MUSIM PANAS

.

.

Digimon Adventure Fanfiction Presented by InfiKiss

Digimon Adventure (c) Akiyoshi Hongo

.

Summary :

Kumpulan drabble tentang Musim Panas. Juga tentang persahabatan tiga orang sedari kecil yang penuh dengan janji-janji sederhana mereka. Yagami Taichi, Ishida Yamato, Tachikawa Mimi dan musim panas yang mereka jalani setiap tahunnya.

Antara perasaan yang kelak pun tumbuh; jatuh cinta, cemburu, kecewa, patah hati, bahagia juga tangis.

.

.


MUSIM PANAS PERTAMA

.

Kadang jatuh cinta memang tak semudah yang kita terka. Namun tak pernah pula serumit yang kita duga. Cinta merupakan sebuah perasaan sederhana yang datang begitu saja dan juga bisa pergi dengan sangat mudah. Cinta bisa tumbuh dengan begitu kuat, namun seiring berjalannya waktu bisa juga memudar dengan cepat.

Ah, cinta...

Sesuatu yang bahkan masih sulit digambarkan para Pujangga. Penyair juga sering menggunakan maknanya, namun tetap tak seorangpun bisa mengartikan dengan pasti apa itu cinta yang sebenarnya. Apakah nafsu sesaat? Atau sekedar perasaan yang timbul karena kecocokan semata.

Cinta. Bukan hanya para dewasa, nyatanya anak kecil pun bisa merasakannya.

Cinta...

Apa itu?

Sampai kapanpun Yagami Taichi, Ishida Yamato, ataupun Tachikawa Mimi sama sekali tak akan bisa memahaminya dengan pasti.

.

.

Musim panas pertama...

Gadis kecil bertopi itu duduk meringkuk di pinggir jalan. Kedua lututnya ditekuk hingga bertemu dengan keningnya. Nafasnya terengah-engah dan suara isak terdengar dari balik punggung yang gemetar. Aroma khas musim panas menjadi satu-satunya teman ditengah rasa sepi yang menggelayuti benaknya. Bahkan suara sekelompok kumbang atau tonggeret pun sama sekali tak bisa menghiburnya.

Ia kesepian.

Dan takut.

Takut akan perasaan ditinggalkan yang entah sejak kapan selalu bercokol di dadanya. Sendirian membuat hatinya tak tentu arah. Membuatnya dilanda rasa sesak yang tiada terkira. Meski usianya baru tujuh tahun, nyatanya ia merasakan kepahitan yang begitu mengerikan hanya dengan berada sendirian. Ia benci sendirian. Ia takut sendirian. Ia tak mau sendirian.

"Aku menemukanmu!"

Sampai suara teriakan itu terdengar jauh dari ujung jalan.

Kepala kecil bertopi itu segera terangkat. Sepasang obsidian jernih berwarna coklat itu jatuh ke arah dimana ada bocah kecil yang berlari mendekat dengan memegang satu jaring serangga di tangan kanan. Bulir-bulir keringat sepertinya terasa bebas mengalir dari kening ke dagunya. Senyum polos nan lebar turut menghiasi wajah kekanakkan itu. Tapi jelas ada secercah ekspresi khawatir yang tertinggal disana.

Tanpa menunggu balasan, bocah laki-laki yang hanya mengenakan kaos putih lengan buntung itu pun berjongkok di hadapan si gadis kecil bertopi. Masih berada di pinggir jalan yang kosong dengan latar sebuah hutan kecil yang tak terlalu mengerikan karena pantulan matahari yang menyilaukan.

"Kenapa jongkok sendirian disini, Mimi? Sudah kubilang, aku pasti akan menemukan Mimi kalau Mimi menghilang."

"Taichi-kun..."

Bocah laki-laki itu nyengir bangga. Tangan yang bebas terulur ke arah gadis kecil itu. "Ayo pulang."

Diraihnya tangan kecil yang berkeringat itu perlahan. Seulas senyum pun merekah di wajah mungil yang masih sembab karena air mata.

"Sudah jangan nangis lagi. Mimi itu jelek kalau menangis tau~" Goda bocah kecil itu jenaka dan membuat si gadis kecil segera memberengut sebal namun tetap menyisakan sedikit semburat merah muda di kedua pipi tirusnya.

Ya, itu adalah hari dimusim panas pertama yang menjadi saksi bahwa keduanya adalah sahabat yang saling memiliki satu sama lain. Sahabat yang tak akan bisa dipisahkan oleh apapun. Antara Yagami Taichi dan Tachikawa Mimi. Kemanapun kaki-kaki mungil itu melangkah, keduanya akan saling mendampingi. Itu adalah janji mereka berdua sedari dini.

Janji yang anak-anak ikat tanpa pernah tahu bagaimana masa depan yang sesungguhnya telah menanti.

"Taichi, Mimi!"

Empat kaki mungil itu berhenti. Tangan anak yang bernama Taichi masih setia menggenggam erat tangan gadis kecil yang berjalan di sampingnya. Kedua kepala itu menoleh bersamaan ke arah semak belukar dimana seorang anak lain berambut kuning kecoklatan sudah muncul dengan penampilan agak berantakan.

"Waaa! Yamato! Apa yang terjadi denganmu?"

Yang dipanggil Yamato sama sekali tak menyahut. Susah payah ia melangkah keluar dari ranting-ranting belukar yang menghalau kakinya. Butuh seperempat menit sampai akhirnya ia lolos dan kini sudah berdiri tegap di jalan setapak. Satu tangan memegangi kotak serangga yang penuh dengan tonggeret dan satu tangan lain sudah sibuk menepuk-nepuk celana pendek selutut yang kotor karena tanah.

Yamato berjalan menghampiri Taichi dan Mimi. Tanpa berujar, disodorkannya kotak serangga itu dihadapan wajah Taichi yang memasang cengiran tak bersalah.

"Maaf, maaf. Karena aku pikir Mimi pasti sedang menangis gara-gara kita tinggal, aku jadi lupa bawa kotak serangganya."

Barulah sepasang manik gelap itu melirik Mimi yang masih sibuk dengan isakan kecil yang tak kunjung berhenti. Dipandanginya lekat-lekat gadis berbalut baju terusan musim panas berwarna putih di samping Taichi. Hingga tanpa diminta, tangannya yang kotor terulur untuk menepuk puncak kepala Mimi pelan.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya polos dengan ekspresi yang tak cukup berarti untuk menggambarkan kekhawatiran.

Si gadis kecil mengangguk pelan. "Aku takut... Taichi-kun dan Yamato-kun pergi begitu saja meninggalkanku. Aku kira...aku akan dibuang sendirian... Seperti Papa dan Mama meninggalkanku..."

Hening. Kedua bocah laki-laki itu kini saling bertatapan.

Segera Taichi mengeratkan genggamannya di tangan Mimi, membuat gadis kecil itu menatapnya terkejut. Selalu dan selalu, cengiran khas itu akan selalu menghampiri wajahnya yang berantakan karena bermain di hutan seharian. Senyum polos yang selalu membuat hati Mimi terasa hangat dengan mudahnya.

"Mimi ini ngomong apa, sih? Aku dan Yamato nggak mungkin ninggalin kamu, kok. Iya 'kan, Yamato?"

Yamato mengangguk tanpa menjawab.

"Karena kita 'kan sudah janji akan terus bersama sampai besar nanti!" lanjut Taichi penuh semangat sambil menjunjung tinggi tangannya dan tangan Mimi ke udara. Seolah-olah tengah menerbangkan tinggi harapan-harapan tak terlihat yang mereka simpan di dalam dada. Menjadi sihir yang membuat Mimi dan Yamato langsung menengadah untuk menatap langit biru di atas mereka.

Selalu bersama...

Ya, mereka akan selalu bersama. Sampai harapan-harapan mungil itu terbang tinggi membumbung di udara. Musim panas mereka bertiga, penuh dengan janji dan impian untuk masa depan. Tak satupun dari mereka yang ingin memikirkan bagaimana kehidupan yang akan terjadi kelak.

Waktu itu, yang terpenting adalah sekarang. Hari-hari dimana bisa mereka lalui dengan tawa dan canda tanpa harus ada beban yang singgah di dada.

.

.

~End of First Summer~