku salah tingkah, jadi deh.." lanjutnya sambil mengangkat bahu.
"Emmm.. souka," ucap Karin pelan.
"Memang kenapa? Khawatir ya sama adikmu?" ucap Sakura lagi.
"Tidak juga. Hanya melatih daya 'kepekaan'ku," ucap Karin menjulurkan lidah.
"Ih dasar jahat. Sudah ah aku mau tidur. Sana kembali ke ranjangmu. Menggangu saja, aku kira apa, huh," Sakura merasa dipermainkan mengusir Karin dan kembali tidur.
"Adikku galak amat, ya sudah aku juga sudah mengantuk.. Hoaam~~ Oyasumi imotou-chan," Karin kembali ke kasurnya dan 'klik' mematikan lampu kamar. Begitu pula dengan Sakura karena memang sudah sangat mengantuk.
.
.
.
.
Sedangkan di tempat lain ada seorang pemuda tengah termenung. Termenung? Dia melihat langit malam yang menampakkan kerlap-kerlip bintang. Menghiasi langit malam yang kelam dengan pancaran cahayanya.
Sang pemuda memakai jaket abu muda. Kepalanya tertutupi oleh tudung jaketnya untuk mengurangi rasa dingin yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Sang pemuda tersebut sekarang berada di balkon kamarnya.
つづく
Ogenkidesuka minna-san?
Daijoubu desuka?
Semoga sehat...
Saya kembali dengan cerita baru.
Semoga kalian suka.. dan saya usahakan update cepat.
Kritik, saran, dan apapun saya terima. Mau ngehina juga gpp kalau itu demi kebaikan saya.
Tapi akan lebih jika kalian senang dengan karya saya yang seala kadarnya ini.
Well, well... mind to review, please :)
Regard, Arufi-
