"Suga?"

"Karena ketika ia tertawa, terlihat sangat manis bagaikan gula."

.

.

.

.

.

.

"Kau bercanda. Aku bahkan belum pernah melihatnya tersenyum sekalipun."

.

.

.

.

Jimin/Yoongi/MalexMale/Chaptered

Enjoy!

.

.

.

.

Hari senin yang selalu lebih sibuk daripada hari-hari yang lain. Hari ini resmi hari ke seratus bagi seorang maniak eyeliner berusia 19 tahun yang memiliki nama lengkap Park Jimin memasuki universitas nasional di pusat kota Seoul. Entah mengapa, semalam ia tak bisa tidur—sekaligus tak ada kerjaan—dan pada akhirnya berakhir dengan menghitung hari semenjak ia menjadi mahasiswa. Penting sekali bukan?

.

.

.

.

.

Jimin baru saja menyelesaikan mata kuliah pertamanya pagi ini. Ia berjalan menyusuri koridor kampus yang tidak begitu ramai namun juga tak sepi dengan earphone melekat di kedua telinganya dan juga dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Ingin segera sampai kafetaria karena ia lapar dan belum sarapan apapun sejak membuka matanya pagi ini.

.

Entah Jimin fokus dengan musik yang didengarnya, langkah terburu-burunya, atau perutnya yang lapar, tetapi ia sungguh tak mengerti. Sangat tidak mengerti kenapa langkahnya tiba-tiba terasa terpaku di lantai keramik ketika kedua matanya menangkap sosok seorang pemuda berparas manis bergulir di atas papan skateboard menuju kearahnya.

Benar kearahnya!

Jimin tak sanggup melewatkan pandangannya untuk berkedip sedikitpun. Yang Jimin lihat, pemuda manis itu tampak berbicara sesuatu—yang sama sekali tak Jimin dengar karena kedua telinganya tersumpal earphone—dengan ekspresi gemas dan melambai-lambaikan sebelah tangannya kearah Jimin.

.

Tiba-tiba saja mp3 player disakunya memutar lagu Man In Love milik Infinite. Seolah tahu situasi dan melatarbelakangi tatapan terpesona Jimin.

.

.

Pemuda manis itu tak bisa memberhentikan papan skateboardnya begitu saja di tengah koridor yang cukup banyak mahasiswa seperti ini, terlebih ia baru saja berbelok dari sudut koridor lain. Alasan lain yang paling penting adalah, ia belum terlalu mahir mengendarai skateboardnya sendiri! Dan kini seorang pemuda berambut hitam malah berdiri dengan elitnya di tengah koridor seperti patung es dan tak menyingkir!

Pemuda manis itu mencoba berpikir, ia tak mungkin mengambil sisi kanan Jimin, karena—hell—ini lantai tiga dan ia tak mungkin untuk terjun mengakhiri hidupnya bukan?

Kalau ia mengambil sisi kiri Jimin? Oh tidak, ada dua mahasiswi disana yang sedang mengobrol membelakanginya. Mereka bahkan tak juga menyadari teriakan pemuda manis itu yang meneriaki Jimin yang terpaku bodoh tepat berada di tengah koridor.

.

Lalu, apa yang harus dia lakukan?!

.

.

Jimin semakin terpaku. Siapakah gerangan pemuda manis itu? Kenapa pemuda itu terus menatapnya? Tidakkah ia tahu bahwa tatapannya itu sedikit membuat Jimin terlena? Dan mengapa waktu terasa—

"Oi minggir! Hey, kau jaket kulit hitam! Menying—"

BRUAAKK.

"Argh."

.

"Kyaaa!"

Kedua mahasiswi yang sedang asyik mengobrol tadi sontak berteriak kaget ketika tiba-tiba nampak peristiwa tabrak lari di koridor tersebut. Dengan takut mereka buru-buru meninggalkan koridor tersebut. Mahasiswa dan mahasiswi lain yang berada satu koridor dengan kejadian naas tersebut hanya menatap sesaat kemudian nampak tak peduli dan kembali dengan kegiatan mereka sebelumnya.

Dan sang korban...

Pemuda manis itu segera bangkit berdiri—dari atas tubuh Jimin yang masih saja terpaku— mencengkeram tembok pembatas koridor dan menatap ke lantai dasar. Dimana skateboard bermotif merah-hitam miliknya telah mendarat dengan sempurna dalam keadaan terpotong menjadi dua bagian. Hancur.

.

Jimin berkedip beberapakali. Earphone-nya entah bagaimana terpental beberapa meter darinya. Ia bangkit dan menepuk pakaiannya yang sedikit kusut dan menghampiri pemuda manis yang baru saja menabrak—ekhem menindihnya—itu.

"Hei, aku Park Jimin. Apa kau baik—"

BUGH.

"Argh." Sekali lagi erangan yang sama terdengar.

Pemuda manis itu meninju dengan cukup keras tepat pada rahang kiri Jimin. Membuat Jimin sedikit tersentak selangkah kebelakang. Sedikit tak menyangka akan di pukul seperti itu. Dan yeah, itu sakit sekali!

"Ow! Ada apa—"

"Min Yoongi-ssi, datanglah ke ruang bimbingan sekarang juga."

Pengumuman dari pengeras suara memenuhi koridor. Jimin mengusap sudut bibirnya yang lebam dengan ujung lengan bajunya.

Pemuda manis tersebut menatap Jimin dengan tatapan tajam. Kedua mata sipit yang terlihat sayu alami itu menyiratkan kilat amarah yang dapat Jimin rasakan dengan jelas.

"Brengsek."

Dan pemuda manis itu berbalik melangkah menjauhi Jimin dengan ransel yang tersampir tak teratur dan langkahnya yang sedikit tertatih. Sepertinya ia sedikit terkilir.

.

Jimin kembali terpaku. Ia mencoba flashback kejadian singkat beberapa detik yang lalu.

Ia disebut brengsek...

Dan sesaat kemudian dia tersadar...

Sesuatu yang menarik perhatiannya adalah suara pemuda itu terdengar berat, seksi, dan cute di saat bersamaan...

Plak.

Tolong tinju Jimin sekali lagi. Sekarang ia mengerti!

Seharusnya tadi ia menyingkir kalau tak ingin kejadian tabrak lari barusan terjadi.

.

Jimin menyentuh pipinya yang berdenyut.

"Sepertinya aku yang salah ya?"

.

.

.

.

"Min Yoongi-ssi, setelah ini aku tak mau menuliskan catatan burukmu lagi." Seorang dosen berkacamata un-frame itu menuliskan sesuatu dalam sebuah buku besar. Ia kemudian menaikkan letak kacamatanya untuk menatap lawan bicara dihadapannya.

Min Yoongi hanya mengangguk mengiyakan dengan malas. Ia berdiri dan membungkuk hormat ketika dosen itu mempersilahkannya untuk pergi.

Yoongi merasa ia cukup menghabiskan banyak waktu hanya karena diceramahi tentang larangan untuk tidak lagi mengendarai skateboard di lingkungan universitas apalagi di koridor karena katanya sudah terbukti membahayakan orang lain.

Lagipula, ia memang tak punya skateboard lainnya untuk dibawa ke kampus.

.

Argh, sial.

Gara-gara pemuda patung itu! Kini ia kehilangan skateboard satu-satunya yang ia beli dengan uang saku sendiri tahun lalu!

Sialan~

.

.

Dan sepanjang koridor yang dilewati Yoongi dengan langkah tertatih itu ia habiskan untuk mengumpat seseorang yang dengan bodohnya tadi sempat mengatakan namanya kepada Yoongi sesaat setelah mereka bertabrakan.

...Park Jimin namanya.

.

.

.

.

"Ouch," Jimin mengunyah sandwich di tangannya dengan susah payah. Lebam dipipinya masih berdenyut dan itu sangat menyusahkannya ketika ia mengunyah.

Dengan mengorbankan rasa laparnya setelah 40 menit berlalu Jimin berkutat bersama sandwichnya yang bahkan tak habis sampai setengah bagiannya, Jimin memilih menghabiskan milkshakenya yang kedua dan meninggalkan sandwichnya kemudian beranjak keluar menjauhi kafetaria.

Ia harus segera menghadiri kelas sekaligus klub tari favoritnya yang tak akan pernah ia lewati.

.

Perlu diketahui bahwa Jimin berada di jurusan Performing Art semester kedua saat ini. Jimin berbakat dalam dance dan vocal. Tetapi ia lebih mencenderungkan bakatnya dalam menari sejak kecil. Ia bisa beberapa jenis tarian modern sampai klasik seperti balet.

.

.

.

Jimin memasuki ruangan khusus studio tari yang luas itu dengan wajah datar dan lebam merah keunguan yang menghiasi pipi kirinya. Ia menghampiri sahabat seperjuangannya yang telah tiba di ruangan ini terlebih dahulu. Mengambil tempat duduk di lantai sebelahnya.

"Hei Bro!" Sapa seorang pemuda berambut soft orange tersebut riang begitu melihat Jimin disebelahnya. Namun ia segera mengernyitkan dahinya melihat 'tampang' sahabatnya itu. "Kau habis berkelahi?"

Jimin menghela napas malas. "Aku dipukul kalau kau mau tahu, bukan berkelahi."

"Wah! Dengan siapa?"

"Seseorang..."

Dan Jimin memulai curahan panjangnya kepada sang sahabat yang bernama Kim Taehyung itu.

.

.

.

"Itu sih Yoongi-sunbae! Dia semester empat disini. Dan mendengar ceritamu tadi, pantas saja kau dipukul olehnya." Taehyung mencibir.

"Kau mengenalnya? Siapa namanya? Kenapa aku baru melihatnya?" Tanya Jimin sekaligus. Ia melihat Taehyung mengangguk dengan semangat.

"Min Yoongi. Tentu saja aku mengenalnya. Yoongi-sunbae itu rekan rapper underground bersama kekasihku." Jawab Taehyung dengan sedikit merona mengingat kekasihnya. "Tetapi..."

Jimin mengangkat sebelah alisnya menunggu lanjutan perkataan sahabatnya itu.

"Alasan kau tak pernah melihatnya sejak awal adalah karena ia baru beberapa hari ini kembali hadir di kampus karena cuti yang diambilnya."

Jimin mengerutkan dahinya. "Cuti apa?"

Taehyung menghela napas prihatin. "Yoongi-sunbae itu orang yang misterius. Dia dua tahun lebih tua dari kita. Banyak mahasiswa yang mengatakan dia itu seorang bad boy. Dan menurut gosip yang beredar, cutinya itu dia lakukan karena ia terkena sebuah kasus bersama polisi. Aku sendiri tak tahu pastinya, aku hanya tahu sedikit tentangnya," Taehyung mengusap hidungnya yang terasa gatal. "Kalau dilihat-lihat Yoongi-sunbae itu orang yang cukup manis namun sangat dingin."

Jimin menganggukkan kepalanya. Mengiyakan perkataan terakhir sahabatnya. Tiba-tiba ia merasa begitu tertarik dengan sosok itu. Dan tanpa sadar sebuah senyum terpatri di ujung bibirnya yang lebam.

"Kau kenapa, Jimin-ah?" Taehyung bingung melihat sahabatnya yang tiba-tiba tersenyum aneh.

"Sepertinya aku tertarik dengannya." Jawab Jimin masih dengan senyuman tertempel di bibirnya.

Taehyung melongo sebentar sebelum ia akhirnya mengerti maksud Jimin.

"Hahaha." Taehyung seketika tertawa mendengar jawaban sahabatnya yang senang memolesi eyeliner itu. "Omong-omong, Yoongi-sunbae juga mengambil klub tari, lho."

"Serius?" O_O

.

.

Yoongi tengah bercakap-cakap bersama instruktur tari yang sudah tiga bulan lebih ini tak ditemuinya dan juga tak berlatih bersama dengan anggota klub lainnya karena cuti kuliah yang ia ambil. Sang Instruktur berkata bahwa ada cukup banyak hal tertinggal yang perlu Yoongi kejar agar ia bisa setara dengan anggota klub lainnya. Dan Sang Instruktur menyarankannya, atau lebih tepatnya akan memilihkannya secara langsung anggota yang menurutnya memiliki kemampuan lebih dibanding anggota yang lainnya untuk membantu mengejar materi tari Yoongi yang tertinggal.

Yoongi hanya mengangguk mengiyakannya. Sejujurnya klub tari bukanlah sesuatu yang Yoongi prioritaskan. Tetapi berhubung banyak rekan sesama rapper underground-nya yang juga tertarik pada dunia dance. Yoongi lama-lama jadi ikut terseret juga.

.

Kelas tari baru saja dimulai. Semua anggota memulainya dengan peregangan yang dilakukan oleh perorangan. Begitu pula dengan Jimin. Ia bersama teman-temannya mengambil spot yang nyaman untuk peregangan.

"Park Jimin-ssi. Kemarilah."

Jimin menghentikan kegiatan peregangannya. Ia sempat terpaku sejenak menatap instruktur tarinya tersebut.

Bukan, ia bukan tertarik dengan Sang Guru. Melainkan sosok yang lebih kecil dari Sang Instruktur yang sejam lalu bertabrakan dengannya di koridor menyita perhatiannya.

"Park Jimin-ssi?" Sang Instruktur mengulang panggilannya ketika ia melihat Jimin malah terdiam di tempatnya.

Mendengar itu, Jimin dengan langkah panjang menghampiri Guru-nya.

Dan kini Yoongi yang terpaku. Ia merasakan firasat aneh ketika Sang Instruktur memanggil Jimin untuk berhadapan dengannya.

"Nah, Yoongi-ssi. Park Jimin-ssi ini yang akan membantumu mengejar ketinggalan materi selama ini, oke? Ia memang masih semester satu tetapi aku jamin ia punya kemampuan dance yang bagus dan bisa diandalkan untuk membantumu. Benar 'kan Park Jimin-ssi?"

Hening.

Kedua makhluk dihadapan Sang Instruktur hanya terdiam.

"Dan tak ada penolakan, oke?"

.

.

.

.

"Aku Park Jimin." Jimin mencoba tersenyum sebaik mungkin sambil mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Yoongi.

Yoongi sama sekali tak menghiraukannya. Ia malah menatap dengan pandangan sangat tidak suka kepada Jimin. Anak itu sepertinya hobi sekali memamerkan namanya. Dan suaranya yang riang sangat mengganggu Yoongi.

"Lakukan saja materinya dan aku akan menari dibelakangmu."

Senyuman terbaik Jimin langsung pudar. Jari-jemarinya yang masih terulur tak mendapat jabatan tangan hanya bisa mengais udara kosong.

Jimin tersenyum kikuk. "Baiklah, ayo kita mulai."

.

Dari kejauhan Jimin bisa mendengar suara tertawa tertahan dari sahabatnya, Kim Taehyung.

.

Tetapi walau begitu,

Sepertinya Jimin punya ide yang bagus dengan posisinya sebagai tutor tari untuk Yoongi.

.

.

.

.

Jimin menatap Yoongi yang sedang mengulang gerakan tapping yang tadi dicontohkannya. Dapat Jimin lihat bahwa gerakan Yoongi sangatlah tidak stabil pada kaki kirinya. Dan Jimin tahu, kaki kiri itu pasti sedang terluka.

"Sunbae?"

Yoongi berhenti dan langsung terduduk di lantai dan meluruskan kedua kakinya. Ia terengah dan mengusap dahinya yang berkeringat. Kelas dance bersama tutor barunya itu baru berjalan sepuluh menit dan Yoongi sudah kelelahan karena harus menahan sakit di pergelangan kaki kirinya. Perlu diingatkan bahwa, kakinya terluka karena tabrak larinya bersama Jimin siang tadi.

Yoongi menengadah untuk menatap Jimin yang tadi memanggilnya. "Apa?"

Jimin hanya berjongkok di sebelah kaki kiri Yoongi dan menyentuh pergelangan kaki yang tertutup sneaker coklat tua tersebut. "Sunbae, apa kakimu baik-baik saja?"

"Yak! Jangan sentuh-sentuh!" Jimin segera menjauhkan tangannya melihat Yoongi yang bersiap memukul bahunya.

"Semua ini gara-gara kau." Yoongi meraih botol air mineral disamping tubuhnya dan menenggak isinya.

Jimin terdiam. Jadi, gara-gara tabrakan tadi ya? Jimin merasa gusar sendiri. Pertemuan pertama mereka sangatlah tidak berkesan baik. Padahal Jimin mulai tertarik dengan pemuda manis nan dingin itu. Serius.

Jimin berdiri dan menyampirkan ranselnya di bahu. "Baiklah, aku harus bertanggungjawab bukan?"

Yoongi mendelik menatap tangan Jimin yang terulur dihadapannya. "Maksudmu?"

"Kita hentikan kelas ini dan pergi ke ruang kesehatan," merasa Yoongi tak akan pernah meraih uluran tangannya, Jimin menariknya kembali dan membawa tangannya untuk ia selipkan di saku celananya. "Sunbae harus segera diobati. Ayo pergi."

"Huh?"

.

.

.

.

Dan pada akhirnya sisa waktu kelas tari mereka dan kelas lainnya pada hari itu tak mereka hadiri. Sebenarnya kalau Yoongi sendiri memang tak masalah karena ia berada di ruang kesehatan sampai waktu pulang.

Tetapi Jimin? Ia malah dengan begitu memaksa cabut kelas—yang sama sekali tak dipedulikan Yoongi—berkata ingin menemani Yoongi di ruang kesehatan.

Katanya agar Yoongi tak bosan dan kesepian—yang terselipi modus juga—.

.

Tetapi kenyataannya, ia malah hampir mati kebosanan karena Yoongi begitu cuek dan tak berbicara apapun dan lebih memilih mendengarkan musik serta memainkan ponselnya atau sekedar membaca diktat yang dibawanya.

Kasihan sekali kau, Park Jimin.

.

.

Jimin kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya dari balik meja yang berada di sudut ruang kesehatan ini. Dagunya ia topang dengan lengan kanannya. Sedari tadi ia terus memperhatikan Yoongi dan melakukan kegiatan-kegiatan random yang sangat tidak berguna diatas meja sana.

Dengan erangan terakhir frustasinya yang panjang, Jimin bangkit dan menghampiri Yoongi lalu berdiri tepat di sebelah ranjangnya.

Yoongi yang kala itu sedang duduk bersandar di ranjang dengan kedua telinga tersumpal earphone dan juga larut dalam bacaan buku dipangkuannya sama sekali tidak menyadari kehadiran Jimin.

Jimin berdecak, dengan tidak sopannya ia menarik sebelah earphone dari telinga Yoongi. Membuat Yoongi membelalakkan kedua bola matanya dan merasakan jantungnya berdebar begitu keras. Oh demi Tuhan ia kaget sekali!

"Apa-apaan kau?!" Sungut Yoongi, ia mengusap dadanya untuk meredakan debaran jantungnya yang tak stabil karena terkejut.

"Eh? Ma-maaf Sunbae. Aku hanya—"

"Aku harus pulang." Yoongi tak memedulikan perkataan Jimin. Setelah sesaat ia melirik jam tangannya ia segera menurunkan kedua kakinya dari ranjang dan bersiap untuk pergi dari sana. Meraih sneakernya yang berada tepat di bawah sudut ranjang untuk dipakainya kembali.

"Eeh? Kakimu bagaimana, Sunbae?"

Yoongi memakai sneaker kanannya.

"Kuantar pulang ya, Sunbae?"

Yoongi memakai sneaker kirinya.

"Atau Sunbae ingin makan diluar terlebih dahulu juga boleh kok—"

"Berhenti bicara padaku."

Jimin langsung mengatupkan kedua bibirnya. Terdiam.

.

Yoongi kemudian mulai berjalan keluar dengan tertatih karena perban yang diikat di kaki kirinya sangat mengganggunya untuk berjalan, dan itu juga terasa sakit. Namun Yoongi tetap mampu berjalan sendiri walau dalam tempo yang sedikit lambat daripada biasanya.

Jimin terdiam untuk beberapa saat. Salah dia apa sih kenapa Sunbae-nya yang terlihat manis itu sangat bersikap seolah-olah ia adalah makhluk yang paling dibencinya seumur hidup. Oke, Jimin memang salah disini, tapi kan dia setidaknya berkelakuan sebagai maaf—

Oh iya, maaf.

Jimin lupa belum meminta maaf!

Deng!

.

.

"Sunbae, maafkan aku." Jimin terus mengikuti langkah Yoongi hingga sampai di gerbang kampus dan terus mengucapkan kata maaf.

Yoongi yang lama-kelamaan merasa risih segera berhenti sejenak dan menolehkan kepalanya ke arah Jimin sebelum melanjutkan kembali perjalanannya yang sudah melewati lima langkah dari gerbang. "Baru ingat minta maaf." Dengusnya tak tertarik.

"Ma-maafkan aku, Sunbae. Ta-tapi aku sungguh meminta maaf padamu." Jimin berdiri di hadapan Yoongi dan menatapnya serius.

Yoongi mendengus kembali. Ia melangkah melewati Jimin begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata apapun.

Jimin menghela napas lelah. Cukup sudah pertemuannya hari ini dengan Yoongi, ia yakin karena kedepannya ia akan sering bertemu dengan namja manis yang lebih tua daripadanya itu.

Ah, Jimin jadi semakin penasaran dengan sosok manis itu. Dan rasa semangatnya benar-benar membakar jantungnya.

Ah, inikah.

Yang namanya jatuh cinta.

Pada pandangan pertama, kedua, ketiga, ke—sekian kalinya?

Sepulang nanti Jimin harus memiliki beberapa rencana sepertinya.

.

Rencana pendekatan.

.

.

.

.

Hari demi hari berlalu. Jimin masih menjalankan kehidupannya sebagai seorang mahasiswa yang baik dan penurut seperti biasa, bahkan ujian tengah semester pun telah ia lalui dengan baik.

Tapi ada satu hal yang sedikit banyak berbeda dari kehidupan biasanya kini.

Siapa lagi kalau bukan karena ehem—gebetan—ehem yang sudah ia coba dekati namun tak ada hasilnya sama sekali itu.

.

Ya, benar.

Sia-sia.

Jimin rasanya ingin menangis setiap malam. Rencana pendekatannya tak membuahkan hasil sama sekali. Padahal ia berpikir dengan posisinya yang sekarang menjadi tutor dance sunbae-manisnya itu akan jauh lebih mudah.

Tapi kenyataannya?

Semua biasa saja. Tak ada perubahan sama sekali. Hanya sebatas kenal. Hanya sebatas bantu-membantu. Hanya sebatas Yoongi mengikuti pelajaran tarinya yang tertinggal. Tak ada peningkatan 'pendekatan' sama sekali. Istilah kerennya, treadmill.

Padahal kalau dilihat dari rencana Jimin, semuanya terlihat sederhana dan cukup romantis, menurutnya.

.

Seperti...

"Sunbae! Hari ini panas sekali ya?" Celoteh Jimin setelah sesi tutornya bersama Yoongi.

Sedangkan Yoongi sudah bersiap untuk meninggalkan kelas tari yang entah sejak kapan sepertinya semenjak Jimin menjadi tutornya ia jadi tak begitu bersemangat di kelas tari. Yoongi mengambil beberapa lembar tisu yang terletak diatas meja untuk ia tempelkan di dahi dan kedua sisi lehernya. Ia akan benar-benar pergi dari sana sebelum—

"Karena cuaca yang panas, aku takut kau meleleh menjadi karamel, Sunbae."

—memukul lengan kiri Jimin dengan ranselnya yang berisi diktat dan sebuah netbook. Dengan keras.

Atau momen seperti...

Yoongi sedikit kerepotan dengan bola basket yang diapitnya dengan sebelah lengan kirinya yang juga sedang memegang iced coffee. Bahunya tersampir ransel, lengan lainnya memegang netbook, dua buah diktat dan kantung plastik yang entah apa isinya. Terlihat merepotkan di tubuhnya yang terbilang kecil itu.

Tetapi tanpa diduga dengan ajaibnya tiba-tiba Jimin muncul dihadapannya. Tak lupa dengan senyuman khas yang selalu ia tempel di wajahnya. Yoongi yang melihat itu hanya menatap Jimin sangat tidak suka dengan tatapan mau-apa-kau-dihadapanku-bocah-tengik.

"Aigoo," Jimin mulai berceloteh ketika sampai dihadapan Yoongi. "Tak seharusnya Sunbae membawa beban sebanyak ini? Nanti kalau jadi gak keliatan manisnya lagi—"

Srak.

Ternyata isi kantung plastik yang dibawa Yoongi tadi berisi sandwich yang masih hangat. Baru saja ia lemparkan di wajah Jimin.

.

Yeah, kejadian-kejadian sejenis seperti barusan sudah sering terjadi. Dan tentu saja hal seperti itu bukanlah hasil pendekatan yang selama ini Jimin bayangkan. Karena selalu berakhir dengan Jimin yang menjadi korban pukulan atau benda-benda tak lazim melayang.

BRAK!

"Hey Bro~ Bro~" seorang lelaki berambut nyentrik berwarna soft orange menggebrak meja yang disandari kepala Jimin. Siapa lagi kalau bukan Kim Taehyung, sahabat seperjuangannya.

Jimin yang merasa telinganya sedikit berdengung karena gebrakan barusan diatas mejanya hanya memanyunkan bibirnya tak suka. Ia sedang malas membalas perbuatan sahabatnya itu. Bahkan untuk mengangkat kepalanya dari atas meja saja rasanya Jimin enggan sekali.

Taehyung menautkan alisnya bingung. "Hei, kau kenapa?"

Jimin hanya mengedipkan matanya malas.

Melihat reaksi Jimin yang seperti itu membuat Taehyung memahami satu hal yang akhir-akhir ini sering menjadi topik utama di kehidupan Jimin. Taehyung segera menepuk pundak sahabatnya dengan semangat. "Yoongi-sunbae lagi ya?"

"Menurutmu?" Tanya Jimin ambigu. Ia menyingkirkan lengan Taehyung dari bahunya.

"Lusa malam kekasihku ada perform—"

"Lalu apa hubungannya denganku?" Potong Jimin dengan cepat tanpa mempedulikan ekspresi cemberut yang mulai ditampakkan Taehyung.

"Ish, dengarkan dulu sampai aku selesai bicara, bodoh!" Taehyung melipat kedua tangannya didepan dada dengan ekspresi merengut lucu.

Jimin hanya memutar kedua bola matanya malas. "Iya, iya. Terus ada apa dengannya?"

"Kau lupa ya, kekasihku dan Yoongi-sunbae itu 'kan underground rapper. Dan mereka ada jadwal manggung lusa malam nanti.

Kau mengerti 'kan maksudku?"

Ctik.

Jimin menjentikkan jarinya di depan wajah Taehyung. "Tentu saja aku akan datang menontonnya. Thanks, Bro!" Jimin segera bangkit dan merangkul bahu sahabatnya itu.

Taehyung tersenyum bangga. Tetapi sesaat kemudian ia mengganti ekspresi wajahnya dengan ekspresi khawatir. "Jimin-ah, kupikir caramu mendekati Yoongi-sunbae selama ini perlu 'sedikit' ditingkatkan."

Jimin mengangkat sebelah alisnya tanda tak mengerti. "Maksudmu?"

"Yaah~ sepertinya Yoongi-sunbae itu bukan tipe orang yang mudah tergoda, apalagi dengan gombalan bodoh lagi bocah sepertimu." Taehyung mengibaskan tangannya di hadapan Jimin.

Jimin hanya mencibir tak suka. "Lalu? Memangnya kau mau memberiku saran?"

"Tepat sekali." Taehyung menjentikkan jarinya. "Kau harus melakukan skinship dengannya!" Taehyung berujar semangat.

Jimin merasa lemas seketika, ia melepaskan rangkulan di bahu sahabatnya itu.

Skinship katanya?

Yang benar saja?

.

.

.

.

To be Continued...

.

.

.

.

Nb :

EEH FANFICNYA KENA SWEEPING! ADMIN FFN KAMPREEET—ekhem.

Seriously, ini pertamakalinya saya bikin ff dengan menitikberatkan edit lewat docx ffn. Masalahnya, fanfic ini beserta docx di ffnnya itu loh ke hapus juga (dan bikin gak ngerti kenapa bisa kehapus docxnya juga). Dan saya cuma punya draftnya aja di word, dan itu berarti saya harus re-edit semua EYD/tanda baca blablabla.

Dan (lagi) juga saya gak bisa sekaligus re-edit semua chapternya dalam satu hari, karena saya harus ngantor dan cuma bisa ngandelin wifi kantor (gak modal, tolong jangan di contoh)

Jadi... saya usahain sampe chapter kemarin di update sehari-hari aja ya T_T

Lagian kenapa bisa kena sweep sih? Salah apa coba? Pasti salah Jimin nih! *di tendang*

.

Oke, ini nb yang dulu :3

Nbb :

Omong-omong, ini pelampiasan saya sebagai MinSuga/MinYoon shipper ;A;

Karena yeah kalau di AFF banyak yang suka SugaMin/YoonMin alias Suga yang jadi seme dan Jiminnya uke. Entah karena faktor suara atau usia, mereka mikir begitu tapi yang pasti... Aduh, pokoknya saya gak bisa bayangin Suga yang unyu-unyu itu sebagai seme!

Dan akhirnya terciptalah ff ini.

.

Oke, terimakasih sudah mau membaca, biar semangat nih,

Sumbangan ide, kritik, saran, Review please? :3