Boku to Kimi no Monogatari

.

A Tsukiuta fanfiction presented by InfiKiss

Tsukiuta(c) Tsukino Production

.

.

(Tiga kisah yang berbeda di setiap judulnya. Tentang rasa yang tak akan pernah mampu disampaikan kepada mereka yang tak bisa lagi digapai.)

.

.


Chapter 1

.

Kimi no Namae Wa

-Kannaduki Iku dan Minaduki Rui

.

"…'kan terus kupanggil namamu. Hingga angin menerbangkan dan menyampaikannya ke tempatmu berada. Agar setidaknya, jika kelak kita berjumpa, kau akan memanggil namaku lebih dulu."


Dentingan yang sama mengalun lembut memecah cakrawala. Kadang berhenti, lalu temponya berubah. Terkadang alunannya begitu tenang dan lembut seperti sutera, namun terkadang pula yang terdengar seperti jeritan putus asa tanpa suara. Begitu selalu setiap senja tiba. Dentingan piano yang begitu nyata dari sebuah jendela di belakang rumah mewah. Jendela yang sering dilapisi tirai biru laut yang terletak di lantai dua.

Sore ini sama seperti sore sebelumnya. Langkah kaki Iku berhenti di pinggir tembok besar yang membatasi belakang rumah besar itu dengan jalan. Menengadahkan kepala, mencoba mencari sosok yang bersembunyi di balik jendela. Kadang ia akan menemukan seorang remaja bertubuh kurus yang duduk sambil menatap angkasa dengan tatapan kosong. Raganya ada di sana, namun entah kenapa Iku selalu merasa jiwa anak itu melayang entah kemana.

Dan Iku tak pernah tahu siapa namanya.

.

.

Angin sore seolah asyik menampar wajah Iku. Derap lari membentuk sebuah melodi yang menyenangkan di indera pendengarannya. Sambil tersenyum, remaja enam belas tahun yang tumbuh di Osaka itu bisa merasakan aliran darah di dalam tubuh yang terpacu deras. Pun detak anomali yang sibuk memompa oksigen dari jantung ke seluruh tubuhnya. Peluh mengalir di tiap jengkal kening. Membuat helaian coklat terang berpotongan pendek itu basah oleh keringat.

Sejak kecil Iku mencintai lari. Sama seperti dirinya yang mencintai Osaka.

Kecepatannya dalam berlari melambat sejenak saat ia berbelok di sebuah jalan. Dari jalan itu, rumah besar yang kerap ia lewati sepulang sekolah sudah mulai terlihat. Dengan pagar tinggi yang seolah menjadi batas antara dunia yang tercipta di dalam kemewahan dan dunia biasa milik Iku. Dunia yang membuat pelari muda itu tergoda untuk memasukinya. Dan selalu dititik yang sama ia berhenti. Di belakang rumah dimana ia bisa menemukan jendela yang mengalunkan melodi seperti sebuah kotak musik raksasa.

Anak itu ada di sana juga. Berdiri di balik jendela sambil menatap lazuardi yang mulai dipenuhi semburat senja.

"Dia…" Iku bergumam, lalu diam. Berdiri tegap sambil menengadahkan pandangan.

Namanya. Iku ingin mengenalnya. Iku ingin mengetahui rahasia di balik kekosongan pandangannya. Jika ia memang orang yang selama ini memainkan piano itu, Iku ingin tahu makna dibalik semua melodi ciptaannya. Ketika ia memainkan lagu yang begitu tenang, Iku merasa begitu nyaman. Tapi ketika instumen menyakitkan yang terdengar, hati Iku ikut tercekat dalam diam. Melodi yang ia mainkan seperti sebuah sihir yang membelenggu jiwa Iku. Kekuatan yang sekali mengenai seseorang, maka orang itu tak bisa lepas dari jeratannya.

Dan saat itulah Iku menyadari manik biru-kehijauan itu menemukan sosoknya di balik pagar tembok. Untuk pertama kalinya dua kelereng jernih warna coklat milik Iku bersitatap langsung dengan mata yang begitu hampa. Saling melempar tanda tanya tanpa kata. Seperti dua-duanya mencoba menyelami pikiran masing-masing meski ini pertama kalinya mereka bersua.

Ah! Gawat!

Wajah Iku merona karena ketahuan seperti seorang penguntit. Senyum canggung penuh rasa maaf terlempar segera. Iku juga menganggukkan kepalanya beberapa derajat sebagai tanda salam. Tanpa menunggu balasan, Iku melanjutkan kegiatan lari sorenya dengan hati berdegup cepat. Ini bukan degup jantung karena kelelahan, ada satu jenis degup lain yang kini mengintimidasi. Namun Iku tak pernah mau mengartikannya.

Tidak mau.

.

.

—KANNADUKI IKU—

Iku bergeming di tempatnya berdiri. Memegang kertas berukuran A4 di depan dada, dengan sedikit diangkat tinggi agar seseorang di lantai dua bisa melihat jelas tulisannya.

Masih di sebuah sore dan Iku tak tahu setan mana yang berhasil mempengaruhi dirinya untuk memulai sebuah perkenalan dengan orang yang suaranya saja belum pernah ia dengar. Wajahnya memerah malu, tapi Iku tahu anak itu tak akan memperhatikannya. Iku bisa melihat ekspresi kaget yang tersirat di sinar mata anak itu. Ia tak membalas Iku satu patah katapun sampai Iku menurunkan kertas bertuliskan nama dan mencoba melambaikan tangan.

Jika ia balas melambai, itu artinya positif.

Jika ia mengabaikan, Iku akan mundur secara pasif.

Dan jawaban yang Iku dapat sungguh diluar dugaan. Anak di balik jendela itu melambaikan tangannya dengan canggung. Saat itu angin sore tepat sekali berhembus dengan cepat, membuat helaian abu-kehijauan sang anak dalam jendela bergerak halus. Seperti suasana sengaja mendukung acara perkenalan mereka bak di drama. Hanya dua detik. Lalu anak itu bergegas meninggalkan jendela entah kemana.

Berbeda dengan Iku, senyum ceria malah terpampang jelas di rona wajahnya. Rasa bangga memenuhi hatinya.

"Yes!"

.

.

—Aku selalu berlari setiap sore. Aku sering mendengar permainan pianomu. Sangat bagus.—

Anak di balik jendela tersenyum lembut ketika membaca pesan panjang Iku.

Setelah membacanya, ia akan masuk lagi ke dalam ruangannya dan alunan piano akan terdengar jelas. Iku akan menghabiskan waktu lima sampai sepuluh menit untuk berdiri di balik tembok. Anak itu seolah memainkan pianonya untuk Iku semenjak mereka berinteraksi yang pertama kali. Bahkan tak jarang Iku meminta jenis lagu yang bisa ia dengarkan.

—Perasaanku sedang kurang baik. Maukah kau memainkan sebuah lagu untukku?—

Maka yang terdengar adalah musik yang begitu lembut dan menenangkan. Namun menyiratkan semangat yang ia bawakan dengan melodi sederhana yang indah.

—Ulanganku jelek sekali hari ini.—

Maka yang dimainkan adalah sebuah lagu bertempo cepat.

—Besok aku akan ikut kompetisi pelari. Bisakah kau menyemangatiku?—

Dan musik yang terdengar adalah lagu yang begitu semangat hingga Iku sadar ada api lain yang menyala di dalam dadanya. Kekuatan misterius yang memaksanya untuk meraih kemenangan di kompetisi yang akan dilakukannya.

Begitulah kegiatan yang mereka lalui sepanjang satu bulan penuh. Meski anak dalam jendela itu tak pernah sekalipun membalas pesan Iku. Bahkan ia sama sekali tak memberitahukan namanya. Bagi Iku, melodi piano yang ia mainkan cukup menjadi sebuah jawaban. Bagi Iku, anak itu memiliki arti yang istimewa. Dan Iku tahu, untuk anak itu kehadiran Iku pun seolah menjadi sesuatu yang sudah biasa. Iku tak pernah lagi menemukan kekosongan di matanya setiap kali mereka bersitatap. Anak itu kelihatan lebih hidup.

Dan Iku menyukai sinar matanya yang sekarang.

Sangat teduh dan membuainya pada lautan yang begitu hangat.

.

.

"Huh? Dia tidak ada?"

Namun sore ini jendela itu tertutup rapat. Alunan piano tak terdengar sama sekali.

.

.

"Apa dia sibuk?"

Hari berikutnya jendela kaca itu masih tertutup rapat seolah kehidupan di dalamnya sudah sirna.

.

.

"…."

Iku diam ditempatnya berdiri. Ini adalah hari kelima ia tak menemukan anak itu di sana. Ada yang aneh. Menjalani hampir dua bulan dengan kegiatan sore mereka, ketika anak itu menghilang tiba-tiba, tentu saja Iku tak bisa diam saja.

Iku memutar arah. Berlari ke pagar utama rumah mewah itu. Untuk kali pertama Iku bertamu dengan cara yang benar. Menekan bel, berdiri tak sabaran sambil mengetukkan sol sepatu di aspal, hingga seorang pelayan wanita muda menghampiri pagar untuk menyapanya.

"Ada yang bisa dibantu, Tuan?"

Satu kesalahan fatal ialah Iku tak mengetahui nama anak itu. Iku segera memutar otak untuk mencari alasan. Namun ia tetap menemukan kata ganti yang tepat untuk menyebutkan anak itu. Setelah beberapa detik, Iku menyerah.

"Apa pianis di rumah ini sedang pergi ke suatu tempat?"

Tentu saja Iku yakin pertanyaannya tak akan diindahkan. Di mata pelayan itu, Iku hanyalah orang asing mencurigakan dan juga menanyakan hal yang tidak beralasan. Meskipun cara Iku bertanya sudah benar, tapi kehadirannya secara mendadak jelaslah aneh. Tatapan curiga menjadi jawaban tanpa kata. Hati Iku menciut sektika saat pelayan itu menggelengkan kepala.

"Maaf. Mungkin Anda salah rumah, Tuan. Selamat sore." Lalu pelayan itu meninggalkan Iku tanpa mau berlama-lama menanggapinya.

Iku tak paham rasa apa yang menggelayuti hatinya. Entah cemas, entah bingung. Yang pastinya ia menemukan satu lubang besar di dasar hatinya yang terdalam. Seolah Iku telah kehilangan sesuatu yang begitu penting yang mengisi dua bulan hidupnya ke belakang.

Anak itu.

Yang bahkan namanya pun ia tak tahu.

.

.

Bulan keempat sejak anak itu tak lagi terlihat.

Sampai hari ini masih ada harapan di hati Iku. Ia masih melewati rute yang sama setiap pulang sekolah dan berhenti di titik yang sama pula. Di sebuah tembok tinggi yang membatasi rumah mewah dan jalan utama, ia akan menengadahkan pandangan. Ia akan menatap lama sebuah jendela yang selalu ditutupi gorden sewarna laut lepas. Kadang bayang imaji akan mempermainkan pendengaran Iku sehingga seolah-olah alunan lembut piano terdengar dari sana. Atau sosok anak yang tengah berdiri sambil menunggu kedatangannya akan tampak secara samar. Tapi Iku tahu itu hanya khayalannya saja. Dan Iku akan melanjutkan perjalanannya pulang tanpa menemukan apapun di jendela tersebut.

Hanya sedikit harapan yang tersisa yang membuatnya masih tetap menunggu anak itu di sana. Meski tiada janji yang terikat antara mereka. Iku terlanjur merasa bergantung dengan eksistansinya.

.

.

"Kannaduki Iku…—san?"

Iku menolehkan kepala. Seorang pemuda bertubuh tanggung menunggunya di tempat biasa Iku berkomunikasi dengan pianis di balik jendela. Rambut kuning terangnya bergerak melambai ditiup angin. Matanya tampak ragu dan senyumnya terlukis canggung.

Iku menghampirinya. "Iya? Itu namaku."

"Aaah~" Pemuda yang tingginya hampir setara dengan Iku itu menghela nafas lega. "Syukurlah. Aku kira aku salah. Aku sudah menyapa tiga orang yang salah sebelumnya." Keluhnya pada diri sendiri.

Satu alis Iku terangkat keheranan. Pemuda asing ini mencarinya? Tidakkah ini sangat aneh?

Tapi anak itu enggan berlama-lama ria. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan secarik kertas sederhana berwarna biru muda. "Ada satu titipan surat untukmu dari orang yang selalu berada di balik jendela rumah ini." Ia memasang senyum penuh arti.

Saat itulah mata Iku terbelalak kaget. Bahkan dengan kurang sopan Iku meraih kertas itu meski si pemegang belum secara resmi menyerahkan. Sudah empat bulan lebih dua hari berselang, jelas saja Iku tak bisa menahan rasa di hati yang membuatnya sulit tidur setiap hari. Dan ini pertama kalinya anak itu menitipkan pesan untuk Iku.

Iku tak bicara. Lipatan kertas itu dibuka segera. Sederet tulisan tangan yang begitu rapih tertera jelas di sana.

—Untuk Kannaduki Iku. Maaf karena aku tak mengatakan apapun kepadamu. Maaf karena aku tak pernah membalas satupun sapaanmu dengan cara yang benar. Terima kasih sudah mengisi dua bulan waktuku dengan kegiatan sore yang menyenangkan. Surat ini hanya mewakili permintaan maafku bahwasannya kita tak bisa berjumpa lagi. Aku berada di tempat yang jauh sekarang. Tapi aku berharap kita bisa bertemu dan mengobrol dengan cara yang benar seperti sesama manusia normal jika kelak kita berjumpa lagi. Terima kasih… Dari Minaduki Rui.—

Hati Iku tercekat.

Surat perpisahan…kah?

Kini manik Iku menatap sekali lagi jendela tak bertuan yang menemani harinya selama ini. Tak ada lagi sesosok pemuda bermanik turquoise itu. Pun irama piano yang begitu menentramkan. Hanya kekosongan. Hanya ketidak-pastian.

Tapi kalimat di surat itu membuat Iku tersenyum pias.

'…aku ingin menunggumu. Semoga suatu hari nanti kau kembali ke jendela itu. Dan kita akan berbicara satu sama lain. Aku ingin mendengar suaramu. Rui…'

Dan Iku ingin memanggil namanya dengan cara yang benar.

Ah, Rui…?

Nama yang bagus. Iku ingin sekali melafalkannya. Lalu membiarkan angin menerbangkannya ke tempat dimana si pemilik nama berada saat ini.

"Rui…."

.

.

(End)


If you want to continue, click 'next' button~

.

Chapter 2 ; Kono Hoshi to Sekai (Fuduki Kai dan Shimotsuki Shun)

Chapter 3 ; Taisetsu Na Mono (Haduki You dan Nagatsuki Yoru)