Chapter 1 – Ghost Reaper
Suara sirine berdengung bersahut-sahutan, memecah keheningan malam. Puluhan polisi mengepung sebuah gedung perusahaan farmasi. Berdasarkan hasil penyelidikan, perusahaan tersebut memproduksi obat-obat dengan menggunakan bahan berbahaya. Otak dibalik kejahatan itu tidak lain adalah sang CEO. Polisi sudah lama memburunya. Bukti yang kurang, membuat mereka terpaksa melepaskannya. Namun, hari ini mereka mendapatkan informasi bahwa akan ada pertemuan rahasia di perusahaan tersebut. Mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Aku berdiri menatap pergerakan polisi dari atas gedung perusahaan farmasi. Gelapnya malam dan pakaianku yang serba hitam, menyembunyikan sosokku dengan sempurnya. Ditambah lagi, malam ini bulan enggan menampakkan wajahnya. Membuat malam yang gelap menjadi semakin gelap.
Segerombolan polisi bergerak memasuki gedung. Mereka tidak punya pilihan lain selain menyerbu. Peringatan yang mereka berikan 10 menit yang lalu tidak mendapatkan respon. Tidak ada jawaban dari CEO. Itu artinya ia tidak akan menyerah.
"Aku sudah menemukan lokasi CEO. Lantai 10"
Suara yang berasal dari earphone di telingaku menyita perhatianku. Saatnya beraksi. Aku terjun dari atap gedung yang berada di lantai 50. Gravitasi membuatku jatuh dengan cepat.
"500 m lagi" suara partnerku memperingatkan.
Bagaimana partnerku bisa mengetahui posisiku? Karena di dalam tubuhku terdapat pemancar yang dipasang oleh organisasi. Semua agen memilikinya. Alasannya adalah agar mereka mengetahui keberadaan kami. Selain itu, semua agen dilarang menjalankan misi seorang diri untuk menghindari jatuhnya banyak korban. Satu tim terdiri minimal 2 orang. Jumlah anggota bisa bertambah tergantung tingkat kesulitan misi.
"Sekarang!"
Aku meraih selusur tangga balkon sebuah apartemen dan melompat masuk melalui jendela. Aku memecahkan kacanya dengan kakiku. Suara pecahannya menggema di seluruh ruangan, membuat semua orang yang berada disana menoleh ke arahku dengan raut wajah terkejut. CEO dan beberapa rekan bisnisnya duduk di sisi lain ruangan. Beberapa polisi yang sudah mengepung tempat ini mengarahkan pistol mereka kepadaku.
"Siapa kau?" tanya seorang polisi yang kuyakin Ia adalah pemimpin pasukan itu.
"Angkat tanganmu!" perintah salah seorang polisi.
Kalah jumlah, tidak membuatku takut. Aku sudah berkali-kali menghadapi situasi seperti ini. Kaptenku pernah mengatakan bahwa aku memiliki kecenderungan untuk menyukai situasi yang berbahaya. Dia memang benar. Aku hanya menerima misi level A ke atas (Level S). Di bawah itu, aku tidak tertarik. Kebanyakan parnerku tidak bisa menanganinya dan aku tidak akan merepotkan diriku untuk menyelamatkan mereka. Itulah sebabnya semua agen yang pernah setim denganku, selalu meninggal. Sejak saat itu, ketua menempatkanku satu tim dengan seorang hacker., dengan begitu aku bisa beraksi sendirian dan dia membantuku dibalik layar.
"I am Vier, The Pandora number Four…." kataku memperkenalkan diri dengan suara yang sudah kuubah menjadi digital dengan alat yang berada dibalik maskerku.
"Vier….? Memangnya siapa kau? Lancang sekali!" tanya Mr. Park dengan suara lantang karena amarah.
"The Pandora number four…? Apakah itu nama perusahaan? Aku tidak pernah dengar" sahut rekan Mr. Park.
Semua tertawa lantang kecuali Mr. Shin, ketua tim polisi. Sepertinya hanya dia yang menyadari siapa aku sebenarnya. Wajahnya terlihat pucat.
"Mata biru itu… kau… Ghost Reaper" gumam Mr. Shin
"Ghost Reaper…? Anda mengenalnya, pak?" tanya anak buah Mr. Shin dan dijawab dengan gelengan.
"Aku hanya mendengarnya dari kapten, Mr. Lee. Ada seorang agen Pandora bernomor 4 yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan penjahat-penjahat level A dan S. kode namanya adalah Vier"
"Lalu apa arti dari nomor itu?"
"Aku juga tidak tahu"
Ruangan berubah sunyi. Tidak ada satupun yang berbicara.
"Misiku adalah membunuh Mr. Park. Bagi siapapun yang memiliki tujuan yang berlawanan denganku, menyerahlah"
Seperti biasa, sebelum melaksanakan misi, aku selalu memperkenalkan diri dan menyebutkan misiku serta memberi peringatan. Mengapa aku memperingatkan mereka? Mungkin aku hanya tidak ingin membuang tenagaku untuk mereka yang bukan targetku. Entahlah, aku sendiri tidak yakin.
"Takkan kubiarkan kau membunuhnya. Kami akan menangkap kalian semua dan tebuslah dosa-dosa kalian di penjara" kata Mr. Shin.
"Kau pikir aku akan diam saja mengetahui ada orang yang mencoba membunuhku? Kalian semua, serang dia!" perintah Mr. Park kepada anak buahnya.
"Kalian juga serang mereka. jangan biarka Vier atau siapapun dia dan juga para polisi itu berbuat seenaknya" perintah partner Mr. Park.
Tatapanku berubah. Semakin tajam dan dingin. Aku menekan semua perasaanku hingga hingga ke dasar kegelapan hatiku.
"Sayang sekali. Kalau begitu, bersiaplah"
Anak buah Mr. Park dan partnernya maju. Tanpa menunggu mereka menyerang, aku melesat maju dan menyerang terlebih dahulu. Aku melompat ke tengah-tengah kerumunan kemudian menendang 5 orang dalam jarak jangkauanku hingga membentur rak minuman keras di samping tempat Mr. Park dan rekannya duduk. Puluhan botol jatuh menimpa mereka, membuat luka mereka bertambah parah. Dengan cepat, aku bergerak dan menghajar mereka. Hanya butuh 2 menit bagiku untuk menjatuhkan mereka semua.
"Ce…cepat sekali… gerakannya" gumam salah seorang polisi.
"Gerakannya yang cepat, menyelinap dan menghabisi musuhnya tanpa suara seperti hantu. Keberadaannya selalu membawa kematian. Itulah kenapa dia dijuluki Ghost Reaper." Kata Mr. Shin.
"Mr. Lee pernah mengingatkanku, 'Jika kau kebetulan bertemu dengan agen Pandora bernomor 4, maka larilah. Jangan melawannya.' Sekarang aku mengerti maksudnya" lanjutnya.
"Lalu kenapa kau tidak membunuh mereka?" tanya Mr. Shin kepadaku.
"Mereka bukan targetku… Jadi, apa kalian juga akan menyerangku?"
"Bukankah akan menyulitkan bagimu, jika ada saksi?"
"Tidak masalah. Kalian tidak akan bisa menangkapku"
Mr. Shin menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak mengerti maksudku tapi aku juga tidak mau repot-repot menjelaskannya padanya.
"Kau meremehkan polisi"
Tidak. Aku tidak meremehkan mereka. Hanya saja… aku tahu seberapa besar kekuatan polisi. Mereka harus mengerahkan seluruh kepolisian korea jika ingin menangkapku. Kalaupun aku tertangkap, mereka tidak akan bisa menghancurkan organisasiku.
"Tu…tunggu… kau bilang, misimu adalah membunuh Mr. Park, itu artinya aku bukanlah targetmu. Bo…bolehkah aku pergi?" tanya partner Mr. Park takut dan kujawab dengan angukan.
"Apa maksudmu? Kau penghianat"
"Maaf, Mr. Park tapi aku tidak ingin mati. aku tidak mau berurusan dengannya"
Dia berjalan meninggalkan Mr. Park yang tengah menatapnya tidak percaya. Namun polisi menghadangnya. Tentu saja mereka tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Mr. Park merogoh saku jasnya dan mengambil sebuah benda kecil. Sebuah tombol pemicu? Tapi pemicu apa? Dia menekan alat itu. Sesuatu keluar di kedua sisi ruangan seperi pintu lift yang akan menutup. Dia bermaksud mengunci dirinya di dalam kaca itu. Apakah itu kaca anti peluru? Jika benar, aku tidak akan bisa membunuhnya sebelum memecahkan kaca itu. Aku berlari kearahnya sebelum kaca itu tertutup.
Mr. Park terkejut. raut wajahnya menunjukkan ketakutan. Kini kami berdua terkunci di dibalik kaca. Aku mengambil pistol dari sarungnya di pahaku dan mengarahkannya ke Mr. Park.
"Tu…Tunggu. Jangan bunuh aku. Aku akan menjadikanmu wakilku… karena itu, lepaskan aku"
"Tidak tertarik. Sebelum berbuat kejahatan, seharusnya kau berfikir tentang akibatnya"
Aku menarik pelatuk pistolku dan peluru menembus jantungnya. Dia jatuh dengan darah yang mengalir dalam jumlah banyak. Dalam hitungan detik, dia sudah tidak bernapas lagi.
"Misi selesai!" aku berbicara dengan partnerku melalui earphone.
Aku melihat ada sebuah alat kecil di antara perpotongan kaca. Alat itu berisi tombol-tombol angka. Sepertinya aku harus memasukkan kode untuk keluar dari sini.
"Drai, bisa kau buka kaca ini?" kataku pada partnerku.
"Tunggu sebentar"
"Mengapa kau membunuhnya?" tanya Mr. Shin.
"Kami berencana menangkapnya dan membuatnya menebus dosa-dosanya di penjara. Membunuhnya, tidak akan menyelesaikan apapun" lanjutnya.
"Aku tahu" jawabku.
"Lalu mengapa kau membunuhnya?"
"Sudah kubilang, ini adalah misiku"
"Meskipun selama ini kau hanya membunuh penjahat, tapi apapun alasannya pembunuhan tetaplah pembunuhan. Kami akan menangkapmu"
"Sudah kubuka" kata Drai memberitahu bahwa dia berhasil membuka dinding kaca anti peluru.
Kaca anti peluru terbuka perlahan. Polisi bersiap menyerangku. Mereka mengarahkan pistol kearahku dan menunggu aku keluar. aku melemparkan bom asap. Asap keluar dan menyebar ke seluruh ruangan. Pandangan mereka kepadaku terhalangi oleh asap. Mereka tidak bisa menembakku sebelum mengetahui posisiku.
Prank…
Aku memecahkan kaca jendela ruangan yang berada di sebelah kaca anti peluru. Aku melompat keluar. setelah asap menghilang, mereka tidak akan menemukanku lagi di ruangan itu. Aku melepaskan tali dan melilitkan pengaitnya di selusur pagar. Tali menghalangi aku jatuh secara langsung dari lantai 10. Ketika berada beberapa meter dari tanah, aku memotong tali dan aku mendarat di atas atas mobil patroli.
Bukk….
Perhatian polisi yang berjaga di luar gedung beralih kepada. Ada sekitar 20 polisi. Mereka mengarahkan pistol kepadaku. Mereka berjejer membentuk barikade menghadangku. Sepertinya Mr. Shin telah memberitahu mereka tentangku.
"Vier, sepertinya kau memang berbakat dalam membuat masalah ya? Setelah berhasil lolos dari polisi di atas, kau malah mendarat di tengah-tengah barikade polisi" kata Drai.
"Angkat tanganmu! Menyerahlah!" teriak salah seoarang polisi.
Aku melompat dari atas mobil ke arah mereka. aku melayang di atas kepala mereka. aku menekuk lututku dan menekan sebuah tombol di sepatuku kemudian muncullah roda. Boot hitamku kini berubah menjadi sepatu roda. Aku mendarat mulus di belakang mereka dan melesat pergi. Kudengar salah seorang polisi memerintahkan untuk mengejarku. Suara sirine kembali terdengar.
"Drai, tunjukkan padaku arahnya"
"Oke. Serahkan padaku!"
Aku meminta Drai memandu jalan mana yang harus kuambil. Aku meluncur sepanjang jalanan yang sepi menghindari keramaian. Mobil patroli berada 20 meter di belakangku. Aku berbelok ke kanan di perempatan jalan raya. Drai meng-hack sistem lampu lalu lintas. Tepat setelah aku melewati perempatan itu, dia mengubah lampu menjadi merah. Hal itu akan memperlambat polisi, sehingga memberikan waktu bagiku untuk kabur.
Aku berhenti di sebuah taman kota, menikmati salju yang mulai turun. Memandang hujan salju adalah kegiatan yang selalu kusukai. Warnanya yang putih, bagaikan kumpulan cahaya di tengah langit yang kelam.
Ternyata bukan hanya aku yang menikmati pemandangan ini. tak jauh dari tempatku berdiri, ada seorang laki-laki yang menengadah ke atas melihat salju. Tingginya sekitar 183 cm. kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku mantel hitam panjangnya. Syal merah bertengger manis di lehernya. Kulihat telinganya sedikit memerah karena dingin. Dia menatap salju dengan… sedih? sekilas aku melihat air mata yang jatuh di pipinya yang cubby. Dia menangis.
Laki-laki itu menoleh karena menyadari kehadiranku. Untuk sesaat, mata kami bertemu. Mata oniknya bertemu dengan mata aquamarine-ku. Matanya yang sipit memandangku terkejut. Dengan kulit seputih salju, hidung mancung, bibir kecil dan rambut sehitam malam, dia bagaikan bunga yang mekar di tengah hembusan salju.
"Indah…" gumamnya.
Aku menaikkan alisku tanda tidak mengerti. Ternyata suaranya begitu lembut.
"Kau memiliki mata yang indah" katanya mengulangi.
Apa? Apa dia baru saja mengatakan mataku indah? Lelaki yang aneh. Bagaimana mungkin mata pembunuhku, dianggapnya indah? Kebanyakan orang akan takut hanya dengan melihat mataku. Mereka bilang mataku biruku seperti lautan dalam yang menakutkan.
"Hyung, kapan kau tiba di korea Selatan?"
Sebuah suara mengalihkan perhatian kami. Seorang laki-laki berhidung mancung dan bibir tebal berjalan mendekatinya dengan senyuman ceria. Dia mengenakan jaket putih yang cukup tebal. Dengan suara yang tidak kalah merdunya dengan lelaki pertama dan sedikit rendah, dia kembali berkata.
"Harusnya kau bilang padaku terlebih dahulu, aku bisa menjemputmu di bandara"
"It's ok, Ken-ah. Aku ingin jalan-jalan sebentar"
Suara sinire kembali tersengar sayup-sayup. Sepertinya polisi berada tak jauh dari sini. Aku harus pergi sebelum mereka menemukanku, meninggalkan kedua laki-laki itu yang masih berbincang-bincang.
Sepuluh menit kemudian aku tiba di apartemenku. Tidak mewah, tapi juga tidak jelek. pintu terbuka. Kulihat adikku sedang sibuk dengan komputernya. Terdapat 5 komputer di mejanya. Masing-masing komputer menampilkan gambar yang berbeda. Tangannya sibuk dengan keyboard dan mouse.
"Yo… nunna. Selamat datang" dia melambai padaku.
"Kau sudah memberesihkan CCTV-nya?"
"Hampir"
Yang kumaksud dengan "membersihkan" adalah apakah dia sudah menghapus rekaman CCTV yang terdapat gambar diriku. Aku melepas masker dan mantelku kemudian melemparkannya begitu saja ke sofa. Kulepaskan pengikat rambutku dan berjalan menuju kamar mandi. 10 menit kemudian aku keluar dengan memakai handuk. Kulihat komputer sudah mati dan adikku sedang memakan pizza. Aku masuk ke kamarku dan mengganti pakaianku.
"Aku sudah mengirim laporan misi kita kepada kapten. Seperti biasa dia puas dengan kerja kita" teriak adikku dari ruang makan.
Aku membuka pintu kamarku dan berjalan ke meja makan. Perutku lapar dan aku bergabung dengan adikku.
"Oh ya nunna, apa tidak apa-apa kau meninggalkan banyak saksi hari ini?"
"Hn… mereka tidak tahu bagaimana wajah dan suaraku. Lagipula aku memilikimu, seorang hacker jenius"
"Dasar"
Kuusap rambutnya dan seperti biasa dia akan tersenyum. Aku suka melihatnya seperti itu. Dia melahap potongan terakhir pizza kemudian meneguk habis jusnya.
"Kalau sudah selesai, cepatlah tidur"
"Siap, komandan" katanya dengan gaya bak seorang tentara kemudian berjalan menuju kamarnya yang terletak di sebelah kamarku.
"Hyuk-ah, jangan lupa minum obatmu!" teriakku.
"Oke..!"
Keesokan harinya aku dan adikku pergi ke sekolah seperti biasa. Walaupun kami adalah agen inti Pandora, kami juga seorang murid. Tahun ini adalah tahun teakhirku di SMA Munrong. Sedangkan adikku, dia masih tahun pertama. Ketika bedara di sekolah atau di luar, aku selalu memakai lensa kontak berwarna hitam untuk menyembunyikan warna mataku. Aku juga memakai kacamata tanpa ukuran untuk menyembunyikan sorot tajamku. Sebenarnya aku tidak terlalu suka sekolah. Aku melakukannya hanya untuk menyamarkan identitasku. Bagaimanapun, di usiaku yang baru menginjak 18 tahun, akan aneh jika aku tidak sekolah. Aku berusaha untuk tidak mencolok di sekolah. aku tidak mengikuti klub apapun. Akademisku berada di tingkat rata-rata. Aku juga tidak berbaur dengan siswa lain. Aku cenderung menyendiri dan mengabaikan mereka.
Aku memasuki kelas 3-2 dalam diam. Tidak ada yang menyapaku dan aku juga tidak mau repot-repot menyapa mereka. Pagi ini, mereka lebih ribut dari biasanya. Mereka membicarakan tentang guru pengganti baru di kelas kami. Seminggu yang lalu, wali kelas kami memutuskan untuk berhenti. Dia akan mengajar di sekolah dimana suaminya dipindah tugaskan.
Sepertinya guru pengganti itu adalah laki-laki. Lihatlah betapa hebohnya gadis-gadis itu. Mereka membicarakan tentang seperti apa wajah guru baru itu. Mereka berharap semoga saja dia tampan, tidak mempunyai pacar dan beberapa topik tidak berguna lainnya. Oh, ayolah mengapa mereka harus ribut dan membicarakannya sekarang dan membuat pagi indahku berubah menjadi menyebalkan. Bukankah semua pertanyaan mereka akan terjawab ketika guru itu masuk? tidak bisakah mereka tenang sampai bel masuk berbunyi.
"Yo, Han Saena!"
Satu lagi masalah muncul. Dia adalah ketua kelasku. Wajahnya tampan dan dia orang yang baik. Kata siswa lain, dia memiliki senyum cerah bak malaikat. Matanya yang bulat membawa kesan imut di wajahnya. Tubuhnya proporsional. Tidak heran, dia menjadi idola di sekolah. tapi bagiku, statusnya itu justru menyebalkan. Fans-girl-nya hampir selalu mengikutinya kemanapun. Mereka sangat ribut.
Aku menoleh dengan malas. Dia hanya tersenyum melihatku. Dia sudah biasa dengan sikap antipatiku.
"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyanya.
"Hongbin-oppa, kenapa kau begitu peduli padanya, sih?" tanya salah seorang siswi dengan nada manja yang dibuat-buat.
"Benar, gadis seperti dia tidak pantas mendapatkan perhatian dari seorang idola sekolah" kata siswi lainnya.
"Kalian jangan begitu. Bagaimanapun juga aku adalah ketua kelasnya"
"Hongbin-oppa memang baik"
"Aku semakin menyukaimu"
"Jangan bolos lagi ya?" kata Honbin sambil tersenyum.
"Huh, Jangan bersikap seolah-olah kita adalah teman" jawabku ketus.
"Tuh, kan tidak ada gunanya kau mengurusi gadis tidak tahu diri ini"
"Sebaiknya kalian juga kembali ke kelas. Sebentar lagi masuk"
Bel masuk berbunyi. Gadis-gadis itu pergi dengan enggan. Siswa di kelasku kembali ke tempat duduknya dengan gaduh. Hongbin kembali tersenyum padaku kemudian duduk di sebelahku. Kepala sekolah memasuki kelas dan disusul kemudian seorang laki-laki berusia sekitar 23 tahun. Lengan kemeja putihnya digulung hingga siku. Dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka memperlihatkan kulitnya yang putih mulus. Ia membawa sebuah buku dan beberapa lembar kertas di tangan kirinya sementara tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku celana hitamnya. Siswi-siswi mulai berbisik-bisik. Jelas sekali mereka terlihat senang.
"Hari ini kalian akan diajar guru baru. Silahkan perkenalkan diri anda" kata kepala sekolah.
Mataku membulat karena terkejut. jadi, dia adalah guru baru? Kebetulan macam apa ini? Baru kemarin aku bertemu dengannya. Kulit seputih salju, mata sipit, hidung mancung, bibir kecil dan rambut sehitam malam. Laki-laki yang memandang salju dengan tatapan sedih.
"Mulai hari ini aku akan mengajar pelajaran matematika. Aku juga adalah wali kelas kalian. Namaku Jung Taewoon"
To be continued…..
hallo semua. ketemu lgi denganku pada karyaku yang kedua. fanfic kali ini sengaja aku bikin Rate M karena bakalan banyak adegan pertempuran dan darah. semua kejadian dan tempat yang ada dalam cerita ini hanyalah karangan penulis. oke sampai jumpa...
