Jihoon terdiam ketika telinganya mendengar suara berisik yang berasal dari pintu depan rumahnya. Jihoon berdiri dari duduknya, melangkah ke pintu dan membukanya pelan-pelan. Nafas Jihoon tercekat begitu melihat pemandangan di hadapannya.

"WOOJIN-AH!"

.

.

Love Me, Please!

Park Woojin X Park Jihoon

2Park

With

Lai Guanlin X Bae Jinyoung

PanDeep

Slight

GuanHoon/PanWink

.

.

Jihoon menuntun Woojin agar duduk di sofa yang tadi ia duduki. Sementara dirinya, sudah berlari ke dapur untuk mengambil air hangat dan kotak obat-obatan.

Setelah semuanya ada di meja, Jihoon lantas duduk di samping Woojin. Memandangi wajah teman sekelasnya yang nampak babak belur itu. Jihoon mengambil kapas dan membubuhinya dengan alkohol. Setelahnya, Jihoon mulai membersihkan wajah Woojin yang penuh akan luka.

"Akhh!" Woojin meringis pelan ketika rasa perih teramat terasa di bibirnya. Jihoon yang melihat itu menggigit bibirnya sendiri, ia menjauhkan tangannya beberapa saat sebelum kembali mengulurkannya. Mencoba kembali mengobati luka yang ada di wajah Woojin.

Jihoon tidak tahu apa yang sudah terjadi pada teman sekelasnya itu. Hanya saja, dia merasa heran. Jihoon tidak begitu dekat dengan Woojin memang, hanya mendengar dari beberapa orang jika Woojin itu anak yang baik. Tidak suka mencari masalah dan anak yang ramah pada orang lain. Tapi melihat Woojin seperti ini, Jihoon merasa jika semua perkataan orang-orang tentang Woojin tidak sepenuhnya benar.

Tentu saja! Mana ada seorang pelajar yang masih berkeliaran di luar rumah saat malam sudah larut, apalagi esok harinya masih sekolah? Kecuali, jika anak itu adalah seorang anak yang nakal. Dan setahu Jihoon pula, rumah Woojin itu tidak dekat sini. Karena setahu Jihoon, rumah Woojin berbeda arah dari rumahnya.

Jihoon mengambil obat merah sekarang, ia kembali membubuhkan obat merah itu pada kapas baru yang ia ambil. Setelahnya, Jihoon mengambil plester dan menempelkannya pada luka yang ada di dahi Woojin.

Jihoon terdiam sesaat ketika matanya mengamati wajah Woojin. Wajah Woojin terlihat tampan, apalagi dengan gigi gingsulnya membuat Jihoon terkadang lupa jika dirinya sudah memiliki kekasih. Ah bicara tentang kekasih, Jihoon jadi kesal sendiri.

Jihoon merapihkan obat-obatan yang berada di atas meja pada tempatnya kembali. Ekor matanya melirik pada Woojin yang tengah memejamkan matanya. Jihoon tidak tahu, apakah Woojin tertidur atau hanya memejamkan matanya saja.

"Terimakasih."

Jihoon menghentikan kegiatannya ketika mendengar suara Woojin. Jihoon menolehkan kepalanya dan matanya bertemu langsung dengan mata Woojin yang menatapnya dalam. Jihoon menelan ludahnya gugup seketika.

"Sa-sama-sama."

Jihoon kembali melanjutkan kegiatannya, namun ekor matanya melirik pada Woojin yang kini menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Jihoon berdeham, mencoba menarik perhatian Woojin dan nampaknya berhasil.

"Apa yang terjadi padamu sebenarnya?" Jihoon bertanya setelah menyelesaikan pekerjaannya. Ia menaruh kotak P3K miliknya di atas meja. Jihoon pun duduk menghadap ke Woojin.

Woojin menarik sudut bibirnya sedikit untuk membentuk senyuman kecil. "Hanya memberi pelajaran pada orang yang sudah menyakiti seseorang yang ku sayang." Katanya dan menatap Jihoon dengan pandangan yang sulit untuk Jihoon mengerti.

Jihoon berdeham dan mengalihkan pandangannya. Ia tak mau jika lama-lama menatap Woojin, karena ia merasa ada yang aneh dengan dirinya saat mendengar ucapan dan tatapan Woojin kepadanya. Jihoon tak tahu perasaan apa yang hinggap di hatinya sekarang.

"Ah ya begitukah? Ini sudah larut, lebih baik kau menginap di sini saja. Besok pagi kita bisa berangkat bersama, kau bisa memakai seragamku besok." Jihoon berujar gugup, dan matanya menatap ke sekeliling ruang tamunya.

"Apa itu tidak merepotkan?" Tanya Woojin sangsi.

"Sama sekali tidak." Jihoon menjawab dengan cepat, begitu pula dengan matanya yang kembali menatap Woojin.

Woojin tersenyum, menampilkan gingsulnya dan berkata, "Baiklah, aku akan menginap di sini. Dan besok aku akan meminta Hyungseob untuk membawakan tasku dari rumah."

Jihoon mengangguk singkat, "Kau bisa memakai kam—"

"Tidak usah, aku bisa tidur di sini." Woojin memotong kalimat Jihoon cepat.

Jihoon mendelik tak suka melihatnya. "Kau tamuku, sudah seharusnya kau tidur di kamar tamu, bukan di sofa." Jihoon berucap tajam yang dibalas senyuman oleh Woojin.

"Aku tamu tak diundang, sudah sepantasnya aku tidur di sofa. Bahkan mungkin seharusnya aku tidur di lantai atau jalanan saja malam ini."

Jihoon mendengus, ia lantas berdiri dan membawa kotak obat-obatan bersamanya. "Terserahmu saja." Katanya dan pergi menuju dapur.

Meninggalkan Woojin yang hanya terkekeh seraya menahan perih di wajahnya, saat melihat tingkah Jihoon yang terlihat lucu di matanya.

Jihoon bergegas kembali ke kamarnya dan mencoba tidak mempedulikan tatapan Woojin yang mengarah padanya. Jihoon menaiki tangga di rumahnya dengan cepat dan tak menoleh sedetikpun pada Woojin. Sampai di kamarnya, Jihoon membuka lemari pakaiannya dan mengambil selimut tambahan miliknya. Ia lalu kembali keluar dan melihat ke arah Woojin, ia menemukan teman sekelasnya sudah berbaring dan memejamkan matanya di atas sofa.

Jihoon melangkah mendekati Woojin dan menyampirkan selimut yang dibawanya ke tubuh Woojin. Jihoon lagi-lagi memperhatikan wajah Woojin untuk yang kesekian kalinya.

"Terimakasih dan maaf merepotkanmu."

Jihoon berjengit mendengar suara Woojin. Meski Woojin tidak membuka matanya, ia tahu jika Woojin belum sepenuhnya masuk ke alam mimpi. Jihoon tersenyum kecil, ia membelai rambut Woojin sebentar sebelum tersadar dari apa yang dilakukannya. Tidak! Seharusnya ia tidak melakukan ini. Jihoon pun kembali berlari meninggalkan Woojin yang kini tertawa senang di dalam hatinya.

"Manisnya Jihoon-ieku."

.

.

Dan seperti apa yang dikatakan Jihoon semalam, pagi ini Jihoon dan Woojin berangkat bersama ke sekolah. Jihoon sudah siap dengan seragamnya begitupula dengan Woojin. Keduanya kini tengah berdiri di halte dekat rumah Jihoon. Woojin melirik Jihoon yang tengah sibuk bermain dengan ponselnya.

"Kau tidak berangkat bersama Guanlin?" Tanya Woojin. Wajar, karena Guanlin memang adalah kekasih Jihoon. Memikirkan hal itu, entah kenapa hati Woojin merasa sakit.

"Kami tidak pernah berangkat bersama, paling cuma pulang saja." Jawab Jihoon tanpa mengalihkan pandangannya.

"Kenapa?" Woojin kembali bertanya dengan nada yang—jika Jihoon tak salah menafsirkan—datar.

Jihoon menghela nafasnya dan kembali menjawab, "Aku juga tak tahu. Tapi Guanlin memang selalu tak bisa jika berangkat sekolah bersamaku. Itu katanya diawal kami jadian, dan aku maklumi saja."

Woojin terlihat menahan emosinya, ia mengepalkan tangannya untuk meredakan emosinya dan tiba-tiba saja terkumpul di dalam hatinya.

'Kau bodoh atau apa Park Jihoon? Guanlin itu selingkuh! Guanlin mengkhianatimu!' Woojin hanya bisa meneriakan kata-kata itu di dalam hatinya. Woojin belum siap jika melihat Jihoon menangis karena lelaki kurang ajar itu. Setidaknya, Woojin harus membuat Jihoon jatuh cinta dulu padanya. Baru ia akan menceritakan semuanya.

"Woojin! Ayo!" Woojin tersadar dari lamunannya ketika Jihoon menarik tangannya. Woojin mengikuti langkah Jihoon yang menariknya memasuki bus. Woojin tersenyum, ia berjanji ia tak akan melepaskan genggaman tangan Jihoon. Suatu hari nanti.

.

.

Keduanya sampai di sekolah sepuluh menit kemudian. Woojin lantas menghampiri Hyungseob yang sudah menunggunya di gerbang sekolah.

"Ini!" Hyungseob dengan kesal menyodorkan tas milik Woojin ke depan wajah sang empunya. Woojin hanya terkekeh dan bergumam 'Terimakasih'.

Ekor mata Woojin melihat ke arah belakangnya untuk melihat Jihoon. Dan ia menemukan Jihoon sudah bersama Guanlin. Jihoon terlihat sangat khawatir melihat wajah Guanlin yang terlihat babak belur.

Woojin mengepalkan tangannya, 'Tidakkah yang semalam cukup?' bisiknya pada diri sendiri.

Dan Woojin juga sempat melihat, pemuda di belakang Guanlin, melepaskan tangan yang digenggam Guanlin dengan wajah datarnya. Itu Bae Jinyoung. Yang Woojin ketahui sebagai kekasih Lai Guanlin, sejak satu tahun lalu.

Lai Guanlin memang brengsek.

.

.

TBC / END

A/N :

1.) Ini hadiah lain untuk kalian, para 2Park serta PanDeep shipper dariku. (Meskipun di chap ini PanDeepnya belum keliatan)

2.) Awalnya mau dibikin oneshot, tapi aku terlalu suka sama jalan ceritanya, jadi aku jadiin chapter. (Panda gila emang)

3.) So, menurut kalian gimana? Harus dilanjutkah?

09 Januari 2018

Panda