Sayap Yang Terpotong
by
Rarachii
.
Naruto © Kishimoto Masashi
AU. poetry. angst. crime.
Neji H. x Tenten
.
.
.
Kukepakkan sayapku,
Tepat sepuluh kaki di atas kepalamu.
.
.
.
[2 Maret, 1989]
.
Angan angin dalam seutas utopia
Menipisi sol-sol tebal ekpektasi, digunduli realita
Tertampar, kala genggaman tak lagi sudi dipegang
Aku dan kau
Hapus semua bahagia yang sempat tercipta.
.
.
.
[10 Maret, 1989]
.
Hari yang panjang, hari yang panjang
Rambut panjang yang tak lagi berkibar
Karena patah pada sayap
Dan mata yang disulut anakan sungai,
Melukis teluk di ujung dagu
Dia lumpuh, dia lumpuh
Sebelum janji suci diucap.
.
.
.
[11 April, 1989]
.
Kenapa dia pergi
Saat semua berubah kelam
Kemana perginya diorama bahagia
Yang terpajang di sudut-sudut respirasi nyawa
Apa, apa?
Kenapa dia pergi begitu saja?
.
.
.
[19 Mei, 1989. Teluk Tokyo.]
.
Tajuk putih yang menggulung tepi-tepian dermaga
Tersapu angin, terjilati dendam
Oh, bagaimana dengan nista balas di lain alam?
Teruntuk yang mengingkari ucap di atas putihnya cinta
Bagaimana dengan sobekan-sobekan dan irisan-irisan di atas siksa abadi?
Untuk itu, aku melompat dari sini
Menyeberang ke dimensi lain.
.
.
.
[15 April, 1989]
.
Sayapku kau patahkan
—ah, bukan,
Kau potong.
Karena cacat otakku, cacat nalarku
Aku tak waras, tak layak lagi bagimu
Pun, kenapa pula kalau kau gemakan setia itu mengalir di setiap kubik darah di nadimu,
Jika kau bisa pergi sekerlipan mata
Saat aku tak lagi sempurna?
Kau setia?
—kau tidak?
Ya, tidak.
Kau dusta.
.
.
.
[13 Mei, 1989. Tokyo. Mansion Hyuuga.]
.
Jadi, bagaimana jika potong dibalas potong?
Nyawamu pergi kala senja merah yang kau habiskan dengan sebilah pisau daging,
Yang melumeri dadamu, tertancap disana, habiskan darahmu
Pisauku—pisau yang menari-nari di jemariku dahulu
Haha.
Bagaimana?
Lara kah?
Senang kah?
—karena aku akan membuntutimu
Kemanapun kau pergi.
.
.
.
[12 Mei, 1989]
.
Kalau angan, angin, dan sekuntum karma masih tempatkan eksistensi,
Bagaimana kalau kita mulai segera?
Aku yang balas memotong sayapmu
Dan kau tak kan lagi terbang
—terbang sendiri
Meninggalkanku.
.
.
.
[14 Mei, 1989]
.
Jadi, kemana kau kan lari?
Lagi?
Tak bisa.
Kau dan aku satu.
Sesuai janji kita dahulu
Sebelum aku menggila
—sebelum kau berkhianat.
.
.
.
[19 Mei, 1989]
.
Kau mati.
Aku mati.
Sayapmu yang kurampas.
Kau kalah.
Aku menang.
Kukepakkan sayapku,
Tepat sepuluh kaki di atas kepalamu.
Membayangimu, menyayangimu,
Dengan sepenuh dendam dan karma dipatri selamanya.
Menggerayangimu,
Membunuhmu...
.
.
.
Tokyo, 1989.
Nama Hyuuga Neji dan Tenten telah tersemat pada cetakan undangan mewah dengan detil-detil rumit. Ada lambang dua klan yang bersanding di atasnya. Mereka adalah dua insan yang menjalin kasih tiga tahun belakangan ini. Meski berawal karena perjanjian bisnis semata, mereka tampak bahagia. Yang gadis benar-benar cinta—tersihir ketampanan pada pandangan pertama—dan yang lelaki, tersenyum patuh kepada formalitas.
Bertepuk sebelah tangan.
Yang satu bahagia sungguhan. Yang lainnya hanya berusaha tampak bahagia.
20 Maret 1989. Hari dimana mereka harusnya berdiri di depan altar, mengucap janji suci, dibawah guguran sakura di taman kota. Tapi apa daya, takdir memporak-porandakan rencana.
Kedua orang tua Tenten tewas dalam sebuah tragedi bom bunuh diri di hotel milik keluarganya pada 5 Februari 1989. Semua relasi terpukul, berkabung. Sang putri semata wayang dirundung pilu. Belum lagi ditambah isu intervensi bisnis bahwa hotel tersebut diduga menjadi donatur utama bagi kelompok radikal ilegal. Relasi yang awalnya berduka, mulai menampakkan taringnya. Mundur, memutus kontrak, melarikan diri.
Tenten yang malang.
Tidak ada tempatnya untuk lari dan berkeluh kesah, kecuali pada Neji, yang saat itu menjadi satu-satunya yang ia miliki.
Namun, apa yang Tenten dapat? Pengusiran tak manusiawi oleh calon mertua yang terhormat, dan lemparan cincin pertunangan tepat ke mukanya, adalah tamparan telak bagi Tenten. Lebih kecewanya lagi, Neji adalah si brengsek bermuka dua, yang selama ini hanya pura-pura mencintainya.
Dendam. Dendam. Diliputi dendam yang terus menghitam, akal sehat mulai hilang dari dirinya. Tenten menjadi gila. Sudah cukup bagi keluarga Hyuuga untuk membatalkan pernikahan yang sebentar lagi dijelang.
2 Maret 1989, Neji dan Tenten bertemu. Pemuda itu melepas paksa cincin pertunangan dari jari manis mantan kekasihnya. Tenten memberontak, meninggalkannya begitu saja, dengan tangis deras yang tidak berusaha ditutupi. Neji sudah tidak peduli, terbebas dari belenggu sandiwaranya selama ini.
Tenten menghilang. Gadis itu tidak pernah menemuinya lagi.
Hingga pada malam berdarah itu, saat Tenten berhasil menelusup ke dalam mansionnya entah bagaimana caranya. Matanya berkilat buas, pisau di tangan. Satu tusukan melayang ke perut Neji, dua lagi tebasan di dada, dan satu lagi di leher. Darah mengucur kemana-mana.
Malam, 13 Mei 1989, menjadi saat terakhir bagi Hyuuga Neji.
Klan Hyuuga menjadi geger. Jepang ikut geger. Pewaris utama keluarga termahsyur di negara itu telah tewas. Tak ada yang tahu pelaku pembunuhan, karena si gadis gila menghilang secepat datangnya.
Gadis itu praktis menjadi buronan, dengan sidik jadi di gagang pisau dan beberapa helai rambutnya yang terjatuh di lantai mansion. Tapi apa peduli? Gadis itu bersembunyi dengan lihai, dengan satu rencana apik yang ia awangkan sebagai pengindah hari di tengah ketidakwarasannya.
19 Mei 1989. Ditemukan mayat perempuan, dengan ciri-ciri rambut cokelat panjang, di sekitar pelabuhan Tokyo. Tubuhnya masih bagus, belum membengkak, dan wajah masih dapat dikenali. Menandakan bahwa ia meninggal di hari yang sama saat jasadnya ditemukan.
Tenten, 25 tahun, tewas tenggelam. Dengan indikasi bunuh diri.
Sebuah note ditemukan kemudian, tergeletak di pinggiran tebing curam dekat pelabuhan.
.
.
.
selesai.
(;;;)
gw gatau poetry fic itu gimana bentuknya dan apa aja urutannya. yang ini gw buat sesuai kemampuan aja ya #nyengir makasii bagi yg uda baca!^^
di tempat author lagi mendung nih. gimana di tempat kalian? tetep semangat ye, puasanya;)
RnR plz?="3
