Kata siapa kehidupan sebagai mahasiswa mudah? Apalagi menetap di bukit nan jauh dari rumah. Hidup terpisah dari orang tua, ekonomi yang pas-pasan, tugas skripsi yang tidak kunjung selesai, dosen yang entah niat atau tidak memberi nilai, tekanan batin yang tak ada habisnya dan teman yang susah diajak kompromi.
Sebenarnya, banyak hal positif dari hidup sebagai seorang mahasiswa yang jauh merantau juga. Bisa hidup mandiri, bisa semakin lihai mengurus diri sendiri, mempunyai orangtua kedua—Tao memiliki ibu asrama yang baik hati—dan kemampuan analisis yang semakin meningkat serta bisa bebas berkenalan dengan siapa saja. Tao sudah berusaha mengabaikan semua kejelekan kuliah, dan mengambil hikmah darinya. Ia beruntung bisa kuliah sampai ke negeri ginseng ini dan masuk ke universitas yang cukup terkenal. Sedikit pemuda dari kampungnya yang bisa bersekolah di sini.
Masalahnya, Tao kesepian. Mungkin hal baik terakhir tentang kuliah bisa dicoret.
Mahasiswa yang masuk universitas dengan beasiswa membuatnya harus memiliki jadwal yang ketat. Waktu untuk merebahkan diri terbatas. Kegiatannya mau tidak mau harus diatur dalam jadwal yang tidak renggang. Ia jarang bermain dengan teman-teman di universitasnya karena waktunya penuh untuk belajar juga bekerja sebagai seorang part-timer.
Eventhough his life was already scheduled like that, he wanted to be friends with the other so badly.
Ia tidak kenal siapa-siapa kecuali beberapa teman kampus dan orang sekitar asramanya saja. Ia sama sekali tidak punya sanak saudara di Korea. Sifatnya yang pemalu menambah nilai plus untuk kendalanya mencari teman. Walaupun seperti itu, hal tersebut tidak bisa menjadi sebuah toleransi untuk tidak kuliah dengan bersungguh-sungguh. Orangtuanya di China sana menunggunya pulang dengan nilai memuaskan. Dan keinginan Tao tidak hanya sampai dengan memuaskan. Perfect, if he could. Ia ingin berbuat yang terbaik untuk keluarganya di sana.
Membayangkan mereka tersenyum bangga dan bahagia saat menghadiri upacara wisudanya... sebuah moodbooster tersendiri bagi Tao. Pandangannya seakan-akan berusaha menayangkan hal itu ketika otak dan perasaannya tidak bisa diajak bekerja sama.
Dengan sepenuh hati, seorang Huang Zi Tao berusaha menyukai rutinitasnya yang mulai membosankan. Sesekali ia pergi sendirian ke pantai pada saat malam hari untuk merefreshkan pikirannya. Menatap ratusan bintang di langit saat langit gelap membuat Tao merasa romantis. Setidaknya hal berbunga-bunga tersebut memberi bumbu pada kegiatan sehari-harinya.
.
.
How to Train Your Dragon
Kris & Tao YAOI fanfiction
Rated T
Romance and Fantasy
I do not own anything except the story
Cerita ini hanyalah fiksi belaka, tidak ada hubungan dengan kehidupan yang sebenarnya
Warning: YAOI, BoysLove, Alternative Universe, Typo, EyD, bahasa non-baku, etc.
.
Tidak suka? Jangan baca!
.
.
Pagi ini Tao bangun pada pukul setengah enam layaknya hari-hari yang lain. Tangannya dengan cekatan merapikan tempat tidur dan melipat selimut yang semalam ia pakai. Setelah memasukkan dua lembar roti ke dalam toaster, ia berjalan mendekati laci perabotan untuk mengambil cangkir teh; menghirup aroma chamomile sebagai rutinitas paginya.
Ia membersihkan lantai dengan sapu secepat kilat. Setelah dirasanya cukup, Tao membuka tirai-tirai jendela kamarnya, membiarkan udara pagi dan sinar matahari yang sebentar lagi muncul. Kedua hal tersebut juga membantunya menciptakan suasana hangat yang digunakannya untuk meditasi.
Omong-omong jika bicara tentang meditasi, kebetulan beberapa bulan lalu saat Tao berbincang dengan salah satu teman seniornya, tidak sengaja obrolan mereka menyenggol topik tentang meditasi. Teman sebelah kamar asramanya itu menjelaskan bagaimana ia bisa sampai ke tahap meditasi dan apa saja manfaat dari meditasi yang biasa ia lakukan di pagi hari. Ia tidak tahu bahan omongannya tersebut menghantui Tao untuk beberapa saat. Hingga tiba pada puncak kejenuhannya, Tao yang sedang frustasi kala itu terinspirasi untuk mencoba teknik merilekskan dan mengosongkan pikiran yang diceritakan Jino padanya. Setelah beberapa kali Tao melakukannya secara teratur, tubuh dan rohaninya mulai merasakan perbedaan yang positif. Benar kata Jino. Jalan pikirnya lebih tenang, ia tidak mudah goyah saat menghadapi masalah. Emosinya lebih terkontrol; tidak cepat kesal ataupun putus asa ketika sesuatu jauh dari perkiraannya. Ini sangat membantu sekali dalam kehidupan sehari-harinya. Setidaknya sekarang Tao mulai menjalankan aktifitasnya tidak dalam tekanan internal lagi.
Tao mengambil botol selai coklat kacang dari laci penyimpanan, lalu meletakkannya di atas meja. Selesai melepas plastik pembungkus tehnya, Tao mulai menuangkan air panas ke dalam cangkir teh. Ia memasukkan dua sendok kecil pemanis ke dalam larutan air, kemudian diikuti oleh kantung kertas penyaring berisi teh. Semua pelengkapnya hampir selesai. Tinggal menunggu rotinya selesai dipanaskan, Tao sudah bisa menikmati sarapannya.
Pinggulnya ia istirahatkan di salah satu bantalan kursi. Tangannya tidak berhenti bergerak mengaduk-aduk cairan di cangkir. Bisa dihitung dari sekarang dalam hitungan kelima... empat... tiga... dua... sat—
Ting!
—benar 'kan?
Kebiasaan yang ia hafal diluar kepala. Sama seperti pagi sebelumnya, Tao mengambil dua lembar roti dari pemanggang roti kemudian membaringkannya di sebuah piring putih. Ia mulai mengoleskan selai coklat kacang diatas roti yang menggelap tersebut. Setelah menangkupkan selembar lainnya diatas roti tadi, Tao membuka mulutnya; mengunyah adonan itu dengan tenang. Tidak perlu terburu-buru, masih ada banyak waktu. Dalam hati ia berniat langsung duduk bersila menghadap jendela ketika acara sarapannya selesai. Memusatkan pikirannya sekaligus belajar menenangkan rohaninya. Lalu kemudian setelah meditasinya usai, Tao mulai mengerjakan lagi tugas kuliah dari dosennya.
Tuk
"Terima kasih makanannya." Tao meneguk tetesan teh terakhir.
Ia terdiam sesaat seraya menepuk-nepuk perutnya yang sudah terisi sekarang. Punggungnya menyender lunglai di penyangga atas kursi. Sebentar lagi. Sebentar, lagi. Ia masih mau ingin menikmati waktu luangnya dulu.
Kakinya mulai beranjak dari kursi lalu kembali mendarat di atas lantai kayu. Tao lipat kedua anggota gerak bawah miliknya menjadi posisi bersila menghadap jendela. Cahaya matahari yang merembet keluar menyinari sekujur tubuhnya hangat. Meredupkan kedua bola matanya, Tao memasuki perlahan alam sadar terbawahnya.
.
.
"Tao!"
Seketika Tao menoleh saat mendengar panggilan tersebut. Ia tersenyum sumringah melihat salah salah seorang yang dikenalinya.
"Sehun? Mau ke kelas selanjutnya?"
Pemuda yang dipanggil Sehun tersebut juga tersenyum simpul. "Yeah, kau juga, Tao?"
Awalnya, bibirnya masih terlengkung ke atas. Kemudian saat menyadari ada sesuatu yang salah, ekspresinya terlihat tidak begitu menyenangkan. "Ya. Aku ada kelas di gedung tiga. Dan—setidaknya, panggil aku hyung, Sehun."
"Tidak mau," ujar Sehun cepat.
"Oh, ayolah. Tunjukkan sedikit rasa hormatmu."
Tangan Sehun merangkul leher Tao keras seraya berucap, "tidak mau!" Tao melemparkan tatapan sinis pada pemuda yang seenaknya menarik tubuhnya begitu saja. Namun setelah beberapa saat saling hening, ekspresi mereka pun tergantikan dengan tawa sepanjang lorong.
Sehun memang junior kurang ajar. Hampir semua orang yang lebih tua darinya ia panggil tanpa embel-embel apapun. Namun, mereka semua mengerti, sebuah ciri khas Sehun tidak perlu dihilangkan.
Tidak lama kemudian, mereka sampai di gedung lain dari kampus tempat mereka berpijak. Tao melambaikan tangannya pelan ketika memasuki ruangannya. Sehun dan Tao sama-sama mempunyai kelas di gedung tiga, hanya saja berbeda ruang.
Bibir Tao menghembuskan nafas lega mengetahui sang dosen belum menampakkan batang hidungnya di kelas. Ia mengambil tempat duduk yang biasa ia ambil; kursi tengah-tengah dari sudut manapun. Kebiasaannya dari kebiasaan yang lain.
Tao mengeluarkan buku catatannya sekaligus iPod mini miliknya. Selagi menunggu dosennya datang, ia bisa mengulang pelajaran sekaligus mendengarkan lagu.
.
.
"Baik, itu saja untuk hari ini. Jadwal konsultasi masih seperti biasa. Jangan lupa jika tugas kalian sudah selesai, temui saya di ruang kerja saya." Pria berkepala empat tersebut membereskan semua kertas-kertas yang ia bawa tadi di atas meja. Sambil membetulkan letak kacamata kuda besar miliknya, ia berkata, "Selamat sore." Lalu pergi meninggalkan ruangan.
Semua mahasiswa di dalam serentak menjawab salamnya. Satu persatu mulai meninggalkan kelas dengan tertib. Hanya ada keinginan untuk segera sampai di kamar masing-masing di benak mereka. Tugas baru sudah menanti mereka untuk diselesaikan di laptop tercinta.
Tao tidak ada shift untuk bekerja hari ini. Itu sebabnya ia langsung mengambil jalur kereta ke asramanya. Badannya benar-benar sudah berteriak keras ingin dibaringkan di pulau kapuk. Ia lelah sekali hari ini. Bahkan, Tao sempat tidak konsentrasi saat dosen terakhir menjelaskan. Tumben sekali.
Pikiran Tao sempat kosong saat berjalan menuju stasiun kereta. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Ada apa sebenarnya? Di China tidak ada apa-apa 'kan? Ah, pasti hanya efek dari rasa lelahnya saja. Tao menghembuskan nafas keras mencoba memfokuskan pikirannya. Sebentar lagi, sebentar lagi sampai di rumah. Ia bisa merebahkan tubuh hingga keesokan harinya. Tugasnya ia tunda sampai pagi. Ia benar-benar butuh istirahat sekarang.
Beruntung, saat Tao melangkahkan kaki masuk ke dalam gerbong kereta, sebuah kursi kosong dekat pintu sudah menantinya. Dewi Fortuna sedang berbaik hati kali ini, mungkin.
.
.
Ketika Tao telah sampai tepat di depan asramanya, ia terdiam untuk sesaat. Hari sudah mulai menggelap walaupun masih sore. Lampu depan asramanya belum dinyalakan. Tidak ada suara ribut-ribut terdengar dari dalam. Apakah semua temannya belum pulang? Kemana ibu asrama? Aneh, tidak seperti biasanya.
Tao mengendikkan bahu. Kemudian ia masuk ke dalam, mengabaikan semua pertanyaannya. Kakinya ia gerakkan secepat kilat menaiki tangga menuju lantai dua. Sedikit lagi ia bisa tidur.
Berdiri sebentar di hadapannya pintu, tangan Tao bergerak memasukkan kunci kamar. Jari-jarinya berputar cepat memegang kunci. Ia tidak sabar untuk segera memeluk bantal panjang kesayangannya. Ayolah, cepat terbuka.
Cklek
Tepat saat pintunya terbuka lebar, mulut Tao terbuka karena menguap. Matanya yang semula menghilang, muncul kembali dengan berkaca-kaca. Ia melangkah masuk sambil meraba-raba mencari saklar lampu. Kantuknya sudah di depan mata. Pikirannya sudah tidak sinkron. Hingga tiba saatnya ketika sepatu kets Tao menginjak benda kecil yang berongga. Melihat apa yang ia injak, Tao membelalakkan matanya. Mulutnya yang ia tutup dengan salah satu tangan melirih, "Astaga."
Pandangan Tao menyebar. His room such a mess. Pecahan genting dan debu tembok bertebaran dimana-mana. Barang-barang berjatuhan dan berpencar begitu saja. Ada sebuah gundukan besar di tengah-tengah kamar milik—eh? Apa? Gundukan? Makhluk? APA?!
"AAA—"
"Grrr..."
"...ahmp..." Seketika Tao mengurungkan niatnya untuk berteriak. Kakinya berjalan mundur perlahan. Kedua tangannya menutup erat sang bibir supaya tak berkata apa-apa lagi yang dapat membuat makhluk besar itu semakin marah padanya.
Apa yang indra penglihatannya dapat adalah makhluk sejenis kadal besar dengan badan panjang mirip ular. Tao tahu itu karena cahaya merah redup matahari menyinarinya dari atas lubang besar membantunya menyadari siluet makhluk itu. Selain itu, mata tajamnya yang berwarna merah terang menatap Tao nyalang dari balik kegelapan. Bola api tersebut beradu dengan kristal Tao sendiri seolah-olah ingin memakan Tao hidup-hidup.
Tao mengambil langkah mundur sekali lagi hingga menabrak tembok di belakangnya. Untuk sesaat, Tao mengagumi sosok makhluk campuran itu ketika ditimpa cahaya pendar sore yang berkilau. Seperti makhluk kiriman Tuhan. Lagipula, Tao tidak mengerti bagaimana lubang di atapnya bisa terbuat, namun yang terpenting sekarang adalah jenis apa hewan itu dan bagaimana ia bisa masuk ke kamarnya.
"A-aku tidak bermaksud untuk menganggumu, sungguh! Jangan dekati aku, tolong. Kau makhluk baik 'kan?"
Makhluk tersebut tetap menggeram dan melebarkan benda di punggungnya. Benda yang biasa digunakan seekor burung untuk terbang; sayap.
Sayap? Makhluk itu punya sayap? Kadal jenis apa yang mempunyai sayap?
Tao teringat sesuatu. Bayangan sekelebat ketika neneknya bercerita seram saat malam hari. Legenda makhluk yang paling ditakuti di kampung halamannya. Seperti kadal, berbadan panjang, memiliki sayap, kulit bersisik.
... seekor naga?
Wait, naga? Mana ada naga di Korea? Apalagi di jaman sekarang!
Saking lebarnya sayap yang dipunyai naga itu, beberapa barang Tao yang tersenggol sayap naga berjatuhan ke lantai. Tao menatap miris berbagai macam bentuk pecahan benda yang tergeletak tidak berdaya. Bukan saatnya untuk menangisi barang mahal yang hancur itu, ia harus segera pergi dari sini sebelum sang Naga benar-benar melahapnya. Ia bisa minta orang lain membantunya mengusir makhluk buas ini.
Tapi kenapa kakinya tetap terpaku di atas lantai?!
Tao mengendarkan kembali penglihatannya ke depan sambil harap-harap cemas. Sayap lebar sang Naga yang masih terentang mengepak beberapa kali. Matanya tidak berhenti memperhatikan semua gerak-gerik Tao. Kepakannya bergerak begitu lambat. Setiap kepakan, geraman yang dikeluarkan naga itu terdengar semakin keras. Awalnya Tao mengira makhluk di hadapannya sedang mengancamnya atau sejenisnya. Hati Tao semakin kalut, benar-benar takut kalau saja sang Naga datang dan langsung menyantapnya begitu saja. Hingga ketika penglihatannya tidak sengaja menyadari liquid kental yang mengalir dari sela-sela sayap, Tao tersadar. Naga itu terluka. Cairan yang mengalir terlihat cukup deras. Mungkin luka tersebut penyebab sang naga nyasar ke kamar Tao. Naga sebesar itu bisa jatuh—karena lubang di atapnya mengatakan segalanya—hanya dengan luka.
Kasihan sekali dia.
Hati Tao tergerak ketika mendengar erangan pelan dari naga itu. Pasti sakit sekali jika bergerak dengan luka lebar seperti itu. Tao melangkahkan kakinya maju, mendekati naga yang masih menatapnya tajam.
"Na-naga yang baik... aku lihat sayapmu terluka. Bolehkah aku obati dulu? Aku tidak bermaksud jahat, kok. Serius deh."
Naga itu diam menatap Tao. Merah matanya tetap saja membuat Tao bergidik ngeri. "Grrr..."
Tao menepuk dahinya keras. Apa yang sudah ia pikirkan? Naga adalah makhluk ganas, demi Tuhan! Makanannya saja segala macam daging segar. Kau mau mendekatinya dan mengobatinya hanya karena ia terluka? Bisa-bisa sebelum kau berhasil menyentuhnya dagingmu sudah berakhir menjadi santapan malam untuknya, Zi Tao!
Tapi melihat matanya yang meredup setiap ia berusaha menggerakkan tubuhnya membuat hati Tao bergetar.
Setelah termangu beberapa saat, Tao memilih untuk mendekati si Naga. Ia tidak bisa meninggalkannya terluka seperti itu, kalau mati bagaimana? Oh, itu 'kan memang niat awalnya. Tapi—hei, apa sebegitu teganya Tao membiarkan makhluk Tuhan mati kehabisan darah? Lagipula jika si Naga mati, dimana Tao mau mengubur mayat sebesar itu? Apa kata orang-orang melihat ada naga di kamarnya? Makanya lebih baik Tao mengobati luka naga tersebut agar dia bisa terbang lagi kembali ke habitatnya. Ia hanya perlu merawatnya sementara.
...ya, betul. Merawatnya sementara. Semoga ini adalah keputusan tepat.
"Naga baik... te-tenang dulu, ya... aku hanya butuh waktu sebentar saja untuk merawatmu. Ja-jangan makan aku, oke?" Tao berusaha sekuat tenaga menyimpulkan bibirnya menjadi terlengkung. Kakinya ia gerakkan maju selangkah.
Naga tersebut melipat kembali sayapnya di atas punggung lalu merendahkan kepalanya ke atas lantai. Geramannya terdengar semakin intens, berusaha menakuti Tao agar tidak mendekat. Tubuhnya sudah siap dalam posisinya menyerang, namun Tao masih saja berjalan mendekatinya.
"Tenang..." Tao menelan ludah. "A-aku tidak akan menyakitimu."
Sang Naga mundur perlahan setiap Tao maju ingin menyentuhnya. Suara keras dari tenggorokannya pun tak lupa ia keluarkan. Tangan Tao pun terulur ke depan, harap-harap cemas kalau saja naga tersebut menyerangnya.
"Diam saja di situ, oke? Aku hanya ingin mengobati lukamu. Itu saja."
"Grrr..."
Kaki Tao tidak berhenti melangkah. Walaupun ia berjalan begitu lambat, tapi kakinya tetap berjalan. Naga di hadapannya pun ikut bergerak namun menjauhinya. Sempat ia menampakkan barisan putih tajam di dalam mulutnya, namun itu hanya berefek sebentar pada Tao. Ketakutannya menghilang. Entah dari mana keberanian ia dapatkan.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi tangannya bisa benar-benar menyentuh kepala sang Naga. Makhluk besar itu sudah berhenti menjauhi Tao. Geraman masih terdengar dan matanya terus lekat menatap Tao. Dengan nafas panjang, Tao mengangkat tangannya. Kemudian...
...puk
Perasaan bangga membuncah di hati Tao. Naga itu terdiam. Geramannya berhenti. "Benar 'kan? Aku tidak akan menyakitimu," katanya sambil tersenyum menepuk-nepuk kepala besar sang Naga. "Diam di situ dulu, ya. Aku ambilkan obat dan perban untukmu."
Kedip. Kedip, kedip. Sang Naga diam. Tidak mengerti. Pupil matanya yang tajam berubah besar seketika. Nyala api di matanya sempat redup beberapa kali karena ia berkedip. Apa yang dilakukan oleh manusia itu tadi?
Tao berjalan mendekati saklar lampu dekat pintu kamarnya. Ia tidak menyadari kepala naga besar itu sudah terangkat dari bawah dan mendekatinya perlahan.
"GROOAAA!"
"AAAH—"
Ia akan mati. Ia akan mati. Hidupnya sudah selesai di sini.
Puk
"—ah?" Tao terpana. Kristal coklatnya yang tenggelam mulai muncul dari balik kelopak matanya.
Tao tidak percaya. Kepala naga itu tertunduk patuh pada telapak tangannya yang terjulur. Bola merah di matanya menghilang karena terpejam. Geramannya tidak lagi ada digantikan hembusan nafas keras. Apa yang membuat makhluk mitologi China ini diam?
Setengah menutup mulutnya Tao berbisik, "Kau...?"
Naga tersebut mengusap-usapkan kepalanya di tangan Tao seolah-seolah mengerti apa yang diucapkan. Ia ingin merasakan perasaan tadi lagi. Perasaan ketika sesuatu menepuk-nepuk kepalanya.
Tao menghembuskan nafas lega. Lega sekali. Tidak ada apa-apa. Semuanya baik-baik saja. Keajaiban makhluk ini jinak padanya. Ia masih hidup. Masih tidak percaya. Kakinya yang yang tertekuk bergetar di atas lantai. Ia begitu kaget sampai-sampai tidak punya kekuatan untuk berdiri dan akhirnya jatuh terduduk ke bawah.
Namun senyum simpul tergambar jelas di air muka Tao kemudian. Hewan besar ini terlihat lucu sekali sekarang. Hanya dengan tepukan sederhana di kepalanya sudah bisa membuat naluri buasnya reda? Tangan Tao mengusap pelan kulit sisik naga tersebut, membuat kepalanya kembali merendah ke lantai. Entah bagaimana caranya makhluk sebesar ini bisa terlihat lucu. Tao terkekeh pelan karena teringat bagaimana sikap seekor anjing yang sedang disayang oleh tuannya. Mirip sekali dengan tingkahnya sekarang.
Tao merendahkan tubuhnya menghadap wajah naga lalu berkata, "Aku tidak akan kemana-mana, sayang. Tunggu di sini sebentar, oke?"
Mata merah naga itu terbuka, kemudian ia mengeluarkan geraman kecil. Tao mengangguk mengerti, ia beranjak pergi menyalakan lampu lalu masuk ke dalam kamar mandi. Kotak P3K miliknya memang sengaja ia simpan di laci kamar mandi.
Sesaat Tao keluar dari ruangan lembab itu, mata bulat sang Naga hampir tertutup setengahnya. Tao buru-buru mengeluarkan alkohol dan lima gulung perban. Pasti membutuhkan banyak kain kassa untuk menutup luka selebar itu.
"Ini agak sedikit sakit, bisa kau tahan dulu?"
Geraman sebagai balasan untuk Tao.
"Bagus, anak pintar. Nah, sekarang kau buka perlahan sayapmu," ucap Tao lembut sambil menepuk-nepuk sayap sang Naga. Ia sedikit menarik paksa rangkaian kulit dan tulang itu ke atas.
"Grrrh...!"
Alis Tao saling bertautan. "Oh, ayolah. Bagaiamana mau sembuh kalau sayapmu saja tidak dibuka?" sindirnya sambil mencoba menarik sayap sang Naga yang masih terlipat rapi di atas punggung.
Kepingan merah tersebut bergerak ke samping dengan liar. Sayapnya ia buka untuk mendorong Tao ke tembok menjauh dari tubuhnya. Suara geraman menggema semakin keras. Tubuhnya ia putar menghadap Tao masih dengan kepala merendah.
"Woah... woah. Tenang dulu, naga baik. Kalau aku mengobatimu, sayapmu bisa sembuh. Kalau sayapmu sembuh, kau bisa terbang pulang ke rumahmu. Benar 'kan? Aku sedang membantumu di sini." Tangan Tao berusaha menepuk kepala sang Naga dari jauh.
Seketika, Naga itu langsung terdiam. Tidak ada suara lagi yang di gumamkan olehnya. Malahan, kepalanya ia miringkan sedikit, ditambah mata besarnya yang terus berkedip. Tidak mengertikah ia apa yang dikatakan Tao?
Satu makhluk lain yang berada di kamar berusaha menahan nafas di paru-parunya. Jemari lentiknya bergerumul rapat tepat di dalam telapak tangannya. Wajahnya memerah, jantung berdegup lebih kencang. "Oh, Tuhan! Kau lucu sekali seperti itu!" jerit Tao dengan mata berbinar.
Dielusnya dahi sang Naga sambil mengecup lembut mata yang berkedip itu. Setelah diyakini hewan di depannya ini sudah diam dan tidak bisa berkutik lagi, Tao mundur selangkah menjauh. Ia tersenyum puas bisa menjinakkan hewan buas ini dengan caranya sendiri.
"Jadi begini..." Tao berdeham sedikit membenarkan suaranya.
"Aku," ucap Tao sambil menunjuk dirinya sendiri, "Mengobatimu." Tangan kanannya mengambil perban lalu berputar-putar mengitari lengan kirinya dan menunjuk sang Naga di akhir. Tao mengambil nafas sekaligus berkata, "Kau." Jari telunjuknya mengarah ke depan. "Terbang," penggalnya sambil meniru gaya bebek mengepak sayap. "Pulang ke rumah." Akhirnya jari-jari Tao bergerak seperti menggambar kotak dengan segitiga di udara.
"Jadi... kalau kau mau pulang ke rumahmu, kau harus diam ikuti perintahku, anak baik." Salah satu mata Tao terpejam cepat menggoda seolah-olah naga di hadapannya mengerti ucapannya.
Sang Naga lagi-lagi mengedipkan matanya beberapa kali. Entah sirkuit di otaknya nyambung atau tidak. Tao tidak peduli dengan ekspresi diamnya sang Naga dan malah memberikan ibu jarinya setuju di depan wajah si naga. Ia mendekati kotak P3K yang sempat diacuhkan, mengeluarkan beberapa barang baru kemudian dengan cekatan menuangkan alkohol di atas kain kassa yang sudah terlipat rapi.
"Kau buka sayapmu, lalu kau tahan. Bisa melakukan itu?" tanya Tao lembut sambil menghadap kepala sang Naga. Ketika geraman kecil terdengar, tangan Tao yang bebas menepuk halus dahi naga dan mengakhirinya dengan kecupan kecil tepat di tempat tangannya menepuk. "Pintar." Sang Naga pun hanya mendengus pelan dan meletakkan kepalanya lebih rendah.
Awalnya Tao mengusap-usap sayap yang masih terlipat itu, kemudian dengan sangat perlahan ia menariknya ke atas. Ajaib. Kali ini sama sekali tidak ada penolakan. Tidak ada rontaan dari naga itu sendiri. Hanya saja hembusan nafasnya terdengar lebih cepat dari sebelumnya. Tao tersenyum dalam hati.
Saat sayap itu terentang lebar, luka yang menempel di kulit tidak sebesar yang dikira. Tao masih ingat darah yang mengalir tadi itu deras sekali. Anehnya, aliran darah tersebut sudah berhenti sekarang. Sama sekali tidak ada darah yang menetes. Apa karena yang terluka itu naga, sehingga proses penyembuhannya lebih cepat?
Dengan telaten, Tao membersihkan luka si Naga. Ia selalu sabar jika objek yang ia obati bergerak ke sana-kemari tidak nyaman. Sesekali ia terdorong menjauh karena sayap tersebut menamparnya tidak suka. Coba saja kalau Tao tidak berjanji untuk mengobati naga di depannya ini, Tao tidak segan-segan meluapkan tendangannya tepat di titik dimana naga itu terluka.
Jujur, rasanya berbeda sekali ketika sudah terbiasa mengobati manusia, sekarang malah dihadapkan oleh makhluk yang Tao sendiri tidak tahu apakah nyata atau tidak. Tidak menjijikan, namun hanya... aneh.
Setelah lama berkutat dengan segala macam obat dan perban, akhirnya Tao menyelesaikan tugas akhirnya. Memang membutuhkan waktu banyak jika dilihat seberapa besar Tao harus menjahit dan membalut. Tapi setidaknya, Tao puas dengan hasil kerja yang ia lakukan. Tidak sia-sia ia belajar ilmu kedokteran selama beberapa tahun ini.
Tao merasa begitu lelah sekarang. Apalagi punggungnya masih nyeri akibat terhempas ke dinding tadi. Namun urusannya belum selesai. Masih ada makhluk yang perlu ia perhatikan dulu.
"Hei, lukamu sudah kubalut rapi. Bagaimana? Kita hanya perlu menunggu beberapa hari sampai lukamu benar-benar tertutup, buddy," ujar Tao sambil menepuk-nepuk perut si Naga. Untuk beberapa saat, hanya keheningan yang membalas ucapan Tao. Tidak ada suara geraman yang biasanya menimpali apapun yang ia katakan. Masih menahan sakitkah ia?
"Hei?" Tao melongokkan wajahnya melihat muka si Naga.
Hening. Apa yang Tao lihat cukup mencenggangkan. Matanya tertutup rapat. Tubuhnya tidak bergerak. Ia terlihat damai sekali dalam dunianya. Hampir Tao menganggap makhluk ini sudah mati kalau saja matanya tidak menyadari udara yang keluar masuk dengan cepat dari lubang hidung sang Naga.
"Kau... tidur?" tanya Tao tidak yakin. Ia menepuk-nepuk kepala sang Naga pelan. Sayangnya objek yang ia ganggu masih nyaman pada alam mimpinya.
Tao terdiam sesaat. Sedetik kemudian ia menghela nafas prihatin. Sepertinya naga itu memang kelelahan sampai-sampai ia tidur selama Tao mengobatinya. Kasihan sekali.
Tao beranjak dari tempat ia bekerja menyembuhkan si Naga. Potongan kain kassa dan tutup botol alkohol ia rapikan kembali di dalam kotak pertolongan pertamanya. Ia pergi meninggalkan sang Naga sebentar untuk menyimpan kembali kotak berpalang itu.
Lalu, apa yang ia temukan saat kembali datang menjenguk pasiennya?
Tidak ada makhluk besar nan menyeramkan di lantainya. Tubuh pemuda dengan surai hitam panjang yang terbaring lemas mengagetkan Tao setengah mati. Darimana ia datang?!
Perban yang tadi ia pakaikan kepada naganya sudah melekat rapi di kulit pemuda asing tersebut. Posisi tidurnya tengkurap dengan sedikit meringkuk. Hampir sama dengan tingkah naga tadi jika saja naga itu berubah wujud menjadi manusia. Hanya saja, ada tambahan celana panjang semata kaki yang melekat pada badannya.
Bagaimana bisa?
Tao tidak habis pikir kenapa hari ini begitu banyak kejadian janggal menimpanya.
.
.
To be continue
.
.
A/N: well, another fic again~ what do you think? Fic ini terinspirasi dari sebuah fanart KrisTao yang saya lihat saat berseluncur di blog-blog di tumblr. Cuma mau bilang kalau ini layak dilanjutkan, kasih tau saya lewat review ya ;;3
Regards,
Lizzy
