Naruto always belong to Masashi Kishimoto
Story : Sherry Hani
Rated : M (no lemon inside)
Warning : OOC, banyak kata-kata kasar didalamnya, don't like, don't read
.
.
.
"Woooy, bangun! Wake up nyet!"
Suara sumbang sahabatku – Ino menggema diseisi kamar, aku hanya menggeliat, menggumam sesuatu yang tak jelas, kemudian tertidur lagi. Dengan gemas Ino menyibak gorden serta membuka jendela kaca kamarku dengan keras hingga menyebabkan suara berisik. Aku terganggu dengan silau yang menerpa mataku.
"Omaygaaaat nyet! Jadwal kuliah kita nanti siang," omelku seraya mengucek mataku yang panas. Sekarang masih terlalu pagi untuk melihat dunia, dan belum lagi aku dapat jatah tidur baru dua jam. Aku duduk, memegangi kepalaku yang serasa berputar.
Aku memanggil Ino dengan sebutan Onyet, Kampret, dan panggilan absurd lainnya, begitupun sebaliknya, kami terbiasa menggunakan nama-nama panggilan itu dari awal kuliah, dan sekarang kami sudah menjalani semester ketiga perkuliahan. Oh ya, for your information, kami berada dijurusan Bahasa Inggris. Sebuah jurusan bergengsi menurutku, apalagi kalau kita bisa memakai Bahasa Inggris dengan lancar di kampus yang nota bene para mahasiswanya kebanyakan hanya mengejar gelar bukan ilmunya.
"Iyaaaa I know, tapi sekarang kamu harus bangun, bantuin aku doooong," dia menendang kakiku membuatku merasa terhina
"Ya Tuhan, Onyet! Tak bisakah kau menyentuhku dengan tanganmu yang luar biasa sempurna itu?"
"Gak! Tubuhmu sudah kotor oleh sentuhan pacarmu si Naruto baka."
Sebuah bantal melayang mulus diwajah Ino
"Anjrit!" dia melemparkan bantalku jijik, "jorok ih, mana ada bekas ilernya lagi!" Ino histeris seraya begidik berlebihan.
"Aku berani taruhan, dengan sikapmu yang seperti itu kau tak akan mampu mempertahankan keperawananmu lebih lama lagi." Aku menanggapi omelannya dengan judes seraya bangkit berdiri, membereskan tempat tidur sekenanya dan mengikuti Ino ke kamar sebelah – kamarnya.
Kami tinggal di kost-kostan, sebuah kost khusus putri yang bernama Kost Putri Melati, namun salah satu teman kami yang bernama Tenten lebih suka menyebutnya sebagai Kost Putri Keparat. Dikarenakan bentuknya yang lebih mirip bangsal rumah sakit dibanding kost-kostan. Kamar kost kami dibuat sedemikin rupa efisien, efisien menghasilkan uang sebanyak-banyaknya bagi yang empunya kost. Kost ini mempunyai 17 buah kamar, 1 buah dapur, 1 buah kamar mandi dan 1 buah toilet yang harus dipakai bersama-sama. Bisa dibayangkan bagaimana panjangnya antrian mandi kalau pagi hari menjelang kuliah, untungnya hari ini aku kuliah siang, jadinya aku terhindar dari antri-mengantri. Kamar kami yang 17 buah dibuat berbanjar dan berhadap-hadapan, begitu sangat mirip bangsal rumah sakit dan efeknya luar biasa menyeramkan dimalam hari. Kost ini memiliki dua lantai, sedang aku dan Ino tinggal di lantai atas.
"Jadi, aku harus apa?"
Aku berdiri berkacak pinggang saat sudah berada di kamar Ino. Mengedarkan pandanganku kesekeliling, kamar ini luar biasa girly, boneka dimana-mana, tempelan foto, jam weker disamping tempat tidur, dan disampingnya terdapat kotak pensil dimana berisi pulpen warna warni.
Ino nyengir, "bantuin aku ngepak barang, 'kan kita mau liburan ke Suna."
Aku menepuk jidatku tak percaya dengan otak ajaib sahabatku ini, "Omaygaaaaaat Inoooo! Itu masih 3 hari lagi dan kamu mau mengepak barangmu sekarang? Minta bantuanku pula? Memangnya kamu mau pindahan kesana?" Aku yakin suaraku meninggi beberapa oktaf
"Iya sih, tapi aku ingin menyiapkannya sekarang, please bantuin aku ya," dia menggenggam tanganku dan menyerangku dengan puppy eyesnya, itu menjijikkan.
Aku mendorong wajahnya dengan tanganku, "iya iya aku bantuin."
Barang-barang yang dibawa Ino hanya berupa baju beberapa potong, celana panjang, jaket dan hal remeh-temeh lainnya. Dia yang bagian melipat baju sedang aku yang memasukkannya kedalam tas ransel.
"Kamu sudah belajar untuk presentasi hari ini?" Celetuk Ino saat pekerjaan kami hampir selesai.
Aku menggeleng lemah, mataku masih panas dan kepalaku berputar, "aku kurang tidur semalam."
Dia menatapku prihatin, "matamu bengkak, ada masalah?"
Aku mendesah, "a lot."
"Pasti gara-gara Naruto," tebak Ino, dan tebakan Ino jarang sekali meleset.
Aku tak menjawab, namun Ino tahu kalau itu artinya iya.
"Ada masalah apalagi kali ini?"
Mendengar pertanyaan itu membuat aku mau tak mau mengingat lagi insiden kemarin, pertengkaran kami, mataku kembali memanas, dan air mata yang semalaman habis tertumpah jatuh lagi tanpa diminta. Aku sesunggukan, Ino panik seraya menyerahkan kotak tissue padaku. Dia menepuk-nepuk pundakku berusaha menenangkanku.
"Aku ... aku ..."
Aku susah sekali menyusun kalimat disaat menangis hebat seperti ini, aku mencoba menenangkan diriku, menghapus air mataku, membuang ingusku, dan Ino sedikit berjengit jijik hingga mau tak mau aku tertawa kecil
"Ih, jorok kampret," umpatnya.
Aku melemparkan bekas tissueku kearahnya hingga mengenai tangannya, dia reflek menghindar, "wuaaaanjriiiit!" Ino gelagapan seraya mencoba menjauhkan tissue itu dengan ujung kukunya seolah-olah itu adalah benda beracun hingga mau tak mau membuatku tertawa keras.
Ino mengerutkan dahi, "kamu ini mau nangis apa mau ngampretin aku sih?"
"Ehehe."
Kerutan di dahi Ino memudar, "ya udah, cerita ada masalah apa."
Aku sudah agak sedikit tenang sekarang, "Naruto smsan sama mantannya."
Dahinya mengkerut, sedikit heran karena menurutnya itu masih hal yang wajar, "terus apa masalahnya?"
"Sebenarnya bukan masalah yang serius kalau hanya sekedar smsan biasa..."
"Jadi ini sms luar biasa?" Ino menginterupsiku
"Ya Tuhan Ino, bisakah kau tutup mulut keparatmu itu untuk sementara waktu?"
Ino kembali nyengir. Aku melanjutkan
"Isi smsnya jorok."
"Jorok?" Alis Ino terangkat sebelah tanda penasaran, "maksudnya?"
"Yaaaah, you know, something like..." tanganku berputar-putar diudara mencari kata-kata yang tepat, "sesuatu yang tidak semestinya."
Ino ternganga, "I don't get it, seriously. Coba deh ceritain lebih spesifik." Dia mencondongkan badannya kearahku dan mencoba mencerna perkataanku dan menyaringnya diotak Ino yang luar biasa ajaib itu.
"Mereka bersmsan membahas tentang ..." aku menaik turunkan tanganku disekitar paha dan dadaku, mencoba memberi isyarat pada Ino.
"Wow," Ino terlihat tak percaya, "siapa yang mulai?"
"Mantannya."
"Bagaimana isi smsnya?" Ino terlihat tertarik dengan pembahasan ini, "mungkin bisa kugunakan untuk mengsms mantan pacarku, kudengar-dengar dia sudah dapat pacar baru sekarang."
"Kau bukan pelacur murahan 'kan?" tanyaku datar
Ino histeris, "ya bukanlah, Nyet!" Dia melemparkan kotak tissue padaku, "memangnya isi smsnya seperti apa?"
"Wastagah, kira-kira dong kalau mau lempar sesuatu!" protesku tak terima, "aku tak ingin otakku menjadi ajaib sepertimu." Aku bersungut-sungut seraya mengusap jidatku yang nyut-nyutan
Ino nyengir tanpa merasa bersalah, "ehehe, terus?"
Aku mendengus, tetapi tetap melanjutkan ceritaku, "dia mengatakan kalau dia lagi terangsang berat dan ..." aku menunjuk disekitar pahaku, "lagi butuh belaian si Naruto."
"Whaaaaaaaatttt?" Mata Ino mendelik tak percaya, "wah, parah nih cewek, terus? Balasan si pacar sialan kamu itu gimana?"
"Ya, dia memang sialan," ucapku menyetujui, "saking sialannya dia malah merespon sms sialan itu dengan cara yang tak kalah sialan pula."
"Seperti?"
"Yaaa, pokoknya bisa dikatakan kalau dia sama this fuckin' girl having a sex by message. Do you get it?"
"Omaygaaaaat," Ino menggelengkan kepalanya tak percaya
"Itulah masalahnya, pantas saja kemarin dia tak mau menyerahkan hpnya padaku, ternyata isi smsnya seperti itu, mana kulihat mereka sering telponan lagi."
"Terus bagaimana ceritanya kamu bisa mengecek isi smsnya?"
"Ya diem-diemlah, Onyeeeet." Jawabku gemas, heran dengan otak ajaibnya yang susah ditebak.
"Terus reaksi kamu gimana pas tau sms mereka yang tak senonoh itu?"
"Aku marah pastinya, pas aku tanyain dia cuman bilang kalau sms itu hanya bercanda."
"Kadang aku tak mengerti jalan berpikir anak kampret itu."
"Yeaaah, so do I."
Seakan tersengat sesuatu Ino tiba-tiba tersentak dan mendekatiku, "jangan-jangan mereka pernah melakukannya."
"Seks?"
Ino mengangguk
Aku tertawa datar, "tak mungkinlaaaah, dia masih perjaka waktu masih bersamaku."
"Dari mana kamu bisa yakin sih?" dia terlihat gemas, "kamu itu cewek, kampret. Kalau cewek bisa ketahuan virgin atau nggaknya, lah Naruto kan cowok, bisa dilihat dari mana letak keperjakaannya?"
Aku mengangkat bahu, "entahlah, tapi aku yakin kok, pas kami pertama melakukannya dia amat sangat polos dan tak berpengalaman."
Ino menepuk jidat, "omaygaaaat, hal itu kamu jadikan pegangan? Bisa aja 'kan itu hanya sekedar kamuflase? Dia menunjukkan seolah-olah dia masih perjaka, sedang kamu tak bisa memungkiri kalau kamu sudah tak perawan saat bersamanya."
Kata-kata Ino benar-benar menohokku, "damn you!"
Aku malas melanjutkan perbincangan ini lagi, jadi aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan melanjutkan tidurku, kepalaku masih berdenyut dan mataku luar biasa panas, aku butuh ekstra istirahat.
.
.
.
"Banguuuuuuuun!"
Suara sumbang Ino memasuki indera pendengaranku—lagi, kepalaku kembali dilanda pusing setelah bangun tidur, namun berita baiknya mataku sudah tak terasa panas lagi.
"Mandi buruan!" Ino berkacak pinggang dan berdiri menjulang dihadapanku, dia sudah berpakaian rapi, sebuah baju hem tangan pendek kotak-kotak berwarna coklat dipadukan jeans ketat biru, rambut panjangnya dikuncir kuda, tak lupa tas ransel garis-garis sudah tersampir dipundaknya.
Aku menggeliat tak nyaman, "kamu sudah makan?" aku mencoba mengumpulkan nyawaku yang terasa berserakan dimana-mana
"Belum, ntar aja makan di kampus, buruan mandi kampret!" dia berteriak gemas seraya mengambil handuk yang tergantung disamping pintu dan melemparkannya padaku.
Aku mendelik marah, namun dia tak peduli."Aku tunggu dikamar Shino," dia langsung keluar dan kebawah, menuju kamar Shino, teman sekelas kami di kampus.
Aku melirik jam dindingku, setengah jam lagi sebelum presentasi dimulai, ya Tuhan, aku belum belajar sama sekali.
.
.
.
Sekarang disinilah aku, duduk gelisah seraya mencoba memahami materi yang akan kami bawakan hari ini, sebuah makalah dengan judul besar di bold dengan tulisan Past Future Perfect Continous Tense serta dibawahnya tertera tulisan Written and Arranged by Haruno Sakura and Yamanaka Ino, aku meringis tatkala membacanya, merasa bersalah karena Inolah yang mengerjakan makalah ini, sedang aku bermelow-melow ria dikamar tak membantunya sama sekali
Kelas sudah hampir penuh oleh para mahasiswa, suasana semakin ribut hingga membuyarkan konsentrasiku, aku mencoba menghiraukan berbagai suara disekitarku dan memfokuskan diri dengan materi. Mencoba mengerti maknanya, rumus-rumusnya, penggunanaan waktunya, blablabla blablabla, dan berbagai hal remeh-temeh lainnya, namun semakin lama kelas kami semakin ribut dikarenakan para mahasiswa yang semakin banyak berdatangan, aku menutup telingaku dan mencoba berkonsentrasi lagi, namun suara keributan ini bagaikan menusuk-nusuk gendang telingaku.
Aku menutup makalahku dengan kasar hingga beberapa orang disebelahku terkejut, "I'm giving up," aku mengangkat kedua tanganku, aku melirik kesamping dimana Ino tengah duduk manis menunggu kedatangan sang dosen, dia terlihat tenang, mungkin dia sudah belajar.
Aku berdehem mencoba menarik perhatiannya, dia memutar matanya , berhasil!
"Listen, I'm sorry for not helping you in making this paper," aku menunjuk makalah yang tengah kupegang.
Ino mengangkat kedua bahunya, "never mind."
"Jadi, ntar aku cuman bagian opening sama closingnya aja ya, kamu yang bagian materi sama sesi tanya jawab," aku nyengir kemudian menangkupkan kedua tanganku bergaya memohon
Ino mendengus kecil, "oke, tapi sebagai gantinya kamu traktir aku makan."
Aku tersenyum manis, "kalau itu gampang." Aku mengacungkan jempolku kearah Ino, tapi wajahku langsung berubah masam tatkala aku melihat seorang pria memakai baju kaos hijau tangan pendek, celana jeans hitam dan mempunyai senyum paling menawan memasuki kelas. Dan sialnya pria itu langsung duduk persis disebelahku.
"Hai," sapanya ramah, suaranya renyah seperti biasa, mengindikasikan bahwa dia tak merasa bersalah atas apa yang terjadi kemarin, membuatku semakin merasa kesal
Aku mendengus seraya membuang muka, menurutku itu adalah kesalahannya yang paling tak bisa ditolerir dan tak bisa diterima. Kenapa bisa-bisanya dia memasang tampang cute dan tak merasa bersalah seperti itu?
"Siap untuk presentasi hari ini?"
Aku tetap tak bergeming, entah kenapa menatap papan tulis didepanku jauh lebih menarik ketimbang melihat cowok cute yang sayangnya menjabat sebagai pacarku tersebut.
Merasa tak ada tanggapan dia kemudian menyapa Ino, "hai sayang, gimana kabarnya?"
Ino tersenyum semanis-manisnya kepada Naruto, "ooooh, sangat baik dong sayang," dia menggenit-genitkan suaranya membuat Naruto tertawa kecil, perutku bergejolak tatkala mendengar suara tawanya, ingin rasanya aku menerjang dan menyerangnya saat ini juga. Bibirnya terasa amat sangat manis dan aku suka itu. Tapi sayangnya aku sekarang sedang dalam mode ngambek, jadi aku harus menjaga imageku ketimbang memenuhi keingininan liarku, belum lagi posisiku sekarang lagi dikampus yang notabene dipenuhi para mahasiswa. Oke, jaga sikap Sakura, jaga sikap. Aku menasehati diriku sendiri.
Sebenarnya Naruto dan Ino memang terbiasa seperti itu, namun aku tak mempermasalahkannya, bahkan tak ada rasa percikan cemburu sedikitpun saat mereka mesra seperti itu. Bahkan teman-teman kami dikampus sering berkata kalau aku dan Ino adalah para istri Naruto, biasanya kami hanya tertawa dan mengabaikannnya. Namun lain cerita kalau dia bersms-an dengan mantan yang nota bene pernah menjalin hubungan perasaan, pernah ini, pernah itu, pernah blablabla blablabla, belum lagi mereka tengah bercumbu walaupun via sms. Aku semakin menegang kala mengingat hal itu. Sialan!
Tak lama kemudian dosen kami datang, seorang ibu muda berkacamata yang baik hati, namanya Ibu Tsunade, beliau mengajar Grammar di kampus.
"Good morning," suara halus Bu Tsunade menyapa kami
"Morniiiiiiiiing." Koor kami serempak
"Sakura, are you ready?" dikelas kami yang lumayan besar dan diantara jumlah mahasiswa yang lumayan banyak ibu Tsunade mengenalku, karena aku merupakan salah satu mahasiswi yang cukup aktif, jadi beliau bisa mengingatku dan menghapal namaku. Sebuah prestasi luar biasa menurutku.
Aku mengangguk mantap, "yes, ma'am" padahal aku tak siap sama sekali
Ibu Tsunade tersenyum, "well, class is yours."
Aku dan Ino berdiri kedepan kelas, kami menyebarkan inti materi kami kepada teman-teman dan aku memulai presentasi kami disiang hari ini.
.
.
.
"Pembawaan kamu pas opening dan closing bagus banget," celetuk Naruto padaku membuat aku melayang atas pujiannya, namun aku menutupinya dengan wajah dinginku, "sedang materi kamu memusingkan."
Ino mendelik tak setuju, "say one word and I'll kill you!" kecamnya.
Naruto hanya tertawa pelan sembari kembali berkonsentrasi dengan baksonya.
Sekarang kami bertiga tengah makan diwarung samping kampus, sementara Ino dan Naruto makan bakso, aku lebih memilih mie ayam. Entah kenapa aku tak berselera dengan bakso, kecuali pentolnya yang lumayan besar.
Aku mencomot pentol Naruto dan memindahkannya kemangkukku, dia melihatnya namun tak bereaksi
Sebuah suapan besar dan pentol itu raib kedalam mulutku, mataku mulai jelalatan dengan mangkuk Naruto, mencoba mencomot beberapa buah lagi.
"Ambil satu lagi pertanda kita sudah baikan."
Sebuah ancaman yang mampu membuat niat jahatku terhenti. Sialan! Aku merutukinya didalam hati sedang dia tersenyum penuh kemenangan.
Tatapan matanya berubah serius, "pulang dari kampus aku mau bicara."
"Bicara apa?" Wow, suaraku lebih ketus dari perkiraanku
"Ayolah, jangan kekanak-kanakan sayang."
Dahiku mengkerut, tak setuju dianggap kekanak-kanakan, aku memang berhak marah, marah terhadap perempuan yang jelas-jelas hanya menjabat sebagai masa lalu pacarku dan bersms ria tak senonoh dengan pacarku tanpa ada perasaan malu sedikitpun, dan aku juga marah terhadap pacarku yang dengan bodohnya malah meladeni ketidaksenonohan itu dengan hal yang tak senonoh pula. How damn it! Right?
Aku melirik Ino minta pendapat, sedang dia hanya mengangkat bahu, "up to you, kalau kamu ingin masalahnya cepat selesai yaaaa ngomong aja, face to face, heart to heart, and body by body."
Aku menoyor jidatnya, "don't be stupid!"
Sedang dia hanya tertawa.
.
.
.
Sekarang aku tengah duduk di kamar Naruto, dia tinggal di kontrakan bersama beberapa temannya, namun dikarenakan tiga hari lagi libur semester semua teman serumahnya memutuskan untuk berlibur terlebih dahulu, meninggalkan kontrakan dan pulang ke rumah orang tuanya. Sedang Naruto lebih memilih untuk stay karena pas liburan kami diajak Ino jalan-jalan ke Suna, ketempat sepupunya, Suna adalah tempat yang belum pernah kami datangi, jadi kami sangat antusias untuk pergi kesana.
Kamar Naruto sangat luas, sebuah lemari berhiaskan FC Real Madrid terletak disudut kamar, sebuah cermin besar dan tempelan-tempelan bola diseberangnya, sangat cowok sekali. Aku sendirian dikamar ini dikarenakan Naruto tengah berbelanja cemilan diwarung sebelah. Bisa kudengar cekikikan si gadis warung saat bercanda dengan Naruto. Omaygaat, tak bisakah dalam sehari saja dia tak usah tebar pesona sama cewek-cewek? Aku melipat tanganku kesal
"Hai," Naruto sudah kembali, dia membawa sebungkus makanan ringan dan minuman dingin
"Asik sekali ya godain cewek sebelah," sindirku sinis, aku bersedekap dada seraya membuang muka
"Ya Tuhan, Sakura. Kamu cemburu?" dia berusaha menahan tawanya.
Astaga Naruto? Apakah ini lucu menurutmu? Aku ingin meledak, memarahinya, mendampratnya, namun aku lebih memilih untuk diam dan membuang muka.
"Ciyeeeeee cemburu," dia mencolek daguku sedang aku berusaha menghindar, dia terus-terusan mencolek daguku seraya menggodaku, dia terus tertawa kecil dan cekikikan, dan pertahanankupun goyah, sebenarnya separuh hatiku ingin sekali tertawa, bagaimana bisa aku lama-lama marah dengan pacarku ini?
"Kamu imut tau kalau lagi cemburu kaya gini," dia tersenyum manis seraya bersandar dilututku yang tengah kutekuk, "jadi pengen ku makan," dia menjilat bibir bawahnya dengan menggoda, membuatku berhasrat. Sialan! Fokus Sakura! Kamu lagi ngambek!
"Well, aku minta maaf soal masalah kemarin."
Nah, dia mulai serius
"Aku tau aku sudah keterlaluan, dan aku berjanji takkan mengulanginya lagi."
Aku menatap matanya, dan dia terlihat bersungguh-sungguh
"Aku mencintaimu, kau tau itu kan?"
Sebuah pengakuan cinta yang membuat hatiku meleleh, dia sering mengatakan betapa dia mencintaiku, namun aku tak pernah bosan mendengarnya. Aku membelai rambutnya yang tengah bersandar dilututku, mengirimkan sinyal sayangku lewat sentuhan jari-jariku, sebuah tanda kalau kami sudah berdamai.
Tiba-tiba aku teringat perkataan Ino tadi pagi, benarkah mereka pernah melakukannya? Aku ingin bertanya, tapi ragu-ragu. Apakah pertanyaanku ini akan menyinggung perasaanya? Mataku bergerak-gerak gelisah.
Seperti menangkap kegelisahanku dia langsung menggenggam tanganku, "sayang, ada apa?"
"Emmmmmm," ya Tuhan, betapa susahnya menanyakan hal ini. "Aku ingin bertanya sesuatu tapi please jangan marah, ok?"
Naruto terlihat berpikir dan menimbang-nimbang, "emmmmm, ok."
"Apa... kau..." aku balas menggenggam tangannya mencari keberanian untuk bertanya, "pernah... melakukan hal itu dengannya?"
Mulutnya menganga, "apa? Melakukan itu?" tangannya bergerak-gerak diudara membuat isyarat tentang aktivitas yang biasanya kami lakukan.
Aku mengangguk, sedikit takut dan merasa menyesal karena telah mengatakannya.
Tiba-tiba dia tertawa keras, dia menutupi mukanya dengan telapak tangan dan menggeleng tak percaya akan pertanyaan bodohku membuat aku mengerutkan dahi.
"Aku berani bersumpah Sakura, aku baru pertama kali melakukannya dan itu denganmu."
Benarkah? Aku terkejut sekaligus merasa lega. Dan tiba-tiba aku teringat sesuatu, teringat akan dia, teringat akan diriku sendiri. Aku menelan ludahku pahit, astaga, betapa kejamnya aku menanyakan hal itu sedang aku sendiri sudah tak perawan saat bersamanya. Aku mengambil tangannya dan menggenggamnya tulus, "aku minta maaf, tak seharusnya aku menanyakan hal ini padamu."
Dia sudah berhenti tertawa, dan dia balas menggenggam tanganku, "aku mengerti, kau berhak curiga dari sms-sms kami, cuman kamu harus tau satu hal, dia itu sekarang masih SMP, sedang aku pacaran dengannya itu dulu pas dia masih SD."
Mulutku menganga lebar, aku tak percaya, sungguh-sungguh tak percaya akan pengakuannya kali ini, "SD?" aku hampir berteriak saking tak percayanya akan pengakuannya.
"Iya SD kelas 6," dia meyakinkanku, "dan saat itu aku sudah SMA kelas 3, aku tak mungkin bercinta dengan anak SD bukan? Belum lagi kamulah satu-satunya orang yang memporak-porandakan aku disana," dia menunjuk kasur tempat kami bercinta biasanya, membuatku merona. Sialan!
"Jadi, ada yang ingin kamu tanyakan lagi?"
Aku tersenyum mesum, "untuk saat ini tidak," kubuat suaraku seseksi mungkin, "aku ingin memporak-porandakan kamu lagi seperti saat itu." Kemudian aku menerjang kearahnya.
Naruto tertawa kecil, "wow, Sakura liarku sudah kembali," kemudian dia menyambut terjanganku.
.
.
.
"Sex after fight, huh?" komentar Ino saat melihatku tiba di kost, sedang aku hanya tersenyum kecil seraya berusaha memperbaiki rambutku yang luar biasa acak-acakan. Aku tak bisa merapikannya karena di rumah Naruto tak ada sisir.
"Rambutmu menyatakan bahwa kau-baru-habis-bercinta, habis berapa ronde?" Shion ikut berkomentar, sialan! Mereka bisa menjadi duo kampret disaat tak terduga
Aku memutar mataku bosan, "C'mon guys, find boys and have fun, maka kalian akan mengetahui bagaimana rasanya," aku berlalu ke kamar mandi, rasanya tak enak, kulitku terasa lengket oleh keringatku dan Naruto. Mengingat Naruto membuatku merona lagi. Aaaah pacarku yang mempesona dan sialan itu benar-benar menjeratku, hanya dengan membayangkannya saja membuatku bergairah dan ingin melakukannya lagi.
Tenten keluar dari kamar mandi dan bingung melihat ekspresi bodohku, buru-buru aku memasuki kamar mandi dan mengenyahkan segala fikiran kotorku.
.
.
.
Hari sudah malam dan tidak ada tugas dari dosen, aku hanya berbaring-baring di kamar, tak berapa lama kemudian hpku berbunyi
"Hai sayang," suara hangat Naruto terdengar di ujung telepon.
"Hai," aku tersenyum senang
"Aku ada penawaran menarik untukmu."
"Oh ya? Apa itu?" aku mulai tertarik
"Aku akan kesepian tiga hari kedepan karena dirumah tak ada orang."
O-ow, aku bisa menebak kemana arah pembicaraan ini, "tentu saja aku mau." Aku langsung menjawab tanpa bertele-tele
"Keren," Naruto tertawa kecil, "ku jemput kau sekarang, bawa beberapa pakaian, ok?!"
"Ok," dan teleponpun ditutup, dengan segera aku membuka ranselku, membawa beberapa lembar pakaian dan buku, karena tiga hari ini masih ada perkuliahan, jadi tak mungkin selama tiga hari ini aku hanya berada ditempat tidur, memikirkan tempat tidur membuatku meremang, ini akan jadi hari yang menyenangkan.
"Wow wow wow, kamu mau kemana?" Ino menginterupsiku saat dia memasuki kamarku
Aku tersenyum penuh rahasia, "coba tebak?"
"Kamu diusir dari sini karena kerjaanmu hanya bercinta tiap hari?"
Aku mengambil bantalku seraya melemparkannya padanya, tepat mengenai sasaran.
"Onyet sialan!" Dia menyapu hidungnya, "terus kamu mau kemana?"
"Aku akan menginap dirumah Naruto sampai liburan tiba," aku tak bisa menyembunyikan nada riang dari suaraku
Ino menepuk dahinya, "omaygaaaat, temanku sekarang sudah gila." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, "ok, go ahead and have fun, dude." Dia berlalu dan kembali ke kamarnya.
Tak lama kemudian suara motor Naruto terdengar dibawah, dengan keriangan yang meningkat aku berlari turun, aku menghambur padanya saat aku sudah sampai
"Wow, bersemangat sekali sayang, sudah tak sabar, hem?"
Aku tertawa kecil, kusampirkan tas ranselku kepunggungku dan aku naik diboncengan, tepat saat Naruto menghidupkan motornya Shion keluar
"Daaah Shion," godaku seraya melambaikan tanganku padanya, "sampai jumpa tiga hari kedepan."
Shion tak sempat membalas ucapanku karena Naruto sudah melajukan motornya membelah kesunyian komplek kostku. Aku memeluknya erat, dia memegang tanganku sedang sebelah tangannya memegang kemudi
"Are you happy?"
Aku menyandarkan pipiku dipunggungnya, "a lot"
Dan pipiku semakin merona kala kami sudah sampai di rumahnya, it's gonne be the best days ever!
.
.
.
"Sayang, bangun." Naruto menepuk-nepuk kecil pipiku, mau tak mau aku membuka mata dan menggeliat malas. Kulirik dia, sudah wangi dan berpakaian rapi, beberapa tetes air membasahi wajahnya. Dia tersenyum cerah, sungguh menawan, kontras sekali denganku yang rambut acak-acakan khas baru-habis-bercinta-semalaman.
"Kau lelah?" Dia menyeringai. O-ow, aku tau maksudnya
Aku balas menyeringai, "tidak, tidak akan ada kata lelah walaupun harus bekerja lembur sampai pagi."
"Kau menggodaku Nona Haruno?"
Dengan sengaja aku menjilat bibir bawahku, "menurutmu?"
"Aku sangat ingin menerkammu saat ini juga, tapi pagi ini aku harus presentasi." Dia mengambil handuk dan mengeringkan rambutnya yang masih basah
Merasa diabaikan aku semakin menggoda kekasihku tersebut, pelan-pelan kusingkap selimut tebalku keatas melewati kepalaku.
Naruto menghentikan aktifitasnya dan menatapku tak bergerak, selimut semakin naik memperlihatkan kakiku yang jenjang, kemudian paha mulusku, bisa kudengar Naruto menelan ludah, aha! aku semakin menyeringai, kusingkap selimutku hingga terpampanglah tubuhku dihadapan Naruto, saat ini aku hanya memakai celana dalam, tanpa bra. Spontan Naruto melemparkan handuknya dan dengan beringas menerkamku.
"Persetan dengan presentasi!"
Aku tertawa penuh kemenangan.
.
.
.
"Kau membawa dampak buruk bagiku Nona Haruno," dia menggelengkan kepalanya dengan geli.
"Oh ya? Kenapa?" aku suka mendengar dia memanggilku dengan sebutan 'Nona Haruno' sangat seksi. Dia selalu menyebutku dengan nama itu kalau suasana hatinya lagi baik pasca bercinta.
"Kau membuatku lupa akan sekolah."
"Dan aku yakin kau tak akan naik kelas," aku terkikik kemudian melesakkan bibirku kebibirnya. Dia merespon dengan menyelipkan sebelah tangannya dirambutku, dan sebelah lainnya membelai disekitar telinga dan pundakku, aku suka perlakuannya yang seperti itu, membuatku merasa dicintai
"Untungnya kita sudah kuliah, jadi aku tak perlu mengkhawatirkan tinggal kelas," responnya saat ciuman kami terlepas.
"Jadi? Kita benar-benar tak masuk kuliah hari ini?"
Naruto melihat jam dinding, sebuah jam berbentuk hati berwarna biru, bergambarkan kartun Mickey Mouse dan Minnie Mouse yang tengah bergandengan tangan, imut sekali, sebuah hadiah ulang tahun pemberian dariku
"Kita masih ada waktu setengah jam, sekarang cepatlah mandi dan berpakaian," dia memukul pantatku dan tertawa kecil
"Bagaimana dengan kekacauan disini?"
Naruto mengedarkan pandangannya kesekeliling kamar, ruangan ini benar-benar berantakan. Baju, dan semua pakaian dalamku berhamburan dimana-mana, bantal, guling, sprei, semuanya seperti kapal pecah, dan sperma bekas Naruto masih melekat dikasur.
Dia nampak takjub, "baru sehari kamu disini dan kamarku sudah seperti ini? Aku penasaran dengan tiga hari kedepan." Dia tersenyum geli, "jangan khawatir, aku yang akan membereskannya, sekarang cepatlah mandi atau kita akan telat."
Kucium sekilas sudut bibirnya kemudian berlalu kekamar mandi. 5 menit kemudian aku mendengar suara pintu depan terbuka, seseorang masuk ke rumah ini, aku menajamkan pendengaranku mencoba mengenali siapa tamu ini. Dan dia tengah bercakap-cakap dengan Naruto.
"Tumben bangun pagi," sapa orang itu.
"Oh, si Kiba," gumamku, kemudian aku melanjutkan mandiku. Kiba adalah teman Naruto semasa SMA, aku telah mengenalnya dengan baik, begitupun sebaliknya
"Aku ada kuliah pagi."
"Wow, baru habis tempur, heh? Kamar ini bisa menjelaskan semuanya, ditambah noda dikasurmu itu"
Aku merona, sial. Kenapa dia harus datang disaat-saat seperti ini?
Naruto hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaan si Kiba, "kamu mau apa pagi-pagi datang?"
"Ah tidak ada, aku lagi malas di rumah, belum lagi si tante tak bisa diajak keluar, suaminya sudah datang. Aku bosan."
Aku sudah selesai mandi, tapi aku hanya membawa handuk super pendek, dan aku tak mau berbagi paha mulusku untuk si Kiba pencinta tante-tante itu. Sedang baju kuliahku semuanya ada di tas, dan tasku ada di kamar. Mau tak mau aku mengetuk dinding kamar mandi yang bersebelahan langsung dengan kamar.
"Ya? Ada apa Sakura sayang?" Naruto setengah berteriak
"Tolong ambilkan bajuku," aku juga setengah berteriak
3 menit kemudian Naruto mengetuk pintu kamar mandiku, saat kubuka nampak Naruto yang tengah membawa baju, celana jeans, lengkap dengan pakaian dalamku.
"Anak pintar," aku mengambil bajuku dari tangannya, "thanks," aku berjinjit dan kucium jidatnya sekilas dan sedetik kemudian kututup pintu tepat didepan hidungnya.
"Wah, anda sungguh tak sopan Nona Haruno," bisa kurasakan dia tersenyum dibalik pintu ini
"Permintaan maaf malam ini, sir." Aku menyeringai, membayangkan apa yang akan kami lakukan nanti malam, membuat otot-otot disekitar pahaku mengencang. Sial, hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat libidoku naik.
"Well, aku sabar menunggu, Nona Haruno," dan bisa kurasakan dia menyeringai juga.
10 menit kemudian aku selesai berpakaian, aku kembali kekamar dimana sudah ada Kiba dan Naruto – kamar kami sudah rapi, kecuali yang bagian kasur, masih ada noda basah disana.
Seakan bisa membaca pikiranku Naruto berucap, "nanti aku jemur biar bekasnya hilang."
Bibirku naik keatas, "bagus." Mataku beralih ke Kiba, dia tengah berbaring santai dilantai kamar yang keras sembari bermain game, seakan dia tak bermasalah dengan hal itu.
"Naruto, berikan Kiba bantal," tegurku, kemudian Naruto melempar sebuah bantal dan benda persegi itu mendarat persis diatas wajah Kiba. Kiba menerimanya dengan misuh-misuh sementara Naruto hanya tersenyum kecil menampilkan sederet gigi putihnya yang rapi.
"Kau harus belajar untuk lebih lembut Naruto baka!" geram Kiba, kemudian dia beralih padaku, pandangannya melembut, "kau mengingatkanku dengan si tante, dia juga perhatian sama sepertimu." Ada kerinduran yang terdengar disuaranya.
Aku tak tahu siapa nama si tante pacarnya itu, aku heran, kenapa dia lebih suka berpacaran dengan wanita berumur dan sudah bersuami dibandingkan berpacaran dengan wanita muda dan belum menikah?
"Tante-tante lebih berpengalaman, Sakura," dia menjawab isi kepalaku, membuat wajahku memerah karena malu. Hei, apakah kamu cenayang, Kiba?
"Dan kita tak harus takut kalau suatu saat dia hamil," sambungnya.
Aku dan Naruto membeku, sialan! Bagaikan ada tonjolan besar dikerongkonganku hingga aku tak mampu menjawab kata-katanya. Jadi aku memilih untuk menghadap cermin dan menyisir rambut panjangku.
Selama bercermin aku berpikir, Kiba memang benar, memacari wanita bersuami itu lebih efisien, efisien dalam artian kita tak mesti harus takut bertanggung jawab apabila si wanita mendadak hamil. Paling tinggal Kiba dan si tante saja yang harus berhati-hari agar hubungan mereka tak ketahuan si suami. Tak seperti aku, setiap akhir bulan aku dan Naruto harap-harap cemas menanti datangnya menstruasiku, dan tiap akhir bulan pula kami rajin membeli jamu-jamuan pelancar haid, dan apabila aku telat maka kami dengan panik mendatangi apotik untuk membeli alat tes kehamilan, dan mendatangi apotik adalah hal paling memfrustasikan bagi kami, kami takut apabila salah satu pembeli diapotik adalah teman sekampus kami, dan kami juga takut apabila si penjaga apotik mengenal kami apabila kami keseringan membeli benda yang sama ditempat yang sama. Maka demi kenyamanan dan keamanan, kami membeli alat itu ditempat yang berbeda-beda dan berlokasi jauh dari rumah. Sungguh gila, bukan?
"Kita akan telat kalau kamu tak segera menyelesaikan dandanmu."
Aku terkesiap mendengar interupsi Naruto, dan saat kulirik jam, dia benar, waktu kami tinggal lima menit. Aku bergegas mengambil tas selempangku dan berlari keluar memasang sepatuku.
Naruto mengeluarkan motornya, setelah itu aku duduk diboncengan, kulingkarkan tanganku diperutnya, salah satu bagian tubuh favoritku. Kuhirup wangi tubuhnya, hmmm sungguh memabukkan. Membuatku perutku melilit dan tak sabar menanti malam datang.
"Jaga rumahku dengan aman, Kiba."
Kiba berdiri didepan pintu dan mengacungkan jempolnya, "beres, kalau perlu kasur sialan itu akan ku jemur kalau sudah siang." Dia tersenyum mesum memandang Naruto.
Naruto mendengus, "terserah kau saja." Dan motorpun melaju membelah jalanan menuju gedung kampus kami.
.
.
.
To be continued
.
.
.
Story keduaku setelah sekian lama gak update. Well, untuk main pair masih dirahasiakan, cerita masih panjang dan complicatednya akan semakin rumit dichapter depan.
Mind to RnR?
