Simpulan : Smut dan pwp. Asem-asem lemon. =')


Tokyo Ghoul © Ishida Sui

All properties inside this fanfiction are definitely not mine. All I own only the idea itself


Body Marks

by Leon

UtaxKaneki fanfiction. Beware of smuttiness and dirty language!


Penuh dan lengket.

Lalu, sensasi dingin elektris yang berpusat dari benda metalik bersinar yang menembus kulit umbilikus* miliknya. Beradu dengan bola-bola kecil berwarna silver lainnya milik seseorang di bawah tubuhnya.

Lengket. Dan, ia bergeming dalam posisi itu sementara suara berkecipak dan gesekan demi gesekan sensual menggantikan deru nafasnya yang semakin gila. Ia mengikuti ritme permainan sosok di bawahnya. Sudah tiga garis start dilalui dan ia semakin yakin jika malam masih begitu panjang dan ia akan terbangun keesokan harinya dengan paralisis sekujur tubuh bahkan kelumpuhan.

Kuku-kukunya yang dicat sempurna dengan polesan gothic mengelus rahang hingga jatuh di lukisan tubuh yang tidak terlalu dipahaminya sebagai keturunan Jepang asli. Mungkin, orang ini pernah tinggal di Rusia hingga ia terkadang mewakili isi pikirnya melalui tulisan-tulisa dalam alfabet negara itu. Tampak seperti kalung yang hidup abadi di sekeliling leher jenjang dan bidang milik artis berwajah emo itu. Bergaul dengan pria ini membuatnya ikut-ikutan ingin mencoba bagaimana rasanya hiudp tanpa kekangan. Bebas. Seolah memiliki sayap sendiri.

Well, itulah yang dilakukan Kaneki Ken. Memutuskan lari dari masa lalunya sebagai pemuda baik-baik, terisolasi dari dunia luar, hanya merindukan apartemen mungilnya selepas bel terakhir perkuliahan, dan menikmati sebungkus hamburger seorang diri bersama buku tua yang dibelinya murah di salah satu sudut kota Tokyo yang tidak begitu ramai. Yang anehnya, sukses mempertemukannya dengan pria bernama Uta ini. Dalam sekali lihat, Kaneki yang polos akan lari tunggang langgang begitu memberi recehannya ke arah kakek-kakek tua di belakang meja kasir. Sialnya, rasa panik dan gugup membuatnya salah tingkah. Menjatuhkan beberapa recehan hingga buku dalam kantongannya sendiri, lalu menabrak pria berwujud serba gelap itu. Belum lagi ditambah dengan perhiasan-perhiasan tambahan khas masyarakat urban pinggiran yang anti-sosial, semacam tato dan piercing. Menyeramkan, pikir Kaneki Ken muda.

Jika diingat-ingat lagi, Kaneki akan terkekeh. Pertemuan mereka yang tidak wajar pun berakhir di atas pembaringan mewah yang minim cahaya ini. Bahkan, Uta masih sibuk mengisi satu-satunya lubang milik Kaneki dengan miliknya.

"Ah!"

Masuk. Tanpa aba-aba. Lalu, keluar dengan rayuan.

Lengket. Benar-benar lengket.

"Mmmn."

Tapi, Kaneki menyukainya. Sensasi itu. Terlebih saat Uta menembakkan berjuta-juta spermanya.

Penuh. Penuh. Dan—teramat lengket.

"Ken?"

Belum lagi setiap kali mendengar pria itu menyebut namanya. Namanya. Bukan Kaneki—nama ayahnya. Kaneki Ken selalu menyukai bagaimana lantunan merdu suara Uta yang selalu dicurigainya lebih mirip dengkuran falsetto khas para pencinta musik-musik metal. Setiap getaran yang muncul dari balik chorda plica* miliknya sangat rendah. Penuh dengan intimasi dan godaan yang memabukkan. Pemuda Kaneki ini mencoba mengangkat wajahnya yang setengah letih setengah terperangah dalam buaian pasca kopulasi. Ia tak lagi bisa merasakan kedua kakinya yang masing-masing sudah layu di samping tungkai jenjang dan mulus milik pria di bawahnya itu. Sedikit, ia melenguh saat Uta mencoba keluar dengan teramat pelan. Bunyi 'poop' terbentuk akibat benturan ringan antara otot-otot yang menjepit riang. Sedikit banyak, ia bisa tahu jika substansi kental milik si artis mencoba mencari jalan keluar dari terowongan gelap nan sempit Kaneki.

"Hmmmn."

Pemuda berkulit gading itu bergumam panjang. Menggerak-gerakkan pinggulnya dan menikmati sensasi himpitan antara miliknya dengan kulit di area perut lawan yang mengembang dan mengempis setiap ia bernafas teratur. Ia sudah ejakulasi lebih dari tiga kali dan tak memiliki energi lebih daripada itu untuk menemani tarian sensualnya dengan tempo yang sama. Seperti lem. Bermandikan lem pekat yang didominasi oleh protein. Mulai dari dada hingga lutut, yang dapat dirasakan oleh pemuda duapuluhtiga tahun itu hanyalah rasa dingin sekaligus hangat yang berasal dari cairan mani keduanya. Buah manis dari foreplay delapan jam berturut-turut.

"Ken…" panggilnya lemah. "Boleh kuabadikan momen ini?"

"Hng?" Kaneki mendongak. Mencoba mencerna satu demi satu kata-kata pria bertato itu. Siluet dari mimik wajahnya tak pernah berubah. Selalu terlihat datar dan segera pada tujuan. Seperti halnya saat ia mengutarakan keinginan primordial miliknya untuk memiliki Kaneki Ken seutuhnya. Tidak perlu bunga atau ungkapan aku padamu. Namun, sukses mendaratkan ratusan rudal kecemasan bagi Kaneki sendiri. Butuh nyaris setengah tahun untuknya memberi jawaban. Di akhir kelulusannya dan dua bulan setelah ia diterima 'tuk bekerja sebagai illustrator sekaligus penerjemah novel barat. Terinspirasi dari berbagai macam buku yang tiap hari dibacanya, ia paham jika cinta bukan pada persoalan gender. Hanya saja, mendengar permintaan Uta sesaat itu juga, ia mengernyitkan dahi. "Untuk apa?"

"Mm…" Pria itu tampak berpikir sembari memijit dagunya. Menatap langit-langit. Lalu, memajukan bibirnya dan berbisik penuh cumbu di kuping Kaneki yang memerah. "…karena hari ini kau begitu seksi."

Dan, bibir itu mengecupnya sangat pelan. Di setiap lekukan daun kartilago itu hingga turun di leher Kaneki yang terlihat seperti buah tomat. Kekurangan melanin terkadang membuat pemuda ini selalu dicemooh oleh Uta. Kaneki akan bereaksi lebih cepat dibandingkan orang pada umumnya. Seolah, seluruh pembuluh darah berpindah ke atas tubuhnya.

"Bagaimana jika ada yang melihat?" kilah pemuda Kaneki itu. Uta masih sibuk meninggalkan bekas-bekas gigitan kecil di tulang selangkanya yang menonjol. Bahkan, satu tangannya yang bebas berpindah posisi ke arah gumpalan lemak milik Kaneki di bawah sana. Memijatnya sirkuler. Diakhiri dengan colekan lembut di lubangnya yang masih lengket dan basah.

"Hanya—" Menjilat substansi putih di di puncak telunjuknya. "—untuk—" Kilauan benda bulat berwarna metalik yang menembus organ lidahnya. "—kepentingan—" Menawarkannya ke bibir ranum Kaneki. "—personal—" Kaneki menerima ajakan bergulat itu. Merasakan rasa asin yang dipenuhi dengan aroma tubuh Uta dalam oralnya. "—kok."

"Aku menolak."

Jawaban Kaneki selalu lugas dan lantang. Jika ia membenci sesuatu, ia akan menunjukkannya lewat kata-kata yang lurus. Tidak bertele-tele walaupun sesungguhnya ia terkadang memarahi dirinya sendiri setelah itu. Bertindak kasar pada orang lain walau hanya dari kata tidak. Sebagaimana yang kini dilakukannya pada pria yang telah memberikannya sepasang sayap itu.

Masih dengan posisi telungkup di atas tubuh Uta, Kaneki mencoba mengakhiri konversasi tidak nyata itu dengan cara berpura-pura tidur. Menenggelamkan wajahnya di leher pria itu.

"Kau tidak sadar betapa bergairahnya kau hari ini, Ken? Bahkan, ini kali pertama kau bisa ejakulasi tanpa bantuanku. Apa ada sesuatu?"

Dua lengan yang kuat mengamankan tubuh ramping pemuda Kaneki ini. Melingkarkannya di pinggangnya. Memberi kecupan singkat di pertemuan leher dan tengkuknya. Mengamati hembusan nafas beritme regular di dadanya. Mengikuti apa yang dilakukan Uta walau beberapa menit yang lalu, ia seolah berlari maraton mengelilingi lapangan bola kampusnya dahulu. Kaneki tidak segera merespon.

"Nandemonai*." jawabnya dengan suara yang terbias. Bibirnya terkatup cepat.

"Aku tidak yakin."

Kevakuman yang panjang mulai terjadi. Kaneki sibuk dengan benaknya yang berputar-putar tidak sinergis, sedangkan Uta mencoba menilik segala hal yang sudah terjadi akhir-akhir ini. Kaneki jarang menceritakan dirinya di depan pria pemilik salon tato dan body piercing itu berlabel HySy ini, mengingat pemuda itu lebih suka menjatuhkan emosinya pada ribuan buku yang sudah dibacanya. Seperti diari kosong, itulah Kaneki Ken. Segala urusan pekerjaan hingga lika-liku di dalamnya menjadi rahasia yang sulit dibaginya pada siapapun. Bahkan, perubahan dratis yang dilakukannya sempat membingungkan Uta. Ia teringat betul dengan kejadian di malam bersalju itu. Tepat di hari ulang tahunnya. Saat Uta dan sahabat-sahabatnya memberi kejutan padanya, pemuda pemalu itu justru menginginkan balasan yang di luar fantasi liar pria bertato itu. Memacari pria saja sudah menjadi ketidaknormalan, apalagi ditambah dengan rikues berwujud navel piercing. Hal yang jauh dari konotasi anak baik-baik di wajah Kaneki Ken.

Tak lama setelah itu, datang lagi permintaan kedua. Kali ini mengenai tato.

Uta hanya menanyakan satu hal.

'Kau yakin?'

Dengan senyum manisnya, Kaneki Ken mengangguk.

Hingga, setahun telah berlalu. Keduanya semakin disibuki oleh urusan pekerjaan masing-masing. Satu-satunya hal yang masih menunjukkan pada publik bahwa keduanya sama seperti manusia lainnya. Yang berbeda hanyalah urusan ranjang dan orientasi seksual.

Pekerjaan…

"Aku akan ke Brussel minggu depan."

Suaranya lemah. Tak berisikan keinginan yang kuat. Monoton.

"Lalu, ke Paris."

Ia menghembuskan nafas panjang.

"Setahun."

Kaneki mengangkat wajahnya. Sekali lagi. Memerhatikan gurat tak bermakna di ekspresi Uta sekitar beberapa sekon sebelum pemuda itu memasang tampang sedih.

"Ada proyek penerjemahan massif yang dibebankan padaku. Korporasi milik leluhur Tsukiyama Shuu menerbitkan buku dalam skala besar. Dokumentasi penting mengenai nenek moyang mereka yang dipuja-puja di seluruh dunia. Dan aku—maksudku—pria itu meminta agar aku menjadi eksekutor tertinggi. Tapi, itu di Perancis. Tempat di mana buku itu akan dikeluarkan oleh publisher asing."

Waktu menjadi relaps. Di mata Uta. Ia memerhatikan bola mata Kaneki dalam-dalam. Memandang helai-helai rambutnya yang memutih akibat proses suatu penyakit degeneratif yang hanya dimiliki segelintir orang. Namun, organ-organ tubuhnya sesuai dengan usia miliknya saat ini. Aneh, namun pria itu semakin terkesima dengan ketidaksempurnaan pemuda yang hanya berbeda millimeter saja dari jangkauannya. Lamat-lamat ia tahu jika butuh waktu yang banyak untuk Kaneki berbicara melalui bibirnya dan bukan dari hatinya. Mengungkapkan kekhawatirannya. Hal langka yang ditemuinya, sama seperti melihat pemuda itu memain-mainkan miliknya dengan raut eksotis, lalu menyemburkan maninya yang pekat. Tidak butuh lama bagi Uta untuk menegang karenanya. Seolah, darah yang berdesir telah memuncak di satu organ saja.

Uta menyunggingkan senyumnya. Membawa telapak tangannya untuk menangkup pipi kemerahan Kaneki. Mungkin, sebentar lagi, pemuda itu akan menangis.

"Aku justru tidak melihat ketakutan di balik matamu, Ken. Kau—senang, 'kan?"

Kaneki membeku. Kebingungan. Bibir dan alisnya bergerak-gerak.

"En-entahlah." ucapnya seraya menjatuhkan dagu di dada bidang Uta. "Ini adalah pencapaian tertinggi yang kudapatkan sebagai seseorang yang mencintai buku lebih dari apapun juga. Literatur dan keindahan tiap bahasa yang kupelajari sama seperti saat kita melakukan foreplay. Lekukan dan liukan lentur milikmu yang memasukiku perlahan, mengisi tubuhku dengan likuid manis, hembusan dan lenguhan yang kau buat—aku bisa menerjemahkannya menjadi sebuah cerita yang panjang. Aku seolah... aku seolah telah memiliki bukuku sendiri. Dari dirimu, Uta-san. Meskipun, pada awalnya, aku sangat takut padamu. Tapi, kau berhasil membuka lembaran-lembaran kusut milikku dan menuliskan banyak kisah di dalamnya. Menambahkan sayap untukku terbang."

"Jadi?"

"Ja-jadi... Aku hanya…"

Jemari dengan kuku-kuku yang dipoles oleh cat hitam itu menggenggam erat sesuatu yang kosong. Seperti tak ingin melepaskan diri dari pria itu. Sesulit apapun. Kaneki Ken sudah terlalu dalam dan sudah terlalu jauh terjatuh pada kharisma dan rantai-rantai yang membelenggu hati dan jiwanya. Sehingga, tak ada ruang kosong lagi yang dapat diisinya.

Terlalu lama dalam kegundahan, Uta memilih opsi paling sederhana sebagai jalan keluar. Ia merebahkan tubuh Kaneki dan posisi mereka kini bertukar. Digunakannya kedua lutut untuk menahan beban tubuhnya agar tidak menyusakan pemuda ramping ini. Di mata Kaneki, semuanya sangat gelap. Ruangan yang minim cahaya itu menjadi lebih hitam.

"Apa kau ingin jawabanku, Ken? Tentang kegelisahanku begitu mendengar pengakuanmu barusan?"

Tanpa banyak tanya, Kaneki mengangguk. Dan, secepat yang bisa dibayangkannya, Uta sudah melayangkan kecupan-kecupan dan cumbuan liar padanya. Dimulai dari bibir, French kiss, turun ke dagu, lalu ke kupingnya yang sensitif, lebih jauh lagi—di leher, dada, dan berhenti di perutnya. Mengemut sesekali dengan jilatan sensual di sekeliling pusarnya yang dihiasi oleh bola-bola piercing berbentuk vertikal. Tidak hanya itu, jemarinya yang nakal bermain-main dengan dua puting susu yang terabaikan. Warna pink yang ranum dan mekar seperti kuncup bunga sakura.

"Ah—ah—ngggh—U-Uta-san—"

Mendengar lenguhan Kaneki, pria itu berhenti. Namun, perhatiannya tertuju pada lukksan tato bergambar bunga sakura berjumlah tiga buah di tepi abdomennya. Permintaan kedua pemuda pucat ini padanya.

Dielusnya lembut dan perlahan di area itu. Lalu, mengecupnya sekali. "Aku belum pernah bertanya sekalipun padamu mengapa kau memilih sakura sebagai objeknya. Aku tahu warnanya cocok dengan kulitmu yang sangat pucat. Tetapi—"

"Dalam hana kotoba, bunga sakura yang mekar berarti keanggunan yang tangguh. Aku tidak menyebut diriku sesuai dengan simbol yang telah ada, karena hal itu terlalu-girly." tuturnya setengah berbisik. "Aku membahasakannya sebagai tanaman yang tidak mudah layu. Dan, yang memberi energi agar tamanan itu tumbuh menjadi sesuatu yang indah dan kuat adalah—kau, Uta-san."

Cengiran sekaligus seringai itu muncul begitu saja di bibirnya. Uta terkekeh namun menahan tawanya dengan tangan sebelum berpaling perhatian pada milik Kaneki yang sedikit menegang walau sudah berkali-kali diajaknya untuk bermain. Rasa dingin dari air conditioning ruangan serta sentuhan jemari-jemari Uta di glans* miliknya memperparah keadaan. Pemuda itu melekukkan tubuhnya sedikit. Dan, ia semakin tak bisa mengontrol pergerakan kaki-kakinya yang semula terasa kebas akibat regangan berjuta-juta volt yang dialirkan oleh pria di atasnya itu. Sebagai tambahan, kini Uta menjejali mulai dari puncak hingga dasar dengan lidahnya.

"Unggh!"

Benda metalik yang tersemat di organ eksotis Uta mendarat di milik Kaneki, pemuda itu harus menggeram kuat. Menahan diri.

Memposisikan diri. Siap dengan martilnya, Uta mengocok sedikit miliknya. Melebarkan kaki-kaki mulus Kaneki dan menghadiahi sebuah cumbuan manis di pahanya. Memajukan diri dan memerlihatkan ekspresi yang sulit dihindari oleh Kaneki saat di berada di titik terendah—fase say no to foreplay. Ia sulit memasang tameng logisnya dan lumpuh. Luluh oleh godaan maut Uta padanya.

"Kau tahu, Ken. Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Hal ini sepertinya belum pernah kuberitahu pada siapapun, terlebih padamu. Rasa cinta bagiku adalah faktor lain yang membungkus jiwa buas kita untuk berpikir secara manusiawi. Sesungguhnya, aku sudah menandaimu jauh lebih lama dari yang kau bayangkan. Jauh sebelum kita bertemu di toko buku itu. Kau datang kepadaku. Jebakanku berhasil—ah—tidak. Hm, mengatakan semua hal ini pun percuma. Sebab, aku tidak pernah mengkhawatirkan jika milikku pergi."

Hanya kepala yang terbenam. Uta berhenti di sana. Tepat di pintu masuk Kaneki yang menggoda dan sempit. Harum miliknya semakin menguat setiap kali pria itu memasukinya. Belum lagi, suara cipak yang mulai terdengar akibat substansi kental yang mengelilingi. Menjadi lubrikan alamiah.

"A-ah—ngg—"

"—hngg, walau kita sudah melakukannya berkali-kali, kau selalu terasa sempit dan hangat, Ken."

Tak ada lagi bagian yang tersisa. Keduanya siap bertempur.

"Kau tahu kenapa, Ken?"

"Ah, ah—le-lebih cepat—hnnng!"

"Karena, seluruh tubuhmu adalah milikku. Kau memintaku untuk menandaimu dengan tato itu. Belum lagi dengan kegiatan kita ini. Predator lain akan menyingkir begitu mencium tubuhmu."

"Hh, be-begitukah-? Ungh—"

Kaneki membalas dengan seringai. Tidak ingin terintimidasi oleh serbuan Uta padanya. Pemuda itu memaksa berpindah. Mereka berbaring berisisian tanpa meninggalkan apa yang telah tertimbun dalam-dalam di lubang Kaneki. Bergerak dengan ritme teratur.

Kaneki Ken merasakan pria di belakangnya itu mendengus dengan senyumnya. Sembari masih bergoyang. Mengajaknya berfantasi keluar dari lembaran buku usang yang keriput.

"Kuharap kata-katamu barusan hanyalah guyonan, Uta-san. Kau bukan binatang liar dan kau bercinta tanpa menandai siapapun. Tetapi—"

Semakin intens. Jauh lebih dalam.

Dalam hitungan nanosekon, semburan hangat mengisi setiap bagian dari buku Kaneki yang kosong.

Lenguh, peluh, dan resah bergabung menjadi nada primer.

Kaneki Ken tertawa. Begitu lebar. Melupakan jika pagi mungkin sudah menjelang dan mereka hanya tertidur dalam waktu menit saja. Seperti tak ingin melewatkan terlalu banyak jam dengan sia-sia. Karena pertemuan singkat ini akan segera berakhir dan Kaneki Ken ingin mengingat sensasi sensual saat tubuhnya dan tubuh Uta menyatu layaknya tulisan-tulisan yang dirapalnya melalui buku-buku. Membawanya ke dalam kisah yang ingin ditulisnya sendiri. Tidak lagi bergantung pada sosok yang berhasil menumbuhkan bunga sakura itu hingga mekar hingga seperti saat ini.

Kecupan ringan pun mendarat di tengkuk pemuda itu. Uta mengangkat satu tungkainya di atas tungkai Kaneki. Miliknya keluar dan likuid kental itu mengucur.

"Aku benar-benar merasa penuh, Uta-san. Kurasa, sebaiknya kita hentikan saja pertarungan ini. Tubuhku sangat lengket dan yang tercium di hidungku hanya aroma sperma milikmu yang sangat menawan. Aku tidak ingin keluar dari sini dan dipergoki sebagai pelaku fetishisme oleh nenek-nenek yang tinggal di sebelah apartemenmu karena bau tubuhku yang—tidak biasa." komen Kaneki malas-malasan. Ia masih bisa merasakan tombak milik Uta yang sengaja digesek-gesekkannya di lipatan bokong pemuda itu. Menunggu hingga ia tak lagi mengeras. "Kau sudah puas?"

Lalu, ia berbalik. Mengecup bibir pria itu sekali. Mencoba bangkit.

"Ouch. Ittai."

"Hari ini sabtu, 'kan? Bukannya kau off, Ken?"

"Hngg." Sementara Kaneki menjatuhkan kaki-kakinya di lantai, Uta sibuk menulis-nulis sesuatu di punggung pemuda itu dengan sisa-sisa likuid miliknya dan milik Kaneki. Kaneki menoleh, mencoba menebak. Respon pemuda itu hanya dengusan. "Lucu jika tulisanmu itu bisa bersuara. Mengucapkan aku cinta padamu. Haha."

"Tch."

"Yah, yah, atashi mo daisuki."

Uta memandangi langkah-langkah Kaneki yang pelan-pelan. Seperti seorang bayi yang berusaha menetapkan tapak-tapak kakinya di dunia yang asing ini. Refleks, ia sempat terkekeh saat mendapati pemuda itu berhenti sembari menahan tubuh dengan satu lengannya di dinding saat dari arah bokongnya, cairan putih kental mengalir. Membuat sekujur tubuh pemuda itu merinding. Namun, ia melanjutkan kembali langkahnya. Dan, menghilang di balik pintu. Suara gemericik air menjadi lullaby bagi Uta.

Ia berbisik untuk dirinya. Menenangkan diri. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

'Semua akan seperti biasa. Ken akan tetap menyukaimu.'

Tanpa disadarinya, ia terlelap.

Dalam senyuman.


The End


A/N: OUIEO! IT'S MY VERY FIRST PWP! ./.

No more comments from me. Thanks for reading. And, sorry if it's too smut and too awful for your eyesight, readers!

And no chance while I was typing these all, all I could imagine is Nacchan's moaning sound. Despicable me. Urgh!

And, umm, I was inspired from this pixiv artis' sketch. www(*)pixiv(*)net/member(*)php?id=1477606. With Uta and Kaneki Ken had a… I dunno whether they 'did it' or not but still the picture inside spoke to me otherwise. If you want to find which sketch it is, I suggest to you to open it by yourself since I won't upload it as my cover pic. =w=

Glossary :

Umbilicus: pusar/salah satu bagian dari potongan anatomis perut

Chorda plica : pita suara

Glans : bagian kepala dari alat genital laki-laki

Nandemonai : Tidak ada apa-apa


Omake


Shower dengan shampoo ekstrak aloe vera bagi Kaneki dirasakan manjur untuk menghapus aroma tubuh yang kuat akibat foreplay yang diakhiri dengan hujan cumshot. Baru kali ini ia bertindak teramat beringas dan melupakan hierarki dari hubungan intim semacam ini. Kaneki membentur-benturkan jidatnya di dinding berulang kali. Melupakan momen-momen memalukan yang dilakukannya semalam hingga beberapa menit sebelum ia menyalakan shower itu. Tubuhnya boleh dikata kram berat. Di berbagai titik, terutama bagian selatan tubuhnya. Kutub dari semua kutub. Tapi, ia tidak menyesalinya. Dalam dua hari ke depan, ia akan sibuk mengatur isi kopernya dan setahun berikutnya, Jepang adalah negara yang terlalu jauh untuknya diraih. Ia mendesah. Merasakan air yang membasahi tubuhnya. Mengikuti alur-alur yang terasa jauh lebih sensitif dibandingkan sebelumnya.

Di bawah hidungnya, Kaneki Ken mengutuk.

'Ini semua salahmu, Uta-san'

Meski demikian, wajahnya tetap memerah. Dan, ia perlu menggeleng-gelengkan kepala dari semua pikiran-pikiran semu itu. Jika memorinya terbentuk seperti gambar dalam buku fabel, yang akan dilukisnya adalah pergulatan sengit mereka semalam.

Sekali lagi, Kaneki Ken merutuki dirinya.

"Berhentilah, Kaneki Ken! Kenapa kau jadi mesum begini, huh?"

Kesal yang berujung pada kepasrahan.

Bahkan, saat menunduk pun, yang diamatinya hanya miliknya yang tampak masih sedikit pinkish. Sembari memain-mainkan piercing di pusarnya, entah kenapa ia pun tak ingin membuat miliknya diabaikan.

Ah, ia punya ide lain. Tiba-tiba terlintas dari benaknya. Begitu melihat bath up yang nganggur.

Ia membuka pintu shower, mengintip, dan menjulurkan kepala tepat ke arah ranjang. Didapatinya Uta masih berada dalam posisi telungkup. Bernafas teratur. Sepertinya memang sudah tertidur.

Ide shower in heat itu pun dikuburnya dalam-dalam. Ia kembali menikmati ritual mandinya dalam keheningan.