Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

Sebenernya ini mau buat S.N Day 2014, tapi batal karena saya kehilangan draft fic-nya. *kais tembok*

I will survive~ ;) Dozo, Minna-sama!

.

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any personal commercial advantages from making this fanfiction.

Warning: AU, OOC, cliché, typo(s), boys love, lime, etc.

.

Bold: Ask

Italic: Answer

Underline: User Login

Special backsound: Troublemaker by Olly Murs (Lunafly cover)

.

Tidak suka? Tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. :)

.

Have a nice read! ^_~

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

'I love you—'

Dia terhenyak. Pada sentris layar laptop matanya terpaku. Menahan napas sembari berkali-kali membaca tiga kalimat itu.

Ada yang mengaku.

'—but you didn't seem to love me.'

Ternyata pelaku itu tahu.

.

#~**~#

A "SasuNaru" Naruto fanfiction,

.

Sora no Naku Koro ni

(When the Sky Cry)

.

By: Light of Leviathan

#~**~#

.

"Yo, Sasuke!"

Pemuda bersurai hitam kebiruan itu tanpa melihat pun sigap berkelit dari tamparan yang hendak didaratkan pada bahunya. Dia terlalu terbiasa dengan sapaan—serangan—semacam itu dari orang satu ini yang memecahkan khidmatnya malam di perpustakaan kampus.

"Ayo pulang. Kau mau mengerami buku-buku itu di sini, eh?"

Sasuke Uchiha bergeming menatap layar laptopnya. Melirik sekilas entitas yang terik di keremangan penerangan perpustakaan kampus mereka—sedang menatap jijik pada tumpukan buku-buku tebal menyaingi ukuran kamus, kemudian kembali memfokuskan pandangan pada laptopnya. "Pulang duluan sana, Naruto."

Naruto mendengus sebal. "Kau yakin?"

"Hn."

"Oke." Naruto menghentakkan langkah, menimbulkan gema di ruangan besar dipenuhi rak-rak berisi ratusan judul buku. "Jangan menangis ketakutan sendirian kalau kutinggal, ya!"

"Hn." Dengusan penuh arogansi. Mana mungkin seorang Uchiha akan menangis ditinggal sendiri.

Ruang pendengarannya mendengar derit pintu dibuka. Suara langkah terhenti.

"Oi, kau jangan ketiduran di sini, Sasuke."

"Hn."

"TEME!"

Pintu dibanting menutup.

Sasuke menghela napas yang sedari-tadi ditahannya. Naruto pergi, barulah ia bisa benar-benar berkonsentrasi –berpretensi—mengerjakan skripsi. Beruntung universitas mereka memperbolehkan mahasiswanya untuk tetap berada di wilayah kampus asalkan memiliki keperluan jelas—kebutuhan edukasi dan bukan umbar afeksi.

Manik oniks menyusuri berlembar-lembar MS words. Kemudian mengecek halaman gugel yang terbuka sebagai preferensi untuk bahan skripsi—dustanya semata. Waktu menghimpitnya, problema hidup menghambatnya, namun intensi untuk kesuksesannya hidup kendati dihambur hampa.

Keheningan diselingi dentang jam klasik ruangan. Dengung halus laptop. Bunyi buku-buku dibuka dan lembaran kertas dibolak-balik. Terkadang disela oleh goresan pena atau stabilo pada buku lain.

Lama Sasuke termangu, menampik desingan tanya di hati tentang tingkahnya yang mendegradasi kapabilitas otak Uchiha-nya dalam bisu. Semua ini sia-sia dan Sasuke tahu.

BANG!

Belum sampai setengah jam pergi, dia sudah kembali. Sasuke menahan diri untuk tidak mendecih. Atau membiasakan diri dengan denyar yang membersit ngilu ulu hati.

"Aku tidak berharap melihatmu masih ada di sini, Teme." Suara bertendensi alto itu merajuk.

Tapak kaki bergaung pelan. Sasuke konstan mengabaikan. Biarkan saja Naruto melakukan apapun yang dia mau sampai makhluk pirang persisten satu itu kelelahan—dan hal terakhir ini sejujurnya Sasuke ragukan.

Sepasang mata sepekat malam itu melebar dalam keterkejutan tatkala hangat menyapa pipinya dan harum seduhan kopi menginvasi ruang penciumannya. Refleks ia melayangkan pandangan, menemukan Naruto sedang nyengir lebar balas menatapnya.

"Hn." Sasuke bergumam. Diraihnya segelas karton cappuccino hangat yang diulurkan Naruto padanya. Tangan mereka bersinggungan. Sasuke membuang pandang kembali pada laptopnya.

"Terima kasih kembali." Naruto merespon dengan nada jenaka khasnya. Dia melompat duduk ke bangku kayu mahoni panjang yang juga diduduki Sasuke. "Besok bisa kaulanjutkan. Pulang sana, Teme."

"Memang kau siapa? Sekuriti universitas pun bukan," sinis Sasuke usai menghirup cappuccino yang dibelikan Naruto untuknya. "Kau tidak berhak mengusirku."

"Kau tadi mengusirku duluan!" Naruto menahan diri untuk tidak menimpuk kepala temannya sejak kecil itu, atau memangkas tatanan rambutnya yang menukik melawan poros gravitasi. "Bagaimana kalau kau sakit? Peduli sedikit pada dirimu sendiri. Itu kantung matamu menyaingi hitamnya mata Gaara."

"Bukan urusanmu."

"Kau tahu tidak kalau sepatuku saja gatal ingin menimpuk kepalamu sampai kau pingsan lalu kuseret kau pulang ke rumah, eh?"

"Sepatumu tempatnya di kakimu, bukan di kepalaku. Idiot kau."

"Brengsek kau! Ibumu pasti khawatir, Sasuke."

"Sok tahu. Aku sudah mengabari Ibuku … dan Ayahku."

"ARGH! Oh ya! Malam-malam begini ada hantu berkeliaran di perpustakaan mencari mangsa untuk jadi tumbal agar dia bisa hidup kembali."

"Jadi kau hantunya?"

"ASTAGA, UCHIHA SIALAN!" Naruto mengacak-acak rambutnya frustasi. "Kenapa aku tidak pernah menang bicara melawanmu?!"

"Karena kau bodoh." Sasuke menahan kedutan di sudut-sudut bibirnya.

Naruto melotot sepenuh hati pada pemuda yang kini bertopang dagu, pada layar laptop matanya tetap terpaku. Diteruskan lagi perdebatan konyol mereka menyaingi revolusi sistem tata surya dengan matahari sebagai pusatnya pun, untuk hal-hal semacam ini Naruto takkan mampu menggugah ketetapan determinasi sahabatnya sejak kecil itu.

Pemuda yang kulitnya berseri dikecup matahari itu mengerang sebal. Menjulurkan lidah yang mendapatkan balasan berupa lirikan sekilas tidak peduli. Dia memilih untuk menaruh ranselnya di atas meja lalu merebahkan kepalanya di tas miliknya. Mata lazuardinya mengawasi kawannya, tidak ada pergerakan berarti. Pandangan mereka bertemu ketika Sasuke meliriknya sekali lagi, tapi Sasuke kembali memusatkan atensi pada entah apapun yang sedang dikerjakannya.

Sesaat keheningan menyusup di antara mereka. Cicadas musim panas nyaring melengking, seakan tangis mereka berdering. Bunyinya horror meneror sekujur tubuh dirayap tremor, terlebih didukung sirkumstansi di sekitar mereka.

Naruto bergidik ngeri. Disumpalnya kedua telinga dengan telapak tangan lalu membenamkan wajah pada ransel. Peduli setan dengan gosip hantu gentayangan di perpustakaan, hororisme universitas tengah malam, atau apapun. Pokoknya dia akan menunggu sampai Sasuke selesai dengan segala urusannya.

Atau begitulah niat suci yang diintensikan hati Naruto, berbanding terbalik aksinya yang tergoda bujuk-rayu kantuk yang mendayu.

Tidak seberapa lama, Sasuke mendengar dengkur halus dari orang yang tadi mengeret ngeri ketakutan yang alasannya gagal ia pahami. Dialihkannya tatapan pada pemuda bermarga Uzumaki tersebut.

Mungkin ini dosa. Sasuke tidak berharap di antara sekian banyak orang di muka bumi, yang akan merongrongnya, merusuhi kehidupannya, melambungkan harapannya, menghancurkan hatinya, haruslah persona yang mengimitasi terik matahari membuat hatinya hangat dalam afeksi.

Sasuke melayangkan sentilan pada kening yang dihamburi selai-selai kuning benderang. Mendengus geli ketika tangannya ditepis kasar dan mulut itu komat-kamit menghirup benang saliva yang sempat menetes membasahi ransel oranye kesayangannya. Cepat sekali orang ini tak mengindahkan ketakutannya barusan. Ditatapnya seksama raut wajah yang damai dibuai mimpi. Putra yang tersisa dari keluarga inti Uchiha itu meraih jaketnya yang sebelumnya disampirkan di sebelah laptop, menyelimuti orang di sampingnya.

Pandangan sepasang oniks yang diterpa temaram lampu itu datar memandang orang di sisinya. Dihembuskannya napas yang sedari-tadi tertahan.

"Oyasumi, Naruto."

Naruto bergumam dalam tidur.

Pemuda yang terjaga sepanjang malam itu mengerti nihil eksistensi dirinya di mimpi Naruto, dan separuh malam yang tersisa blur karena pandangannya mengabur.

.

#~**~#

.

'—I'll always make the one that I love happy by my side. Thanks.'

About 23 hours ago.

.

Jadi ini jawaban atas konfesinya. Sebenarnya objek yang dituju menyatakan segalanya itu cukup mengatakan hal tersebut.

Ia akan mengerti. Mencoba mengerti, pikirnya getir.

Bagaimanapun ia yang mencintai orang itu lebih dari tiga ribu malam. Dan ia tidak perlu respon sebatas oceh belaka yang menoreh luka pada hati.

Cukup sampai di sini. Segalanya akan ia akhiri.

.

#~**~#

.

Naruto terbangun ketika seberkas cahaya matahari dari bayang-bayang pepohonan di luar jendela menimpanya. Diangkatnya kepala dari ransel sembari mengerjap-ngerjapkan mata. Menguap lebar-lebar lalu meregangkan otot-otot badannya—terutama menggemeretakkan tulang lehernya yang terasa amat kaku. Dia menoleh ke samping. Tiada presensi Sasuke. Diedarkannya pandangan, pagi masih dini, belum ada tanda-tanda kedatangan orang lain—berarti semalaman ia menginap di kampus.

Atau tepatnya mereka, ditilik dari laptop yang masih menyala namun barang-barang lain Sasuke telah tertata rapi tak jauh darinya. Dirasakannya jaket tersampir di punggungnya, diraihnya untuk dipeluk—menghirup secercah harum maskulinitas khas lelaki.

Malam minggu sia-sia. Melupakan janji kencan tanpa sempat membatalkan. Tak ada terima kasih untuk Uchiha sialan itu.

Dia mengusap-usap matanya yang berair. Sasuke pasti akan kembali. Tepat saat itu pandangan matanya jatuh pada display laptop kawannya. Naruto beringsut menggeser pantatnya, meraih mouse dan menggeser kursor untuk melihat halaman-halaman internet macam apa yang dibuka Sasuke.

Siapa tahu dia bisa mem-blackmail Sasuke, memergoki kawannya itu membuka situs pornografi atau hal-hal nista lainnya—yang sebenarnya ia tahu jelas Sasuke tidak akan melakukannya. Pemikiran ini tetap menyenangkan, menerbitkan cengiran pertama di pagi hari.

"Tsk." Naruto mengerucutkan bibir tidak suka. Asumsinya benar. Sasuke pasti membuka halaman-halaman semembosankan ensiklopedia, puluhan website berbasis edukasi, telusuran halaman-halaman untuk research-nya seputar para tokoh ilmuwan yang tercatat dalam histori abadi.

Bosan, Naruto membuka satu tab baru. Ia membuka sebuah situs. Login di situs tersebut. Jantungnya berdegup anomali. Dilihatnya daftar pertanyaan yang masuk. Dan ia tertegun, tidak menemukan balasan dari orang yang sesungguhnya ia nantikan.

.

'Naruto-senpai, momen romantis apa yang paling diingat dari pacarnya?'

'—kalau kena pukul dan teriakannya, itu paling romantis. HAHAHA :* and please off-anon, ok.'

.

Naruto mengetikkan jawaban untuk pertanyaan tersebut. Nyengir lebar. Dia beralih ke pertanyaan berikutnya. Tapi ternyata bukan pertanyaan.

.

'Tsaaah. Yang punya banyak secret-admirer. Lol' –Inuzuka Kiba

'—orang sabar banyak penggemar, Kiba. Lol'

.

Naruto memutar kedua bola mata. Jari-jemarinya kembali menari di atas keyboard.

Pertanyaan berikutnya.

.

'Sebelum Naruto-senpai pacaran, sudah berapa lama naksir sama pacarnya? Kenapa bisa membuatnya luluh dan mau-maunya pacaran sama Naruto-senpai?' –Moegi.

'Aku naksir padanya seribu malam. Hitung sendiri berapa lama. Sampai sekarang jadian. Ya aku kan baik hati, tampan, keren, dan tidak sombong, cuma dianya saja terlambat sadar. Hakhakhak. ;")'

.

Cengirannya menjelma senyum kendati bibirnya merutuki juniornya itu. Pandangannya dikabuti nostalgia.

Pertanyaan berikutnya membuatnya terdiam sebentar.

.

' Naruto Bodoh, temanku khawatir itu secret admirers-mu makin menjadi-jadi. Apalagi yang bilang dia suka padamu selama tiga ribu malam. Hibur dia, ajak dia kencan. Kau ini jadi pacarnya bagaimana, sih!'Yamanaka Ino

'—harusnya kau bisa lihat balasanku untuk orang satu itu, Ino. Aku mau ajak dia jalan malam minggu kemarin. Tapi aku kelupaan dan ketiduran di kampus—gara-gara Sasuke mengerami buku lagi untuk skripsi. Nanti sebelum pulang aku mampir ke rumah Sakura-chan dulu. Tenang saja. Oke, Ino? ;)'

.

Kemudian kembali mengetikkan jawaban. Pernyataan dari salah seorang kawan dekatnya membuatnya terhenyak lagi.

.

'—menurutku orang yang bilang dia mencintaimu tiga ribu malam itu serius. Bukan iseng atau hanya secret-admirers biasa.' –Nara Shikamaru.

'—oi oi oi, sejak kapan Tuan Pemalas macam kau peduli pada hal-hal seperti ini, Shika? Kesambet sesuatu? OwO'

.

Naruto menggigit bibir bawah. Dilarikannya tangannya lagi pada keyboard.

Melihat komentar-komentar dari orang-orang yang ditujukan padanya, mengabaikan beberapa pertanyaan yang dirasanya tidak penting, Naruto menggulirkan kursor pada older posts. Pandangannya terkunci pada rangkaian kata yang tertera di sana.

.

'I've overcome more than 3.000 nights to tell you that I love you. But you didn't seem to love me. Dreaming of you almost every painful nights, to see your idiot smile, it's make me hard to breathe. Do not mind me—so coward like hell. Just take care of your girlfriend and love her wholeheartedly. I know she is the one who can make you happy. Wish you all the best.'—Anonymous.

Three days ago.

.

Perasaan ngeri melingkupi hati. Kontinu pada layar laptop Sasuke pandangannya terkunci.

"Naruto."

"GYAAAAA!" Naruto jumpalitan terjungkir dari bangku panjang saking kagetnya. "SASUKE-TEME! Bisa tidak kau ketuk pintu dulu atau berikan tanda-tanda sebelum kau datang, Brengsek?!" serunya emosional.

"Sudah kulakukan. Kau diam dengan tampang bodoh begitu. Kupikir kau lupa cara bernapas," sindir Sasuke dingin. Ditaruhnya segelas susu hangat dan satu cup ramen yang baru dibelinya dari kantin universitas mereka—tak berjauhan dari perpustakaan—untuk Naruto.

"Kata seseorang yang muncul dan membuatku terancam nyaris tak bisa bernapas lagi," geram Naruto sebal. Tapi toh ia tetap meraih susu pemberian Sasuke padanya, menenggak cairan putih yang manis di lidahnya. Diraihnya pula cup ramen yang masih panas untuk disantapnya nanti.

Naruto melirik Sasuke yang mendudukkan diri lagi di sampingnya. Pemuda itu berekspresi stoik seperti biasa. Ia cukup yakin Sasuke tidak tidur semalaman ditilik dari penampilan temannya itu. Mata hitam yang sisi putihnya memerah, berkantung mata, lebih pucat dari biasanya dan tampak lelah. Untung hari ini hari Minggu—Naruto bisa berpesta-pora memaksa Sasuke untuk tidur seharian supaya minggu berikutnya tidak terlihat seperti zombie gentayangan.

Sasuke balas meliriknya. Tampak tidak berminat menatap layar laptopnya. Naruto kurang peka menotis tensi yang tipis meliput presensi di sisinya.

"Kau tidak memusnahkan bahan-bahan skripsiku selagi aku tadi tidak ada, 'kan, Dobe?"

"Tidak!" tukas Naruto tersinggung. "Aku tahu seberapa berartinya itu bagimu, Teme. Dan aku buka halaman baru untuk milikku—punyamu tidak ada pages yang kututup."

"Hn."

Naruto mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi. "Aku tahu kau tidak pernah tertarik dengan hal-hal seperti ini—karena konyol bagimu. Tapi … apa kau punya akun di ?"

"Tidak." Sasuke menerawang ke luar jendela menampakkan burung-burung yang terbang melayang.

"Dasar kolot."

"Siapa peduli."

Naruto menyerah untuk mendebat makhluk tersombong sedunia. Astaga kenapa Tuhan menakdirkan mereka untuk berkawan? Ia memandang Sasuke lekat-lekat. Mungkin hal ini bisa dikonsultasikannya pada Sasuke. Sasuke lebih tenang dan memiliki kontrol diri lebih baik darinya, dia pasti bisa memberikan solusi untuk masalah yang dihadapinya.

"Sasuke, aku—" Hesitansi mengelukan lidah.

Sasuke menahan napas. Naruto tidak tahu itu.

"—aaargh … aku bingung bagaimana ceritanya." Naruto mengacak-acak rambutnya. Sesuatu yang Sasuke kenali sebagai ciri Naruto ketika maniak ramen satu itu sedang frustasi atau bingung. "Kau baca daftar pertanyaan di akun -ku sekaligus jawabannya. Sekitar tiga hari yang lalu sampai sekarang."

Sasuke memindai akun Naruto yang terpampang di layar laptopnya sepintas. "Terlalu banyak."

"Baca saja tentang yang—duh, pernyataan cinta." Naruto membuang muka—salah tingkah sembari menyibukkan diri dengan mengaduk-aduk cup ramen-nya. Dirasakannya Sasuke bergeming, menyebabkan Naruto menyelamkan mata birunya pada hamparan manik oposisi dari matanya. "Please."

Kesungguhan dan permohonan. Sasuke mengatur napasnya dalam ritme hembusan perlahan. Sesak melesak relung hatinya. Tapi tetap dipenuhinya permintaan Naruto—yang sebenarnya tidak perlu dimintai tolong untuk membaca pun masih jernih dalam hulu-hilir sungai memori Sasuke semua yang ada di akun Naruto.

Sasuke serius membaca semua daftar pertanyaan dan jawaban di akun Naruto terhitung sejak tiga hari lalu hanya sampai kemarin lusa, sebenarnya itu tindak pretentif. Naruto saja masih naïf memandang Sasuke dengan tatapan ekspetatif.

"Bagaimana menurutmu, Sasuke?"

"Kau populer."

"Bukan. Ukh, itu maksudku pernyataan cinta dari anonymous tiga hari yang lalu."

"Abaikan saja. Paling orang iseng."

"Tapi kata Shikamaru orang itu serius. Tidak seperti junior-junior usil biasanya."

"…kau cukup pedulikan Sakura—benar kata Ino."

"Bagaimana kalau orang itu benar-benar serius, Teme?"

"Apa pengaruhnya bagimu? Kau sudah punya Sakura—" Sasuke menggulir krusor pada post jawaban yang diberikan Naruto untuk orang tersebut, "—kenapa kau malah memikirkan orang itu jika kau memberikan jawaban seperti ini?"

Manik lazuardi membaca ulang jawabannya yang baru di-post dua hari lalu.

.

'Haha. Seramnya tiga ribu malam. Memang kau tidak punya hidung sampai tidak bisa napas? Wkwwkwk :v don't worry, I'll take care of my girlfriend and I'll always make the one that I love happy by my side. Thanks.'

About 2 days ago.

.

Naruto mencerna situasi dan kondisi yang terjadi, pertanyaan—lebih menjurus pada pernyataan tentang kenyataan—yang dilontarkan Sasuke, dan golak-gelegak batiniahnya. Selama itu, Sasuke me-log-out akun milik Naruto. Selagi laptopnya diproses untuk turn-off, Sasuke membenahi barang-barangnya. Mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya di rak pengembalian terdekat—agar nanti pustakawan dapat mendata buku tersebut. Mengitari meja untuk mencabut charger laptop dari stop-kontak sembari menggulung kabel. Membawanya kembali ke meja lalu menjejalkan laptop beserta piranti keras teknologi lainnya, buku dan peralatan tulis, ke dalam ranselnya.

Ada yang janggal bagi Naruto. Sesuatu yang belum teridentifikasi ini mengganjal hatinya. Tentang Sasuke—

"Hei, kau mau kemana, Sasuke?" tanya Naruto yang sedari tadi termenung.

"Pulang." Sasuke menyandang ranselnya—tidak mengeluhkan beban berat tambahan di punggungnya.

"Woy, kenapa kau main pergi begitu saja, Teme?!" Naruto bergegas menyusulnya.

Sasuke memilih untuk tidak menjawab. Dibiarkannya langkah di belakang berderap mengejarnya, menghendaki langkah mereka beriringan bersama. Sasuke tidak menyukai berjalan di sisi Naruto—yang selalu berhasil merengut pasokan napasnya. Sasuke tidak menyenangi berjalan beriringan dengan Naruto—yang selalu berhasil membuat ruang pandangnya tercandu senyum menyebalkan pirang idiot itu.

Tangan Sasuke terhenti mengenggam gagang pintu yang hendak diayun membuka, mencengkeram erat gagang besi yang diukir apik di tiap ujungnya.

"Naruto—" Sasuke menarik napas sedikit dalam—karena aliran oksigen tercekat menghambat laju normal sistem pernapasannya, "—sayonara."

Berhenti langkah yang berderap. Waktu menghentikan imajiner sekon yang berdetak. Jam tua perpustakaan kampus berdentang.

"Osu. Jaa matta ashita, Sasuke."

Mungkin Naruto memang seidiot itu. Setidakpeka ini. Selamban itu daya pikir kritisnya—tapi mungkin lebih baik semua seperti ini.

Sasuke mengerti bahwa Naruto lebih baik tidak seharusnya memahami yang terjadi, meski kenyataan ini membuatnya hatinya dibalur secarik nyeri.

Biarlah Sasuke menyingsingkan kerelaan dirinya untuk menyongsong kebebasan hatinya yang lama terjerat belenggu destruktif diri, mendorong pintu perpustakaan terbuka dan membiarkannya tertutup dengan derit kaku—melenyapkan Naruto yang berada di oposisi pintu tertutup menimbulkan gema pilu.

Semena-mena pintu dijeblak terbuka hingga engsel tuanya nyaris terkoyak.

"SASUKE, TEMEEE! HIDUNGKU NYARIS PATAH KARENA KAU MENUTUP PINTU DI DEPANKU—"

Seruan itu dilibas sepoi angin.

Tak ada siapa-siapa.

Kelereng lazuardinya nyalang mengedar pandang ke segala arah—yakin bahwa seharusnya ia masih bisa melihat Sasuke bahkan menduga bahwa Uchiha tunggal itu harusnya terkena dobrakan kencang pintu. Namun tiada tanda-tanda penampakan wajah tampan gandrungan kaum hawa itu.

"Sudah kuduga, Sasuke itu pasti reinkarnasi ninja!" Naruto mengerang sebal. Sasuke sialan—seenak hati meninggalkan orang yang berbaik hati menemaninya semalaman.

Lihat saja nanti ketika besok bertemu lagi, Naruto-sama akan menyepak punggung tegap kerontangnya itu—sumpah membara si pirang dalam hati.

Sayangnya, Naruto tak hirau pada intuisi yang meracau kacau.

.

Tsuzuku

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Ini fic harusnya fluffy, tapi kepeleset dari niat suci saya karena sayanya menderita brokoro parah kehilangan fic ini di hari H dan terpaksa marathon mengerjakannya lagi.

Ah, soal relationship Naruto, dan kenapa ini fic ditaruh rate M—err, jangan laknat saya nanti di chapter depan juga ada. X)a

.

ALL HAIL SASUNARU!

.

Terima kasih sudah menyempatkan membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan kehadirannya. ^_^

.

.

Sweet smile,

Light of Leviathan (LoL)