Kuroko no Basuke Tadatoshi Fujimaki

Pairing: AoMomo

Genre: Romance, Friendship, Slight Humor, Hurt/Comfort

Length: 3 chapters


.

Nobody Can Own You but Me

.


"Aomine-kuuun!"

Suara lengkingan khas wanita membelah ketenangan sang pemilik nama. Sepasang cobalt pekat perlahan membuka disertai beberapa lipatan kerutan dikeningnya. Seperti biasa, Ace tim basket Touou itu lebih memilih menghabiskan waktunya untuk tidur siang di atap gedung sekolah ketimbang menghadiri kelas tidak berguna atau latihan basket. Sebenarnya bukan kelasnya yang tidak berguna, melainkan otaknya selalu tumpul ketika berurusan dengan materi-materi yang menyesakkan kepala. Ia juga sangat tahu kedatangan gadis berisik itu untuk menyeretnya latihan atau memonopoli dirinya lagi.

"Aomine-kuuun!" Derap langkah feminism kian mendekat. Sosok itu menunduk sambil mengguncang-guncangkan tubuh jangkung di bawahnya. "Wakamatsu-san sudah menunggumu!"

Kelopak matanya kembali menutup. "Berisik, Satsuki." Aomine memiringkan tubuhnya ke kiri, mengabaikan kegaduhan teman masa kecilnya.

"Imayoshi-san dan Susa-san juga datang, tahu?" Momoi berpindah tempat ke kiri, kini berjongkok tepat dihadapan Aomine. "Kapan lagi kalian bisa latihan bersama, eh?! Mereka semua menunggumu sekarang!"

Aomine membuka mata. Ia melihat apa yang seharusnya tidak dilihatnya. "Hentikan omong kosongmu itu, Satsuki." Tangan kanannya menarik kedua paha Momoi ke bawah agar gadis itu duduk bersimpuh. "Baru tadi pagi aku bertemu mereka di perpustakaan," lanjutnya ogah-ogahan.

Momoi sempat kebingungan, namun ia tidak ambil pusing. "Mou, Dai-chan! Aku serius. Semua anggota lengkap kecuali Dai-chan!"

Jemari lentiknya menarik pergelangan Aomine sampai sosok itu terduduk, kemudian mendorong punggungnya sampai berdiri. Tubuh pemuda jangkung itu dua kali lebih berat lantaran sambil bermalas-malasan.

"Dai-chaaan! Ayolah, satu hari ini saja! Jarang-jarang lho, mereka meluangkan waktu. Lagipula kau tidak sebegini malasnya kalau mainnya dengan mereka."

Aomine mendengus. Perdamaian kecil yang sudah terjadi dengan kelima anggota Kiseki no Sedai memang sedikit membuat hari-harinya lebih ringan. Ditambah lagi, kemunculan monster gila asal Amerika semakin membuatnya mencintai basket.

Monster gila itu kini berpartner ria dengan mantan partnernya dulu, Kuroko Tetsuya. Permainan tulus dan kepercayaan yang dalam dari mereka berdua berhasil menghangatkan kembali hati Aomine yang terlanjur membeku.

Aomine sendiri juga tidak pernah benar-benar bisa menjauhi diri dari basket. Bahkan, sebosan atau semuak apapun dirinya.

"Aaaaa, merepotkan sekali."

Aomine bangkit sepenuhnya. Merenggang sebentar lalu berjalan mendahului Momoi. Senyum Momoi merekah lebar. Dengan senang hati diikutinya Aomine sampai ke Gymnasium tempat mereka biasa latihan.

Seiring perjalanan Aomine sampai harus menutup telinganya karena keberisikan Momoi. Normalnya, gadis itu tidak akan overdosis dalam berbicara dengan siapapun, namun hukum itu tidak berlaku pada Aomine.

Sesekali gadis itu juga usil mengganggu ketenangan figur tak minat hidup di sisinya. Entah itu menarik dasi panjangnya atau mendorong tubuh jangkung itu agar berjalan lebih cepat.

Bahu Aomine melorot. Memang tidak ada hari yang damai selama gadis merah muda itu masih ada di sekelilingnya.

.

.

Permainan two-on-two yang dibuat Momoi sedikit membuat darah Wakamatsu mendidih. Ia berpasangan dengan si kepala batu, Aomine. Sedangkan Imayoshi dengan Sakurai. Susa lebih memilih mengamati permainan keempat rekannya bersama Momoi. Ia beralasan kepalanya sudah pecah lantaran setiap menit menelan berbagai macam buku demi lolos ke perguruan tinggi terbaik.

Wakamatsu mendribble bola. Dia terpojok saat ini. Imayoshi menjaganya dengan ketat. Sakurai yang berdiri siaga beberapa langkah di belakang Imayoshi juga nampak siap dengan tembakan mematikan miliknya.

"Ayolah berpikir, Kousuke! Mustahil ke kanan, Imayoshi-san pasti bisa merebutnya dengan mudah. Kalau kiri a—"

"Oi, bodoh!" Belum selesai bermonolog ria, sinyal yang diberi Aomine mengalihkan pemikirannya. Tanpa pikir panjang lagi Wakamatsu mendribble bola, sedikit berkelit ke belakang lalu mengoper pada Aomine dalam waktu yang sangat singkat. Operan tajam berakurasi kecepatan tingkat tinggi yang hampir mendekati sempurna itu, mustahil lepas dari genggaman Aomine.

Hup!

Aomine menangkap operan Wakamatsu dengan mantap lalu segera berlari lincah layaknya rudal lepas landas ke area pertahanan musuh. Sakurai dan Imayoshi tidak lengah. Dengan cepat mereka berdua memblok pergerakan Aomine yang akan melakukan formless shot.

Blok langsung dari dua orang.

"Aomine teme!"

Aomine mendengus, namun dilemparnya juga bola itu pada kapten barunya. Wakamatsu yang mendapat operan mantap dari Aomine langsung melakukan three point dari jarak yang tak terduga.

Dan… MASUK!

Momoi meniup peluit tanda permainan berakhir. Papan menunjukkan skor 68-65 yang dipimpin oleh Aomine dan Wakamatsu.

Aomine menyeringai senang. Akhir-akhir ini seperti ada yang berbeda dengan permainan mereka. Seperti mulai ada pondasi kerjasama tim walaupun masih tergolong buruk.

"Nice pass, Ahomine." Wakamatsu berlalu sambil menepuk pundak juniornya itu.

Aomine menjawab malas, "Ya, nice shoot." kemudian terdiam sesaat. Merasa menyadari sesuatu, urat-urat penuh kekesalan langsung bermunculan di dahi Aomine—walaupun telat. Lekas Aomine melempar bola sampai mengenai kepala Wakamatsu.

Wakamatsu berbalik. "Oi! Apa maumu, AHOMINE?!" Tangannya mengusap-usap kepalanya yang baru saja terkena lemparan bola berkekuatan badak.

"Siapa yang mengajarimu memanggilku seperti itu, eh?! Wakamatsu no yaro!" Aomine balas membentak sambil menunjuk-nunjuk hidung seniornya.

Atmosfer yang mulai menghangat kandas begitu saja. Digantikan dengan kerusuhan yang sudah biasa tercipta antara keduanya. Beberapa pemain yang ada dilapangan hanya menjaga jarak dari kedua sumber suara—antara takut kena semprot, atau hanya menjaga mereka berdua kalau sudah mau masuk ke tahap adu jotos.

/ Kau buang kemana tata kramamu pada sang kapten sekaligus senpai-mu ini, HAH? /

/ Tata krama gundulmu. Menjijikan. /

Imayoshi terkekeh pelan. "Sudah ku duga, mereka adalah pasangan maut terbaru dari Touou." Ia membenarkan letak kacamatanya yang mulai menurun. Menyaksikan keributan dari kedua juniornya memang sedikit menghibur.

"Yah, pasangan maut…," Sakurai mengikuti arah pandang mantan kaptennya, "kalau tidak ribut begitu. Etto… sumimasen! Sumimasen!" komentarnya sambil membungkuk berkali-kali.

/ NANDATO?! Cepat ulangi lagi kau, AHOMINE TEME! /

/ NANI SORE?! /

"Tenang saja, aku yakin mereka bisa bermain dengan baik suatu saat nanti." Momoi menyahut tenang. Dekapannya pada clipboard mengerat. Sorot matanya menghangat ketika melihat figur kokoh Aomine di ujung lapangan. "Karena, Aomine-kun sudah mulai kembali seperti dulu…"

/ CHIKUSHO! Jangan menendang bokongku! /

/ Cepat mati kau, Wakamatsu! /

/ AHOOOMINEEEE! Tunjukkan sedikit rasa hormatmu padaku! /

Imayoshi dan Susa tertegun menyadari ucapan Momoi. Mereka tidak bodoh untuk menyadari perubahan Aomine walaupun pemuda itu berusaha menutupinya. Kedua senior yang tahun depan dipastikan sudah angkat kaki dari Touou Akademi, saling melempar senyuman.

Sepertinya mereka tidak perlu khawatir lagi dengan nasib tim basket Touou untuk kedepannya.

.

.

Momoi mengatur beberapa buku pelajaran dalam lokernya. Beberapa ada yang dibawa pulang untuk dipelajari, beberapa yang tidak begitu menarik, ditinggalkannya.

"Sejarah jepang… ini dia!" sahutnya ketika menemukan apa yang ia cari.

Manajer Touou itu menolehkan pandangan. Sorot matanya menangkap foto Kiseki no Sedai yang di ambil beberapa bulan lalu. Hari dimana keenam sahabat karibnya bisa berkumpul kembali seperti dulu, namun dengan atmosfer yang berbeda. Momoi juga masih mengingat bagaimana Aomine yang selalu meremehkan setiap pertandingan nampak begitu bahagia menikmati permainan thee-on-three terbaru mereka.

Garis bibir Momoi selalu membentuk senyuman setiap memandangi foto itu. Foto yang dengan sengaja ditempelinya dengan beragam stiker hati. Jemarinya mengelus permukaan foto dengan haru. Menyaksikan tali persahabatan yang mulai terjalin lagi selalu berhasil membuat pelupuk matanya digenangi air mata.

Momoi menyeka kelopak matanya sambil terkekeh. Ia menutup pintu loker dan disaat yang sama wajahnya segera dihadapkan dengan pemuda jangkung yang hawa keberadaannya mulai dipertanyakan.

"Astaga, Dai-chan!"

Aomine bersandar di sebelah loker Momoi dengan mata terpejam. Lengan kanannya digunakan sebagai tumpuan bersandar. Tas khusus berisi jersey dan sepatu basket bersandar dipundak kirinya. Satu yang Momoi tahu, Aomine kelelahan. Peluh keringat di sisi wajahnya bahkan belum sempat diurusinya.

Momoi geleng-geleng mafhum, dalam hati ia bertanya sudah berapa lama tidak melihat teman masa kecilnya sampai kelelelahan begitu. "Kau lapar, Dai-chan?" Ia merogoh tasnya untuk mengambil saputangan lalu menyeka peluh keringat di seluruh wajah Aomine. "Mau mampir ke Burger Maji?"

Aomine nurut-nurut saja. Sosok itu mengangguk di sela-sela lenguhan pendeknya. Ia merenggang sebentar, menengok kanan-kiri, lalu mengistirahatkan dagunya di atas kepala Momoi. Tinggi gadis itu selalu ideal untuk diperalatnya sebagai bantal berjalan.

"E-eh—Dai-chan!" Momoi tersipu. Telapak tangannya menahan dada bidang Aomine yang membebani tubuhnya. Jarak yang menipis membuat Momoi bisa mendengar detak jantung berirama dari pemuda jangkung itu. "Jangan seenak udel begitu!" Sepasang magenta besarnya menjelalah isi koridor dengan gusar.

Memang sudah bukan gosip lagi tentang kedekatan abnormal keduanya. Hampir seluruh murid Touou Akademi beranggapan kalau Aomine-Momoi memiliki hubungan spesial, walaupun keduanya sudah lelah menjelaskan kalau mereka hanya sebatas teman masa kecil. Tidak lebih, tidak kurang.

"Berisik. Aku lelah." Suara serak Aomine mengatupkan garis bibir Momoi. Hembusan nafas teratur yang berlalu lalang di atas helaian rambutnya, juga aroma maskulin yang menguar dari lekuk leher dihadapannya membuat Momoi terdiam sesaat.

Teman masa kecilnya benar-benar sudah tumbuh menjadi pria—setengah—dewasa. Ia masih mengingat aroma tubuh Aomine yang dulu tidak jauh-jauh dari sabun mandi, tidak seperti sekarang yang sudah mulai pakai parfum khusus pria.

Momoi tersenyum samar. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menyenderkan kepalanya dibagian lekuk tulang selangka Aomine.

Aomine menyahut lagi, "Oi, Satsuki. Perutku keroncongan." Nada bicaranya benar-benar tidak terima lantaran sudah memforsir stamina untuk latihan tadi.

Momoi merengut. "Makanya ayo cepat ke Maji Burger!"

"Aaaah…," Aomine menguap. "gendong aku kalau begitu."

"Sinting! Tubuh Dai-chan itu mirip-mirip kingkong, tahu!" Momoi menyahut sambil menggeplak lengan Aomine. "Yang ada Dai-chan yang menggendongku!" Sadar sudah salah ngomong, Momoi menghempaskan kepalanya ke dinding—dalam pikirannya, maksudnya.

"Kau mau ku gendong, eh?" Si jangkung menyeringai.

"E-enak saja! A-abaikan yang tadi…"

Aomine terkekeh. Angin semilir yang datang dari ujung koridor membelai lembut dua surai yang berbeda warna. Momoi menghela nafas panjang. Tangan kanannya terangkat, menepuk-nepuk punggung kokoh Aomine. Ia tak mengerti lagi dengan pemuda itu. Kadang jinak, kadang garang.

Dua menit kemudian, Aomine menepuk puncak kepala Momoi lalu berjalan duluan.

"Ikuzo, Satsuki."

Buru-buru Momoi mengunci lokernya untuk menjajari langkah Aomine. "Chotto matte, Dai-chan!" Magenta besarnya membulat antusias setiap berurusan dengan pemuda pemalas itu.

Imayoshi, Susa, dan Sakurai yang sedari tadi tidak sengaja melihat keakraban keduanya dari ujung koridor, terdiam sejenak.

"Wah, wah. Cocok sekali, ya?" ucap Susa pelan.

"Sumimasen, sumimasen! Tapi bukannya mereka tidak pernah berpikiran sampai ke sana, Susa-san? Sumimasen!" Seperti biasa, Sakurai berkata sambil menundukkan kepalanya berkali-kali.

"Memang. Tapi kedepannya tidak ada yang tahu, kan?" Imayoshi menyahut.

"Yah, aku malas membicarakan mereka. Sudah tidak ada ujungnya lagi." Susa menggedikkan bahu. "Oi, Imayoshi. Nanti temani aku ke toko buku dekat stasiun. Aku perlu beberapa modul tambahan."

Imayoshi terkekeh. "Tentu saja. Kau ikut, Sakurai?" Yang ditanya mengangguk sebagai balasan.

Mantan kapten tim basket Touou itu mengalihkan pandangannya pada dua siluet kouhai-nya yang sudah menjauh. Garis mata yang selalu tersenyum dibalik bingkai kacamata nampak tak terbaca. Dari kejauhan, ia bisa melihat jemari Momoi yang perlahan menggamit lengan Aomine.

Yang digamit pun, nampak tak keberatan.

.

.

Momoi asik berceloteh. Kedua tangannya sibuk mencocol batang-batang kentang goreng ke dalam saus tomat. Namun sedari tadi ia sama sekali tidak mendengar sahutan dari pemuda jangkung yang duduk dihadapannya.

Momoi mengangkat dagunya, terpampang pemuda itu sedang fokus menyeruput susu pisang sambil menatap lurus-lurus ke arahnya.

"DAI-CHAN!" bentaknya. "Kau mendengarkanku tidak?!"

"Kau…," Aomine menyandarkan punggungnya ke kursi. Air mukanya nampak tak terbaca. Gigi-gigi yang saling menggeletuk dibalik rahang menandakan si pemilik ragu-ragu akan kalimatnya. "percaya takdir?"

Momoi mengerjap keheranan. "Eh?" Déjà vu. Lagi-lagi Aomine menanyakan pertanyaan tak masuk akal. Refleks Momoi bangkit dari kursinya lalu memegangi kening Aomine dengan rusuh.

"Dai-chan? Dai-chan?!"

Anak tunggal dari keluarga Aomine itu mendecih malas. Dorongan telapak tangan Momoi membuat kepalanya tersentak kebelakang. "Aku tidak demam, Satsuki," ujarnya sambil menjauhkan diri dari sergapan Momoi.

Momoi mengatur nafasnya lalu terduduk kembali.

Aomine berdeham kecil. "Maksudku… kita selalu bersama-sama selama ini, dan kau pun terus mengikutiku. Bahkan sampai aku muak denganmu." Ia mengabaikan tatapan sengit dari Momoi. "Tapi nanti, apa kau mau masuk ke universitas yang sama denganku? Lagi?"

Tidak biasanya Aomine berkata seperti ini. Kemampuan super Momoi dalam menganalisa mampu menangkap adanya rasa penasaran dan sedikit kecemasan dalam sepasang cobalt itu.

"Kenapa? Dai-chan terganggu dengan kehadiranku?" Momoi bertopang dagu, pandangannya melembut pada pemuda dihadapannya. Aomine memicingkan mata, bersiap menyela namun Momoi memotong gerakan bibirnya. "Bahkan kalau Dai-chan muak denganku sekalipun, aku tetap tidak bisa meninggalkanmu. Jadi, berjanjilah padaku kalau kita akan selalu bersama, Dai-chan." Momoi menyodorkan jari kelingkingnya pada Aomine.

Aomine terperangah. Sudah lama sekali rasanya menautkan kedua jari kelingking mereka. Terakhir kali saat ia berjanji kalau tidak akan ada lagi bocah-bocah nakal yang berniat mengganggu Momoi. Dan sekarang, bertautan kelingking di umur yang sudah mulai tua ini sedikit membuatnya salah tingkah.

"Yah…" Aomine menggaruk kepalanya yang tidak gatal-gatal amat. Perlahan kelingking tan miliknya bertautan dengan kelingking lentik Momoi. "Aku berjanji."

Senyum Momoi merekah lebih lebar. Ia memainkan kelingking mereka yang saling bertautan dengan ekspresi geli.

"Sa—"

"Konbawa, Momoi-san, Aomine-kun," sahut pemuda berekspresi polos yang tiba-tiba muncul dengan kedua tangan memegang nampan. Satu cup vanilla milkshake bertengger di atasnya. Tidak diherankan lagi, hawa keberadaannya memang sudah memasuki tahap makhluk halus.

"Tetsu-kuuun!" Momoi segera menabrakkan dirinya pada Kuroko.

Aomine yang melihat kelakuan Momoi hanya melirik tanpa ekspresi. Ia melengos, lebih memilih untuk tidak ambil pusing dengan eksistensi kedua makhluk itu.

"Kagamin! Banyak sekali pesananmu!"

KRAK!

Aomine meremas wadah minumannya sampai isinya tumpah keluar. Aura kesangarannya tiba-tiba bangkit setelah mendeteksi keberadaan Kagami.

Iseng, ia melirik sedikit, tak sengaja melihat tatapan penuh permusuhan dari Kagami.

"APA?!" bentaknya spontan.

"KAU YANG APA?!" sahut Kagami tak mau kalah. Sebentar lagi cengkramannya pada nampan akan terbang menuju rival abadinya.

"AKU SUDAH ADA DI SINI SEDARI TADI!"

"APA PEDULIKU?! ENYAH!"

"KAU YANG ENYAH!"

GRRRRRR!

GRRRRRR!

"Sumimasen, Momoi-san." Kuroko melepas dua karet gelang yang melilit pergelangan tangan Momoi lalu menjepretkannya tepat ke wajah Aomine dan Kagami. Suara datar nan polos Kuroko menyahut pelan, "Tolong jangan berisik. Nanti kita diusir keluar."

Aomine dan Kagami menghela nafas berbarengan. Tidak ada yang sudi untuk meminta maaf.

Terima kasih untuk Momoi, mereka berempat kini duduk dalam satu meja yang sama. Aomine berhadapan dengan Momoi dan Kuroko yang duduk di sebelah Aomine berhadapan dengan Kagami. Kuroko sendiri tidak mau mendudukkan Kagami di sebelah Aomine, bisa-bisa terbelah meja tanpa dosa ini.

Momoi memecah keheningan, "Etto… kalian selalu ke sini?"

"Yah, kadang-kadang. Aku biasa menemani Kagami-kun usai latihan basket," sahutnya ringan. Terang-terangan ia berdecak. Memperhatikan Kagami yang melahap satu lusin burger dengan brutal membuatnya tak habis pikir. Itu gentong atau perut, batinnya.

Kagami menyahut di sela-sela kegiatannya, "Oi, kau mengikutiku, bukan menemaniku."

Satu-satunya gadis yang ada di meja berhawa mencekam ini terkikik geli. "Ah, souka! Nafsu makan Kagamin ternyata tidak jauh berbeda dengan Aomine -kun." Ia melirik Aomine yang—tidak peduli dengan mereka—sibuk menggigiti hotdog tanpa perasaan. Meninggalkan beberapa noda saus tomat dikedua sisi bibirnya. Momoi yang tanggap, menarik selembar tisu lalu mengelap permukaan dagu dan pipi Aomine. "Pelan-pelan, Aomine-kun! Pipimu belepotan semua, tuh."

Aomine masa bodo. Ia menutup mulut Momoi dengan hotdog miliknya yang langsung digigit oleh gadis itu.

"Enak?" tanyanya.

Sebagai jawaban, Momoi menggangguk-angguk. Lantas ia menarik hotdog dari genggaman Aomine lalu kembali melahapnya.

Kagami yang yakin dirinya masih waras, melongo. Otak lumutnya tidak mengerti dengan atmosfer antara kedua insan itu.

"Tatapanmu menyeramkan sekali, Kagamin! Ada apa?" tanya Momoi saat menyadari Kagami yang terus memandanginya.

"Oh—ya. Bagaimana ya… kalian… sedang berkencan? Kalau iya kami bisa pindah ke meja di sebelah sana." Kagami menyahut lugu. Ia melirik Kuroko yang nampaknya anteng-anteng saja.

Aomine dan Momoi kontan berpandangan, lalu dengan kompak menyilangkan kedua tangan pada Kagami. Walau masih keheranan, pemuda dengan surai merah gelap itu menggangguk mengerti. Mulutnya membentuk O bulat.

"Mou, Kagamin. Aku hanya punya mata untuk Tetsu-kun~" Momoi melempar tatapan penuh cinta pada Kuroko, membuat pemuda itu tersenyum manis.

Kagami yang tidak mau berurusan lebih jauh lagi hanya mengangguk mengerti. Bodo amat, pikirnya.

"Oh—hei, konoyaro, sepatumu akan ku kembalikan besok. Terima kasih sudah meminjamkannya padaku," sahutnya pada Aomine.

Aomine menelan gumpalan hotdog susah payah. "Sudah kubilang sepatu itu untukmu, Bakagami." Ia terlampau malas berurusan dengan ke-tsundere-an Kagami, mungkin ketularan makhluk penggemar Oha Asa yang satu itu.

"Sudah ku bilang aku tidak mau menerima pemberian darimu!" Urat emosi pemuda bersurai merah gelap itu yang memang sudah tipis dari lahir, selalu terputus ketika berurusan dengan Aomine.

"Baka! Anggap saja itu hadiah, karena berhasil mengalahkan Rakuzan." Aomine menyenderkan tubuhnya pada kursi. Mau tak mau, sudut bibirnya perlahan terangkat, memikirkan bagaimana pertandingan kedepannya. "Tapi tunggu saja, kamilah pemenang untuk kejuaraan tahun depan. Berani bertaruh, kalian tidak akan bisa mempertahankan gelar itu." Bibirnya menyeringai penuh tantangan.

Kagami bergeming. Satu kesamaan yang paling menonjol dari keduanya adalah kegilaan yang tak tanggung-tanggung mengenai basket.

"Baiklah. Sampai jumpa di pertandingan tahun depan." Kagami menyahut serius. Aomine mengangguk sebagai balasan.

Kuroko dan Momoi tersenyum senang. Hubungan rival dan pertemanan antara kedua Ace tangguh itu sangat kental. Walaupun keduanya menentang habis-habisan kalau mereka berteman.

"KORA KORA! Kurokocchi, Aominecchi, Momocchi, dan Kagamicchi! Senang sekali bertemu kalian di sini!"

Muncul pemuda berambut kuning menyala yang sudah biasa tebar pesona dimana-mana asal Kaijou High. Sosok itu perlahan mendekat, cara berjalannya yang sedikit menyeret kaki langsung menarik perhatian mereka berempat. Sesampainya, Kise menarik salah satu kursi secara asal lalu mendudukkan bokongnya.

Momoi menyambut kedatangan salah satu sahabat karib SMP-nya dengan antusias, "Ki-chan! Baru pulang sekolah?"

"Ie, aku baru selesai pemotretan di dekat sini, Momocchi. Aku malas berganti makanya masih pakai seragam-ssu." Kise menyahut sambil membentuk tanda V dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Ada apa dengan kakimu, Kise-kun?" Sepasang aquamarine membulat polos, sedotan yang masih nangkring dibibirnya semakin membuat figur lembut itu tampak imut.

Kise yang memang gemas dengan Kuroko menyahut heboh, "Eeeeh? Kurokocchi mengkhawatirkanku! Tidak biasanya, eeehh?!" Kedua kelopak matanya melengkung ke atas, tersenyum dengan tenaga penuh. "Syukurlah ternyata kau—"

PLAK!

"Berisik. Cepat jelaskan apa yang terjadi dengan kaki bodohmu itu." Lemparan hotdog yang mengenai kening Kise membuat pemuda itu mengerucutkan bibirnya. Sedangkan Kagami susah payah menegak cola agar tidak tersedak menahan tawa.

"Momocchi, Aominecchi jahat seperti biasanya-ssu..." rengeknya sambil melarikan diri ke pelukan Momoi.

Gadis bersurai merah muda itu terkekeh pelan. "Hai, hai." Jemari lentiknya mengelus-elus puncak kepala Kise. Aomine melirik. Merasa terganggu, ia menarik kerah bagian belakang Kise layaknya kucing sampai pemuda berisik itu terduduk kembali ditempatnya.

Kise misu-misuh dalam hati.

"Yah, kalian tahu. Kakiku mengalami cidera yang cukup berat. Belum lagi ulah Haizaki membuatnya semakin parah." Sorot bola mata emas itu meredup. Sebelah tangannya meremas lututnya sendiri. "Ditambah lagi, kadang-kadang aku masih berlatih basket. Jadwal pemotretanku juga semakin banyak seiring berjalannya waktu. Jadilah sama sekali tidak ada waktu bagiku untuk bersantai-santai."

Aomine mendecih. Ia tahu perihal cidera lama Kise. Namun kepingan kejadian saat Haizaki dengan sengaja melukai Kise selalu membakar emosinya. Termasuk saat dimana ia menghajar Haizaki yang masih nekat menunggu Kise di luar stadium. Bagaimanapun juga, kaki merupakan salah satu harta terpenting bagi seorang model juga seorang atlet.

"Tidak apa-apa. Dokter tetap memperbolehkanku bermain basket, asalkan aku tidak memakai seluruh kekuatanku." sahutnya sambil menepuk-nepuk pundak on fire Aomine. Kise tahu, Aomine masih menyalahkan Haizaki. "Jadi semuanya tidak masalah-ssu. Hanya urusan waktu."

"Tapi Kise-kun, akan lebih baik kalau kau ambil cuti beberapa minggu. Jangan pernah mengabaikan sekecil apapun cidera yang kau dapat. Kau masih muda, Kise-kun."

Kalimat bijak Kuroko membuat Kise terdiam sesaat.

"Benarkah? Kalau kalian ada diposisiku, ku pastikan kalian juga tidak bisa melepaskan diri barang sedetik dari bola sialan itu." Kise berani bertaruh, mereka berempat pasti setuju dengan pendapatnya.

Kise menatap Aomine curiga, seperti bisa membaca apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu. "Tidak. Tidak ada perkelahian lagi, Aominecchi. Dengarkan aku, oke?"

"Tahu darimana kau?"

"Momocchi, tentu saja." Aomine mengalihkan pandangan pada Manajer Touou, yang dilirik hanya pura-pura gila. Kise melanjutkan, "Haizaki itu sinting. Lebih sinting dari Akashicchi, ku yakin. Jadi tolong jangan macam-macam dengannya-ssu."

Empat pasang mata sibuk menyimak.

"Aku tidak sudi dibilang pengecut. Tapi yang berlalu, ya biarlah berlalu. Aku tidak peduli. Lagipula ini bukan sepenuhnya kesalahan Haizaki." Kise menyeruput sisa-sisa susu pisang Aomine sampai benar-benar kandas. "Sungguh, jangan cari gara-gara dengannya. Terutama kau." Kise mengarahkan sedotan pada sosok siap ledak di samping kirinya.

Aomine mendengus tak rela. Namun akhirnya sebuah anggukan dilemparkan juga pada pemuda riang itu.

.

.

Momoi bersenandung senang. Pena merah muda berbandul bulu-bulu halus memantul kesana kemari, mengikuti gerakan kepala sang pemilik. Coretan dari jemarinya selalu mebuahkan data-data penting tentang para pemain basket dari berbagai tim yang akan dilawan oleh Touou.

Melakukan kegiatan seperti ini memang terlalu menyenangkan baginya. Ditambah lagi, hari ini Aomine sudah berjanji akan latihan dengan yang lain sore nanti. Perlu digaris bawahi, Aomine mengiyakan permintaannya tanpa harus diseret seperti biasa. Hal itu semakin membuat mood Momoi melambung tinggi.

"Satsuki-chan?" Suara feminim yang tiba-tiba muncul menghentikan kegiatannya. Momoi mendongak. Gadis yang mempunyai tempat duduk paling depan itu tersenyum pada Momoi sambil mengacungkan buntelan bento. Tubuhnya semampai, ia cukup manis dengan rambut oranye cerah yang menjuntai sampai batas punggungnya. Gadis itu memutar kursi dihadapan Momoi lalu mengistirahatkan bokongnya. "Kita jadi makan bento bersama, kan?" Satu-satunya teman perempuan yang dekat dengan Momoi, Kasuga Mina.

"Ah, Mina-chan!" Momoi membersihkan segala macam tumpukan kertas di atas mejanya sebelum menaruh kotak bentonya sendiri. "Gomen ne, aku lupa memanggilmu sedari tadi," lanjutnya pelan. Ia melirik bento Kasuga yang terbungkus dengan kain oranye bermotif tangerine.

"Tidak apa-apa. Aku pun masih sibuk menggambar peta." Kasuga membuka bentonya, memampangkan berbagai macam sayuran, telur gulung, dan teriyaki. Berbanding terbalik dengan bento Momoi yang hanya berisi nasi omelette.

"Ugh…," Momoi menggeram kala mengingat tugas geografi beberapa hari yang lalu. Ia lebih memilih cuek, toh masih ada hari esok. Senandung yang keluar dari bibir Kasuga lebih menarik perhatiannya. "Sedang senang, Mina-chan?"

Kasuga terkikik penuh arti. "Aku…," ia melongok kanan kiri lalu meletakkan telunjuk di depan bibirnya. "sudah jadian dengan Yoshiku-senpai!"

Momoi perlu beberapa detik untuk mencerna ucapan teman sejawatnya. Dua insan yang sudah dekat dari jaman batu itu, akhirnya sudah jadian sekarang. "Oh, astaga! Akhirnya hari ini datang juga, Mina-chan!" pekiknya senang. Momoi menyergap Kasuga dengan pelukan erat, sampai gadis itu terbatuk-batuk.

"Yah, aku juga tidak menyangka!" Tawanya memenuhi seisi kelas. "Aku yang menyatakan duluan. Padahal aku sudah pesimis, lho. Tapi ternyata Yoshiku-senpai juga menyukaiku." Euforia masih tercetak jelas diwajahnya.

Momoi tersenyum. "Syukurlah, aku ikut senang mendengarnya."

Kasuga beralih memandang Momoi, kali ini lebih serius. "Satsuki-chan tidak mau jadian juga? Dengan siapa itu, aku lupa namanya, etto—pemain Seirin."

"Tetsu-kun?"

"Ah! Ya ya dia. Bagaimana?" ujar Kasuga, tampak sekali ia tertarik dengan perjalanan cinta teman sejawatnya itu. "Satsuki-chan sudah coba menyatakan perasaan padanya?"

Momoi bergeming, lalu menggeleng. Ia merasa tidak perlu menyatakan perasaannya, toh pemuda bersurai biru terang itu sudah mengetahui perihal perasaannya. Jadi untuk apalagi?

"Kenapa?" Lipatan di kening Kasuga bertambah tiga. "Bukannya kau menyukainya sejak SMP? Waktunya jauh lebih lama dariku untuk menyukai Yoshiku-senpai, lho."

"Etto…," Tidak tahu cara menjelaskannya bagaimana, Momoi mengetuk-ngetuk dagunya. "untuk apa? Kalaupun aku sudah berpacaran dengannya, rasanya semua akan sama saja." Momoi mengangkat bahu.

Kasuga terpana, tapi ia memaklumi perkataan Momoi. Gadis cantik dihadapannya ini memang belum pernah mencicipi rasanya menjalin hubungan asmara. Terlebih lagi, Kasuga mengetahui perihal sikap Kuroko yang selalu merespon Momoi apa adanya.

"Satsuki-chan, pasti menyenangkan kalau memiliki seorang kekasih. Coba bayangkan, dijadikan prioritas utama, dilindungi, dan dicintai apa adanya bukankah itu hal yang menyenangkan?" Garis bibir Kasuga melengkung ke atas lantaran memikirkan kekasih barunya. "Menurutku, kalau Tetsu-kun juga menyukaimu. Pasti dia akan memperilakukan Satsuki -chan dengan sebaik-baiknya."

Sekelebat bayangan Aomine memenuhi kepala Momoi. Jika itu untuk urusan perlindungan, Aomine selalu melindungi dirinya dengan baik. Pemuda itu juga selalu mengulurkan tangannya pada Momoi walupun gadis itu tidak membutuhkan bantuannya sekalipun. Jauh di dalam hatinya, Momoi mengiyakan kalau kehadiran Aomine sudah lebih dari cukup.

"Satsuki-chan?"

"Oh…," Momoi tersenyum kikuk. "Maaf, aku tidak konsen."

"Memikirkan siapa? Aomine-kun?" tanyanya spontan. Pegangan Momoi pada sepasang sumpitnya terhenti. Semburat merah yang perlahan menghiasi pipinya membuat Kasuga tersenyum.

"Ara, kalau Satsuki-chan benar-benar menyukai Tetsu-kun, kenapa tidak coba saja langsung?" Momoi memandang Kasuga tak mengerti. Gadis dengan surai oranye cerah itu kembali melanjutkan, "Kenapa tidak dicoba? Menyatakan secara langsung perasaanmu pada Tetsu-kun."

.

.

"Satsuki?" Aomine mengibas-ngibaskan tangannya pada sosok gadis dengan helaian rambut sewarna gulali di sampingnya. "Oi, Satsuki?" Sudah daritadi mereka berkeliling tanpa arah di area pembelanjaan, namun belum ada satupun yang masuk ke dalam troli yang didorong Aomine.

"Eh…," Momoi memusatkan perhatiannya pada sosok jangkung itu. "Kenapa, Dai-chan?"

"Aku bilang, apa yang kau cari di sini?" Aomine mengerang malas. "Betisku sudah bengkak masih saja kau seret-seret." Selang beberapa langkah, Aomine selalu menekukkan kaki. Latihan yang terlampau serius mulai membebani kakinya.

Momoi mengerucutkan bibir. "Sebentar lagi, Dai-chan!" Ia mengambil kebab siap saji di atas deretan etalase lalu menempelkannya pada bibir Aomine. "Nanti akan ku pijiti." Magenta besarnya beralih, kembali meneliti tiap-tiap etalase yang menjejerkan berbagai macam makanan.

Aomine menerima sogokan dari gadis itu. Ia menguyah kebab sambil misuh-misuh.

"Pijitanmu itu tidak ada rasanya. Memangnya apa yang kau cari di sini?"

"Entahlah… aku juga bingung." Momoi mengerang putus asa. Ia melirik Aomine, menimang-menimang apakah harus memberitahukan perihal ini padanya atau tidak.

Merasa tak nyaman dipandangi terus menerus, Aomine bertanya, "Ada apa?"

Nampaknya Momoi harus memberitahu perihal ini. Sebelah tangannya mengisyaratkan agar pemuda itu menunduk. "Aku tahu ini tiba-tiba, tapi… aku mau menyatakan perasaanku pada Tetsu-kun! Bagaimana menurutmu?" bisiknya cepat.

Sosok jangkung itu menegang. Kunyahan kebab dimulutnya seketika terhenti. Detak jantung yang perlahan terpompa lebih cepat dan rasa kesal yang entah darimana timbul, membuatnya mual.

"Nah, jadi menurutmu hadiah apa yang cocok untuknya?" Momoi mengetuk-ngetuk dagunya ringan. "Dai-chan kan laki-laki, pasti lebih mengerti. Lagipula, tidak enak dong! Menyatakan perasaan tapi kok tidak bawa apa-apa." Pandangannya beralih pada sosok jangkung yang sedang terdiam seribu bahasa.

Aomine memperhatikan mimik serius gadis di sampingnya. Celotehannya tentang pemuda mungil itu memang sudah terlampau sering. Namun itu semua tidak pernah seserius ini, walaupun selama ini batinnya terganggu. Toh semua yang membuat gadis itu bahagia, akan selalu diusahakannya dengan sebaik-baiknya. Termasuk, menjadi pendengar setianya.

Momoi menghentakkan sebelah kakinya ke lantai. "Dai-chan! Dai-chan itu selalu saja tidak memperhatikanku kalau sedang bicara!"

Jauh di dalam hatinya, Aomine khawatir. Khawatir kalau gadis itu bisa saja pergi darinya setelah memegang status sebagai pacar-baru-teman-lamanya. Khawatir kalau sosok itu akan berpaling darinya hanya karena sudah menemukan seseorang yang posisinya jauh lebih tinggi. Khawatir kalau sikap seorang Momoi Satsuki bisa saja berubah 180 derajat hanya karena sudah menemukan tambatan hati.

Di atas segalanya, Aomine Daiki mengakui kalau ia takut kehilangan gadis itu.

"Belikan saja kue."

Tanpa sadar, Aomine mengerang.

"Eh?"

Lamat-lamat garis bibir Momoi melebar. "Vanilla cake! Oh, benar juga!" Buru-buru ia mengambil dompet dari dalam tas demi mengecek lembar-lembar uang miliknya. "Uangku lebih dari cukup. Yuk, kita ke sana!" Telunjuknya menunjuk rak tinggi bagian perlengkapan bahan-bahan memasak. Gadis itu bersenandung sambil berjalan tergesa-gesa, mendahului Aomine yang masih terpaku di tempat.

"Dai-chaaan! Ayo cepat!"

Teriakan gadis itu memaksanya untuk terus melangkah. Aomine bisa melihat kecermatan Momoi dalam memilih bahan-bahan kualitas terbaik. Yang paling mahal, itu yang diambilnya. Totalitas. Teman masa kecilnya itu selalu memperlakukan Kuroko dengan penuh kasih sayang. Tak diragukan lagi, Aomine mengakui kalau dirinya tidak menyukai suasana ini.

"Kira-kira beli berapa bungkus ya, Dai-chan?" Kedua tangan Momoi menenteng bungkusan tepung terigu. "Aku takut adonan pertamaku gosong." Dua-duanya adalah tepung terigu kualitas terbaik.

"Satu saja. Tidak usah banyak-banyak buang uang."

"Nanti kalau gosong bagaimana? Aku malas bolak-balik Supermarket."

Aomime memutar bola mata. "Ya berikan saja adonan gosong itu pada Tetsu."

"Malu dong, Dai-chan!"

"Tapi kau tidak pernah malu padaku, tuh."

Aomine mengingat kue spesial yang selalu dibuat gadis itu khusus untuknya sekali setahun. Badan kue yang tidak simetris, bagian bawah hitam pekat berkerak, krim asal-asalan, dan topping buah ceri yang selalu berantakan.

Momoi mengerucutkan bibir. "Dai-chan kan beda! Kalau yang ini untuk Tetsu-kun."

"Jadi untuk Tetsu semua darimu yang bagus-bagus dan untukku yang jelek-jelek, begitu?"

Momoi mengerjap keheranan. Insting cemerlangnya tumpul. Ia tidak paham dengan nada bicara Aomine yang tiba-tiba ketus.

"Bukan begitu maksudku, Dai-chan ka—"

"Lalu apa?" todongnya.

Aomine mengabaikan tatapan ibu-ibu asing yang mulai mencuri pandang pada mereka berdua. Tontonan gratis. Semua ibu-ibu yang curi-curi pandang itu bertaruh kalau Aomine dan Momoi sedang meributkan masalah cinta.

"Dai-chan kan temanku, kau yang selalu mengerti aku orangnya seperti apa…," Kedua telunjuk Momoi berputar satu sama lain, mata besarnya memandang ujung sepatu tak menentu. "Tapi Tetsu-kun itu berbeda. Aku menyukainya. Aku ingin dia memandangku sebagai seorang wanita…"

Konyol. Rasa nyeri menyebalkan yang perlahan menyelimuti hatinya membuat Aomine mendengus.

"Memangnya aku tak pernah memandangmu sebagai seorang wanita?"

Momoi tersentak. Pilinan jarinya terhenti. Ia mendongak untuk melihat raut wajah Aomine yang seperti tertangkap basah mencuri. Rona merah yang samar-samar tercetak di kedua garis pipinya, menarik perhatian Momoi untuk menatapnya lebih lama.

"Sudahlah! Aku pulang!"

Aomine bergegas meninggalkan Momoi dengan troli kosong. Langkah kakinya terburu-buru, agar sosok berisik itu tidak berusaha mengikutinya. Peduli setan. Entah kenapa, hati Aomine benar-benar tertohok oleh perkataan gadis itu.

.

.

Dug! Dug!

Bola basket memantul-mantul pada dinding kamar dari cengkraman tangan seorang Ace handal. Suara musik bervolume di atas rata-rata mengalun memenuhi ruangan. Berbagai macam pakai kotor dan majalah dewasa berserakan di lantai. Pemiliknya sendiri terlalu acuh untuk membereskan itu semua.

Beberapa poster yang tidak jauh-jauh dari basket memenuhi dinding kamar yang bercat putih gading. Etalase kaca yang kelihatan mewah di sudut kamar juga tak jauh-jauh dari basket. Piala, piagam, bola basket dan jersey dengan tanda tangan pemain NBA, serta berbagai macam pernak-pernik basket lainnya berjejer apik di dalam etalase kaca itu.

Aomine melirik jam dinding yang sudah menunjukkan jam makan malam. Ia melengos. Perut karetnya sedang tidak memiliki hasrat untuk menampung makanan. Boro-boro makan, untuk bergerak saja urung. Semua yang dilakukan Aomine selalu mengingatkannya pada gadis bersurai merah muda itu. Ya, teman masa kecilnya yang selalu membuat onar itu.

PRANG!

Lemparan bola yang terlampau kuat mengenai sebuah bingkai foto sampai terpental mengenai monitor komputer. Aomine mendekat, jemarinya mengangkat dan meneliti tiap inci dari foto itu. Sebuah foto dirinya dan seorang gadis yang sudah beranjak SMA. Foto itu diambil beberapa saat setelah upacara penerimaan siswa baru.

Terlihat gadis manis bersurai merah jambu merangkul erat pundak pemuda jangkung di sebelahnya. Ekspresi bahagianya tidak tanggung-tanggung, berbanding terbalik dengan raut wajah pemuda itu yang kelihatan sekali terganggungnya.

Aomine terkekeh kala mengingat kejadian itu. Ia juga mengingat saat-saat dimana semua orang mempertanyakan hubungannya dengan gadis itu. Bahkan beberapa ada yang seenaknya memberi sebutan Aomine-nya Momoi atau Momoi-nya Aomine. Berlusin-lusin pria dan wanita yang menyukai kedua insan itu juga lebih memilih untuk menyerah. Lantaran mereka semua sudah berikrar, kalau Aomine hanya untuk Momoi dan Momoi hanya untuk Aomine.

Sungguh ironis.

Aomine sangat mengerti dirinya dan gadis itu sudah mati rasa, begitupun Momoi. Tidak ada sama sekali pikiran dan niatan untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekadar teman. Keduanya sadar, mereka sudah terlampau nyaman dengan posisi seperti ini.

Helaan nafas penuh kemuraman lolos dari bibir Aomine. Ia mengelus wajah gadis itu dengan ibu jarinya. Darahnya berdesir. Rasa nyeri di dadanya datang lagi. Kali ini lebih menyakitkan. Setiap mengingat kejadian tadi sore dan membayangkan untuk kedepannya, rasa nyeri itu semakin hebat rasanya.

Aomine mengerang. Sudah tak terhitung pertanyaan apa dan kenapa yang terlontar darinya untuk dirinya sendiri.

Namun, ia lebih memilih untuk tidak tahu dan tidak mau tahu.

.

.


Bersambung


A/N:

terlalu banyak yang bisa di-ship di kurobas sampe bingung mau nulis pairing siapa dulu, jadilah saya pilih AoMomo sebagai starter (?) niatnya cuma mau bikin oneshot tapi ternyata kepanjangan #MEWEK

ini fanfic senang-senang yang minim konflik. saya cuma pengen liat tim Touou rada warasan, ngebanyakin momen fluff AoMomo, nunjukin kedeketannya Kiseki no Sedai, sama Momoi punya temen deket cewek. udah gitu aja "Orz

btw, selamat UAS dan selamat menikmati hari libur, minnacchi! :3

akhir kata, semoga bisa dinikmati "Orz

Love,

Shārī