Disclaimer : Kurobas belongs to Fujimaki Tadatoshi. I don'y own it.
If you don't like, don't read it!
"Lihat, bunga itu bagus ya."
Lelaki itu berlari ditengah padang bunga, memutar tubuhnya megikuti arah angin seperti tarian. Indah bukan? Tubuhnya yang kurus begitu lihai menggerekan tangannya memilih kuncup bunga dengan senyum tetap menghiasi wajahnya. Dia berlari kearahku sambil membawa sekuntum bunga. Dia membawa bunga Anemone. Bunga yang sangat dia sukai tapi aku membencinya.
"Nee, Sei-kun bagus kan?" Dia menunjukkan bunga Anemone putih, menghirup aromanya. Sungguh aku menyukainya ekspresi dia yang seperti ini. Mukanya terlihat damai. Seakan lupa apa yang telah terjadi padanya.
"Aku menyukaimu, Sei-kun."
Aku terdiam.
"Aku mencintaimu."
Dia memelukku erat, melingkarkan tangannya dileherku, membenamkan kepalanya di pundakku. "Berjanjilah padaku, Sei..." Dia menghentikan sejenak kalimatnya, menghembuskan nafasnya, aku bisa merasakan itu. Kubelai rambut coklat halusnya, kemudian kukecup puncak kepalanya.
"Berjanji apa, Kouki?" Kurasakan dia memelukku makin erat. Basah?
"Kau menangis?" Kulepaskan paksa pelukkannya. Kutatap mukanya dan menyapu air matanya dengan tanganku. Kutangkup mukanya dengan kedua tanganku.
"Kau ingin aku berjanji apa, Kouki?" tanyaku lembut.
"Berjanjilah, untuk tetap mencintaiku" Dia menundukkan kepalanya, air matanya kembali mengalir. "Walaupun aku tau, aku tidak bisa bertahan lama. Tapi aku mohon tetaplah mencin—"
Langsung kubungkam bibir mungilnya itu, rasa asin mendominasi ciuman kami. Tidak kupedulikan hal itu. Aku tidak ingin dia mengatakan yang tidak ingin aku dengar. Aku akan tetap mencintainya apapun yang terjadi.
Angin berhembus lembut menerpa kami. Seakan padang bunga itu, ah tidak bunga Anemone yang dipegang dia menjadi saksi bisu aku, kita, bahwa aku kan tetap mencintainya kapanpun.
Aku akhiri ciuman tersebut, ke sentuh bibirnya. "Aku berjanji tetap bersamamu." Aku mengucapkannya dengan tegas dengan senyuman yang mampu menghilangkan kegusaran dihatinya saat ini.
Dia tersenyum, manis sekali. Aku sungguh menyukai lelaki dihadapanku ini.
Tangannya menyentuh rambutku, membelai rambutku pelan. Kurasakan dia menyematkan sesuatu di telingaku. Kupegang tangannya yang masih membelai rambutku.
"Kau sangat cocok dengan Anemone putih ini, Sei-kun." Dia tersenyum sambil menyampirkan helaian rambutku kebelakang telinga, lalu berlari.
"Kouki.." Dia kembali menuju padang bunga lagi. Menghampiri sekumpulan bunga Anemone.
'Kenapa aku memilih warna putih dari sekian banyak warna bunga Anemone?'
'Karena Anemone putih melambangkan tanda tulus, bahwa aku mencintaimu'
Aku terbangun dari tidurku, aku terdiam sesaat. Kenapa aku bisa memimpikannya? Itu sudah lebih dari 2 tahun, kenapa aku masih mengingatnya? Padahal aku sudah berusaha melupakannya. Aku menyesal kalau telah mengucapkan janji itu.
Mendesah gusar.
Aku segara beranjak dari tidurku, menuju kamar mandi membersihkan diri. Setelahnya aku sarapan seadanya. Kubuka lemari kulkasku, dan yang ada hanya beberapa telur dan makanan instan. "Pulang kerja aku mesti mampir ke konbini."
.
.
.
"Selamat pagi, Dokter Akashi"
Aku hanya terus berjalan,tidak mananggapi sapaan dari staff, dokter lainnya, bahkan pasien.
Kita belum berkenalan, namaku Akashi Seijuurou. Aku bekerja di salah satu hospital ternama di Jepang, Teiko Hospital. Ayahku adalah pemegang saham terbesar di hospital ini, dan aku sebagai anaknya mendapat sedikit keberkahan, dalam arti seluruh orang yang bekerja disini menghormatiku dan ramah padaku tapi tidak semuanya, ada beberapa orang yang memanfaatkan aku. Kau taulah maksudnya. Dan aku menyukai seseorang. Lelaki. Kalian menganggapku aneh, yah aku memang aneh. Itu urusanku kalian tidak usah pusing memikirkannya. Tapi aku sedang patah hati, saat ini.
Aku berjalan menuju lift, kutekan tombol 5. Tempat ruangaku berada.
"Selamat pagi, Dokter Akashi"
"Oh, selamat pagi Shintarou. Bagaimana pasienmu hari ini?" tanyaku basa-basi sambil menunggu pintu lift terbuka.
"Makin membaik" Aku hanya mengangguk. "Tapi kadang keadaannya sulit sekali di tebak, pagi ini membaik tapi bisa saja siang nanti atau malam keadaannya memburuk." Shintarou menghela nafas.
Aku menepuk pundaknya, memberikan dukungan moril. "Lakukanlah yang terbaik, Shintarou"
Dia tertawa pelan.
"Tentu saja, Akashi." Dia mengacak-acak rambutku.
"Stop melakukan ini Shin. Aku bukan anak kecil lagi." Aku menepis pelan tangan Shin dan merapihkan rambutku.
"Kau tetap anak kecil untukku Sei-kun."
Ah dia memanggil namaku. Berarti dia sedang tidak dalam posisi seorang dokter saat ini.
"Shin!" Aku menggurutu. Walaupun begitu aku tidak marah, Shintarou adalah temanku dari kecil.
TING
Pintu lift terbuka dan kami masuk kedalam kotak besi itu. Pintu lift perlahan menutup, kuarahkan pandanganku ke depan. Kulihat seorang pria berdiri memandangku, aku tersentak kaget. Tidak mungkin! Kupertajam penglihatanku, dia tersenyum padaku. Aku tercengang. Dan aku tidak melihat apa-apa lagi selain pintu besi di depanku.
"Tidak mungkin!"
"Apanya yang tidak mungkin,Sei?" Shintarou bertanya padaku.
Aku menoleh, "Aku pernah menceritakan tentang pasienku 2 tahun yang lalu?"
"Ya. Ada apa memangnya?"
"Dia kembali"
"Kembali?" Kening Shintarou berkerut.
Aku menangangguk.
"Tapi bagaimana bisa?" Tanyanya heran.
TING
Pintu lift terbuka dan aku segera keluar, menuju ruanganku. Shintarou mengikutiku dari belakang.
"Hei.."
"Aku melihatnya Shin, barusan sewaktu kita masuk lift."
Shintarou menatapku dengan pandangan bertanya.
Aku menangguk mantap. Aku tidak mungkin salah mengenali, dia adalah lelaki yang aku sukai, aku cintai selama ini. Kubuka ruanganku dan langsung kuhempaskan badanku ke sofa. Shintarou memberikan cola, yang sempat di ambil dari kulkas yang ada diruanganku.
"Thanks."
Shintarou memandangku. "Apa benar, kau tidak salah liat?"
"Tidak Shin! Aku mengenalnya dengan baik. Kau tau sendiri kan?" Aku menghela nafas berat.
"Tapi, bukannya dia lagi di Inggris dan suda bertuna—"
"Aku tau itu!" Aku berdiri dari sofa, dan menuju meja kerjaku.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"
Aku terdiam sesaat. Pertanyaan Shintarou ada benarnya, aku melihatnya kenapa aku tidak menemuinya? Memastikan?
Aku menyambar jas putihku dengan tergesa-gesa. Dan berlari keluar ruanganku meninggalkan Shintarou, yang kupastikan dia bingung melihat tingkahku ini. Dan Shintarou hanya tersenyum.
.
Aku berlari menuruni tangga, berharap aku bisa menemuinya saat ini. Aku benar-benar ingin memeluknya, menciumnya dan jelas aku ingin menuntut alasan. Kupercepat langkahku, aku tersandung tapi tidak sampai terjatuh. Menghela nafas, aku berlari menuju hall hospital dimana aku bertemu dengannya tadi.
"Kemana dia?" Aku meneliti setiap orang yang lewat. Tapi nihil aku tidak menemuinya.
Apa aku berhalusinasi tadi? Tapi yang tadi itu benar-benar nyata. Aku menjabak rambutku frustasi. Ada apa denganku? Tak kupungkiri, aku rindu padanya. Aku tersenyum kecut.
"Dokter Akashi?" Aku menoleh. Dan aku langsung tidak semangat melihat mukanya. Orang inilah yang menyebabkan hubunganku dengan dia selesai.
"Lama tidak bertemu." Dia membungkuk hormat.
"Tidak perlu resmi seperti itu Tetsuya." Celetukku.
Tetsuya hanya tersenyum.
"Bisa kita bicara?" tawarnya. Aku hanya mengangguk malas.
.
Disinilah aku berada, di kantin hospital.
Aku mengaduk coffe late yang kupesan, tidak berniat untuk meminumnya sama sekali, tidak berselera.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku langsung.
"Kau tidak merindukan dia?"
"Hah? Apa maksudmu?"
"Kau tidak perlu membhongi diri sendiri, Akashi-kun."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Tetsuya. Permisi" Aku bangkit dan meninggalkannya begitu saja.
"Tunggu," Aku menghentikan langkahku, menunggu apa yang ingin Tetsuya katakan. "Dia sudah kembali, dia ada di sini." Aku menelan ludahku sendiri. "Dia ingin bertemu denganmu. Kau tau kan dimana dia?"
Aku menoleh, menatap mata Tetsuya mencari apakah dia berbohong dari tatapan matanya. Aku bisa melihat ketegasan dari matanya, dan dia tidak berbohong. Aku menghela nafas berat.
"Kau perlu tau, walaupun aku dilarang memberitahumu." Tetsuya meminum kopinya. "Kau tau kenapa dia meninggalkanmu begitu saja?" lanjutnya.
Tentu saja aku tidak tahu, ucapku dalam hati.
"Dia menggunakan aku sebagai alasannya..."
Aku tidak mengerti apa yang di bicarakan. Aku duduk kembali, berhadapan dengan Tetsuya. "Jelaskan padaku!"
"Kau kenal aku sebagai tunangan Furihata Kouki, kan?" Tetsuya memastikan.
Aku hanya mengangguk.
"Sebenernya aku bukan tunangannya, walaupun aku ingin..." Apa yang di katakan Tetsuya? Menyulitkan untuk dimengerti. "Aku senang saat itu, tapi aku merasa bersalah." Tetsuya menghela nafas panjang. "Seharusnya kau yang patut jadi tunangannya." Tetsuya menatapku dalam. "Karena Furihata-kun hanya mencintaimu dan selalu mengharapkanmu kembali." Tetsuya menatap sendu Akashi.
"Jadi yang dia katakan 2 tahun lalu itu, bohong...?" Tanyaku memastikan.
"Tentu saja Akashi-kun. Furihata-kun berpikir kalau kau pasti tidak akan menginjinkan Furihata-kun untuk dipindahkan ke Inggris, dan dia berpikiran kalau kau sudah bosan dengannya. Kau dekat sekali dengan Midorima-san, Furihata berkesimpulan kalau Dokter Akashi menjalin hubungan dengan Dokter Midorima!"
"Itu tidak benar" sergahku.
"Aku tau itu," Tetsuya meminum kopinya. "Semenjak kecelakaan 2 tahun yang lalu, aku membawa Furihata-kun untuk menjalani operasi di Inggris. Dan gagal." Aku menahan nafas sebentar. "Tapi Tuhan berkehendak lain, Furihata-kun masih diberikan kesempatan" Aku mengepalkan tanganku.
Aku menyimak.
"Furihata-kun dirawat inap sampai kondisinya memungkinkan untuk di lakukan operasi ke 2. Dan operasi itu berhasil."
Aku mendengarnya.
"Disana Furihata-kun melakukan berbagai macam terapi, untuk tahap pemulihan total. Tapi..."
Aku kembali menahan nafas.
"Karena saat kecelakaan waktu itu Furihata-kun mendapat benturan yang keras di kepalanya maka dia kehilangan penglihatan mata kanannya."
"APA?" teriakku. Aku tidak peduli dengan tatapan orang yang melihat padaku.
Tetsuya hanya menangguk. "Apakah kau masih mencintainya dengan kondisi Furihata-kun yang seperti itu?"
Hening, menyelimuti diriku.
.
Aku berjalan di koridor hospital, menuju tempat pasien Shintarou dirawat. Aku lupa kalau Shintarou berulang tahun bulan lalu. Aku lupa sama sekali ulang tahun sahabat sendiri. Pantas saja dia uring-uringan padaku, maaf Shintarou. Lalu aku berbelok, mencari ruangan nomor 11.
DEG
11..
11? Akashi berhenti sesaat. Kenapa aku merasa ada yang terlupakan. Aku mengeluarkan ponselku dan melihat kalender yang tertera di layar ponsel. Tanggal 11. Aku terkaget sendiri dan segera menuju ruangan pasien Shintarou.
Saat aku masuk, aku mendengar suara seseorang. Suara yang sangat aku kenal.
"Anemone?"
Suara itu... Aku mikir sebentar. Ah ini suara Takao, pasien Shintarou, aku cukup mengenalnya.
"Iya." Suara riang ini. Aku tidak berani menebak.
"Apa arti bunga Anemone ini?" Aku mendengarnya dengan seksama.
"Anemone berarti cinta yang tidak luntur." Aku tertegun.
"Kenapa kau memberiku Anemone putih, Furihata-kun?" Aku hampir berteriak kalau saja Shintarou tidak menutupku mulutku.
"Karena aku menyukainya."
"Itu saja?"
Hening. Aku berjengit ke arah Shintarou, sebal menganggu acara mengupingnya.
"Aku menyukainya karena Anemone sendiri punya arti ketulusan."
Hatiku berdesir.
"Berikan itu kepada Dokter Midorima." Lanjutnya.
Aku menoleh ke arah Shintarou. Shintarou hanya terdiam sesaat.
"Beberapa waktu lalu Dokter Midorima berulang tahun."
Shintarou menatapku dengan deathglare-nya. Kurasa dia masih sakit hati karena aku lupa ulang tahunnya. Aku hanya tersenyum. Shintarou menjitak kapalaku.
"Kenapa kau bisa tau?"
"Ingatanku cukup bagus kok. Beberapa tahun yang lalu aku mendengar Dokter Akashi mengucapkan selamat ulang tahun ke Dokter Midorima." nada bicaranya terdengar murung.
"Oh, Thanks Furihata-kun."
"Yup sama-sama. Aku tau kau menyukai Dokter Midorima." Dia tertawa manis.
Suara tawa yang dirindukan oleh Akashi.
"Aku pamit ya Takao."
Shintarou terpaku di sampingku. Apa dia kaget mendengar bahwa Takao menyukainya. Aku menggoyang-goyangkan tanganku di depan wajah Shintarou, "Hei, Shin. Daijobu?" Aku memegang pundaknya.
"Uh, yeah.. Daijobu." ucap Shintarou sambil tersenyum, bahagia –mungkin.
"Oh baguslah. Eh iya, otanjoubi omedetou ya." Aku menyodorkan kotak berukuran sedang ke Shintarou. "Semoga suka kadonya." Shintarou menerimanya sambil tersenyum.
"Ah, Dokter Shin!" Seru seseorang. Aku dan Shintarou menoleh ke arah sumber suara. Dan yang terdengar adalah suara Takao yang duduk di kursi roda, lalu Kouki yang menuntun kursi roda tersebut.
"Ah ayo Furihata-kun, kenapa berhenti? Antarkan aku ke tempat Shin." Takao memegang tangan Kouki. Sepertinya dia melamun, aku sempat melihatnya tersentak. Lalu tak lama tersenyum. Senyum yang sangat aku rindukan.
Takao sudah berada di depan Shintarou, mengobrol dengan riang. Ah, aku jamin sekarang mereka sudah jadian. Aku tak menyangka ternyata Shintarou seperti aku. Tapi aku tidak terlalu memusingkannya.
Aku alihkan pandanganku ke arah Kouki yang bersandar di salah satu penyangga antara atap dan lantai. Dia tersenyum sendu pada Takao dan Shintarou. Aku melihat sejenak, Kouki tidak berubah sama sekali, hanya terlihat lebih pemurung yang biasanya ceria. Mukanya juga kelihatan pucat. Dan aku tidak bisa melihat mata kanannya. Tertutup oleh rambutnya. Apakah benar Kouki kehilangan penglihatan di mata kanannya?
Kouki mengadahakan kepalanya, dia memeluk tubuhnya sendiri. Tubuhnya berkeringat, Kouki menggigit bibirnya sendiri. Ada yang aneh dengannya. Sekilas aku melihat setitik darah keluar dari mulutnya. Astaga! Aku segara dmenghampiri Kouki. Dan saat aku sentuh tubuhnya, dia pingsan.
"Kouki/Furihata-kun." Teriakku, Takao, dan Shintarou bersamaan.
.
.
.
Tetsuya masuk dengan tergesa, dia melangkah lebar untuk mencapai ranjang Kouki. Dia mengelus rambut Kouki dan bibirnya. "Kau tidak meminum obatmu?" Tetsuya bertanya.
"Aku bosan minum obat terus Kuroko, pahit. Aku ingin makan yang manis-manis seperti parfait" awlanya Kouki merengut lalu menjadi pandangan kosong.
"Nanti aku belikan parfait kesukaanmu sebagai kado ulang tahunmu hari ini, sekarang minum obat dulu" Tetsuya membantu Kouki duduk di ranjangnya, memberikan beberapa tablet obat untuk diminumnya. Setelah selesai, Tetsuya bangkit berdiri, mengecup kening Kouki dan pamit, katanya ada suatu urusan mendadak.
"Hati-hati Kuroko." Kouki memegang tangannya, saat hendak Tetsuya pergi. Tetsuya hanya tersenyum. Aku dongkol setengah hati melihatnya.
"Hei, aku tidak tahu kau ulang tahun Furihata-kun." teriak Takao, Shintarou mendorongnya mendekat ranjang Kouki.
Kouki memukul pelan lengan Takao.
"Ah, gomen." Takao hanya meringis, dia lupa. "Otanjoubi omedetou Kouki." Takao hanya memeluk Kouki, memberikan kehangatan. Kouki hanya tersenyum manis sekali. Tapi wajahnya tak tampak bahagia.
"Otanjoubi omedetou Furihata-kun." Shintarou mengucapkannya juga. Jadi tinggal aku yang belum.
"Sei..." Aku menatap mata Kouki yang memanggilku. "Bisakah kau mengantarku ke suatu tempat?" Kouki berkata dengan nada merajuk.
Aku tersenyum "Tentu."
"Terima kasih." Kouki mengangguk senang. Senyumnya mengembang.
'Benarkah Anemone putih melambang hal yang seperi itu?'
'Tentu saja'
'Apa bagusnya bunga Anemone putih, aku tidak suka.'
'Karena bunga ini putih dan mengingatkan senyummu.'
'Ah, begitu ya?'
'Ya, dan setiap aku melihat bunga Anemone putih ini hatiku terasa tenang.'
"Kau ingat tempat ini Sei-kun?" Kouki berkata padaku sambil terus berjalan mengelilingi padang bunga ini.
"Yah, kau memberikan Anemone putih padaku sebelum kejadiaan 2 tahun yang lalu." Aku menjawab seadanya.
Kouki berbalik, mengahadapku. "Kau menyerah?" Aku terdiam. "Menyerah adalah salah satu arti dari bunga Anemone putih ini"
Kouki mengelus pipiku. "Kau menyerah sama hubungan kita? Ah atau kau menganggap kita sudah tak punya hubungan apa-apa lagi saat ini? Ah benar, aku sudah bertunangan dengan Kuroko-kun." Kouki tersenyum getir, matanya berkaca-kaca ingin sekali dia menangis.
Kouki melepaskan tangannya dari pipiku, tak akan kubiarkan Kouki untuk pergi kedua kalinya. Kugenggam tangannya dan kutarik ke dalam pelukkanku. Aku mencoba menenangkan pikiranku.
(Author POV)
Furihata tersentak kaget, dia bingung tapi senang juga. Sudah lama dia merindukan pelukkan hangat dari orang yang dia sukai, cintai. Furihata menangis sejadinya, hatinya bahagia.
Akashi memandang wajah Furihata seksama, dia menyampirkan rambut yang menutupi mata kanan Furihata.
"Aku ingin melihatnya, boleh?" Akashi meminta ijin terlebih dulu.
Kouki hanya mengangguk. Akashi sampirkan rambutnya, dan menemukan mata kouki ditutup oleh perban putih.
Menyentuhnya pelan, "Apakah sakit?" Kouki hanya menggeleng, tersenyum sedih. Akashi menggerakkan badannya, mendekati Kouki, di tarik pinggangnya supaya lebih dekat. Dan mengecup pelan mata kanan Kouki yang terbalut perban itu. Akashi merasakan, perban di mata Kouki basah, menangis. Akashi memeluknya dengan erat, dia tau dialah yang menyebabkan kekasihnya seperti ini.
Saat itu 2 tahun yang lalu, kecelakaan beruntun terjadi di kawasan Tokyo. Mengakibatkan kemacetan parah. Mereka terjebak kecelakaan tersebut, mobil yang dikendarai Akashi tertabrak dari belakang dan menabrak mobil didepannya. Terjadi benturan yang sangat keras, dengan kesadaran yang sangat tipis, Akashi melihat pintu disamping terbuka, matanya tebelalak horor, Furihata terlempar dari mobilnya. Melihat itu Akashi berteriak sejadinya dan menghampiri Furihata. Tangannya lemas, banyak darah mengalir di kepalanya, dari tubuhnya.
Berhari-hari setelah kejadian itu, Furihata tidak kunjung membuka matanya. Dan saat itu Kuroko datang mengaku tunangan Furihata dan membawa Furihata untuk menjalani operasi di Inggris. Saat mengurus berkas, Furihata mendapatkan kembali kesadarannya, itupun dibantu dengan berbagai macam selang ditubuhnya. Dan mengatakan hal yang sama seperti yang Kuroko katakan, membuat hati Akashi mencelos.
Akashi tersentak dari lamunannya, saat Furihata membalas pelukannya.
Furihata tidak bisa menahan rasa bahagianya. Dan mengeluarkan dalam bentuk tangisan haru. "Aku.. senbenarnya aku mal—"
Akashi menegecup bibir pucat Furihata dengan lembut, tanpa ada paksaan, nafsu. Yang ada hanya rasa sayang dan cinta terhadap orang yang sedang di peluknya.
"Jadilah, Anemone putih untukku." pinta Akashi, yang hanya di angguk setuju dengan Furihata.
'Kau tau arti lain dari Anemone putih?'
'Apa memangnya?'
'Artinya adalah harapan.
-FIN-
Semoga kalian mengerti. Aku juga bingung dengan yang kutulis. Ini pemanasan untuk menyambut AkaFuri Day bulan depan XDD
Ayo join sama CAFEIN (Community of Akashi and Furihata Enthusiast Indonesian) dan ramaikan AkaFuri Day bulan depan XD
Dan anggap saja ulang tahun Midorima sama Furihata berdekatan /maksa XDDD
Omake :
"Otanjoubi Omedetou Kouki." Akashi menjawil hidung Furihata, sampai merah.
"Itte.." Furihata mengusap-usap hidungnya.
Akashi merebahkan tubuhnya di hamparan padang bunga, ditekuknya satu kaki yang menjadi tempat sandaran Furihata duduk.
"Jangan pernah pergi dariku untuk kedua kalinya." Akashi berkata sangat serius seperti perintah.
"Aku berjanji." Furihata tersenyum sambil mengancungkan jari berbentuk V.
"Kenapa kau pergi 2 tahun yang lalu?" Akashi ingin memastikan.
"Aku menjalani perawatan di Inggris untuk menyembuhkan penyakitku." Akashi tersenyum.
"Lalu kenapa sampai kau bilang bahwa Tetsuya adalah tunanganmu?"
Furihata tertawa, "Kau cemburu?" lalu medekatkan kepalanya ke arah Akashi.
"Tentu saja bodoh." Aku Akashi jujur.
"Hihihihihihi, aku melakukan itu juga karena cemburu tau." Furihata memanyunkan bibirnya, dan dengan sigap Akashi mengecupnya pelan sebelum Furihata menarik kembali kepalanya.
"Cemburu karena aku dekat dengan Shintarou?"
Furihata hanya menangguk malu, wajahnya memerah. Tanpa aba-aba Akashi meluruskan kakinya dan membuat Furihata terjengkang ke belakang. Dengan sigap Akashi memegang tangannya menarik ke dalam pelukannya. Lalu merebahkan Furihata. Jadi posisinya, Furihata ada dibawah Akashi.
"Aku mencintaimu, sungguh mencintaimu."
"Aku juga sangat mencintaimu"
Kemudian mereka menautkan bibir mereka jadi satu. Sebuah cinta terukir kembali di hati mereka.
-END-
A/N : Makasih sudah membaca, sebenarnya ini repost dengan perubahan plot sana-sini. Dan pergantian karakter.
Mind to RnR?
