-Endless Tears-


Genre: Drama & Hurt/Comfort

Rate: T

Disclaimer: NARUTO - Masashi Kishimoto.

WARNING : OOC, TYPO BERTEBARAN, GAJE NGGAK KARUAN DAN PENULISAN HANCUR, DLL,DSB.

IF YOU DON'T LIKE MY STORY, DON'T READ!

(Note : tekan tombol back jika tidak suka)


...

...

...

..

.

"Naruto, kami mau ke kantin. Kau tidak ikut?"

"Tidak, aku malas."

"Tumben sekali kau malas seperti ini Naruto? Biasanya kau yang paling bersemangat untuk ke kantin."

"Apa kau sudah bosan dengan mainanmu itu, heh?"

"Berhenti bicara yang tidak penting, Suigetsu."

"Ada apa denganmu Gaara? Tidak biasanya kau ikut dalam pembicaraan ini, apa kau kasihan pada mainan Naruto?"

"Bicara lagi akan kusumpal mulutmu."

"Jangan bilang kau mulai perduli padanya."

"Suigetsu, Berhenti memancing emosi Gaara. hei Naruto, kau jangan hanya diam saja, lakukan sesuatu!"

"Ayo ke kantin."

Dengan kalimat yang singkat, pemuda blonde dengan mata sebiru safir itu berdiri dari duduknya, meninggalkan ketiga sahabatnya yang nampak masih diam ditempat hingga selang beberapa detik, pemuda bersurai putih kebiruan tersenyum sumringah dan mengikutinya, disusul pemuda bersurai oranye dibelakangnya.

"Kenapa tidak daritadi." Ujar pemuda bersurai putih kebiruan itu senang.

Tidak memperdulikan dua orang yang sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya tersebut, pemuda bersurai oranye menghentikan langkahnya dan menoleh menatap sahabat merahnya yang hanya diam menunduk di tampat. "Gaara, kau tidak ikut?" Tanyanya mulai khawatir jika pemuda yang dipanggilnya Gaara itu masih kesal karena ucapan Suigetsu.

Tidak ada respon yang berarti dari Gaara, pemuda itu hanya diam ditempatnya duduk.

"Gaara?" Panggilnya yang masih tetap tak mendapat sahutan.

"Pergilah, aku akan menyusul." Ucap Gaara pada akhirnya, suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya dan jelas itu tidak luput dari pendengaran pemuda orange yang menatapnya khawatir. "Dengar Gaara, jangan menganggap serius ucapan Suiget—"

"—Itu tidak penting Juugo." Potong Gaara, menghentikan ucapan pemuda orange yang ternyata bernama Juugo.

"Kalau sikap anehmu ini bukan karena Suigetsu, lantas karena apa?" Ujar Juugo, membeberkan apa yang semenjak tadi mengganggunya.

"Aku hanya bosan."

"Kau yakin?"

"Hn."

"Baiklah, aku pergi."

Sepeninggal Juugo, kini hanya ada Gaara dalam ruang kelas yang sepi. Tidak ada murid lain selain dirinya karena memang semua murid lebih memilih menikmati waktu istirahatnya diluar kelas daripada didalam kelas.


**Asyah**


Suara riuh terdengar dari arah kantin yang tinggal berjarak beberapa meter lagi di depan sana. Naruto Uzumaki beserta kedua sahabatnya Suigetsu Hozuki dan Juugo Kakeru dengan santai melangkahkan kakinya memasuki kantin. Tidak ada yang salah dari seisi kantin yang ramai, namun safir Naruto terpusat pada sosok gadis mungil bersurai indigo yang tengah memasukkan potongan roti melon kedalam mulutnya. Bukan tatapan lembut atau mendamba yang Safir itu tunjukkan saat menatap gadis manis tersebut, namun tatapan yang sarat akan rasa benci dan jijik. Tidak mengindahkan Suigetsu yang sibuk memilih menu untuk makan siangnya, Naruto memilih menitipkan pesanannya pada Juugo dan pergi menuju meja yang biasa ia dan ketiga sahabatnya tempati. Meja itu terletak tepat di samping jendela besar yang menghadap langsung kearah taman samping gedung sekolah, dan itu artinya ia harus melewati meja yang di tempati gadis indigo itu terlebih dahulu. Karena itu, langkahnya amat ringan layaknya seekor singa yang tengah mengendap untuk menerkam mangsanya, hingga akhirnya ia kini berada tepat disamping gadis indigo tersebut.

—Hinata Hyuuga, gadis indigo yang selalu mendapatkan perlakuan buruk dari Naruto. Hidupnya bagai di neraka selama dirinya menempuh pendidikan di Konoha International Highschool, ditahun pertamanya sekolah, ia masih bisa bernafas karena tidak harus bertemu dengan Naruto setiap hari. Namun saat menginjak tahun kedua dan ketiga, Tuhan seakan meberinya hukuman atas apa yang tidak ia ketahui sebabnya.

"Kutu busuk sepertimu harusnya kuinjak sampai mati, bukan didiamkan seperti ini." Naruto berujar amat pelan dan menusuk. Mendengar suara yang tak asing baginya, terang saja membuat nafsu makan Hinata hilang dan tergantikan dengan perasaan takut yang membuat tubuhnya gemetar. Wajahnya menunduk menghindari tatapan dari Naruto yang seolah ingin melenyapkannya saat ini juga.

Hinata membatu ditempatnya duduk. Ketenangan yang ia impikan tidak akan pernah bisa ia dapatkan selama ada Naruto di sekitarnya. Pemuda itu selalu berkata kasar dan sinis padanya, tatapannya bahkan seakan ingin mengulitinya. Tidak hanya itu, perlakuan yang tak kalah kasar selalu ia terima dari Naruto. Tak jarang luka lecet dan lebam ia dapat karena ulah Naruto, kebencian terhadap dirinya seakan tertanam dan mendarah daging pada diri pemuda itu.

"Hoi, Naruto! Kenapa kau- ah, ternyata Hyuuga disini, haha." Seru Suigetsu namun tertahan saat melihat Naruto berdiri tepat di samping tempat duduk Hinata. Gadis itu bagai bensin yang selalu bisa membuat api kebencian Naruto meletup meski hanya dengan melihatnya dari jauh.

"Suigetsu!" Juugo memperingati Suigetsu agar diam. Meski mereka bersahabat, namun Juugo tidak begitu suka saat Naruto membully Hinata, kasihan menurutnya, Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan Naruto tiap kali pemuda itu ingin melakukan sesuatu hal yang buruk pada gadis tersebut.

"Apa?" Sahut Suigetsu malas.

"Mana pesananku?" Ujar Naruto, bertanya pada dua orang di belakangnya.

"Kau mau makan disini?" Tanya Suigetsu seraya mengambil nampan yang dipegang Juugo dan memberikannya pada Naruto yang tidak pernah memutuskan tatapannya dari Hinata yang kini kesusahan untuk menelan potongan roti yang tadi sempat masuk kedalam mulutnya.

Tidak ada sahutan dari Naruto, pemuda itu hanya diam, tangannya sigap mengambil alih nampan dari tangan Suigetsu, menatap sup miso yang masih mengepulkan uap, jemarinya mengambil mangkuk sup miso tersebut hingga-

-Sraaaz-

Tubuh Hinata tersentak kaget atas apa yang barusaja terjadi padanya, bukan hanya Hinata, namun seisi pengunjung kantin pun ikut kaget. Naruto dengan entengnya menumpahkan sup miso miliknya diatas kepala Hinata yang tertunduk. Tidak ada yang bersuara bahkan untuk sekedar menghampiri Hinata, siapa yang berani? Tidak ada yang berani. Ya, tidak ada yang berani untuk sekedar mendekat apalagi membela. Lebih dari itu, kenyataannya memang tidak ada yang perduli pada Hinata.

"Ah, tanganku licin." Ucap Naruto enteng tak perduli akan apa yang telah ia lakukan.

Berbeda dengan Juugo yang memilih bungkam, enggan menasehati Naruto yang pasti tidak akan mendengarkan perkataannya. Suigetsu terlihat tengah menahan tawanya.

-Srek-

Hinata bangun dari duduknya, berdiri memunggungi Naruto yang menyeringai sadis menatapnya. Tidak ada kata yang teucap dari celah bibir Hinata yang terbuka untuk meraup udara sebanyak yang dia bisa, tangannya mengepal sampai buku jari-jemarinya memutih. Namun tetap saja diam menjadi pilihannya, dan lari adalah jalannya agar tidak terus berada di satu tempat yang sama dengan pewaris Uzumaki Corp tersebut.

Tanpa memikirkan apapun lagi, Hinata berlari secepat yang dia bisa, bahkan saat dirinya menabrak beberapa murid lain disana, ia samasekali tak perduli dan tetap meneruskan larinya untuk sesegera mungkin memebersihkan tubuhnya dan mengganti seragam kotor yang dikenakannya dengan sesuatu yang lebih bersih.

Gaara yang baru muncul tidak memahami akan apa yang baru terjadi. Seisi kantin tampak hening dengan beberapa murid yang berbisik membuatnya dapat menyimpulkan apa yang terlewatkan olehnya. Langkahnya bertambah cepat saat melihat Suigetsu tertawa disamping Naruto yang memasang wajah dinginnya.

"Hei Gaara! Kau lama sekali." Seru Suigetsu.

"Apa lagi yang kau lakukan?" Tembak Gaara tanpa basa-basi. Tak mengindahkan seruan Suigetsu yang menyapanya.

Naruto menoleh membalas tatlapan datar dari Gaara. "Memang apa yang kulakukan?" Balas Naruto datar.

"Tidak kah kau kasihan padanya?" Lagi, tanya Gaara pada Naruto. Situasi seakan mulai memanas disekitar mereka.

"Kenapa aku harus kasihan padanya?" Naruto menatap tajam Gaara, yang ditatap pun tak mau kalah dengan membalas tatapan tajam Naruto tak kalah tajam.

"Sudah cukup. Gaara, sebaiknya—"

"—Dia perempuan, Naruto." Gaara tidak membiarkan Juugo menyelesaikan ucapannya. Dia tidak perduli, ini sudah lebih dari cukup. Gaara tidak bisa lagi mendiamkan kelakuan Naruto yang sudah melebihi batas kewajaran.

"Haruskah aku perduli? Selama dia masih hidup, aku akan membuatnya menderita. Bahkan aku akan membuatnya menyesal karena sudah terlahir kedunia." Desis Naruto dengan penuh penekanan ditiap katanya.

Tidak ada yang mengira kalau Gaara yang biasanya selalu diam dan memilih menjadi penonton kini menyela kelakuan Naruto. Keduanya saling melemparkan tatapan sengit yang seakan siap melahap lawan bicaranya tanpa sisa jika ada sepercik api diantara keduanya. Suigetsu maupun Juugo bahkan tidak bisa berbuat apa-apa. Ini berada diluar lingkup mereka, mau melerai tapi khawatir malah akan membuat situasinya semakin runyam karena sifat Naruto dan Gaara yang sama-sama keras.


**Asyah**


Entah dosa apa yang telah ia lakukan di masalalu hingga membuatnya mendapatkan karma yang tak seharusnya ia dapatkan. Karma? Apa ini benar karma? Padahal dulu ia begitu mengagumi sosok Naruto kecil yang terlihat selalu bersinar dimatanya. Bukankah dulu mereka pernah menjadi teman? Namun apa sekarang? Pemuda itu menjelma menjadi iblis yang selalu siap membuatnya menderita bahkan mungkin juga siap untuk mengambil nyawanya detik ini juga.

Hinata lelah, lelah dengan semua hal memuakkan yang menimpa dirinya. Ia tidak sanggup lagi menerima perlakuan semena-mena dari Naruto. Ingin mengadu, tapi pada siapa? Lagipula siapa dirinya? Beruntung ia bisa bersekolah di KIHS yang terkenal dihuni para murid dari golongan kaya raya melalui program beasiswa. Meski pada awalnya Hinata merasa ini merupakan hadiah dari Tuhan untuknya, namun seiring dengan berjalannya waktu ungkapan itu serasa salah. Ini neraka, neraka yang siap menyiksanya selama ia berada didalamnya.

"Jangan perdulikan apa yang orang lain katakan tentangmu, Hinata. Tetaplah berjuang demi impianmu."

Hinata mengingat kembali perkataan dari kakak perempuannya, Shion Hyuuga, satu-satunya yang tersisa dari keluarganya yang telah direnggut oleh maut. Jika saja ia tidak mengingat kebahagiaan sang kakak saat mengetahui dirinya diterima di KIHS pada waktu itu. Jika saja ia tidak mengingat sekeras apa usaha sang kakak demi untuk dirinya bisa mengenyam pendidikan. Detik ini juga, Hinata pastikan dirinya akan keluar dari sekolah yang sudah memberinya pengalaman pahit ini.

Mencoba mengeringkan rambutnya dengan handuk yang diambilnya dari loker miliknya. Ini tidaklah mudah bagi Hinata, bahkan kulit kepalanya terasa sedikit perih karena sup miso yang ditumpahkan diatas kepalanya tadi masih dalam keadaan memgepulkan asap panas.

Melihat kembali isi lokernya, amethystnya menatap sedih seragam yang terlipat rapi didalamnya. Beruntung Hinata selalu membawa seragam cadangan untuk dirinya kenakan, bukan tanpa alasan ia selalu mempersiapkan seragam ganti, semua karena Naruto Uzumaki yang tidak pernah berhenti bertindak semena-mena terhadap dirinya.

"Bisa kubantu?" Ujar sebuah suara yang Hinata kenali sebagai suara dari Sakura Haruno, gadis cantik beriris emerald dengan surainya yang berwarna soft pink. Siapa yang tidak mengenal Sakura? Gadis cantik itu merupakan primadona di KIHS dan merupakan salah satu sahabat dari Naruto.

"Tidak perlu." Ungkap Hinata pelan seraya menutup kembali lokernya dan tak lupa menguncinya kembali. Hinata terus berjalan melewati Sakura yang menatapnya khawatir.

"Percayalah, Naruto tidaklah jahat." Ungkap Sakura pelan.

Hinata memberhentikan langkahnya saat telinganya mendengar ucapan Sakura. Sedikit menoleh kebelakang demi bisa melihat lawan bicaranya. "Siapa yang lebih mengetahui semua itu selain aku?" Balas Hinata datar dan kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Sakura sendirian.

'Ya, siapa yang lebih mengetahui semua itu selain aku?' Batin Hinata berucap.

Tak ada asap maka takkan ada api. Hinata hanyalah seorang yatim piatu yang ditinggal pergi kedua orangtuanya saat masih berumur 5tahun. Bukannya tidak ada sanak saudara yang bisa dipintai pertolongan, namun rasa tak enak membuat sang kakak yang masih berumur 12tahun memilih berhenti mengenyam pendidikan sekolah demi bisa bekerja agar keduanya bisa tetap bertahan hidup. Beruntung kakaknya mendapatkan pekerjaan disebuah kedai ramen yang pemiliknya begitu baik terhadap dirinya dan sang kakak. Dan di kedai itu juga kali pertama Hinata bertemu dengan Naruto kecil yang begitu ceria dan hangat pada setiap orang yang dijumpainya. Keluarga Uzumaki merupakan pelanggan tetap di kedai ramen tempat kakaknya bekerja. Bahkan pemilik kedai begitu dekat dengan Minato Namikaze dan istrinya Kushina Namikaze yang tak lain adalah orang tua Naruto. Sejak hari itu Hinata dan Naruto berteman baik, begitupun Kushina dan Minato yang selalu baik terhadap dirinya dan sang kakak. Namun itu semua tidak bertahan lama hingga sampai kejadian naas itu terjadi.

Andai waktu bisa diputar, Hinata pastikan dirinya yang akan mengorbankan diri untuk menggantikan tubuh sang kakak yang akan ditabrak mobil. Bukan Kushina Namikaze, wanita cantik dengan kebaikan hatinya yang tulus yang malah menggantikan posisi sang kakak berada dalam genggaman maut. Andai waktu bisa diputar, Hinata berharap bisa kembali ke masa itu, biarlah dia yang mati. Asal jangan kakaknya juga wanita baik seperti Kushina yang pergi.

"Hinata-chan, maukah kau menyimpan liontin ini untuk Oba-chan?"

Hinata tersentak dari lamunannya sendiri ketika mendengar bunyi bel pulang sekolah, ya, sudah beberapa jam berlalu setelah dirinya berhasil mengeringkan rambutnya dan mengganti seragamnya yang basah dengan seragam yang bersih. Tidak ada sapaan dari teman sekelasnya karena dia memang tidak memiliki teman, baginya itu tidaklah masalah. Tinggal setengah tahun lagi ia harus bertahan dan setelahnya ia akan terbebas dari sekolah ini dan dari pemuda blonde yang sedari tadi menatapnya dingin.

Memilih untuk segera pergi karena rasa takut yang menggerogotinya, Hinata bahkan tak mengindahkan tatapan sendu dari sepasang jade yang sedari tadi juga turut menatapnya dari meja paling ujung disudut kelasnya. Bagi Hinata, yang paling penting sekarang adalah pulang tanpa harus menerima resiko dirinya terluka lebih dari sekedar kulit kepalanya yang terasa perih karena kuah panas.

"Naruto, kau mau kemana? Pintunya disebelah sini." Ujar Juugo yang menatap heran akan sosok Naruto yang terlihat lebih aneh. Bukannya berjalan menuju pintu, pemuda blonde itu malah berjalan kearah jendela kelas mereka yang berada dilantai tiga gedung sekolah.

"Ada apa dengan anak itu?" Bisik Suigetsu saat sudah berada tepat disamping Juugo.

"Aku tidak tahu, tapi yang jelas dia terlihat aneh." Balas Juugo pelan.

"Aku harap dia tidak akan melompat dari jendela itu."

"Jaga bicaramu Suigetsu!" Juugo memperingati sahabat putihnya. Sedang yang diperingati hanya memutar bola mata bosan.

Senyum miring tercetak diwajah tampan Naruto saat safirnya menatap kebawah sana, disana, ada adik dari pembunuh ibunya. Tangannya yang bebas terangkat mengambil pot bunga berukuran sedang yang berada tak jauh darinya. Tidak ada yang aneh dari pot bunga yang terbuat dari tanah liat tersebut, namun senyum sadis yang tercetak diwajah Naruto mau tak mau membuat perasaan Gaara menjadi tak nyaman.

"Apa yang mau kau lakukan dengan pot itu Naruto?" Tanya Gaara seraya melangkah cepat kearah Naruto yang menatapnya datar.

"Melakukan apa yang ingin kulakukan." Sahut Naruto tetap datar.

"Kau bisa membunuhnya."

"Aku tidak perduli." Dengan kalimat singkat itu, Naruto serta merta menjatuhkan pot yang digenggamnya begitu saja.

"Kau!"

Suigetsu dan Juugo yang masih belum mengerti akan apa yang terjadi berlari cepat kearah Gaara yang mencengkram kerah seragam Naruto.

"Ck! meleset."

"Naruto!"

-Greb-

"Gaara hentikan!" Dengan cepat Juugo dan Suigetsu menarik Gaara yang siap mendaratkan tinjunya diwajah Naruto, begitupun Suigetsu yang menarik Naruto agar keduanya terpisah.

"Lepaskan aku Juugo!"

"Hentikan Gaara! Kalau aku melepaskanmu kau pasti aka-"

"Astaga!"

Ucapan Juugo terpotong oleh seruan Suigetsu. Melepaskan belitannya pada Gaara, Juugo memilih mengikuti arah pandangan Suigetsu yang menatap kebawah. Alangkah terkejutnya Juugo saat netra coklatnya menangkap sosok Hinata yang terduduk diatas tanah tepat disamping pot bunga yang hancur berkeping-keping disamping tubuhnya.

"Apa yang sudah kau lakukan Naruto?!" Seru Juugo, dia dapat melihat bagaimana Hinata yang pucat menatap ngeri kearah mereka.

Tidak ada jawaban dari Naruto, sulung Uzumaki itu hanya diam menatap Hinata yang lari terseok-seok ditanah.

"Kenapa kau jadi perduli pada gadis pembawa sial itu Gaara?" Ujar Naruto pada akhirnya.

"Tidak ada alasan untuk apa yang kulakukan. " Jawab Gaara seraya menatap tajam Naruto yang menatapnya datar.

"Sudahlah, jangan menatapku seperti itu. Lagipula aku cuma mngerjainya saja. Kalau aku serius ingin membunuhnya sudah kulakukan dari dulu." Naruto berujar santai yang ditanggapi gelengan kepala oleh Suigetsu sedang Juugo memilih menatap pot yang hancur dibawah sana.

"Aku mau pulang, terserah jika kalian masih mau berada disini." Gaara hanya melirik sekilas Naruto sebelum benar-benar pergi. Sedangkan Naruto yang dilirik memasang senyum rubahnya kemudian berjalan disamping Gaara, disusul Suigetsu dan Juugo dibelakang.

Tidak ada yang dapat memahami isi pikiran Naruto meski itu Gaara skelipun yang notabene adalah sepupunya.


**Asyah**


Hinata tidak bisa menebak apa yang akan terjadi karena dia bukanlah peramal. Dia hanya dipintai tolong Shizune-sensei untuk menaruh beberapa peralatan peraktek yang sudah tak terpakai kedalam gudang yang berada dibelakang sekolah. Hinata ingin secepat mungkin menyelesaikan perkerjaannya dan segera pulang, namun saat amethystnya menatap beberapa kumbang kepik yang hinggap diatas daun yang berada disampingnya membuatnya ingin sedikit lebih lama berdiri menatap kumbang-kumbang tersebut.

"Lucu sekali." Senyum terukir diwajah cantik Hinata yang terlihat lebih hidup. Kaki mungilnya bergerak hendak mendekat sampai sesuatu yang terjatuh dari atas mengagetkan dirinya hingga mengakibatkan tubuhnya jatuh terpelanting ke samping.

-Prang-

Kaget, itulah yang Hinata rasakan. Jantungnya berdetak kencang serasa ingin keluar dari rongganya. Benda jatuh yang ternyata adalah pot itu nyaris mengenai kepalanya, jika tadi Hinata tidak bergerak sesenti saja dari tempatnya berdiri bisa dipastikan dirinya akan ikut terkapar bersama pot yang hancur itu. Tidak ada luka yang serius selain betisnya yang tergores karena beberapa pecahan pot mengenai area kakinya. Menatap gelisah tak tentu arah, Hinata ingin tahu akan sebab kenapa pot itu bisa terjatuh hingga amethystnya yang menatap tepat ketempat pot itu berasal menangkap siluet yang tak asing baginya tengah menatapnya dingin.

-Deg-

Detak jantung Hinata menggila karena rasa takut yang menyerangnya, tubuhnya gemetar, wajahnya bahkan kembali pucat layaknya mayat yang dibekukan. Tatapan dingin dari sepasang safir itu seakan mampu menghujam tepat ke jantungnya hingga membuat tubuhnya mati rasa. Ingin berdiri namun tak mampu bahkan untuk sekedar mengangkat tangannya saja tidak bisa. Hinata takut, sangat takut hingga bulir cairan asin yang menggenang dipelupuk matanya tumpah, dan semakin memburuk tatkala amethystnya menangkap seringai sadis terukir diwajah Naruto yang menatapnya dingin dari jendela lantai tiga diatasnya. Sekuat tenaga Hinata mencoba berdiri dan lari. Meski harus beberapa kali terjatuh mencium tanah dibawahnya, Hinata tidak perduli, larinya terseok-seok karena yang terpenting baginya saat ini adalah pergi sejauh mungkin dari jangkauan sulung Uzumaki yang hampir mengambil nyawanya.

The more I think about you, the more the tears not stop, While 'I still can not see, Is there a love greater than this mine?

"Ada apa denganmu Hinata?" Seruan itu berasal dari wanita cantik bersurai kuning pucat yang kini berlari tergesa menghampiri Hinata.

"Ah! Ini bukan apa-apa Nee-chan, tadi aku terjatuh saat membantu kucing kecil yang terjebak diatas pohon, hehe." Hinata kembali memilih berbohong pada Shion sang kakak, memang dia punya pilihan selain berbohong? Tidak mungkin bagi Hinata untuk mengatakan kenyataan yang sebenarnya karena itu bisa melukai hati kakaknya dan membuat kakaknya kembali terpuruk seperti dulu.

"Benarkah? Kau tidak sedang berbohong kan Hinata?"

"Sungguh Nee-chan, aku tidak berbohong." Jawab Hinata seraya tersenyum untuk meyakinkan sang kakak bahwa dirinya memang baik-baik saja.

Shion sendiri bukannya tidak mengetahui jika ada yang disembunyikan Hinata darinya, namun ia mrmilih untuk diam karena ia yakin, jika kelak Hinata akan menceritakan semua padanya. Dan untuk sekarang tidaklah perlu memaksa sang adik untuk bercerita apapun.

"Baiklah, kalau begitu cepat mandi dan ganti baju."

"Baik! Eh— aku hampir lupa, besok buatkan aku dua bekal ya Nee-chan?"

"Untuk apa dua bekal?" Shion mengerutkan alisnya penasaran.

"Untuk temanku, dia bilang tidak pernah makan bekal buatan rumah jadi aku ingin memberinya."

"Baiklah akan aku buatkan." Angguk Shion mengiyakan.

"Terimakasih Nee-chan!" Senyum simpul tercetak diwajah cantik Hinata yang mau tak mau juga turut mengundang senyum muncul diwajah Shion. Namun selang beberapa detik Shion berpikir akan ucapan Hinata tentang teman dan itu kembali mengundang senyum diwajah cantiknya semakin mengembang saat mengetahui sang adik kini bisa memiliki seorang teman setelah sekian lama.


To Be Continued?


Eng ing eng! Sekian dan terima receh dalam bentuk YEN!

Chao~