Author's Notes : Minnaaaa.. Genki desuka? Saat ini saya membuat sebuah fanfic yang entah seru atau enggak dan entah bener atau enggak saya nempatin genre nya.. Tapi sama si editor-chin disuruh buru-buru posting. Dan pas saya minta editin dia, eh dia malah sibuk nonton anime -_- Tapi doi tetep baca dan ngasih tau yang kurang-kurangnya siih hehe.. Nah readers-tachi silakan membaca dan menikmati. Kritik dan saran diterima, asaaaaaaallllll... JANGAN FLAME. Happy reading ^^


DISCLAIMER : FUJIMAKI TADATOSHI

WARNING : 1] Awas Bosen karena kepanjangan menuju menu utama nya fufu.. [2] Humor LEBIH garing, maksa, absurd dari fanfic sebelumnya

[3] Mungkin agak OOC [4] Typo [5] Romance ga terlalu dapet [6] Sho-ai / BL (?) [7] M-Preg [8] Dan lain-lain (?)

Rate : T

By : Neutral Kingdom


.

.

Seorang pria berkulit tan berjalan menghampiri sebuah entitas bersurai biru muda yang sedang duduk imut di bangku taman belakang rumahnya sambil membaca sebuah novel.

"Tetsu, kau sudah mendengar berita terbaru?" Suaranya terdengar ragu saat menyuarakan pertanyaannya.

"Mendengar apa Aomine-kun?" Tanya Kuroko dengan datar tanpa mengalihkan perhatiannya dari novel yang sedang ia baca.

"Uh.. Kau benar-benar tidak mengapdet dunia luar Tetsu?" Aomine mengulang pertanyaannya.

Kuroko melirik Aomine sekilas, "Apa majalah terbaru Mai-chan mu sudah release bulan ini Aomine-kun?"

"Heehh.. Bagaimana kau bisa tau hal itu Tetsu? Apa sekarang kau telah menjadi fans Mai-chan ku juga? Haruskah kita melakukan review pada pose-pose Mai-chan bulan ini yang paling menggairahkan?" Suara Aomine berubah menjadi antusias dengan latar bling-bling menyakitkan mata di sekeliling tubuhnya.

Kuroko menutup novelnya kemudian mengeluarkan handphone biru mudanya, Aomine ingin kembali bertanya sebelum Kuroko memberikan sinyal kepada Aomine agar pria itu diam.

"Jangan berteriak lewat telepon Kise-kun." Aomine menaikkan alis kanannya. Aahh.. ternyata Kuroko menelpon Kise-kekasih Aomine.

". . ."

"Iyaa.. Aomine-kun ada di sini Kise-kun." Aomine tersenyum mendengar ucapan Kuroko, sahabatnya tadi mengatakan bahwa dirinya sedang bersama Kuroko, yang otomatis karena Kise menanyakan keberadaan dirinya. Jujur saja, Aomine bisa berada di rumah Kuroko saat ini karena ancaman Kise saat di rumah mereka.

Salahkan saja kecerobohan Aomine yang secara tidak sengaja menaruh majalah Mai-chan terbarunya bulan ini di kamar mereka, biasanya ia selalu menaruhnya di dalam brangkas yang password nya hanya dirinya yang tahu. Tapi ya namanya juga lagi sial mau gimana? Langsung saja ia kena pinalty dari sang kekasih.

Ditendang dari kamar mereka selama seminggu, tidak ada jatah peluk, cium, apalagi yang 'iya-iya', dan yang terakhir adalah disuruh ke rumah Kuroko.

Sebenarnya Aomine tidak masalah mengunjungi rumah sahabatnya itu, ia malah akan sujud syukur jika bisa sesering mungkin ke rumah Kuroko.

Tapi masalahnya adalah..

"Humm.. membicarakan apa maksudmu? Jika yang kau maksud adalah Aomine-kun membicarakan tentang majalah Mai-chan yang baru release bulan ini, maka jawabannya adalah iya. Bahkan ia juga mengajakku untuk melakukan review terhadap pose-pose Mai-chan nya yang paling menggairahkan bulan ini. "

"HIIIIIEEEEEEEEEEE... APA YANG KAU LAKUKAN TETSUUU?" Aomine berteriak horror dan secepat kilat mengambil handphone Kuroko. Aahh.. ini pasti karena Aomine memaksakan otaknya yang jarang berpikir untuk melakukan renungan kecil sehingga ia tidak bisa mengikuti pembicaraan antara Kuroko dan Kise lewat telepon dan menghentikannya di saat genting seperti ini.

"Aomine-kun, apa yang kau lakukan dengan handphone ku? Aku sedang menelpon Kise-kun. Kembalikan Aomine-kun." Kuroko meminta dengan nada menuntut seperti bocah lima tahun.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu Tetsu. Apa yang kau lakukan dengan menelpon Kise dan membicarakan Mai-chan dengannya?" Aomine berbicara dengan berbisik, tidak mau sosok di seberang sana mendengar ucapannya.

Kuroko berdiri dan merebut handphone yang memang tidak digenggam erat oleh Aomine. Kuroko tahu walau Aomine termasuk tipe orang yang seenak jidat, ia masih memiliki sedikit, ya sedikit tata krama yang pernah 'seseorang' ajarkan padanya. Termasuk untuk tidak mematikan telepon orang lain, karena Aomine pernah merasakan akibat dari perbuatan seenak jidatnya dengan mematikan sambungan telepon Kuroko, dan berakhir dengan latihan basket yang menggila khusus untuknya.

". . ." Kuroko kemudian mengarahkan layar handphone nya pada Aomine.

"Kise-kunmeminta ku untuk me-loadspeaker teleponnya Aomine-kun." terang Kuroko ketika melihat Aomine menatap tingkah Kuroko yang mengarahkan handphone miliknya ke arah Aomine.

"AHOMINE TEMEEEE! PINALTY MU BERTAMBAH BRENGSEK! JANGAN HARAP BISA BERTEMU DENGAN KU HINGGA BULAN DEPAN AHO!" Dan telepon dimatikan sepihak oleh Kise.

Aomine menghela napas lelah, pinalty Kise kali ini sangat mengerikan. Kalau ia hanya tidak boleh satu kamar dengan Kise atau memeluk maupun mencium pria pirang itu selama seminggu, ia masih bisa mengendap-endap ke kamar mereka dan melakukan 'cheat' pada saat kekasihnya saat Kise sudah terlelap.

Menatapnya berjam-jam tanpa lelah, menghirup aroma citrus yang menjadi candu baginya, mendekapnya erat namun berhati-hati agar sosok itu tidak terbangun, atau kadang-kadang jika ia sudah tidak tahan lagi melihat keindahan kekasihnya, ia akan melumat bibir lembut Kise dan berlanjut ke leher, kemudian ke bawahnya lagi, terus, sampai ke bawah, dan sampai Kise terbangun dan menendangnya keluar dari kamar karena telah berani melanggar pinalty yang telah Kise berikan.

Tapi apa yang harus ia lakukan jika ancamannya tidak bsia melihat Kise? Selama sebulan. SEBULAN READERS-TACHI! Apa yang harus ia lakukan jika tiba-tiba dirinya terserang rindu pada si pirang? Bagaimana jika ia tiba-tiba.. aahh.. abaikan Aomine, saat ini mari fokuskan diri kita kembali pada sosok imut bersurai biru muda yang saat ini sedang mati-matian menahan tawanya melihat wajah frustasi Aomine.

"Kau pasti sengaja melakukannya kan Tetsu?" Aomine bertanya dengan wajah frustasi yang malah membuat tawa Kuroko pecah.

"Maafkan aku Aomine-kun. Aku hanya sedang bosan." Jawab Kuroko dengan wajah tanpa dosa dan tidak terdengar sedikitpun adanya penyeselan dari suaranya.

Oh good! Kuroko dan kebosanannya yang menghasilkan malapetaka bagi sekarang tolong ingatkan Aomine untuk mengecek mood Kuroko sebelum ia pergi mengunjungi sahabatnya itu. Aomine tidak marah. Ia tidak akan pernah sanggup marah pada Kuroko. Jadi ia hanya mengacak pelan surai Kuroko dan ikut tertawa kecil.

"Kau harus membantuku membujuk Kise, bakka!" yang dibalas dengan anggukan pasti dan wajah yang sudah kembali datar.

"Jadii.. apa yang ingin kau bicarakan Aomine-kun?" Kuroko berusaha mengingatkan Aomine akan tujuan kedatangan pria itu ke rumahnya.

Wajah Aomine berubah menjadi serius. "Apa yang akan kubicarakan merupakan salah satu topik yang tabu untuk kita angkat. Tapi dari sisiku, kau tetap harus mengetahuinya. Jadi, apa kau ingin mendengarnya? Atau tidak?"

Kuroko terdiam. Ia tidak banyak memiliki hal yang tidak ingin ia bahas. Tapi ada satu hal yang benar-benar tidak ingin dia bahas. 'Dia.'

Ia tidak ingin mengetahui hal apapun mengenai 'dia'. Ia sudah cukup bahagia dengan kehidupannya saat ini. Tapi ia harus tetap tahu apapun yang akan disampaikan Aomine. Karena sahabatnya itu tahu bahwa ia tidak ingin mendengar apapun lagi mengenai 'Dia', tapi jika sampai sahabatnya itu mendatangi dirinya seperti ini, sudah pasti berita yang akan disampaikan Aomine sangat penting.

"Aku akan mendengarkannya Aomine-kun." Ujar Kuroko penuh keyakinan.

Aomine menatap mata Kuroko yang saat ini penuh keyakinan, menarik napas agak dalam untuk menghilangkan kegugupannya.

"Dia kembali Tetsu."

.

DEG!

.

Retina matanya melebar.

.

"Akashi telah kembali ke Jepang." lanjut Aomine.

.

DEG!

.

Jantung Kuroko berdetak lebih kencang dari biasanya.

.

"Dan ia meminta kita untuk berkumpul di base minggu depan."

.

DEG!

.

Wajah Kuroko menjadi seputih kapas.

.

Tangannya mendingin.

.

Napasnya tersenggal.

.

Tubuhnya gemetar, dan akhirnya terjatuh lemas dari berdirinya.

Aomine berjongkok menatap Kuroko. Ia panik, ia ingin membantu menenangkan sahabatnya, tapi apa yang bisa ia lakukan?

"PAPAAAA!" teriak sebuah suara. Sang subjek pemilik suara yang ternyata seorang bocah kecil kini sudah berdiri di antara Kuroko maupun Aomine, "Apa yang Ao Jii-san lakukan pada papa?" tanya si bocah yang memiiki surai merah dan iris berbeda warna dengan nada tajam. Nada suara yang mengingatkannya pada seseorang yang mampu membuatnya merinding ngeri jika mendengarnya, walau yang ini masih versi anak-anaknya sih.

Tapi Kuroko tidak bisa memberikan reaksi apapun. Bahkan ketika sang sosok kecil yang memanggil dirinya tadi papa mendorong Aomine yang tidak menjawab pertanyaannya, ia tidak memiliki kesadaran untuk menegur ketidaksopanan bocah kecil tersebut.

Karena kesadarannya kini sedang menahan dobrakan ingatan yang paling dijaga ketat olehnya selama bertahun-tahun agar tidak terbuka sedikitpun. Tapi Kuroko gagal, ingatannya terdobrak secara kasar hanya karena ia mengetahui kehadiran subjek bernama Akashi yang telah kembali berada di Jepang, tempat tinggalnya saat ini. Yang juga menjadi tempat ia bersama ingatan-ingatan bahagia yang secara sengaja ia segel karena keberadaan ingatan 'terpedih' dan 'termenyakitkan' yang pernah ia miliki.

#FLASHBACK ON#

"Aah.. kau pasti murid pindahan itu kan? Aku sudah mendengarmu dari Daiki. Kenalkan, aku Akashi Seijuurou." sosok pria dengan wajah tampan bersurai merah mengulurkan tangannya di hadapan Kuroko.

"Mayuzumi Tetsuya-desu. Yoroshiku Onegaishimasu!" si surai biru muda menjawab dengan nada datar dan membalas uluran tangan Akashi.

"Mayuzumi? Apa kau adik dari Chihiro?"

"Ya." Akashi harus menahan kedutan di keningnya mendengar jawaban pendek dari sosok di hadapannya.

.

.

"Tetsuya.. aku dengar dari Daiki jika kau sedang membuat lagu. Nyanyikan untukku!"

"Apa kau sedang memerintahku saat ini Akashi-kun?"

"Ya."

"Aku belum selesai membuatnya Akashi-kun. Jika aku sudah menyelesaikannya, aku akan menjadikanmu orang pertama yang mendengarnya."

Akashi mengeluarkan seringai terbaiknya, "Aku menunggu Tetsuya."

.

.

"Aku menyukaimu Tetsuya. Dan karena hal itu, kau milikku sekarang!"

"Aku bahkan tidak mengatakan bahwa aku juga menyukaimu Akashi-kun. Jadi kenapa aku harus mau menjadi milikmu?"

Akashi mendekatkan kepalanya ke arah pria manis tersebut, mencium ringan bibir merah menggoda di hadapannya. "Tentu saja karena ucapanku absolute. Dan ke absolutan ku mengatakan bahwa kau memang tidak menyukaiku. Tapi kau mencintaiku!"

"Kau boleh mencintaiku Tetsuya. Tapi ingat, bahwa aku tidak akan mencintaimu. Karena cinta saja tidak bisa mengungkapkan segala rasa yang kurasakan padamu. Rasa memuja, menggilai, obsesi, posesif, dan masih banyak lagi yang tidak ingin kusebutkan. Karena kusebutkan pun sebutan untuk itu semua tidak ada. Karena bagiku, semua rasa yang kumiliki ini adalah kau Tetsuya."

Dan ciuman ringan pun kembali mendarat dibibir pria yang baru saja menjadi milik seorang Akashi Seijuurou, yang entah sejak kapan berubah menjadi lebih dalam dan lebih menuntut.

.

.

"Akashi-kun, aku bisa memaafkan segala macam kesalahanmu. Tapi jangan pernah kau berbohong atau berkhianat kepadaku. Karena jika kau melakukan hal itu, bahkan jika kau bersujud di hadapanku, aku tidak akan pernah memaafkanmu."

"Buang stock maaf yang kau miliki Tetsuya. Karena aku tidak akan pernah berbohong atau berlaku khianat kepadamu. Setiaku hanya milikmu Tetsuya!"

.

.

"Akashi-kun, apa ini akan baik-baik saja?" Suara si pria manis yang berada di bawah kendali Akashi terdengar ragu.

"Kau percaya padaku kan Tetsuya? Jika iya, maka lanjutkan kepercayaanmu padaku dan percayakan semuanya pada kendaliku. Aku akan memberikan seluruh kenikmatan yang ada di dunia ini padamu Tetsuya." Ucap Akashi dengan nada seduktif

"Bagaimana jika aku hamil Akashi-kun?"

Akashi tertawa kecil, "Dan mari kita buat keluarga bahagia bersama anak kita kelak." Akashi mulai mencium leher putih kekasihnya.

.

.

"Jadi Tetsuya, kau ingin memiliki berapa anak denganku?"

"Kurasa dua cukup Akashi-kun"

"Berarti kita harus berusaha dengan keras harus lebih keras lagi karena kita berdua sama-sama laki-laki. Yang tidak mungkin akan memiliki anak."

"Apa itu artinya kau akan meninggalkanku Akashi-kun?"

"Aku malah bersyukur bahwa dirimu adalah seorang laki-laki Tetsuya. Jadi aku tidak perlu takut akan menghamilimu dan menghadapi tangisanmu karena kau meminta pertanggung jawaban terhadapku. Karena jujur saja, memikirkan diriku memiliki anak di usiaku yang sekarang benar-benar merupakan pemikiran terkonyol yang kumiliki."

.

.

"Yo.. Tetsu. Di mana pria mu saat ini?" Aomine menghampiri sosok biru muda yang sudah menjadi sahabatnya sejak memasuki Teikou Senior High School.

"Dia sedang ada urusan di luar kota Aomine-kun. Mungkin minggu depan ia baru akan pulang."

"Urusan perusahaan, eh?" Kuroko hanya menjawab dengan anggukan. Aomine menaikkan alis kanannya, "Kau masih sakit Tetsu?"

"Entahlah Aomine-kun. Aku jadi sering merasa dingin dan napsu makan ku berkurang drastis. Setiap aku ingin memakan sesuatu, aku pasti akan muntah duluan padahal hanya mencium bau makanannya saja."

"Kau terdengar seperti seorang wanita yang mengalami morning sick Tetsu."

"Sungguh candaan yang bodoh dan tak berbobot Aomine-kun."

"Jangan salahkan hipotesaku Tetsu. Kau sudah sebulan lebih seperti ini."

.

.

Aomine berubah pucat saat dirinya diserahkan sebuah benda putih pipih yang biasa digunakan para wanita untuk menguji kehamilan. Ia sangat berharap dirinya berada dalam dunia mimpi saat ini. Jadi ia bisa tertawa keras ketika terbangun dan memaki mimpi gila yang mendatanginya saat ini.

Tapi ia tidak bisa melakukan hal itu. Karena apa yang terjadi saat ini adalah nyata. Dan ia tidak mungkin menertawakan apa yang terjadi saat ini. Tidak ketika hal buruk terjadi pada sahabat kentalnya.

"Apa kau yakin itu bukan rumah sakit gadungan Tetsu?" Sosok di depannya menggeleng disertai dengan beberapa bulir air yang mengalir dari matanya.

"Dokter yang menanganiku adalah seseorang yang kebetulan kukenal Aomine-kun. Jadi tidak mungkin ia menipuku.

"Kau harus mengatakannya pada Akashi." Dan ucapan Aomine hanya dibalas dengan suara desahan frustasi.

.

.

Seorang pria mungil berwajah manis berdiri mematung dengan kedua tangannya yang mengepal erat di depan sebuah kamar yang biasa ia gunakan dengan kekasihnya. Tapi kini ada yang lain. Kamar di depannya terasa seperti sedang digunakan untuk melakukan sebuah aktivitas yang biasa ia lakukan dengan Akashi. Terbukti dengan suara erangan dan desahan tertahan yang berasal dari dalam kamar tersebut.

"Apa kau menyukainya? Aah.. bagian mana lagi yang harus kupuaskan, hn?"

Pertanyaan itu! Kuroko ingat sekali bahwa Akashi sering mengatakan hal itu di setiap sesi saat mereka bercinta.

"Mendesahlah.. dan sebut namaku!" CUKUP! Mayuzumi Tetsuya keluar dari apartemen Akashi ditemani air yang tak bisa ia cegah meluncur turun dari matanya.

.

.

"Tetsuyaa.. Tetsuyaa.." Akashi memanggil kekasihnya yang sejak tadi ia cari belum ia temukan.

DEG!

Di hadapannya, sosok yang ia cari sedang berdiri berhadapan dengan seorang wanita. Oke, berdiri berhadapan dengan seorang wanita mungkin bukan hal yang salah dilakukan. Tapi apa yang harus Akashi lakukan jika kekasihnya mencumbu bibir lain selain miliknya?

"TETSUYA!" Akashi murka. Ia berjalan menghampiri pria yang tadi ia panggil namun masih belum melepas pagutannya dan menarik paksa wanita jalang yang entah darimana yang berani menodai kesucian bibir kekasihnya.

"JELASKAN!" titah Akashi mutlak.

"Tidak ada yang bisa kujelaskan padamu Akashi-kun. Semuanya seperti yang telah kau lihat!" jawab Mayuzumi Tetsuya dengan nada datar. Tapi salahkan kecemburuan Akashi yang kini membuatnya tidak bisa berpikir rasional dan menganggap nada datar Kuroko sebagai bentuk ketidakpedulian Kuroko atas masalah ini.

"Brengsek!" Akashi meninju Kuroko. "Aku mempercayaimu. Selalu percaya padamu. Tapi apa ini balasan yang kau berikan atas semua rasa percaya yang kuberikan padamu?"

Kuroko mendecih, "Persetan dengan rasa percaya yang kau berikan Akashi-kun. Kenyataannya rasa percayamu tidak bisa menahan perasaan jijik pada diriku sendiri karena melakukan hal yang menyimpang denganmu!"

"Kita memang menyimpang Tetsuya. Tapi itu karena kita saling mencintai."

"Tidak Akashi-kun. Kau yang memaksaku untuk melakukan semua hal ini sejak awal. Dan aku sudah terlampau jijik terhadap diriku sendiri. Jadi biarkan semua ini berakhir Akashi-kun. AKu tidak mau membunuh diriku sendiri karena perasaan malu dan jijik terhadap diriku sendiri."

.

.

"Kau bisa melakukan semua ini Suya! Kita bisa melakukannya bersama. Karena aku akan selalu bersamamu, Kuroko Tetsuya."

Kuroko Tetsuya memeluk wanita yang tadi ia cium. "Ya, kita bisa melakukannya bersama-sama."

"Ugh..!"

"Kenapaa?" tanya wanita itu panik.

"Perutku sakit!" Dan kepanikan wanita itu makin menjadi saat melihat darah merembes di celana yang Kuroko kenakan saat ini.

"Kita akan ke rumah sakit!"

.

.

Di Rumah Sakit..

"Seharusnya kau bisa lebih menjaga kondisi fisik dan mentalmu Kuroko-kun, jadi kau bisa menjaga 'dia'. Maafkan aku."

Yang disebut namanya hanya bisa menangis pilu, begitu pula dengan sang wanita yang sejak tadi mendampinginya pun ikut menangis.

#FLASHBACK OFF#

.

"Papa.. Papa.." bocah kecil itu makin panik dan mulai terisak tat kala melihat papanya meneteskan air mata. Bocah itu memeluk Kuroko erat, menumpahkan segala kekhawatirannya di dada pria yang dia panggil sebagai papa.

Tiba-tiba sebuah lengan putih mengalung indah dari arah belakang di leher Kuroko, dagu sang pelaku bersandar di bahu kanan pria manis tersebut.

"Aku ada di sini untukmu, Tetsuya" suara penuh ketegasan terdengar.

Beberapa helai surai merahnya menyentuh Kuroko saat sosok tersebut berbisik di telinga pria tersebut.

"Aku dan Seiya ada di sini untukmu." Ulang sosok tersebut kini dengan lembut.

Aomine memandang sosok yang ternyata seorang wanita berparas manis dengan tersenyum lega. Wanita beriris merah yang sedang bergelayut manja dipunggung Kuroko membalas senyum Aomine.

"Kita akan baik-baik saja, Suya." Kuroko berhenti gemetar dan menggenggam tangan yang berada di lehernya.

Kuroko mengelus lembut rambut merah bocah kecil yang kini berada dipangkuannya. Kesadarannya mulai berangsur memulih.

Seiya-anak kecil yang berada dalam pelukan Kuroko mendongak dan tersenyum senang saat melihat Kuroko sudah kembali tersenyum.

Anak itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan papanya, yang ia tau adalah ketika Paman Aomine datang menghampiri papanya dan papanya menjadi pucat seperti saat ini.

"Mama.. hukum Ao Jii-san! Gara-gara dirinya papa menjadi seperti ini." Seiya kembali membuka suara dengan nada perintah yang kental. Hoo.. berani sekali seorang anak menggunakan nada bicara seperti itu.

"Dan kenapa kamu bisa menyimpulkan hal seperti itu Seiya?" tanya wanita yang Seiya panggil sebagai mama.

"Huh.. mama tidak dengar saja. Sebelum aku melihat papa terjatuh tadi, aku mendengar Ao Jii-san membentak papa. Ini semua sudah pasti salah Ao Jii-san!" Seiya kekeh dengan pendiriannya.

"Bukan sayang, Ao Jii-san tidak melakukan apapun pada papa. Papamu ini hanya sedang tidak sehat saja. Bagaimana kalau Seiya membuatkan papa segelas minuman hangat bersama mama? Papa rasa minuman hangat bisa membantu memulihkan kondisi papa." Kuroko berusaha menenangkan anaknya. Anaknya ini memang sangat overprotective terhadap dirinya.

Seiya mengangguk dengan semangat dan mulai berdiri dari pangkuan papanya. "Papa tunggulah sebentar, aku akan membuatkan minuman hangat untuk Papa agar papa segera sehat kembali!." Kuroko hanya menjawab dengan senyuman. Senyuman yang kemudian menghilang seiring dengan menghilangnya Seiya dan wanita bersurai merah tersebut dari pandangannya.

Kemudian keheningan menyelimuti Aomine dan Kuroko. Aomine sebenarnya bukan sosok yang menyukai keheningan, tapi apa yang bisa ia perbuat saat ini?

"Tetsu-"

"Aku sudah bahagia dengan kehidupanku saat ini Aomine-kun." Kuroko memotong apapun yang ingin diucapkan Aomine, dan Aomine harus bersyukur Kuroko memotong ucapannya, karena memang ia tidak mengerti dengan apa yang harus ia ucapkan.

"Aku mengerti!" Jawab Aomine pelan. Kemudian ia mengacak pelan rambut Kuroko. "Aku harus kembali. Kise menunggu penjelasanku di rumah." Kuroko menatap Aomine sebentar dan kemudian mengangguk.

"Terimakasih Aomine-kun. Dan sampaikan salamku untuk Kise-kun. Aku akan membantumu menjelaskan pada Kise-kun mengenai keisenganku tadi. Aku janji." Aomine hanya tersenyum kecil yang bisa diartikan Kuroko sebagai pengganti jawaban iya.

Dan tinggallah Kuroko sendiri. Masih duduk di tanah tanpa ada keinginan untuk berpindah tempat sama sekali.

Ia menekuk kedua lututnya di depan dadanya, kemudian memeluk lututnya erat.

Pandangan matanya kembali kosong.

Tapi tidak dengan pikirannya.

Tidak dengan ingatannya.

Tidak dengan jiwanya.

Perlahan lelehan air mata kembali menetes dari matanya.

"Akashi-kun" panggilnya lirih.

END / ?


.

Author's Notes Part II : Gimana gimanaaa-ssu? Apa ini pantas untukku lanjutkan? Aku tak memiliki kepercayaan diri mengenai antusiasme para readers mengenai fanfic ku yang ini. Tapiiii.. terimakasih untuk yang sudah bersedia membaca-ssu! Kalian luar biasaaa~~ Dan kau lebih dari kata luar biasa Editor-chin! Terimakasih sudah bersedia meluangkan waktu di tengah kepadatan jadwalmu 'menonton anime' untuk mengomentari dan membalas setiap pesan yang kukirim mengenai project fanfic ini-ssu!