Ohayou! Konichiwa! Konbawa!
.
SURPRISE~ eh, salah. *sungkem* Maksudnya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya pada kawan-kawan yang telaaaaah berjuta abad menunggu fic ini untuk update. Ini saya remake lagi setelah sekian tahun terbengkalai. Saya benar-benar mohon maaf. *ojigi*
I will survive~
Dozo, minna-sama!
.
Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any commercial profit from making this fanfiction.
Waring: Alternate Universe, OOC, OC, OOT, typo(s), sisipan bahasa asing, cliché.
Special backsound:
The Waltz – O.S.T Ashita no Nadja
Can We Dance – The Vamps
.
Have a nice read! ^_~
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Seorang gadis sudah berdiri sekitar lima belas menit sambil bersidekap, menghadap jendela kamarnya yang berada di lantai dua rumah megah itu. Seulas senyum tipis menggantung di bibirnya tatkala menyaksikan salju yang terjatuh perlahan dihembus angin. Menurutnya, rinai salju di luar jendela bening kamarnya terlihat bagai tarian sederhana yang begitu terikat tanpa ada perjanjian.
Di sisi lain ….
Seorang pemuda dengan malas dan setengah hati pergi ke pesta yang harus dihadirinya karena ajakan orangtuanya. Dia hanya menyupir mobil Jaguar untuk mengantarkan mereka ke pesta kolega sang ayah dan ibu. Sambil menyetir, ditatapnya salju yang memenuhi dunia dengan warna putih. Seulas senyum lebar menghias wajahnya. Telah lama tinggal di Negara tropis membuatnya lupa akan keindahan salju itu sendiri.
Ketika keduanya bertemu, sama seperti tarian salju yang menghujani bumi. Perlahan, terus-menerus, mengendap. Seperti lantun melodi yang mengalunkan irama waltz. Saat kata-kata itu sendiri tidak lebih esensial dari pengertian selintas pandang mata.
Akan tercipta keping memori tak terlupakan. Kenangan manis; hari dingin beranjak jadi hangat. Kenangan pahit; pertemuan berujung perpisahan. Hanya sehari dari sekian banyak hari, tatkala awan kelabu melepaslandaskan kristal es laksana kapas itu terhanyut angin dengan lembut nan anggun.
Menunggu cinta sederhana menarikan jejaknya seirama senandung waltz salju-salju yang berguguran di musim dingin.
.
#~**~#
A Naruto Fanfiction,
.
The Waltz
.
Chapter 1
"First Encounter"
.
By: Light of Leviathan
#~**~#
.
Gadis kecil dengan kisaran usia awal belasan tahun itu melangkahkan kaki-kaki kecilnya. Dia didampingi kakak sepupunya berbalut tuksedo dan tampak gagah—yang menuntunnya agar tak terjatuh. Mereka menyusuri koridor sepi untuk menuju sebuah kamar. Sesekali bercakap mengenai seseorang yang sudah lama sekali tidak bertemu dengan mereka.
Sesampainya di depan pintu kamar sang pewaris Hyuuga yang kemarin baru saja kembali setelah sepuluh tahun dipingit di London, si pemuda mengetuk pintu di hadapan mereka. Tak lama, suara lirih tanda boleh masuk terdengar dari dalam. Sedikit ragu, si pemuda menekan gagang pintu dan mendorong pintu membuka lalu masuk ke dalam bersama adik sepupunya. Sesosok yang sangat mereka kenal berdiri sembari bersidekap dengan pandangan menerawangi jendela.
Mereka nyaris tidak mempercayai indera pengelihatan masing-masing tatkala heiress Hyuuga itu menoleh pada mereka. Mata beriris ungu keperakakan khas keluarga mereka bertemu dalam reuni yang menyesaki hati. Mata itu sama dengan mereka, namun cara memandangnya sangat berbeda. Ada keistimewaan yang berpendar dalam binar maniknya. Terlebih ketika sang gadis berbalik seutuhnya dan mengembangkan senyum yang sedemikian lembut.
"Lama tak jumpa—" Suaranya pun telah berubah, "—Hanabi, Neji Nii-san"
Inikah yang disebut ironi? Atau perubahan? Make-over? Apa pun itu, mereka sangat terkejut karena dia … ah, masih jelas tercetak di ingatan, dulu gadis yang bahkan tak akan berani berdiri tegak dan menatap lurus di mata siapa pun orang yang berhadapan dengannya. Seperti bunga putri malu, saat disentuh ia menguncup menyembunyikan diri dari dunia.
Dan berdirilah dia di sana. Oh, hanya orang bodoh yang menyangkal paras cantiknya dengan postur tubuh sempurna dan bahasa tubuh mencerminkan keanggunan yang memukau. Gurat kedewasaan tercermin dari roman wajahnya. Mereka benar-benar terkejut hingga tak menyadari sang gadis yang mengulum bibirnya karena tidak tahu harus berkata apa dan merasa sangat gugup.
Setelah pulih dari keterpesonaannya, tanpa mengatakan apa-apa sang adik menghambur memeluk kakak yang telah lama dirindukannya. Dirasakannya tubuh yang dipeluknya, sebelum melebur dalam kasih sayang yang diwujudkan dengan terangkatnya kedua lengan untuk memeluk adiknya. Sepasang kakak-beradik itu saling merasakan mereka tersenyum penuh haru—meski tidak dalam posisi dapat melihat satu sama lain.
"Selamat datang, Hinata Nee-san," ucap adiknya pelan.
"Aku pulang, Hanabi." Hinata Hyuga mengangkat kepalanya lalu menatap kakak sepupunya yang menghampiri mereka. "Lama tak jumpa, Neji Nii-san."
Tertawa geli, Neji menepuk bahu adik sepupunya yang telah beranjak dewasa itu. "Senang akhirnya kau pulang kemari, Hinata." Lalu satu-satunya lelaki dalam kamar sang pewaris Hyuuga itu menjawil lengan anak perempuan yang masih memeluk sang kakak. "Hei, Hanabi, jangan mendadak menabrak Hinata seperti itu! Bagaimana kalau nanti kakakmu jadi tidak cantik lagi? Oh, aku tidak tahu kau sampai sebegitunya merindukan Hinata—" Seringai menggoda begitu kejam terpatri di wajahnya yang cukup non-ekspresi.
"Tidak apa-apa, Neji Nii-san," sela Hinata.
Hanabi melepaskan pelukannya sedikit dari Hinata, menyikut sadis rusuk kakak sepupunya—karena ekspresinya tetap tenang kendati jika dilihat baik-baik ada rona ditutup-tutupi dengan kesal mewarnai pipinya. Neji berpura-pura mengaduh kesakitan.
"Ayo kita bergegas! Pesta mulai lima menit lagi." Hanabi kini menyelipkan lengannya untuk menggandeng lengan sang kakak, lalu menariknya pelan untuk berjalan keluar dari ruangan.
"Bagaimana denganku—?" tanya Neji yang lekas menyusul mereka.
"—tinggalkan saja Neji Nii-san!" tandas pedas anak perempuan yang memiliki rambut serupa dengan Neji itu.
Hinata tertawa geli. Tidak menyadari tawanya itu membuat kedua saudaranya itu menyiratkan pandangan sarat kebanggaan padanya. Entah kenapa, ketenteraman selalu didapatkan saat si putri sulung Hyuuga berada di sisi mereka. Dia mengulurkan sebelah telapak tangannya yang terbebas pada sang kakak, segera disambut dengan gandengan kokoh menenangkan yang dulu selalu menjaganya.
Tak terpungkiri rasa bahagia meletup-letup di dada. Gadis penyuka cinnamon roll itu merasa amat senang bisa berkumpul bersama lagi dengan Neji—kakak sepupu yang sudah ia anggap seperti kakak kandung sendiri—dan Hanabi, adik semata wayangnya yang hanya terpaut beberapa tahun lebih muda darinya. Keduanya memang selalu ada untuknya.
Namun ada ketakutan yang muncul—dari dulu dan kian membesar mencapai puncaknya di hari penentuan ini. Dia merasa takut. Takut mengecewakan sang ibu dan terutama ayahnya.
Tak bisa dicegahnya arus kenangan mengalir deras membuat sang gadis bernostalgia. Awal dia bisa hidup di London yang bermula dari keputusan ayahanda dan persetujuan ibundanya.
Keluarganya, Hyuuga, adalah salah satu keluarga yang sangat terhormat dengan bola mata sangat unik karena tidak berpupil namun normal pandangannya—terutama di Jepang.
Hiashi Hyuuga, ayahnya, seseorang yang mengembangkan pusat pelatihan bela diri khas klan Hyuuga yang turun-temurun beregenerasi dari waktu ke waktu. Dojonya dibangun dan dikelola oleh keluarga Hyuuga, terkenal seseantero hingga dapat membuka cabang di luar negeri. Tidak hanya itu, beliau juga presiden direktur dari Hyuuga Corporation—perusahaan yang bekerja di bidang industri pertambangan dan pangan. Sementara Ritsuki Hyuuga, ibunya, seorang perancang busana ternama yang mengembangkan busana budaya khas klan Hyuuga dipadukan dengan pakaian bergaya modern—turun-temurun pula—sampai dinobatkan sebagai trendsetter dan butik-butiknya dapat bercabang mencapai mancanegara. Anak-anak perusahaan lain yang tidak semua bisa diurusi oleh keduanya diserahkan kepada keluarga Bunke—keluarga Hizashi adik dari ayahnya dan putranya adalah Neji.
Sebenarnya ini bukanlah hal yang seistimewa itu jika mengingat bahwa usaha yang dikelola klan Hyuuga itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tapi bagi siapa pun yang terlahir sebagai anak pertama di keluarga inti pewaris, berarti dialah yang akan memikul semua tanggung jawab tersebut. Dan bagi siapa pun yang beruntung—jika tidak bisa disebut sial, orang tersebut akan diwajibkan untuk menjadi sesosok figur berbakat yang aristokrat, tahan banting, menjunjung harkat dan martabat klan, dan punya skill kepemimpinan untuk mengemban semua tugas-tugas berat yang diserahkan kepadanya.
Terlahir sebagai pewaris yang diharap-harapkan oleh seluruh klan, ialah Hinata Hyuuga. Sejak kecil, ia tampak lemah dan mudah jatuh sakit. Terlebih, putri sulung Hyuuga itu terlalu pemalu dan krisis percaya diri. Prestasinya di sekolah bahkan tidak lebih cemerlang dari Neji yang notabene kelahiran keluarga Bunke.
Hiashi bahkan terang-terangan bersikap tak puas pada putrinya sendiri. Padahal ia mengharapkan seorang putra—namun Tuhan berkehendak lain, saat diputuskannya untuk menerima semua anugerah yang dilimpahkan padanya—seorang putri yang manis dan penurut, masih saja kecewa dan berharap lebih. Ia tidak bisa seperti istrinya yang tetap dapat menyayangi Hinata dan tak memedulikan kewajiban pewaris klan. Timbullah masalah karena keluarga-keluarga lain pun turut merendahkan Hinata dan merasa bahwa mungkin anak-anak mereka (bahkan tidak usah seorang putra menurut mereka) kini dapat menjadi pewaris Hyuuga—menyampingkan fakta seharusnya hanya keluarga inti yang mendapatkan hak istimewa ini.
Hingga seorang guru muda yang merupakan keturunan terpecaya dari klan Hyuuga datang untuk menyulap sang heiress Hyuuga menjadi seorang pemimpin famili yang ideal. Wanita muda yang cantik rupawan dengan jajaran prestasi dilandasi kebaikan hati menyertai namanya, Kurenai. Dengan adil ia menggelar seleksi berupa wawancara sederhana untuk semua anak yang dapat menjadi pewaris di klan Hyuuga. Hal ini kian menyebabkan Hiashi dan Ritsuki was-was ketika Hinata—dan Neji—turut serta.
Tak disangka. Satu minggu kemudian Kurenai kembali dan mengumumkan bahwa dia mengakui Hinata Hyuuga sebagai pewaris yang sah. Akan dipingit sekaligus didik olehnya.
Banyak yang mencurigai bahwa sepasang suami-istri dari keluarga inti Hyuuga mungkin saja menyuap Kurenai untuk memenangkan Hinata. Tapi dengan tegas Kurenai membantah semua itu. Wanita bermarga Sarutobi tersebut bahkan mengemukakan keistimewaan Hinata yang tidak dimiliki oleh anak-anak lainnya. Kebaikan hati anak kecil itu menyentuh hatinya dengan jawaban atas sebuah pertanyaan sederhana.
Percaya tidak percaya, Hiashi akhirnya tetap "memingit" Hinata di bawah asuhan Kurenai dan suaminya—Asuma Sarutobi. Di luar negeri yang tepatnya Hyuga sendiri tidak akan tahu di mana. Dengan kesepakatan saat Hinata telah menginjak dewasa—tujuh belas tahun, Hiashi dan Ritsuki akan mengenalkan Hinata Hyuuga pada dunia sebagai pewaris sah klan Hyuga.
Jadilah Hinata berpisah dari keluarganya, dan bertemu dengan mereka—pulang ke rumah—hanya setahun sampai tiga tahun pertama masa pingitnya. Selebihnya ia hanya berkomunikasi lewat telepon dengan ibunya—selalu yang paling sering memantaunya dari jauh, Hanabi—adik semata wayangnya, dan Neji—kakak yang selalu menjaganya. Ada kekecewaan mengendap dalam hatinya karena selama masa pemingitan, ayahnya jarang sekali menghubungi. Hiashi hanya bertemu dengannya dua tahun pertama. Di tahun ketiga—yang merupakan terakhir kali berjumpa keluarganya, Hiashi tidak menemuinya karena ada urusan penting yang harus diselesaikan.
"Rileks saja, Hinata. Tidak usah setegang itu." Suara Neji membuyarkan lamunan Hinata, membuat gadis itu tersentak bahwa mereka tengah melewati koridor berinterior khas Hyuuga menuju ke tempat perkenalan sekaligus peseta ulang tahunnya.
Dengan tangan satu lagi yang bebas, Hanabi menggengggam tangan sang kakak yang terasa sangat dingin. Terkejut merasakan tangan berjemari lentik itu sangat dingin dan bergetar. Lantas ia menatap kakaknya yang tampak canggung dan gugup. "Aku yakin Hinata Nee-san pasti bisa," cetusnya penuh keyakinan yang ditanggapi Hinata dengan anggukan kaku.
Kini mereka sampai di sebuah tangga untuk turun ke main ballroom. Ruangan megah nan luas itu telah terhias bunga-bunga berwarna putih—kesukaan Ritsuki. Sebuah tangga utama tergelar karpet merah—sepertinya bertabur kembang putih tujuh rupa, tangga yang akan Hinata turuni untuk memperkenalkan diri pada dunia.
Musik jazz mengalun merdu dari sebuah panggung khusus untuk pengisi acara oleh event organizer yang disewa Hiashi dan Ritsuki untuk memberikan hiburan pada tamu-tamu yang datang. Pelayan berseragam ala maid zaman Renaissance, bergaun panjang berwarna biru muda dengan celemek dan topi putih berenda bermotif khas Hyuga, hilir mudik menawarkan makanan serta minuman pada para tamu. Sekuriti dapat terlihat di setiap sudut ruangan, tampak mencolok dengan topi hitam menjulang tinggi selaras celana bahan sewarna sutra dan seragam merah berkancing warna emas menyandang senjata.
Astaga … benarkah ini hanya sekedar pesta ulang tahun?!—Hinata membelalakkan matanya melihat keramaian di ballroom tersebut. Pemandangan yang memenuhi ruang pandangnya kini membuat sekujur tubuhnya gemetar karena dilanda panik.
Suara pembawa acara yang menyapa ramah para hadirin seraya menyebutkan nama-nama semua tamu terhormat yang hadir. Dan Hinata dapat melihat seluruh klan Hyuga lengkap berbaur dengan teman-teman kecilnya beserta para undangan lainnya.
'Seperti apa mereka sekarang?' tanya Hinata berdebar dalam hati.
"Neji-sama, Hanabi-sama."
Sebuah suara menyapa mereka. Hinata lekas mengalihkan perhatiannya dan seketika kelegaan memenuhi dadanya ketika menemukan Kurenai menghampiri mereka bertiga.
"Kalian berdua ditungguHyuga-sama di kursi kalian masing-masing," kata Kurenai lagi.
Dengan enggan, Hanabi dan Neji melepaskan gandengan mereka dari Hinata. Kemudian memerhatikan penampilan saudara mereka dan sesekali merapikan detil-detil kecilnya.
"Kami pergi duluan, Hinata. Santai saja, ya," ucap Neji seraya menepuk pelan bahu Hinata.
Hanabi juga turut serta menepuk tangan Hinata yang terasa dingin. "Anggap saja semua yang hadir di sana hanya aku dan Neji-sama," saran anak perempuan itu. Sejenak ia berpikir karena kakaknya hanya tersenyum tipis dan mengangguk kaku lagi. Spontan ia mencetuskan yang terlintas di benaknya, "Siapa tahu ada cinta romantis menunggu Hinata Nee-san di sana."
Kurenai tertawa geli diiringi Neji yang berpura-pura syok. Pemuda yang merupakan putra dari keluarga Bunke itu menatap Hanabi seakan anak perempuan itu makhluk asing atau alien tersasar. "Astaga … kau melawak, Hanabi?"
"Bukan, bercanda." Hanabi melayangkan satu cubitan keras di bahu Neji. "Aku hanya berusaha menyemangati Hinata Nee-san, tahu." Cemberut dengan bibir yang sedikit mengerucut, Neji menertawakan dan balas mencubit gemas Hanabi.
Hinata terkikik geli, "Sudahlah, sudah. Terima kasih, Hanabi." Dengan candaan kecil ini, beban berat yang seolah membelenggunya menguap entah kemana. Dirasakannya semua menjadi lebih ringan apalagi Neji dan Hanabi tersenyum melihatnya bisa tertawa geli karena dari tadi perasaannya campur-aduk.
Neji dan Hanabi masih saling mencubit—yang percuma saja dilerai Hinata, dan tidak akan berhenti peperangan cubit-mencubit itu jika Kurenai tidak menghentikan keduanya. Wanita bersurai hitam bergelombang itu meraih tangan Hanabi untuk digandeng dan menggiringnya menuju ke kursi yang telah tersedia.
Neji menatap Hinata, mengagumi perubahan sang gadis—dan ia sendiri tak sabar menanti kejutan yang akan diberikan adik sepupunya itu—hasil kerja keras dipingit oleh Kurenai. "Kami menyayangimu, Hinata. Dan bagaimanapun kau, kami tetap bangga padamu," katanya, menegaskan yang sudah jelas dari dulu sampai sekarang.
Hanabi dan Kurenai menghentikan langkah mereka, menoleh ke belakang menemukan Hinata dengan mata berkaca-kaca mengangguk mantap pada Neji. Lalu ia menatap adik semata wayangnya dan guru yang amat dikasihinya itu.
Kurenai tahu Hinata pasti mengerti ia pun bangga pada muridnya itu. Tersenyum untuk meyakinkan Hinata bahwa muridnya telah siap menghadapi dunia, kemudian berkata, "Kau pasti sukses, Hinata."
"Terima kasih banyak," respon Hinata tulus dengan suara tercekat.
Dan dengan itu, ketiganya berlalu meninggalkan sang pewaris klan Hyuuga menyeka airmata yang memenuhi pelupuk matanya. Dibuncahi energi yang bersumber dari keharuan, Hinata berjalan mendekati tangga utama berpegangan pada tepian tangan dan menatap pada keramaian yang memenuhi ballroom ruangan di lantai satu itu.
Suara pembawa acara dengan merdu bergema memanggil ayah dan ibunya untuk naik ke atas panggung mewah itu. Pertanda ia akan segera diperkenalkan oleh kedua orang tuanya langsung pada dunia. Pers sudah siap-siaga meliput berita yang mengundang penasaran publik—karena keberadaan sang pewaris dirahasiakan dari umum.
Gadis itu merapikan tatanan rambutnya dan membenahi pakaiannya. Lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan mengiringi kepalanya yang terangkat tegak, ia memosisikan dirinya untuk siap melangkah ke bawah tangga sewaktu-waktu namanya dikumandangkan.
Ia tahu lighting putih menyilaukan itu akan menghujamnya—membuatnya bersinar, di saat yang sama semua mata akan tertuju padanya.
Sebait doa bernapaskan harapan Hinata panjatkan pada Tuhan.
'Semoga aku bisa dan tidak mengecewakan diriku sendiri!'
.
#~**~#
.
Seorang pemuda yang usai menikmati smoothie berry hendak meraih segelas wine menghentikan gerakannya lalu celingak-celinguk tatkala di tengah kebisingan pesta, bersuara orang-orang memanggilkan nama kecilnya. Menemukan sumber suara dari gerombolan remaja yang sebaya dirinya, ia meletakkan minumannya dan menghampiri teman-temannya. Bertukar highfive dengan pemuda lain bertato segitiga merah di masing-masing pipinya.
"Yo, senang kau kembali ke Jepang, Naruto," sapa Kiba Inuzuka, "Pulang dari Australia, kau kelihatan makin gosong," candanya.
Naruto Namikaze tertawa keras. Meninju main-main lengan sahabatnya itu. "Bodoh! Aku kelihatan makin keren, tahu!"
"Hai!" Tepukan hangat di lengan dan suara ceria itu mengalihkan perhatian Naruto. "Kapan kau kembali ke Jepang, Naruto? Astaga … benci aku mengakui ini, tapi kau lumayan keren sekarang!" kata gadis berambut pirang dikuncir satu yang cantik itu takjub.
Pemuda yang dipanggil Naruto itu memamerkan cengiran lebarnya, rupanya ia tetap mencolok. Rambut pirang yang terkesan berantakan—benar-benar tidak sempat dirapikan karena tadi buru-buru berangkat dirusuhi ibunya, tiga garis halus di masing-masing pipi tannya, mata biru briliannya, sikap yang membuat orang lain menyadari auranya bukanlah orang yang sembarangan di balik sosok supelnya itu.
Naruto menatap satu per satu wajah teman-temannya dari lima tahun yang lalu ia kenal, kini sudah banyak berubah. "Sekedar info, aku datang karena dipaksa Okaa-san. Aku baru saja sehari yang lalu kembali dari Australia—niat suciku hari ini sebenarnya berhibernasi. Dan terima kasih—aku dari dulu memang tampan!" Dia tertawa lagi, lalu mengaduh tatkala Ino mencubit tangannya dan Kiba menepuk punggungnya keras.
"Memang kau pikir kau itu koala atau serangga musim dingin, Naruto?" sahut Shino membuat Naruto terlonjak terkejut karena kehadirannya.
"Eh, Shino, koala itu jauuuh lebih menarik daripada serangga—apalagi kalau bandingkan dengan kecoa. Apalagi kalau koala hibernasi sambil memeluk ranting eucalyptus. Lucuuuu!" tanggap Naruto yang membuat Shino mendengus—jelas-jelas tidak menyetujui perkataan si pirang.
"Kau masih terlihat sebodoh yang kuingat, Dobe," sahut suara datar di belakang Naruto.
"Apakah itu salam yang pantas untuk pertemuan kita kembali setelah lima tahun?" tanya Naruto, menyeringai pada sahabat terbaiknya itu. "Kamu masih terlihat se-lifeless yang kuingat, Teme."
"Kau berubah, Naruto…" kata seorang gadis berambut pink dengan gaun fluffy merah mudanya.
"Masih sama," kata Sasuke. Pandangan yang meneliti penampilan Naruto—mencari perubahan yang kentara, menyebabkan Naruto berdecak kesal.
"Waktu lima tahun adalah waktu yang cukup lama untuk membuat seseorang berubah, Sakura-san," balas pemuda di samping Naruto yang berbaur dengan mereka. Gayanya cukup seronok—di tempat yang dihembusi Air Conditioner ini dia mengenakan kemeja dengan bagian perut sixpack-nya terekspos. Sekilas pandang tampak mirip Sasuke, namun model rambut dan warna kulit mereka cukup berbeda.
Naruto hanya menyunggingkan senyum tipis, menyembunyikan kenyataan bahwa ia enggan bertandang ke pesta ini karena sebenarnya tidak siap bertemu dengan gadis refleksi musim semi ini lagi. "Terima kasih, Sai. Dan … hai, Sakura."
Sakura tersenyum padanya. Masih seperti yang selalu Naruto ingat—dan itu menyebabkan perasaan tidak nyaman menghimpit hatinya.
"Naruto, bagaimana kuliner di Australia? Ada ramen?" tanya Chouji yang juga mengambil sepiring kue yang baru ditawarkan pramusaji tadi.
Naruto hanya menertawakan garing atas pertanyaan out of topic yang Chouji lontarkan. "Tidak buruk. Parahnya, tidak ada ramen!"
"Merepotkan saja," gumam Shikamaru, ia dan Sasuke bisa mengerti kenapa Naruto jadi seperti ini … ia baru saja kembali dari Australia, dan langsung bertemu Sakura. Bagaimana mood-nya jadi tidak buruk?
Mau tak mau teman-teman yang mengelilingi mereka sweatdrop tatkala melihat Naruto dan Sasuke Uchiha bertukar highfive khas keduanya yang tak akan bisa ditiru orang lain. Memang mereka bersahabat, tapi tak bisakah kebiasaan saling mengejek dan mem-bully satu sama lain itu berubah? Naruto terkekeh-kekeh, dan Sasuke mendengus menyembunyikan tawanya.
"Hari ini cuaca di Australia sangat cerah—seharusnya, karena kau di sini," sindir Sasuke dengan senyum sinis palsu. "Makanya hari ini bersalju lebat."
"Oh, kupikir hari ini bersalju lebat karena kau masih terjebak hati dinginmu itu," tanggap Naruto sama sinisnya.
"You jerk." Sasuke menatap tajam Naruto—
"Damn you." —yang dibalas dengan tatapan berintesitas sama.
Dan sepasang sahabat itu saling berpandangan. Kemudian Naruto yang tergelak dan Sasuke hanya tersenyum tipis.
Semua menggeleng-geleng, lalu tertawa lega. Ternyata Naruto tidak terlalu berubah … atau begitulah yang mereka pikir.
Usai tertawa puas, ekspresi Naruto kembali terlihat cool lagi. Tidak sadar itu membuat para gadis yang berada di sekitarnya meliriknya, meski kentara mereka curi-curi pandang pada Sasuke.
Lampu-lampu ruangan yang mendadak dipadamkan di gedung itu dan satu-satunya lampu sorot yang mengarah ke panggung membuat semua perhatian terfokus pada panggung. Di sana telah berdiri sepasang suami-istri Hyuga dengan senyum formal bergaya profesional.
Naruto berpamitan pada teman-teman mereka, lalu menyeret Sasuke mendekat ke panggung utama—menulikan diri dari makian dan gerutuan kawannya itu. Tentu dapat akses mudah untuk mendekat karena aura kawannya itu dan border kipas di bagian saku jasnya, sudah menjelaskan bahwa dia dari famili Uchiha.
Aula itu sunyi-senyap tatkala sang tuan rumah membuka acara dengan sambutan-sambutan dan pidato, terkecuali dari shutter kamera dan pers yang meliput gila-gilaan. Tak lama Naruto menguap lebar-lebar membuat Sasuke melirik jijik. Rupa-rupanya, Naruto benar-benar tidak memperhatikan apa yang dikatakan tuan rumah Hyuga di atas panggung.
"Hei, jangan melihatku seperti itu! Aku kurang tidur, tahu," tukas Naruto seraya mengibas-ibaskan tangan. "Omong-omong, ini pesta perayaan apa, sih?" Suara menahan kantuk itu bertanya.
Menahan diri untuk tidak menjitak kepala si blonde, Sasuke menjawab dingin, "Menyambut kedatangan pewaris klan Hyuga, serta ulang tahun ketujuh belas sang pewaris."
Naruto tertarik. Bagaimana tidak? Kata ayahnya tadi pagi, perusahaan keluarga mereka, Namikaze Inc. akan bekerjasama dengan Hyuga dalam sebuah proyek pemasaran produk pangan terbaru. Pewaris? Berarti si pewarisnya itu yang akan bekerjasama dengannya. Rasa penasaran akan si pewaris Hyuga terbit dalam diri berhasil mengusir kantuknya.
"…jadi, di hari yang bertepatan dengan usiannya menjadi tujuh belas tahun, kami hendak memperkenalkan pewaris sah klan Hyuga," kata Hiashi, lalu menarik napas sebagai jeda sejenak.
"Kami sendiri sudah lama belum bertemu dengan putri kami." Suara lembut Ritsuki menimpali perkataan suaminya. Dilihatnya Neji dan Hanabi telah berdiri di dekat panggung dan Kurenai yang berada bersama mereka memberikan sebuah kode dengan anggukkan kepala. "Kita sama-sama penasaran."
Terdengar riuh-rendah tawa menanggapi candaan sang perancang busana dari Hyuga itu yang sangat menawan dalam balutan busana khas klan Hyuga. Dan Ritsuki mengenggam erat tangan suaminya, tersenyum geli ketika menyadari bahwa suaminya itu ternyata tegang juga—memberitahukan tanpa suara bahwa putri sulung mereka telah siap.
"Mari kita sama-sama temui dia…" tegas Hiashi dan melirik istrinya, mereka berdua akan memanggilkan nama putri mereka bersama—karena bukan hanya ia sendiri yang merasa tegang.
"… Hyuga Hinata."
Lampu sorot mendadak menyala serentak lalu menghambur ke berbagai arah sebelum tidak lagi menyorot panggung, tapi menghujamkan cahayanya ke puncak tangga bergelar karpet merah yang tersambung dengan panggung.
Berdiri di sana, seorang gadis cantik besurai indigo dan berkulit putih mulus yang terbalut dalam gaun elegannya mulai menuruni tangga dengan anggun sembari kedua tangannya memegangi bagian depan gaunnya agar tidak terjatuh, satu demi satu.
Sebuah tiara bunga-bunga emas putih bertahta anggun di puncak surai indigonya. Rambut panjang sang gadis digelung bagian atasnya dan disematkan jepit indah, bagian belakang rambutnya terurai halus dan anak-anak rambut jatuh bergelombang membingkai wajah yang menyiratkan kelembutan itu. Gaun putih dengan mid lenght stripe yang jatuh teruntai di lengan, bermotifkan rangkai jalar bunga-bunga khas klan Hyuga selaras dengan border dari pertengah atas gaun hingga menyusut ke bawah gaun yang jauh menimbulkan kesan gradasi, membalut postur tubuh sang gadis yang sempurna. Apalagi saat ia berjalan perlahan dan bagian remple sederhana di belakangnya terseret perlahan mengesankan elegan.
Di masing-masing telinganya terhias sepasang anting yang selaras dengan kalung yin dan yang serasi tersemat di leher jenjangnya, tepat di atas tulang selangka yang terbalut kulit mulus tanpa cela dan bahu tak terlapisi apa pun. Di pergelangan tangan kirinya melingkar jam tangan rantai berwarna silver dan cincin yang tersemat di jari tengah tangan kanannya.
Sepasang white ivory high heels setinggi sekian sentimeter yang dihiasi pita putih bersih ber-glitter sebagai alas kakinya. Make-up tipis natural dibubuhi menegaskan wajahnya yang pada dasarnya memang sudah cantik. Pelengkapnya adalah senyum lembut yang mencuri napas orang-orang ketika melihat paras memesonanya.
And, voila! Here comes Hyuga's gorgeous princess!
Bohong kalau dibilang para lelaki tidak melirik Hinata. Bahkan yang datang dengan pasangan saja atau paruh baya masih membelalakkan mata melihat penampilan gadis pewaris—astaga ternyata pewaris klan sekaliber Hyuga adalah gadis secantik ini!
Suara shutter kamera ditekan kian marak terdengar ditingkahi suara gemuruh decak kagum dan hujan blitz kamera seperti kembang api yang menyilaukan menyaingi lighting ballroom Hyuga itu.
Mata ungu keperakan Hinata yang bergulir menyapu ratusan pasang mata yang menatapnya, tak sengaja bertemu pandang dengan sepasang mata biru cemerlang. Biru. Seperti langit di musim panas. Biru yang kuat seakan menariknya ke dalam biru indahnya yang laksana samudera.
Sejenak, mereka bertatapan. Bertukar senyum. Berlalu begitu saja. Sampai akhirnya Hinata fokus berjalan ke panggung berkarpet merah seperti warna karpet di tangga yang baru dilewatinya.
Ibu bergegas memeluknya dengan linangan air mata dan ayah… Hinata yakin, indera pengelihatannya masih berfungsi dengan baik. Inikah senyum yang telah lama ia harapkan dari sang ayah kepadanya?
Hiashi berganti memeluk canggung Hinata. Lalu mengarahkan stand mike itu pada Hinata, suasana mendadak sunyi senyap. Menanti suara yang mudah-mudahan saja secantik sosoknya, dari gadis yang kini sedang berulang tahun. Tidak lucu kalau tuan putri sepertinya punya suara secempreng Donal Bebek.
"Semuanya, selamat siang. Salam kenal," sapa Hinata dengan senyum yang membuat Neji melempar pandangan mengancam pada sebagian besar pemuda yang matanya seolah berubah jadi love saat melihatnya, "saya Hinata Hyuuga, mohon kerjasama dan bimbingannya."
Dengan sikap aristokrat yang ia pelajari susah-payah dari Kurenai—tutornya itu memang sangat lembut tapi tegas Hinata mengangkat sedikit ujung roknya, lalu membungkuk perlahan. Ketika Hinata menegakkan lagi tubuhnya, ayahnya menyandarkan kepala padanya sembari menepuk-nepuk lengannya, dan ibunya terisak kecil di bahunya. Ketika semua larut dalam keterharuan yang dalam dan bertepuk tangan meriah ….
Hinata kembali bertemu pandang dengan dia—si pemilik mata biru itu, mengenakan tuksedo putih yang kontras tapi serasi dengan kulit tannya. Tiga garis di masing-masing pipinya itu tidak mengurangi kerennya pemuda stylish itu. Sepertinya, pemuda bersurai blonde tersebut menyadari Hinata kembali menatapnya, sehingga dia nyengir—membuat Hinata mengalihkan pandangan karena merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, lagi.
"Hinata, selamat ulang tahun. Putriku sudah gadis, sudah dewasa…" Hiashi mengecup kening anaknya—ini jelas mengalihkan perhatian Hinata. Dan ibunya juga paman Hizashi, Neji dan Hanabi serta para tetua Hyuga yang tadi dipanggil oleh Ritsuki bergegas bergabung dalam momen keluarga ini.
"Hinata Nee-san yang cantik tapi masih lebih cantik aku … selamat ulang tahun," kata Hanabi tulus. Perkataan ini membuat Hinata tertawa geli seraya merangkul sang adik dalam pelukan hangat.
Neji tersenyum kecil, "Selamat ulang tahun, Hinata. Jangan tersenyum selama kau berada di pesta ini!" ancamnya—masih dengan senyum manis mengisyaratkan oh-aku-kakak-yang-baik.
"Eh?" Hinata memiringkan kepalanya tak mengerti. Tidak seperti Hinata, Hanabi yang mengerti maksud terselubung Neji balas tertawa kecil karenanya.
"Nah, Hinata… sekarang kau duduk saja di kursimu. Hanabi, antarkan Hinata!" instruksi Hiashi.
Hanabi mengangguk seraya membantu mengangkat bagian belakang gaun sang kakak, Neji pun tanpa disuruh mengawal Hinata dengan menggandeng lengannya dengan gaya protektif. Mereka menuruni tangga lagi, satu demi satu. Baru saja mereka selesai menuruni tangga, pihak pers yang tadi ada di depan panggung kini beralih, berniat mewawancarai mereka.
"Maaf. Jika ingin wawancara, nanti saja di konferensi pers seminggu lagi!" kata Neji tegas. Beberapa sekuriti segera mengamankan mereka bertiga.
Baru sebentar, Hinata sudah merasa hidupnya yang sederhana di Inggris berubah jadi begitu risih—mungkin nanti akan rumit.
Begitu ekor matanya menangkap Hinata sudah duduk sempurna di singgasananya, dan para hadirin semua berdiri satu-satu mengantri hendak memberikannya ucapan selamat ulang tahun, Hiashi kembali bersuara di atas panggung.
"Semuanya… bagi yang ingin mengajak Hinata untuk berdansa, dipersilakan! Selamat menikmati jamuan pesta dari Hyuga." Dan dengan itu, kedua suami istri Hyuuga itu pun melangkah menuju tempat masing-masing, di mana mereka akan memantau bagaimana sikap Hinata sebagai pewaris klan Hyuga.
Hanabi berdiri di samping kiri Hinata, dan Neji berdiri di samping kanan dengan pandangan galak mengancam khusus kepada mereka yang menatap Hinata dengan pandangan yang membuatnya jijik. Sementara Hinata berdiri dan bersalaman dengan banyak orang. Terlalu banyak.
'Berapa banyak orang yang hadir dalam pesta ini?' batin Hinata lelah—walau begitu senyumnya tak juga pupus.
Usai kolega-kolega relasi Hyuga dan tamu-tamu terhormat berlalu, Hinata baru mau duduk ketika ketiga temannya sejak dulu menjerit gembira menghampirinya. Keempatnya berpelukan senang.
"Hinataaaaa … ya ampun, kau cantik sekali!" pekik Ino kagum.
Sakura mengangguk senang. "Kau putri di hari ini."
Tenten tertawa. Tak ayal Sakura dan Ino sangat bersemangat—karena dulu seingat mereka Hinata bukanlah sosok yang akan cocok dengan busana ala tuan putri seperti sekarang, "Hei, Ino, Sakura, pelan-pelan saja, ya! Nanti riasan Hinata bisa rusak."
"Te-terima kasih…" ucap Hinata tulus dan terharu. Terlukis semburat tipis bagai senja yang menutup hari dengan indah mewarnai wajahnya. "Aku rindu sekali pada kalian." Direspon dengan pekik bahagia lagi ketika ketiga gadis tersebut tertawa dan membenamkan mereka bersama dalam pelukan bersahabat.
"Oi, three ladies over there! Berikan kesempatan untuk kami bersalaman dengan Hinata Ojou-sama juga," seru Kiba pura-pura kesal.
Keempatnya saling melepaskan diri, "Hinata, selamat ulang tahun!" bisik mereka.
"Sekali lagi, terima kasih," balas Hinata lirih penuh ketulusan.
Mulai dari Chouji, Shikamaru dan Lee, ketiganya mengucapkan selamat ulang tahun serta menyalaminya sambil lalu. Tapi Hinata tahu, mereka mengucapkannya dengan tulus ketimbang relasi-relasi bisnis ayah dan ibunya.
Lalu datanglah Shino dan Kiba, keduanya merangkul akrab Hinata. Membuat Neji mengeluarkan aura-aura hitam nan pekat serta menusuk—kakak laki-laki mana yang tidak kesal melihat adik perempuannya disentuh begitu kasual—yang tidak mempan sama sekali.
"Hinata, selamat ulang tahun yang ketujuhbelas! Tuhan … sekarang kau cantik sekali!" puji Kiba, "Ya, kan, Shino?"
"Hmph." Anggukkan dari Shino yang membenarkan letak kacamata hitam trendy miliknya. "Kau terlihat berbeda."
Sai yang muncul entah darimana tersenyum aneh, meraih tangan Hinata hendak mengecupnya. "Kau cantik, Hinata Ojou-sama." Sebelum Neji menepis tangan Sai dan meraih saputangan yang diulurkan Hanabi untuk mengelap punggung tangan kanan Hinata.
"Jauhkan diri kalian dari Hinata!" bentak Neji galak, lalu menarik mundur Hinata dan terang-terangan memelototi Kiba yang instingnya tajam seperti anjing menarik mundur Shino dan Sai karena ngeri.
"Dan aku curiga kau itu sister com—"
"Jangan lanjutkan, Lee!" seru sang kakak sepupu yang membuat semuanya tertawa.
Lee menyalami Hinata dan mengacungkan jempol, tersenyum lebar yang serasa menyilaukan melebihi blitz kamera. "Kau penuh semangat masa muda, Hinata!"
"Terima kasih." Hinata yang sejak awal memulai sesi bersalam-kenalan dengan tamu-tamu di pesta ini merasa pujian Lee jauh lebih baik dari kata-kata yang mengindikasikan kecantikannya, hal itu hanya membuatnya malu dan merasa tidak pantas. Dia belum menyadari kehadiran salah seorang temannya lagi yang datang dengan orang lain.
"Eh, Sasuke, kenapa aku mesti ikut juga? Aku tidak mengenal Nona Hyuga. Lagipula tadi orangtuaku bilang mereka hanya akan reunian dengan Hyuga Hiashi-sama dan istrinya." Naruto menjawil sahabatnya itu. Walaupun sedikit banyak ia penasaran dengan gadis itu—tentu Naruto menyadari tadi sang pewaris Hyuga berpandangan dengannya.
"Nanti juga aku perkenalkan," sahut Sasuke datar, sebelum senyum licik selintas terlihat padanya. Lalu ia menyeruak maju diikuti Naruto.
Raut wajah Hinata bertambah cerah tatkala melihat sahabatnya yang paling dingin turut datang ke pestanya. Tetap (sok) cool dengan kedua tangan bersarang di saku celana bahan tux hitamnya.
"Otanjoubi omodetou gozaimasu, Hinata Hyuga Ojou-sama," kata Sasuke datar.
Hinata menghela napas berat. Bahunya yang sempat terangkat semangat kini turun sedikit karena antisipasi. "Kumohon, Sasuke. Jangan panggil aku seperti itu lagi…" kata Hinata lemas, menyebabkan tawa menggema di sekitar tempat duduk sang pewaris Hyuga.
"Perkenalkan—" Sasuke tak menanggapi perkataan Hinata dan mendorong sahabat sekaligus rivalnya itu ke depan. "Naruto Namikaze, temanku—" Hinata terlihat terkejut ketika Sasuke mengucapkan 'teman', "—pindah ke Jepang dan menetap di Konoha ini setelah kau pindah." Lalu Sasuke melirik malas temannya. "Dobe, ini Hinata—putri pingit Hyuga."
Kerutan samar muncul di kening Hinata, "Do-dobe?" Ketika Hinata melayangkan tatapan bingung pada Naruto—mengira bahwa yang si bungsu Uchiha itu katakan adalah kebenaran, Sasuke menyeringai.
"Hei, jangan dengarkan Uchiha menyebalkan ini! Dia pembual!" tukas Naruto cepat. Semua tertawa terpingkal-pingkal saat Naruto berusaha menginjak kaki Sasuke, tapi berhasil dihindari yang bersangkutan. "Kupastikan kau akan mati nanti, Uchiha Keparat," desis Naruto memelototi kawannya itu lebih tajam dari mata pisau. Sebelum ekspresinya berubah seratus delapan puluh derajat ketika menatap Hinata, dan tersenyum formal—sembari membungkukkan badannya sekilas. Disapanya Hinata dengan bahasa Ibu mereka, "Hajimemashite, Hyuga-sama."
Hinata tahu orang ini yang tadi bertatapan dan membuatnya linglung, senyuman formal pun terkembang di wajah Hinata—seraya menarik sedikit ke atas tepian gaunnya dan balas membungkukkan badan, "Ha-hai'. Do-dozo yoroshiku onegaishimasu, Namikaze-sama."
Sasuke memutar kedua bola matanya dengan gaya bosan. "Ini mengerikan."
"Aduuuuhhh! Kalian ini formal sekali, sih!" Ino terkikik geli.
Naruto tampak salah tingkah ketika melihat Hinata menanggapi perkataan Ino dengan tawa kecil—seperti ada sesuatu yang menghentak ulu hatinya. Menarik napas panjang dengan kepercayaan diri baru, senyum yang lebih tulus terulas di wajahnya. Naruto memperkenalkan diri lagi, "Salam kenal, Hinata. Senang berkenalan denganmu."
Perhatian Hinata teralih. Jeda sejenak, ia hanya menatapi uluran tangan Naruto—membuat senyum lima jarinya goyah. Lalu menjabat tangannya lebih bersahabat. Seulas senyum manis terulas di wajah cantik itu. "Sa-salam ke-kenal juga, Naruto … -kun." Dilihatnya Naruto nyengir lega, dan itu menular padanya. "A-aku juga se-senang."
"EEEEAAAAA!" teriak teman-teman di sekitar mereka menggoda—tak mengindahkan protes dari Neji atau dengus geli Sasuke.
Hinata tersipu malu dan buru-buru menarik tangannya sementara Naruto dengan canggung menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
"STOP!" teriak Sakura tiba-tiba.
Semua terlonjak kaget. Suasana di sekitar situ menjadi tegang.
Ada apakah?
Ino baru saja mau mengomeli Sakura yang mengejutkan mereka semua, tapi diurungkannya niatnya karena Sakura terlihat begitu tegang. Membuahkan pandangan bertanya dan bingung
Apakah Sakura tidak menyukai Hinata begitu dekat dengan Naruto? Dengan langkah satu demi satu menandangkan hawa seram, Sakura mendekati mereka. Tak mungkin juga dia cemburu—seharusnya karena dia sudah tidak ada hubungan dengan Naruto, dan lelaki itu baru berkenalan dengan Hinata.
Hinata berdebar-debar. Dia merasa Sakura marah terhadapnya dari aura-aura hitam imajiner yang menyelubunginya. Mengapa marah padanya? Apa salahnya? Ia baru saja pulang dari Inggris. Apa ia berbuat salah pada Sakura dan gadis itu belum memaafkannya? Tapi ia kan tidak terlalu dekat dengan Sakura seperti ia dekat dengan Tenten.
Mata ametis dari pemilik rambut indigo ini dapat membaca kilat di mata emerald yang kini sedang beradu pandang dengannya. Sesuatu yang terasa mengerikan, firasat buruk menerpanya.
Naruto tak sadar ia menahan napas sejak mendengar teriakan "stop" dari Sakura tadi. Apa maksudnya semua ini?
Apa yang sebenarnya terjadi pada Sakura?
.
To Be Continue
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Anw, untuk teman-teman yang ingin bayangan tentang outfit Hinata, bisa dicek outfit Taylor Swift di video klip Love Story—bukan gaun jadulnya ya tapi yang cocok dengan deskripsi saya. :D
"Happy (belated) birthday, Hinata-hime, and I wish you all the best, plus I hope you will end up together with Naruto! maksudnya… Udah telat, sekarang masih diputus lagiiiii… saya nanti update pas tahun baru yah?
.
WE ARE NHLs! WE ARE FAMILY! KEEP STAY COOL, FRIENDS!
.
Terima kasih sudah menyempatkan membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan kehadirannya. ^_^
.
.
Sweet smile,
Light of Leviathan (LoL)
