Jepang, 02.35 am.

Beep!

"Unit 3. 10-2 (Posisi di mana)?"

Beep!

"10-20 (Posisi) di perempatan lampu merah."

Beep!

"8-1-10 (Komandan), 10-14 (Informasi) untuk anda."

Beep!

"10-2 (Didengar jelas)."

Beep!

"Target baru saja meluncur. 10-15 (Informasi sudah disampaikan)."

Beep!

"8-6 (Dimengerti). Semua unit, bersiap-siaplah di posisi!"

Beep!

"10-4 (Diterima)!"

.

.


Semua karakter yang dipakai dalam fanfiksi ini bukanlah milik saya. Mereka adalah milik Masashi Kishimoto. Namun karya fanfiksi ini adalah sepenuhnya milik saya.

.

Alternate Universe

M-rated

5k+ words

Suspense/Tragedy

Oneshot

.

~a SasuNaru story~

.

Peringatan: Fanfiksi ini bertema Yaoi; yang menampilkan cerita tentang hubungan antara pria dan pria. Out Of Characters; Badboy!Naru, Sadistic!Sasu. Rating M untuk kata-kata kasar/kotor, kinky, bondage, rape, humiliation. Tidak menerima apresiasi negatif atas semua hal yang sudah saya peringatkan. Jangan salahkan saya, karena saya sudah memperingatkan kalian.

.

My 3rd fic on this fandom. Enjoy!

.

Jeanne's present...

.

#

.

24 Second Rule!


.

.

Jepang, 02.15 am.

"Urghhh..." Lenguhan pelan meluncur dari bibir itu begitu pelan-pelan kedua kelopak matanya terbuka. Dua orang wanita yang mengapit tubuhnya di sisi kiri dan kanan—di atas tempat tidur yang sama, di dalam selimut yang sama—mengeliat pelan begitu sosok yang tidur di tengah-tengah mereka bergerak dari posisi tidurnya.

Kedua matanya yang masih setengah mengantuk itu mengerjap berkali-kali, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Setelah menyandarkan punggung telanjangnya di headboad tempat tidur, kedua matanya menyapu kondisi kamar yang hanya disinari cahaya remang dari lampu di atas meja nakas. Sudut bibir itu terangkat sedikit begitu sadar ia masih berada di salah satu kamar tempat klub malam yang sering ia datangi.

Kedua matanya kembali tertuju pada dua sosok wanita yang masih tertidur di samping kiri dan kanannya. Dua sosok yang ia ingat beberapa jam yang lalu menemaninya 'bermain-main'. Bahkan aroma seks yang kuat masih tercium di dalam kamar ini.

Gerakan tangannya yang sedang mengelus-elus puncak kepala wanita yang tidur di samping kanannya seketika berhenti begitu ponselnya di atas meja nakas berdering singkat. Ada pesan masuk.

'Otousan dan okaasan akan pulang jam 6 pagi ini. Aku harap kau segera pulang ke rumah sebelum mereka. Kau tahu sendiri apa yang akan otousan lakukan padamu jika dia tahu kau tak ada di rumah kan, N-a-r-u-t-o~?'

Sial! rutuknya dalam hati begitu selesai membaca pesan dari kakaknya, Deidara. Padahal setahunya kedua orang tuanya tidak akan pulang sampai tahun depan. Tapi kenapa menjadi mendadak begini?

Naruto berdecak kesal. Ia tahu hukuman apa yang akan menantinya jika ayahnya tidak mendapatinya berada di rumah: terisolasi dari dunia luar. Atau istilah kerennya, ia jadi tahanan rumah.

Naruto ingat saat dulu ia pernah ketahuan diam-diam pergi ke klub malam, ayahnya langsung memerintahkan para pengawalnya untuk menyeretnya kembali ke rumah. Tak hanya diceramahi sampai kedua telinganya panas, semua benda elektroniknya yang berada di dalam kamarnya disita, bahkan ia diawasi oleh para pengawal ayahnya selama 24 jam!

Akhirnya, setelah merengek habis-habisan pada ibunya, agar membantunya meluluhkan hati ayahnya, Naruto pun kembali bebas—setelah hampir seminggu ia tak tahan lagi dengan masa hukumannya. Ia berjanji di depan mata kedua orang tuanya tidak akan melakukan hal yang merusak citra keluarga Uzumaki, yang dikenal terhormat di berbagai kalangan.

Tapi, begitu suatu hari kedua orang tuanya berangkat ke Cina karena urusan pekerjaan, Naruto kembali ke rutinitas malamnya—clubbing. Mengacuhkan perkataan Deidara yang setiap hari memperingatkannya agar tidak melupakan janji yang dulu pernah dikatakannya di depan orang tuanya.

Deidara, kakak satu-satunya itu adalah anak kesayangan ayahnya. Sementara ia adalah anak kesayangan ibunya. Sejak mereka kecil, semua ajaran yang baik dan tidak baik diberikan langsung dari ayah mereka. Keduanya didik agar bertingkah laku seperti 'Tuan Muda Uzumaki yang terhormat'.

Naruto yang sejak kecil sudah berjiwa pemberontak; tidak ingin dituntut atau dipaksa melakukan hal yang tidak disukainya, hanya berlaku seperti 'Tuan Muda' di depan mata ayahnya. Lepas dari pengawasan ayahnya, Naruto akan bertingkah laku layaknya pria dari kasta rendah begitu ia berada di luar rumahnya. Untunglah ibunya (yang tahu akan hal itu) tidak pernah mempermasalahkannya. Sementara Deidara, meski kakaknya itu tak pernah lelah menasehatinya (seperti ayah mereka saja!), tapi kakak satu-satunya itu tidak pernah mengadukan apa yang ia lakukan di luar rumah pada ayah mereka.

Sial! Sial! Sial! Naruto merutuk dalam hati, sembari merangkak turun dari atas tempat tidur. Hilang sudah waktu bebasnya jika ayahnya sudah pulang. Ia tidak bisa keluar malam lagi. Sial!

Setelah memakai celana jins panjangnya, Naruto segera melangkah menuju kamar mandi yang letaknya di sudut kamar. Kedua tangannya menangkup air dingin yang mengalir keluar dari kran di wastafel, kemudian membasuh wajahnya berkali-kali.

Sesaat, Naruto menatap lurus refleksi dirinya yang ada di cermin besar di depannya. "Bagaimana cara agar aku bisa ke klub malam ini tanpa ketahuan?" tanyanya pada pantulan dirinya. "Ck!" Naruto mengacak-acak rambutnya dengan kesal.

Setelah keluar dari kamar mandi, Naruto menyambar kunci mobilnya, dan langsung menuju pintu.

Langkah-langkah kaki Naruto menjadi setengah berlari begitu ia menuju tempat parkir. Mobil Chevrolet Camaro berwarna kuning miliknya langsung melesat di jalanan yang sudah nyaris sepi, tanpa menyadari ada sebuah mobil yang sejak tadi mengawasi di pinggir jalan.

.

.

Beep!

"8-1-10, target sudah memasuki jalan jebakan."

Beep!

"8-6." Sudut bibir itu langsung terangkat begitu handie talkie di tangannya sudah ia jauhkan dari depan bibir. "Kita bergerak—" katanya pada sang pengemudi di samping kirinya tanpa menoleh, "—sekarang."

Mobil yang sejak dua jam lebih menunggu di pinggir jalan itu akhirnya bergerak meninggalkan tempat itu.

.

.

Masa bodoh dengan lampu merah yang seharusnya ia taati, Naruto langsung menerobos tanpa menunggu warna lampu lalu lintas itu berubah menjadi hijau begitu mobilnya melewati perempatan jalan. Lagipula sudah tidak ada kendaraan yang lewat, pikirnya. Namun, dewi fortuna tidak berpihak pada Naruto, karena pelanggaran kecil yang dilakukannya itu terlihat oleh mobil polisi yang terparkir di perempatan jalan tadi.

Naruto yang baru tersadar kalau ia diikuti mobil polisi saat ia menoleh ke arah kaca spion langsung merutuk. Tapi tiba-tiba bibirnya menyeringai. Hanya satu mobil polisi. Jadi, jika sekarang ia melarikan diri pastinya juga tidak akan terkejar, kan? Dan untuk itulah, mobil sport-nya ini diciptakan.

Dengan mudahnya Naruto menambah kecepatan mobilnya, hingga jarum spidometer bergerak semakin naik. Mobil polisi yang berada di belakangnya mulai tertinggal jauh. Naruto terkekeh-kekeh senang. Ia berpikir sudah lepas dari kejaran mobil polisi itu, tapi ternyata... tidak.

Mobil polisi yang lain tiba-tiba muncul dari sebuah jalanan kecil dan ikut mengejar mobil Naruto. Kedua mata Naruto sontak membelalak. Kenapa bala bantuan bisa datang secepat itu? pekiknya dalam hati.

Hmm... dua mobil polisi. Apa akan jadi masalah besar jika ia masih bertekad melarikan diri? Pertanyaan itu langsung muncul di benak Naruto. Tapi rasanya hal ini seperti familiar, sepertinya ia pernah melihatnya hal seperti ini di mana ya... ah! Benar juga. Ini sama seperti di permainan GTA (Grand Theft Auto) yang pernah dimainkannya—saat pelaku kejahatan dikejar-kejar mobil polisi! Masih sempat-sempatnya Naruto berpikir seperti itu dengan bibir tersenyum geli.

Bunyi sirene mobil polisi menyadarkan Naruto dari lamunannya. Karena memikirkan permainan favoritnya itu ia sampai lupa sudah menurunkan kecepatan mobilnya, hingga membuat dua mobil polisi itu sudah semakin dekat dengan mobilnya. Tangan kanannya langsung terulur menggerakkan persneling. Melarikan diri sudah jadi pilihannya. Ia tak mau berurusan dengan polisi-polisi itu.

Mobil Naruto kembali melaju di atas batas kecepatan rata-rata. Naruto menyeringai senang. Dua mobil polisi itu sudah benar-benar tertinggal jauuuh. Tapi seringaian di bibir Naruto langsung menghilang begitu ia melihat di ujung jalan tol yang ia lewati sudah ada tiga mobil polisi yang memblok jalan.

Astaga! Kedua mata Naruto nyaris keluar. Matilah ia sekarang!

Naruto menginjak rem mobilnya kuat-kuat, hingga menimbulkan suara decitan ban mobil yang beradu dengan jalanan aspal. Dua mobil polisi yang mengejarnya di belakang semakin dekat, sementara tiga mobil polisi yang tak jauh di depannya juga bergerak mendekat. Skakmat. Naruto benar-benar dikepung lima mobil polisi dari dua arah.

"Pengendara mobil Chevrolet Camaro dengan plat nomor 1010 harap keluar dari mobil dengan dua tangan terangkat."

Masih dengan ekspresi tidak percaya karena dikepung lima mobil polisi, Naruto akhirnya melangkah ke luar dari dalam mobilnya setelah mendengar perintah dari pengeras suara salah satu mobil polisi di depannya.

Secara bersamaan empat anggota polisi turun dari dalam mobil masing-masing, berjalan menuju ke arah Naruto dengan wajah serius dan tegas. Naruto menarik napas panjang diam-diam. Pasrah sudah dia dengan keadaannya.

"Anda telah melanggar lampu lalu lintas." Salah satu polisi yang tadi mengejar Naruto bersuara.

"Anda juga telah berkendara di atas kecepatan rata-rata." Polisi yang lain—yang juga mengejar Naruto—menimpali.

"Maaf." Naruto memasang wajah menyesal. Berharap sanksi yang akan didapatnya akan sedikit ringan. Tapi—

"Ini bau alkohol," seorang polisi yang berdiri di samping kanan Naruto tiba-tiba bersuara begitu indera penciumannya menangkap bau dari mulut Naruto saat berbicara. "Apa tadi Anda meminum alkohol?"

Naruto meneguk ludah. Oh, tidak... sanksi hukuman yang akan diterimanya pasti semakin berat. "Ya..." jawabnya pelan.

"Dari baunya saya tahu kalau ini bau alkohol tequila yang kadar alkoholnya empat puluh persen," kata polisi yang berdiri di samping polisi yang pertama kali mencium alkohol dari mulut Naruto. "Anda sudah tahu kan peraturan di Jepang ini jika ditemukan pengendara memiliki kadar alkohol di dalam darahnya?"

Naruto meneguk ludah lagi sambil mengangguk. "Saya akan didenda dan SIM saya akan ditahan—"

"Ditambah dengan training berkendara agar Anda tahu betapa berbahayanya mengendarai mobil dalam kondisi mabuk." Naruto menoleh terkejut begitu salah satu polisi yang berdiri di samping kirinya ikut menambahkan.

Tapi tubuhku sudah lumayan kebal dengan alkohol! Bahkan sekarang aku masih sadar saat dikepung kalian! Ingin sekali Naruto berteriak seperti itu di depan keempat polisi ini. Tapi, tidak jadi. Ia sadar posisi.

"Dan Anda tahu—" Polisi yang berdiri di samping kanan Naruto berujar, "—karena kadar alkohol Anda sangat tinggi, Anda dapat dikenai sanksi kurungan sampai dengan dua tahun."

Naruto mendelik horor.

"Itu masih belum ditambah dengan sanksi lainnya karena tadi Anda juga telah melanggar lampu lalu lintas dan berkendara di atas kecepatan rata-rata," sambungnya.

Fuck! Jadi masih ada sanksi lainnya lagi?! Naruto memaki dalam hati. Sekarang, ia ingin sekali mempraktekkan karatenya pada para polisi ini. Tapi empat lawan satu... well, ia pasti kalah.

"Apa masih ada masalah lain?" Suara seorang anggota polisi yang baru turun dari mobil menginterupsi. Keempat polisi yang berdiri di hadapan Naruto kompak menoleh dan langsung membungkuk hormat.

Kedua alis Naruto terangkat kaget begitu melihat siapa anggota polisi yang berjalan mendekat itu. "Uchiha Sasuke...?"

"Kau masih ingat aku ternyata?" Anggota polisi itu mengangkat satu alisnya dengan bibir menyeringai.

"Tch," Naruto mendengus, hampir tertawa. "Mana mungkin aku lupa dengan senpai yang saat di kampus dulu benar-benar tergila-gila denganku. Hm?"

Raut wajah Sasuke langsung mengeras begitu melihat senyuman merendahkan Naruto. Memori saat dulu ia mengejar-ngejar pria berwajah manis itu kembali terputar.

Saat itu, Sasuke sudah berada di tingkat akhir begitu Naruto baru saja masuk ke kampusnya dengan status mahasiswa baru. Sasuke yang tidak pernah percaya dengan jatuh cinta pada pandangan pertama, pada akhirnya percaya begitu sepasang matanya menemukan sosok Naruto yang berada dalam barisan mahasiswa baru di hari pertama OSPEK.

Cara-cara manis dilakukan Sasuke agar Naruto menjadi kekasihnya, menjadi miliknya. Tapi, sayang... Naruto yang mempunyai prinsip hidup: 'Tidak ingin terikat, kecuali dengan orang yang dicintainya', apalagi Naruto seorang straight, langsung menolak Sasuke mentah-mentah.

Sasuke yang tidak pernah menerima penolakan akhirnya memakai cara ekstrem. Setiap hari ia mengejar Naruto, menyingkirkan siapa saja yang punya pikiran untuk menjadi kekasih Naruto. Hingga Naruto yang sudah kehabisan kesabarannya akhirnya menghina Sasuke habis-habisan suatu hari.

"Dasar gay menjijikan. Kenapa kau tidak menghilang saja dari muka bumi ini? Dengan begitu satu manusia yang menjijikan dan tidak berguna sepertimu sudah membuat dunia ini menjadi normal!" Selalu kalimat itu yang keluar dari mulut Naruto jika Sasuke sudah dalam radius yang dekat dengannya. Ia bahkan tak peduli kalau suaranya didengar semua mahasiswa yang ada di dekatnya.

Setelah penghinaan itu, Sasuke mengubah posisinya menjadi defense; mengawasi Naruto dari jauh. Naruto tahu Sasuke masih belum menyerah, tapi setidaknya ia bisa sedikit bernapas lega.

Semua itu ternyata tak berlangsung lama, karena hari-hari penuh kebebasan Naruto datang pada saat hari wisuda Uchiha Sasuke. Naruto bahkan sempat berpikiran untuk menyewa marching band di hari wisuda Sasuke untuk merayakan kebebasannya dari pria satu itu. Ia bahkan mendengar kabar kalau pria bermarga Uchiha itu juga akan mengikuti wajib militer seminggu kemudian. Dan semakin lengkaplah rasa bahagia Naruto karena tidak akan melihat wajah Sasuke selama ia menjalani wajib militer itu.

"Sudah tiga tahun lebih ya kita tidak bertemu. Padahal aku sangaaat berharap bisa bertemu denganmu—" jeda, "—saat kau sudah dimakamkan." Bibir Naruto menyeringai kejam.

Sepasang mata tajam Sasuke tak lepas dari Naruto. Kedua tangannya mengepal kuat di samping tubuh. "Sepertinya kau akan sangat bahagia sekali ya jika aku sudah lenyap dari muka bumi ini."

"Tentu saja!" sahut Naruto cepat. "Aku bahkan berharap kau tidak bereinkarnasi lagi. Eh, tapiii..." Naruto menahan tawa yang nyaris keluar dari mulutnya. "Jika reinkarnasimu selanjutnya jadi wanita, akan kupikir-pikirkan lagi untuk menjadikanmu kekasihku. Dengan syarat, kau harus berwajah cantik, manis, dan body-mu itu—" Naruto mengedipkan satu matanya sambil bersiul, "—harus seksi~"

Keempat polisi yang ada di situ langsung ternganga dengan mata membelalak. Sementara Sasuke, ia tengah mati-matian menekan amarah yang semakin bergolak di dalam dadanya. Baru kali ini ia dihina di depan mata para bawahannya! Pria satu itu harus tahu dengan siapa ia berurusan sekarang!

Sasuke melangkah dari posisinya berdiri. Dan tanpa diduga langsung menyambar salah satu lengan Naruto, lalu memutarnya di belakang punggung. Lengan Naruto yang lain juga dibawa ke belakang punggung, dan Sasuke menahannya hanya dengan satu tangan. Sementara tangannya yang bebas mendorong punggung Naruto, hingga tubuh depan pria manis itu menempel di samping pintu mobil.

"Dengar," desis Sasuke, "sekali lagi kau menghinaku di depan para bawahanku, kupastikan kau tidak akan pernah melihat matahari lagi."

Naruto mendengus, "Memang kau ini siapa? Dewa Matahari?"

BRAK!

"Auuuh!"

Sasuke menyentak tubuh di depannya hingga membentur badan mobil. Membuat Naruto meringis panjang karena rasa sakit yang dirasakannya.

"Apa kau pikir aku sedang bercanda?" Sasuke berkata persis di depan telinga Naruto. Pria manis itu kali ini tak bersuara. "Jika kau bersikap manis dan patuh, aku tidak akan bersikap kasar pada—"

"Tidak perlu," potong Naruto sebelum Sasuke menyelesaikan kalimatnya, "aku bukan wanita."

Benar-benar keras kepala. Kita lihat sampai mana kau akan bersikap seperti itu saat aku membawamu ke tempat eksekusi, gumam Sasuke dalam hati.

Cklek! Cklek!

"Eh?" Naruto sedikit tersentak begitu merasa benda dingin yang melingkar di kedua pergelangan tangannya. Borgol yang terpasang itu sudah mengunci gerakannya.

Tiba-tiba Sasuke menarik bagian belakang jaket Naruto dan mendorongnya ke para bawahannya yang ada disitu. "Masukkan dia ke dalam mobil," perintahnya.

Dua bawahan Sasuke langsung mengangguk dan menggiring Naruto menuju satu-satunya mobil polisi berjenis Range Rover yang ada di jalanan itu. Dan setelah menunjuk salah satu bawahannya untuk membawa mobil Naruto ke kantor mereka, Sasuke berlalu menuju mobil polisi yang tadi dinaikinya.

"Ini pasti pengalaman pertamamu dikepung polisi, kan?" Sasuke berkata tanpa menoleh begitu ia sudah duduk di jok depan. Naruto yang duduk di kursi tengah hanya menjawab dengan dengusan. "Waktumu untuk mengubah sikap keras kepalamu itu hanya sampai mobil ini berhenti di kantor polisi. Ini bukan penawaran. Ini perintah. Mengerti?"

Naruto bungkam.

Mobil-mobil polisi yang ada di jalanan itu bergerak bersamaan menuju satu tujuan. Sirene polisi yang terdengar bersahut-sahutan seolah menjadi penggiring kematian di telinga Naruto.

Sudut bibir Sasuke terangkat sedikit begitu ia bisa melihat sosok Naruto yang tengah menunduk dari kaca spion. Akhirnya hari ini datang juga. Hari di mana ia akan membalas semua penghinaan yang dilakukan Naruto dulu. Dan kali ini—pasti!—ia akan menaklukkan pria manis itu!

Beep!

Handie talkie yang berada dalam genggaman Sasuke berbunyi saat ia menahan tombol push-to-talk, kemudian ia mendekatkan bibirnya dengan jarak tiga inchi dari alat komunikasi itu.

"10-64 (Pekerjaan telah selesai). Diulangi, 10-64."

Beep!

"8-6, 8-1-10!" Semua bawahan Sasuke membalas bersamaan.

.

.

Ini benar-benar hari terburuk bagi seorang Uzumaki Naruto. Benar-benar sangat buruk!

Dengan dua anggota polisi bawahan Sasuke yang mengapit di samping kiri dan kanan, Naruto melangkah di koridor kantor polisi yang sudah sunyi. Tadi hanya terlihat beberapa anggota polisi yang berjaga di depan pos saat ia melangkah turun dari mobil.

Setelah melewati koridor panjang tanpa jendela dan lumayan berliku—bahkan mungkin tahanan yang ada di kantor polisi ini akan berpikir dua kali untuk kabur—Naruto dan dua polisi itu berhenti di depan sebuah pintu berwarna putih. Salah satu polisi langsung memasukkan kunci, memutarnya dua kali, dan pintu terbuka.

Naruto didorong masuk ke dalam ruangan oleh polisi yang berdiri di sampingnya. Di tengah-tengah ruangan putih yang besar itu ada sebuah meja besi yang terbuat dari stainless steel, beserta dua buah kursi yang saling menghadap. Naruto mengedarkan pandangannya, selain meja dan kursi, ada sebuah cermin besar berukuran 1x1 meter yang tertempel di dinding bagian barat, AC yang tertempel di dinding bagian utara, dan sebuah pintu di sudut antara dinding bagian selatan dan timur—yang sepertinya itu pintu toilet. Polisi di sampingnya membuka borgol di belakang punggungnya dan kembali memborgolnya di depan tubuhnya.

"Ruangan apa ini?" Naruto akhirnya tak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya. "Setahuku penjara bukan seperti ini."

"Ini ruangan khusus untuk orang-orang yang bermasalah seperti dirimu sebelum dijebloskan ke balik jeruji." Naruto menoleh. Itu bukan suara dari salah satu anggota polisi yang membawanya ke ruangan ini. Entah sejak kapan Sasuke sudah berdiri di ambang pintu ruangan dengan dua tangan terlipat di depan dada.

Dua bawahan Sasuke yang telah menyelesaikan tugasnya langsung menuju pintu. Sasuke baru melangkah masuk ke dalam ruangan setelah kedua bawahannya sudah ke luar, dan ia menutup pintu dari dalam. Setelah menguncinya, anak kunci langsung ia masukkan ke dalam saku di belakang celananya.

Tanpa melepaskan tatapannya dari Naruto, Sasuke melangkah menuju salah satu kursi. "Duduk," perintahnya, setelah ia menyandarkan punggungnya di salah satu kursi yang didudukinya.

Naruto memutar kedua bola matanya, sembari duduk di kursi. Sekarang ia harus berhadapan lagi dengan pria yang paling tidak ingin dilihatnya di muka bumi ini.

"Apa kau tahu? Aku bisa menyelesaikan perkara hukum ini dengan kekuasaan otousan-ku," Naruto lebih dulu memecah keheningan di antara mereka. Sorot mata tajam Sasuke membuat ia mulai merinding.

"Begitu, ya..." Sasuke mengangguk-angguk. Ia tahu keluarga Uzumaki lumayan berpengaruh di setiap kalangan. "Tapi bagaimana kalau otousan-mu tahu kalau sebenarnya putranya, 'Tuan Muda Uzumaki Naruto yang terhormat', menggunakan benda ini?"

Kedua alis Naruto mengerut begitu Sasuke melempar sekantong plastik kecil bubuk putih di atas meja. Ia kembali menoleh dan menatap Sasuke.

"Apa ini?"

Sasuke tertawa mendengus, "Jangan pura-pura tidak tahu. Kokain itu ditemukan bawahanku di dalam mobilmu tadi."

"APA?!" Kedua mata Naruto membelalak terkejut. "Aku tidak pernah memakai obat-obat terlarang seperti itu!"

"Oh, jika kau tak memakai benda itu, lalu apa? Apa kau pengedarnya?" Satu alis Sasuke terangkat sarkatis.

"HEI!" Naruto berdiri dari kursi yang didudukinya. "Jangan asal menuduhku, dasar berengsek!"

"Aku tidak asal menunduh. Barang bukti itu ditemukan di dalam mobilmu." Sasuke berkata dengan tenang. "Kau masih mau menyangkal?"

Naruto menggeram.

"Kembali duduk."

"Atau apa?" tantang Naruto. Cukup sudah! Ia tidak terima dituduh menggunakan dan mengedarkan salah satu obat-obatan terlarang itu.

"Uzumaki Naruto, aku sedang tidak bermain-main..."

"Siapa takut!" Dan Naruto baru menyesal dengan ucapannya begitu dengan gerakan tiba-tiba Sasuke melompati meja yang membatasi mereka, mendorong sebagian tubuh atasnya hingga punggungnya melekat di meja besi, sementara kedua kakinya menjuntai di lantai.

Dengan satu tangannya, Sasuke menahan kedua pergelangan tangan Naruto—yang masih terborgol—di atas kepala pria manis itu. Lalu Sasuke berdiri di antara kedua kaki Naruto.

Naruto menahan napas tanpa sadar begitu tubuh Sasuke merendah dan berhenti hanya sepuluh sentimeter di atas wajahnya. Mata tajam itu semakin nyalang jika dilihat dengan jarak sedekat ini. Mengerikan.

"Coba katakan sekali lagi?" Sasuke mendesis tajam, "Yang tadi kurang jelas."

Naruto menelan ludah susah payah. Nyalinya semakin menciut. Tapi egonya masih sangat tinggi. "Siapa takut!"

BRAAAK!

Meja besi itu berdebam keras begitu kepalan tangan Sasuke menghantamnya tiba-tiba. Naruto membeku. Kepalan tangan Sasuke hanya berjarak sepuluh inchi di samping wajahnya.

"Kau benar-benar tidak berpikir saat di perjalanan tadi, ya?" Telapak tangan kanan Sasuke menepuk-nepuk pelan pipi kiri Naruto. Ia kembali merendahkan wajahnya. "Karena kau tadi berani menghinaku di depan mata para bawahanku. Jadi, sekarang giliranku—" bibir Sasuke mendekat di telinga Naruto, "—untuk memberimu penghinaan di depan mata para bawahanku."

Tubuh Naruto menegang. Tengkuknya meremang. Perasaannya semakin tidak enak. Sasuke memutar dagunya ke arah kiri.

"Kau lihat cermin besar di dinding itu?" Naruto tak menjawab. Sasuke kembali melanjutkan, "Itu cermin satu arah. Di balik cermin itu ada sebuah ruangan kecil, dan di sana para bawahanku sedang melihat kita—dengan sangat jelas." Sasuke kembali memutar dagu Naruto, membuat pria manis itu kembali menatapnya. "Jadi, mari kita buat live show yang sangat menarik."

"Apa maksud—" Pertanyaan Naruto urung selesai, karena Sasuke tiba-tiba memangut bibirnya. Naruto mematung selama tiga detik, sebelum ia meronta-ronta. Hal itu jelas sia-sia karena tangan Sasuke yang bebas menjambak rambutnya—membuat kepalanya yang menggeleng-geleng sontak berhenti.

Tepat dua menit, Sasuke akhirnya melepas bibir merah itu dengan kecupan bersuara. Naruto menatap Sasuke dengan tatapan kesal, napasnya masih terengah. Jika saja kedua tangannya yang terborgol itu tidak ditahan, ia pasti sudah mengusap bibirnya kuat-kuat.

"Kau—"

"Diam." Sasuke memotong. Ia mengangkat sedikit tubuhnya. "Aku yang memegang kuasa di sini."

Gigi-gigi Naruto yang terkatup berbunyi menggeletuk. Kedua matanya menyipit kesal. Ia harus mencari cara agar terlepas dari pria berengsek di atas ini. Tapi—

"Kau tidak akan pernah lepas dari cengkramanku," seolah bisa membaca pikiran Naruto, Sasuke berkata, "kali ini—akan kubuat kau benar-benar menjadi milikku."

Tanpa terduga, dengan pisau lipat—yang entah sejak kapan berada di tangannya—Sasuke membuat robekan di baju bagian depan Naruto dengan garis vertikal. Naruto menarik napas tercekat, ia tak sempat menjerit begitu sekarang dada dan perutnya sudah tersaji di depan mata Sasuke.

Ujung pisau lipat yang tajam itu menusuk-nusuk kecil permukaan kulit Naruto begitu Sasuke menggerakkannya dengan cara melompat-lompat. Dan baru berhenti di tulang bahu Naruto. Ringisan pelan meluncur dari bibir Naruto begitu ia merasa sabetan kecil tepat di tulang bahunya.

Wajah Sasuke merendah. Lidahnya terjulur keluar untuk menjilat darah segar yang keluar dari sabetan yang dibuatnya. Meski darah sudah berhenti mengalir, Sasuke masih tetap menjilatnya sambil sesekali melumat. Hingga begitu ia kembali mengangkat wajahnya, tanda merah kecil telah tercipta di bagian itu.

"Kenapa, Sayang?" Ujung pisau Sasuke kali ini bergerak di bawah dagu Naruto. Naruto yang terlambat mengangkat dagunya harus kembali meringis begitu merasakan sedikit perih di bawah dagunya. "Padahal aku baru menggunakan pisau lipat kecil ini, tapi kau sudah mulai patuh, hm?" Sasuke menyeringai.

Setetes darah meluncur dari bawah dagu Naruto yang terluka kecil. Sasuke menatap cairan merah yang melintasi leher Naruto selama beberapa detik, sebelum akhirnya ia kembali merendahkan wajahnya; menjilat bekas luka yang baru dibuatnya itu.

Pisau lipat Sasuke kembali bergerak. Kali ini ia membuat sabetan kecil di bagian leher Naruto. Naruto memejamkan matanya rapat-rapat begitu sedikit rasa perih itu kembali muncul, dan sekali lagi lidah Sasuke menjilatnya.

"Peraturan paling utama," Sasuke berujar begitu ia sudah mengangkat wajahnya dari leher Naruto. Kedua mata Naruto kembali terbuka. "Jika aku memerintahkanmu untuk menciumku, kau harus segera melakukannya, selama 'dua puluh empat detik'. Dan jika kau melanggarnya—" Bagian pipih pisau lipat itu menepuk-nepuk pipi Naruto, "—maka pisau lipat ini yang akan berbicara di tubuhmu. Mengerti?"

Naruto menelan ludah. Ia tahu sekarang nyawanya tergantung dari sikapnya kepada Sasuke. Dan, begitu Sasuke berucap, "Sekarang, cium aku." Tanpa menunggu lagi, Naruto langsung mengangkat wajahnya; mencium bibir Sasuke—yang sebenarnya ingiiin sekali ia gigit hingga berdarah—seperti aturan waktu yang sudah ditetapkan.

Sasuke menjilat bibir bawahnya begitu ciuman mereka usai. "Good boy," katanya, sembari mengecup singkat pipi Naruto. Melihat raut wajah Naruto yang tampak lega karena pria manis itu mengira semua penyiksaan Sasuke sudah selesai, Sasuke menyeringai dalam hati. "Tapi, pertunjukan kita belum selesai, Sayang."

Seketika wajah lega Naruto berubah menjadi tegang. Sasuke menegakkan tubuhnya dan membuka salah satu laci meja. Dari posisinya yang tidur terlentang di atas meja, Naruto menduga-duga apa yang akan dilakukan Sasuke padanya. Jantungnya berpacu cepat. Keringat dingin mulai membasahi dahinya.

Tak lama kemudian, Sasuke kembali menatap Naruto dengan bibir menyeringai. Perlahan ia mengangkat benda itu dari dalam laci. Dua buah tali yang panjangnya satu meter sudah ada dalam genggamannya.

Dengan sepasang mata yang tak lepas dari Naruto, Sasuke meletakkan dua tali itu di samping tubuh pria manis itu. Kemudian ia kembali berdiri di posisi semula; di antara kedua kaki Naruto.

"Kau pasti sudah tahu kan apa yang akan kulakukan dengan dua tali itu?" Kedua tangan Sasuke bergerak melepas pengait celana jins Naruto. Raut wajah Naruto berubah pucat. Tidak. Tidak mungkin. "Hal yang sering kau lakukan pada wanita yang selalu menemanimu di atas ranjang, sekarang, akan kubuat kau merasakan apa yang dirasakan para wanita itu."

Naruto membelalak horor. Refleks, tubuhnya mulai meronta. Namun, Sasuke lebih cepat bertindak. Dengan sekali sentakan, Sasuke melepaskan celana beserta boxer Naruto hingga tubuh bagian bawah pria manis itu terekspos. Naruto berjengit begitu bongkahan pantatnya merasakan dinginnya meja besi di bawahnya. Ia mulai menggigil begitu udara dingin dari AC seolah menusuk-nusuk miliknya yang masih terbaring lemas.

"Kau—berengsek! Apa kau sudah gila?!" maki Naruto dengan suara meninggi dan kedua mata melotot tajam.

"Yeah," Sasuke menyahut, "aku jadi gila karena dirimu..." Kedua tangannya melepas sepatu Naruto dan menjatuhkannya di bawah meja. "Dan akan kubuat kau juga jadi gila—karena diriku."

Kaki kanan Naruto yang siap menendang tubuh Sasuke menjauh dengan mudahnya terbaca, dan tangan kiri Sasuke langsung menahan. Tangan kanannya juga melakukan hal serupa pada kaki kiri Naruto, sebelum pria manis itu menendang tubuhnya. Kemudian Sasuke merentangkan kedua kaki itu sampai batas yang tidak bisa ditolerir Naruto.

Tubuh Naruto berhenti meronta. Sebagai gantinya, ia menatap Sasuke dengan pandangan pembunuh. Sasuke hanya memasang wajah datar. Dengan mulut mengatup rapat, ia mulai mengambil salah satu tali tadi, dan mulai mengikatnya di kaki kiri Naruto—yang sudah ia buat terlipat mengacung ke atas.

"HEI! DASAR BERENGSEK! HENTIKAN!" Naruto mulai panik begitu kaki kirinya benar-benar diikat dengan kuat. Sasuke tak menanggapi dan mulai mengikat kaki kanan Naruto. Dan setelah semua kerjaannya beres, senyuman puas terukir di bibirnya.

Mulut Naruto yang terus memaki langsung bungkam begitu Sasuke kembali memegang pisau lipat. Dengan tenang, pria itu menarik kursi, dan duduk di hadapan Naruto yang terlentang di atas meja dengan dua kaki mengacung ke atas membentuk huruf 'V'. Kedua mata Sasuke menatap milik Naruto dengan serius, seolah-olah itu adalah salah satu benda yang masuk dalam daftar tujuh keajaiban dunia.

Wajah Naruto memerah sempurna. Marah, jengkel, dan malu bercampur jadi satu. "Berhenti menatap bendaku seperti itu seolah kau sendiri tidak memilikinya," desisnya dengan gigi gemeretak. Dan barulah Sasuke menoleh, menatap kedua mata Naruto.

"Jika aku memotong benda kebanggaanmu ini, apa kau masih bisa bertahan hidup?"

Naruto terperangah.

"Ya, kemungkinan lima puluh banding lima puluh," Sasuke menjawab sendiri pertanyaannya. Tangan kirinya terulur ke arah milik Naruto. Menarik benda yang masih lemas itu hingga mengacung ke atas.

Jantung Naruto kembali berpacu cepat. Ia berharap Sasuke tidak melakukan apa yang baru saja dikatakannya. Naruto menggigit bibir bawahnya begitu Sasuke mulai meremas-remas miliknya.

"Benda ini harusnya hanya milikku sendiri," ujar Sasuke. "Tapi benda ini sudah pernah dirasakan oleh para wanita sialanmu itu." Ibu jari Sasuke mengelus-elus kepala milik Naruto. Sasuke tersenyum menyeringai begitu mendapati Naruto yang tengah memejamkan mata rapat-rapat. Sepertinya pria manis itu mulai sedikit menikmatinya.

Tiba-tiba Sasuke melepas milik Naruto dari tangannya. Kedua mata Naruto kembali terbuka dengan napas yang sedikit tersengal. Ada setitik rasa kesal dan kecewa dari bola mata itu. Dan kejadian yang tak pernah diduga Naruto terjadi. Pisau yang berada di tangan kanan Sasuke kembali ia lipat, kemudian ia memasukkan gagang pisau lipat—yang besarnya sama seperti dua jari orang dewasa—itu ke dalam lubang rektum Naruto tanpa peringatan.

"AAAAARRRGGGHHH...!" Naruto berteriak sangat keras, hingga suaranya menggema di dalam ruangan itu. Gagang pisau lipat itu semakin menerobos masuk ke dalam lubang ketatnya yang belum pernah dimasuki oleh benda asing. Air mata mulai menggenang di kedua pelupuk mata Naruto begitu Sasuke memutar-mutar gagang itu 360 derajat tanpa jeda.

Sasuke menikmati semua penyiksaannya itu dengan bibir tersenyum tenang. Sesekali ia menusuk-nusuk lebih dalam, mencoba mencari titik terdalam Naruto. Namun sayang, gagang pisau lipat itu terlalu pendek, hingga tak bisa menjangkau apa yang ia cari.

Dada Naruto turun naik dengan napas terengah-engah begitu sejenak Sasuke menghentikan penyiksaannya, membiarkan benda asing itu masih berada di dalam tubuhnya. Kedua kakinya sampai bergetar karena rasa perih yang ia rasakan di tubuh bagian bawahnya.

Sasuke merapatkan kursi yang didudukinya hingga nyaris menempel di pinggir meja. Wajahnya merendah, menjilat paha bagian dalam Naruto, sebelum ia menggigit dan melumatnya—membuat tanda kepemilikannya.

Tubuh Naruto mengeliat resah dengan bibir yang sesekali merintih. Rasa perih yang dirasakannya perlahan mulai ia lupakan karena pikirannya lebih terfokus dengan sentuhan bibir Sasuke di pahanya. Kedua mata Naruto terpejam erat, lidah hangat Sasuke mulai menjilat miliknya dari bagian bawah sampai kepala miliknya. Perasaan aneh ini tidak pernah ia temui begitu para wanita—yang diajaknya bermain di atas ranjang—mengulum benda kebanggaannya.

Sasuke menyeringai tanpa melepas mulutnya yang masih berada di milik Naruto, begitu ia melihat mulut pria manis itu terbuka lebar. Meski sangat pelan, tapi ia bisa menangkap suara desahan yang terdengar seksi itu. Satu tangan Sasuke yang bebas tiba-tiba kembali merayap di depan lubang rektum Naruto. Mengeluarkan gagang pisau lipat itu sampai tinggal setengah, kemudian ia kembali memasukannya-mengeluarkannya, keluar-masuk, berulang-ulang kali hingga tubuh Naruto terlonjak-lonjak kecil.

"Akh! Akh! Akh!" Kepala Naruto menggeleng-geleng. Rasa perih itu kembali datang, tapi kali ini bercampur dengan rasa nikmat—karena mulut Sasuke yang juga seirama naik-turun di atas miliknya. Tunggu, kenapa ia jadi mulai menyukai rasa sakit bercampur nikmat ini? Naruto menampar wajahnya sendiri dalam imajinatif. Berusaha mengembalikan logikanya, tapi sia-sia karena rasa nikmat itu lebih berdampak besar meracuni otaknya.

Tiba-tiba tubuh Naruto menegang. Ia bisa merasakan sesuatu di dalam tubuhnya sudah mengalir deras menuju ujung kepala miliknya. Dan, benar saja... sesuatu yang seharusnya hanya bisa ia dapatkan dari oral seks para wanita, kini juga bisa ia dapatkan dari seorang pria.

Dengan punggung tangannya, Sasuke mengusap cairan yang meleleh keluar dari sudut bibirnya, sembari menegakkan tubuhnya. Ia menatap tubuh Naruto yang masih bergetar kecil karena klimaks pertamanya. Tanpa melepas kedua matanya dari Naruto, Sasuke menarik keluar gagang pisau lipat. Membuat pria manis itu mengerang pelan masih dengan mata terpejam.

Kemudian kedua tangan Sasuke mulai melepas seragam kemejanya, menjatuhkannya di lantai, lalu beralih untuk melepas ikat pinggang di celananya. Naruto baru membuka kedua matanya begitu telinganya menangkap suara restleting diturunkan. Ia menoleh dan langsung terpana. Sasuke telah bertelanjang dada. Otot-otot yang tercipta di tubuh atletis itu pasti dari hasil wajib militer yang diikutinya.

Namun, keterpanaan Naruto tak berlangsung lama. Karena begitu kedua matanya turun ke bagian bawah tubuh Sasuke, ia langsung meringis ngeri. Ukuran milik Sasuke dua kali lipat lebih besar dan panjang dari miliknya.

"Tidak!" Naruto menggerakkan kedua tangannya yang terborgol, begitu kedua tangan Sasuke menarik pinggangnya ke pinggir meja. "Kumohon jangan lakukan itu!" Kedua matanya membelalak horor. Ia tidak bisa membayangkan jika milik Sasuke menerobos ke dalam tubuhnya. Pasti lebih menyakitkan daripada gagang pisau lipat tadi.

Sasuke tertawa dalam hati. Menyenangkan sekali melihat sang pemberontak ini kembali menunjukkan kelemahannya. Tapi hal ini tidak bisa dihentikan lagi. Selama ini Sasuke hanya bisa bermimpi menyentuh tubuh pria manis yang disukainya ini. Dan hari ini, semua mimpinya sudah jadi kenyataan karena ia sudah nyaris merasakan surga dunia.

"Persiapkan dirimu untuk melayaniku semalaman ini, Naruto."

.

.

Tepat jam enam pagi, Sasuke keluar dari ruangan—yang menjadi saksi bisu penyiksaan—dengan Naruto yang berada dalam gendongannya. Dua bawahannya yang sudah sejak sepuluh menit menunggu di luar langsung membungkuk hormat bersamaan. Lalu kompak melirik ke arah Naruto yang tak sadarkan diri.

"Bereskan ruangan di dalam. Dan katakan pada yang lain kalau aku cuti beberapa hari. Mengerti?"

"Ha'i, Komandan!" sahut kedua bawahan Sasuke.

Sasuke tersenyum singkat dan berlalu pergi. Begitu ke luar dari pintu belakang kantornya, Sasuke segera menuju tempat ia memarkir mobilnya. Setelah mendudukkan Naruto di jok depan samping jok pengemudi dan memakaikan sabuk pengaman, Sasuke menutup pintu. Berputar menuju pintu pengemudi, dan melangkah masuk.

Mobil BMW warna hitam itu akhirnya meluncur di jalanan, membelah jalanan yang mulai ramai dengan segala jenis kendaraan.

.

.

Cklek!

Sasuke melangkah masuk ke dalam apartemennya begitu pintu di depannya terbuka. Ia langsung menuju kamarnya, kemudian meletakkan tubuh Naruto yang masih tak sadarkan diri di atas tempat tidur king size-nya.

Berlalu dari pinggir tempat tidurnya, Sasuke menuju lemari pakaiannya. Menarik sebuah sweater besar berwarna soft grey bertangan panjang dari tumpukan bajunya. Kemudian kembali di samping Naruto. Melepas satu per satu pakaian Naruto yang sudah tak layak dipakai, sebelum ia memakaikan sweater-nya.

Tangan kanan Sasuke tiba-tiba terulur, membelai lembut pipi itu. Dan setelah mengecup pelipis Naruto, Sasuke berdiri dari pinggiran tempat tidur yang ia duduki. Menuju pintu kamarnya.

Ponsel di dalam saku celana Sasuke berdering saat ia baru saja akan membuka lemari es. Bibir itu melengkung membentuk senyum begitu melihat siapa nama si penelepon di layar.

"Halo?"

/"Bagaimana? Apa rencanamu berhasil?"/ Suara di seberang sana langsung bertanya to the point.

"Ya, berkat bantuanmu, Deidara nii."

/"Eyy... Aku hanya membantu sedikit."/ jeda sejenak. /"Bagaimana keadaannya? Serius, aku akan mengulitimu hidup-hidup Sasuke kalau adikku itu tak bangun untuk selamanya."/ Suara di seberang tiba-tiba menjadi cemas.

Sasuke tertawa pelan, "Mungkin dia baru akan bangun siang atau sore nanti, Niisan. Sepertinya dia benar-benar kelelahan." Tangan kirinya membuka pintu lemari es. Mengambil sebuah botol minuman. "Niisan, bolehkah aku... mengurungnya di apartemenku untuk beberapa hari?"

/"Oh, silahkaaan... Aku bahkan sangat berharap kau bisa mengubah sikap pemberontaknya itu."/

"Jadi, Niisan juga setuju kalau aku membuat Naruto hamil anakku?"

/"Heh! Aku tidak bilang begitu! Kau mau membuat kedua orang tua kami masuk UGD karena serangan jantung?"/

Sasuke terkekeh-kekeh. Bukannya dengan begitu ia tak perlu repot-repot lagi mendapat izin, bahkan mungkin diberikan amanat, pikirnya dalam hati. Tapi tiba-tiba kekehan Sasuke berhenti begitu di ambang pintu dapur ia melihat Naruto sudah berdiri di sana—entah sejak kapan—dengan kedua mata yang menunjukkan dendam, amarah, kaget, dan tidak percaya.

"Jadi, kau merencanakan semua ini dan juga berkonspirasi dengan Niisan-ku?" desisnya dengan gigi terkatup rapat.

/"OMG! Apa itu Naruto? Sejak kapan dia mendengar semua pembicaraan kita?"/ Di ujung telepon, Deidara berseru kaget begitu ia mendengar suara adiknya. Sasuke tak menanggapi dan mematikan teleponnya tanpa menoleh sedikitpun dari kedua mata Naruto.

Kedua mata Sasuke tak berkedip begitu ia menatap Naruto dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sweater-nya yang dipakai pria manis itu hanya menutupi sampai sebatas paha. Naruto benar-benar terlihat seperti malaikat yang jatuh ke bumi.

"Berhenti menatapku seperti itu!" bentak Naruto begitu sadar tatapan mata Sasuke sekarang sama seperti di dalam ruangan kantor polisi itu. Naruto melangkah mundur tanpa sadar begitu Sasuke mendekatinya. "Berhenti! Jangan mendekat! Huwaaa!"

Terlambat. Sasuke sudah mengangkat tubuhnya dan menaruhnya di atas pundak. "Karena kau sudah bangun tanpa kuduga," langkah kaki Sasuke berjalan menuju pintu kamarnya, "jadi mari kita lanjutkan lagi."

"Tidak! Tidak! Turunkan akuuu! Aaaaaaaa...!"

.

.

.


Selesai


Jeanne's notes:

Kode sandi polisi yg saya gunakan di fic ini anggap saja sama dengan yg dipakai di Jepang (kode2 itu saya tanyakan sendiri dari Dad saya, setelah melihat beliau berbicara dengan rekan kerjanya via HT).

Well, fic ini juga remake dari RPF di wp saya. RPF aslinya menggunakan MA-rated. Tapi seperti yg sudah saya katakan di fic SasuNaru kedua saya, saya hanya berani mempublikasikan dengan rating M.

Terima kasih bagi kalian yg sudah meninggalkan apresiasi (baik itu review, fave, dan follow) di fic 'MISUNDERSTANDING' itu:

User31; Aiko Michishige; witchsong; uzumakinamikazehaki; intanpandini85; SNlop; Uzumaki Seo Ji; gici love sasunaru; isnurina; Ryuusuke583; Uzumaki Prince Dobe-Nii; miszshanty05; efiastuti1; hanazawa kay; zukie1157; Network Error; The Greatest Archer.

Berikut pertanyaan-pertanyaan di dari beberapa review yg saya rangkum dan akan menjawabnya jadi satu:

Q: Bisa buat sekuelnya?

A: Maaf, tapi saya nggak akan membuat sekuel fic 'MISUNDERSTANDING' itu. Begitu juga dengan fic '24 Second Rule' ini. Seperti yg sudah pernah saya bilang, saya suka membuat fic cliff hanger.

Q: Kapan-kapan bikin fic multichap, ya?

A: Oke. Tapi saya nggak janji kapan bisa. Karena saya lebih aktif membuat fic oneshot. ^^

Q: Boleh minta link ke wp-nya?

A: Boleh. Buka saja profil FFn saya. :)

Q: Boleh minta akun wattpad Anda?

A: Saya punya akun wattpad, tapi nggak mempublikasikan fanfiksi saya di sana. Jika berkenan, bisa membuka profil FFn saya, karena di sana saya sudah memberi link menuju akun-akun saya; baik itu menuju ke WordPress, AO3, FictionPress, dll. :)

Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Sampai jumpa lagi di karya fanfiksi saya yg berikutnya. ^^