Disclaimer: One Piece dan seluruh karakternya © Eiichiro Oda.

Ide fic dan penulis: Shimacrow Holmes

Setting: Seminggu setelah pertarungan di pulau melayang Shiki, One Piece Film: Strong World.

Warning: Minor Spoiler from The Film.

Words approximately: 1485


Suasana di Thousand Sunny hari ini meriah seperti biasanya. Kapal gagah tersebut kembali mengarungi samudra Grand Line nan luas di hari yang begitu bersahabat ini.

Di dek utama- di atas rumput, si kapten, wakilnya, dan si navigator kapal tengah berbincang-bincang dengan riang. Diiringi tawa yang begitu ceria, mereka saling tukar obrolan.

Penembak jitu, dan dokter kapal sedang memancing di tepian buaian kapal. Sementara si musisi tengkorak melantunkan melodi yang begitu menenangkan di dekat mereka berdua yang tengah bergurau. Arkeologis dan si tukang kayu juga sedang berbincang-bincang di kebun bunga belakang.

Pastinya, mereka semua larut dalam suasana kekeluargaan yang sangat bersahabat ini.

Namun… masih ada satu lagi kru mereka yang tidak nampak. Bukan karena keberadaannya yang tidak terasa atau apalah itu, tapi memang karena tuntutan pekerjaan dan jabatannya di atas kapal milik Luffy si kapten.

Sanji si koki sedang mendendangkan gumaman nada yang sudah sangat lihai dilantunkannya sehari-hari. Kini waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan itu adalah waktunya cemilan sore hari. Yang paling girang memanglah Luffy, tapi khusus cemilan sore hari, Sanji selalu menyediakan cake dengan kadar gula dan lemak yang rendah. Untuk siapa lagi kalau bukan Nami dan Robin-nya 'yang tersayang'.

Dengan keahlian dan kerja tangan yang begitu terampil, Sanji menyelesaikan cake tart coklat-nya – cepat dan mudah. Setelah kumplit, sudah tiba waktunya untuk menyajikan satu lagi karya agung lainnya milik si koki pada rekan-rekan.

"Anak-anak, it's cake time!" Sanji bersorak begitu membuka pintu kabin ruang makan dan dapur.

"Wooo, cake! Aku mau!" seperti yang sudah Sanji perkirakan, Luffy lah yang pertama menyambut sorakannya. Dia juga berpikir: selanjutnya, pasti akan disusul oleh Usopp dan chopper.

"Nih, silahkan disantap sampai habis, semuanya!" Sanji meletakkan seloyang kue nikmat di meja lingkar dek taman.

"Wohoo, hore!" lanjut Luffy dengan hebohnya.

"Oi, oi Luffy. Pastikan kau sisakan untuk Nami-san juga," Sanji memantik sebatang rokoknya, dan mengingat napsu makan Luffy yang tidak ada habisnya, dia jadi sedikit khawatir.

"Oo!" Luffy mengangguk riang. "Oh, ya Nami, jadi yang waktu di pulaunya si singa kepala kemudi kapal itu… nyam nyam, apa yang kau lakukan sampai bisa membiarkan binatang-binatang monster itu masuk?"

"Loh,memang Usopp dan Chopper belum menceritakannya?" tanya Nami.

"Aku tahu, kau meledakkan dirimu sendiri 'kan? Dasar wanita gila." Potong Zoro.

"Si singa… kepala apa…? Oh, Shiki si keparat itu?" lanjut Sanji. "Tapi kau tidak apa-apa 'kan Nami-san? Kenapa sampai sebegitunya?"

Sanji tidak menyadarinya, kalau pertanyaannya tidak terdengar sama sekali. Barulah saat melihat mereka bertiga tertawa bersama, Sanji sadar, dan kemudian menatap Nami dengan lega.

Dia bersyukur Nami bisa terselamatkan dan tidak menderita cedera yang parah. Sanji kembali menyunggingkan senyuman, dan beralih menatap buaian. "Usopp, Chopper, Brook! Kalau tidak cepat, Luffy pasti akan menghabiskan kue ini!"

"Apa! Jangan dong, Luffy-san!" sahut Brook dengan terburu-buru. Dia kemudian berlari turun bersama dua orang yang tidak kalah hebohnya dengan Luffy yang baru saja menyelesaikan kegiatan memancing mereka.

Hm, aku juga harus membawakan dua potong cake ini pada Robin-chan dan Franky. Dimana mereka kira-kira, ya? Pikir Sanji

"Ah, Zoro itu punyaku!" Sanji mendengar teriakan Usopp dari belakang. Tapi dia tidak memperdulikannya.

"Kau ingin minum sesuatu, Nami-san?"

"Mm, nanti saja 'deh." jawab Nami dengan sepotong kue di tangannya yang begitu halus dan terawat.

Sanji berpamitan pada Nami, dan segera membawa dua piring dengan sepotong cake tart beserta irisan strawberry di atasnya.

Di jalan menuju balkon, Sanji berhenti sejenak. Dia merasakan ada sebuah perasaan mengganjal yang sangat mengundang rasa penasaran terdalamnya.

Sanji memutar tubuhnya, dan memperhatikan betapa bahagianya senyuman Nami. Luffy dan… Zoro, mereka sangat dekat dengan Nami-san – Usopp juga begitu, pikir Sanji.

Dia menghela napas. Entah kenapa, aku merasa iri pada mereka bertiga, lanjut pikirnya. Sanji menggelengkan kepalanya. "Aku bukan orang seperti itu… apa yang kupikirkan...?"

Nami-san berhak dekat dengan siapa saja. Lagipula, aku bukan siapa-siapanya…

Dengan langkah lemas, Sanji melanjutkan jalannya menuju kebun bunga di balkon atas.

"Yo, bang Sanji!"

"Oh, Franky! Kau mau kemana? Aku baru saja hendak mengantarkan cemilanmu," balas Sanji.

"Aku masih ada pekerjaan di ruang kerja. Apa, cemilan? Aku mau banget! Thank you!"

"Haha, kau semangat seperti biasanya, ya robot bodoh?" cengir Sanji.

Franky protes dengan keras kepala, namun masih dengan sepotong kue di mulutnya. "Akwu bwukan rwobwot, twapi SwUPER-CybWorg!"

"Aku tidak peduli, sudah ya…" Sanji berjalan melaluinya, melambaikan satu tangannya yang bebas.

Di balkon atas, Robin sedang duduk membaca buku tebal – terlindungi dengan payung peneduh di atas bangku santainya. Seperti biasa, buku yang dibacanya pastilah buku yang sulit ditelaah untuk sebagian kru kapal Thousand Sunny. Sanji pernah sekali-sekali membuka buku-buku milik Robin, namun mendapati matanya berkunang-kunang tidak lama setelah membaca isinya.

"Ara, tuan koki…" Robin mengangkat kepalanya, dan menatap wajah Sanji sebelum menatap sepiring kue di tangan si koki tersebut. "…Aku baru saja ingin keruang makan, tapi sepertinya sudah tidak perlu,"

Robin tersenyum dengan hangat dan lembut. "…Untukku?"

"Ha, ah- eh i-iya. Haha, maaf aku termenung barusan…" seperti mendapat tamparan langsung di wajah, Sanji kembali dari lamunannya. "Mademoiselle, silahkan, chocolate cake ini untukmu… kubuat penuh dengan cinta."

Dengan tarian putarnya, Sanji meletakkan sepiring kue tersebut di meja kecil sebelah Robin.

"Fufufu, aku tahu kok, kau mencintai semua rekan-rekanmu tuan koki," jawab Robin, tidak melepaskan senyuman lembutnya.

"He, ahahaha,"

"Tuan koki, maukah kau mengabulkan permintaanku? Aku sedang ingin menghirup aroma kopi hitam saat ini,"

Sanji mengangguk senang. "Segera, my lady. Berkenankah apabila kopi hitam dari selatan menjadi teman santap kue-mu?" seperti pelayan yang terpercaya, Sanji membungkukkan sedikit tubuhnya, sementara tangan kanannya di depan dada.

"Fufufu, pasti akan sangat nikmat." Sahut Robin tersenyum dengan hangat.

Sanji turun menuju kabin ruang makan dan dapur, sementara Robin melihat punggung pria dengan rompi hitam dan kemeja bergaris-garis berwarna merah muda itu menjauh. Terdiam sesaat, Robin kembali melanjutkan membaca bukunya.

Tak lama,

"Silahkan, kopimu, Robin-chwan."

"Ya, terima kasih banyak."

Sanji menatap Robin yang sedang meminum kopinya. Gaya meminum yang begitu elegan, begitu melekat dengan sosok dewasa Robin. Cantik sekali.

"Luar biasa, sungguh nikmat."

"My pleasure."

Robin meletakkan secangkir kopinya, dan menatap balik mata si koki. "Sanji…"

"Hm? Y-ya, Robin-chan?"

"Aku belum mengucapkan terima kasih padamu, 'kan?"

"U-untuk apa?"

Robin tersenyum semakin menawan, membuat Sanji sedikit grogi. "Saat di pulau melayang Shiki… aku tahu kalau itu adalah kau yang menyelamatkanku."

"Oh, itu. Hahaha, aku cuma menghajar gorilla mesum kok, hanya itu. Tapi tetap saja, padahal aku ingin menangkapmu waktu itu, dan melakukan perfect landing. Grr, si tengkorak hidup itu…!" lanjut Sanji menggeram, mengingat pengalaman sialnya saat itu.

"Fufufu, mau apalagi…?" gelak Robin. "Ngomong-ngomong Sanji, adakah cara bagiku membalasmu?"

"Ah? Ti-tidak usah sampai seperti itu Robin-chan. Itu cuma kewajibanku untuk melindungimu, 'kan?" balas Sanji.

"Betul juga. Karena… aku lemah, ya tuan koki?"

"Err, maaf bukan begitu maksudku. Aduh—, bagaimana ngomongnya, ya?" Sanji yang selalu percaya diri berbicara didepan wanita, entah mengapa sedikit merasa salah tingkah saat ini. "Hm, ngomong-ngomong… buku apa itu, Robin-chan?"

"Bagaimana kalau ceritakan masalahmu padaku? Mungkin aku bisa membantumu…" tidak menghiraukan basa-basi Sanji, Robin menyelanya.

"Eh apa, 'kok ta… ma-maksudku, apa maksudmu…?"

Robin meluruskan duduknya dan sedikit menggeser tubuhnya ke samping. Ia kemudian menepuk pelan bagian kursi santai sebelahnya- yang merupakan sebuah isyarat untuk si koki. "…Disini kosong. Adakah yang ingin menemaniku hari ini?"

Dalam sekejap, mata Sanji berubah menjadi hati, dan berputar (love hurricane) sebentar penuh dengan kegembiraan. Tapi, itu sungguh hanya sesaat. Raut wajahnya kembali melemas, sama seperti raut yang dilihat Robin ketika pria itu datang pertama kali tadi.

Sampai poin ini, Robin positif kalau Sanji sedang memiliki uneg-uneg dan kegelisahan atau mungkin sebuah masalah pribadi.

Sanji berjalan pelan, dan duduk di sebelah Robin. Wanita arkeologis itu menunggu si koki angkat bicara. Sungguh tidak sopan apabila ia memaksa Sanji bicara, apalagi kalau sampai masalahnya adalah urusan pribadi yang terus dipendamnya.

"…Umm Robin-chan, kenapa sampai bisa tertangkap waktu itu?" buka Sanji dengan ragu-ragu.

"Ara, bagaimana ya. Kau sendiri pasti tahu, kalau kelengahan itu adalah musuh terbesar dalam pertempuran, 'kan…?"

"…Benar."

Suasana kembali terdiam. Sanji menapak-napakkan kakinya ke atas dan ke bawah, nampak gelisah. Sementara Robin duduk diam dengan kedua kepalan tangan di atas lutut beningnya.

"…Jadi…?" ucap Robin.

"Robin-chan…!" sahut Sanji terburu-buru, dengan ekspresi yang nampak ragu. Robin pun sedikit terkejut mendengar suaranya. "…A-apakah aku ini pria yang kurang jantan?"

-Next to Chapter 2-


A/N: Oke, salam dari saya readers OP fandom semuanya. Dah lama ga buat fic lagi. Tapi, kali ini lain. Saya mau menantang diri saya sendiri untuk membuat fic dengan pairing lain. Yup, Shimacrow yang biasanya membuat fic SanNa (dan cinta abis dengan pairing itu), sekarang belajar membuat fic SanRob. Saya gak tau apa yang nabrak 'pala saya, tapi saya akan berusaha membuat fic ini semenarik mungkin. Jangan dianggep fic ini ngebashing Nami ya. Tapi mungkin bisa dibilang ini fic hukuman untuk Nami. Kenapa? Saya juga kurang tahu, tapi apa mungkin karena kurang peka pada Sanji?

Mungkin fic ini gak akan jadi terlalu panjang. Sekitar empat atau lima chapter aja mungkin saya pikir.

Ciao, Shimacrow H.