Disclaimer : Masashi Kishimoto
Hai. Ini fic Yuu yang ke-12. Pair kali ini NaruHina. Yah, dikit-dikit Yuu bisa lepas dari ShikaTema. Dulu Yuu nggak bisa bikin fic dengan pair selain mereka. Daripada nggak jelas gini, langsung aja deh.
Enjoy!
PROLOG
Aku selalu melihat gadis berambut biru itu setiap sore. Setiap sore, dia pasti akan duduk di bangku taman yang terletak di depan air mancur, tak lupa sebuah buku biru muda kecil dan pena berwarna hitam yang selalu dibawanya. Setiap sore pula aku melihat dia menulis dibuku biru muda itu dengan tatapan sendu. Seakan-akan hidupnya akan berakhir esok hari. Aku ingin sekali menyapanya. Tapi aku takut dia akan berlari dan tidak akan kembali lagi kemari. Yang bisa kulakukan hanyalah memandangnya dari kejauhan.
Hari ini aku kembali melihatnya duduk di bangku taman. Baju terusan bermotif bunga-bunga cerah yang dia pakai membuatnya kelihatan manis. Pandangan matanya lebih sendu daripada sebelumnya. Tanpa berpikir lebih jauh lagi, aku berjalan menghampirinya. Aku tak mau menjadi seorang pengecut. Aku akan menghampirinya, meskipun aku tak bisa melihatnya lagi. Tinggal satu langkah lagi aku akan menggapainya, saat tiba-tiba dia menengadahkan kepalanya.
Aku gelagapan. Tapi bukan Uzumaki Naruto namanya bila tidak bisa menguasai keadaan.
"Eh, hai. Namaku Uzumaki Naruto. Boleh aku duduk di sebelahmu?" tanyaku sesopan mungkin. Kulihat senyum tipis tersungging dibibirnya sebelum akhirnya dia mengangguk dan bergeser sedikit ke kanan.
Aku langsung duduk disebelahnya. Kulirik seseorang disebelahku, ia sudah tenggelam lagi di dalam tulisannya. Ingin sekali aku merebut buku biru muda itu dan membacanya dengan perlahan. Setelah hampir lima menit berjalan dalam kesunyian, aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Siapa namamu?" tanyaku sambil menghadapkan badanku ke arahnya. Dia menoleh, "Hinata. Namaku Hyuuga Hinata." jawabnya, sambil kembali sibuk dengan tulisannya. Oh Tuhan, suaranya lembut sekali. Aku baru mendengar suara seindah ini.
Aku terpana cukup lama sampai sebuah bola sepak menghantam kepalaku.
"Aduh!" teriakku dan dengan reflek memegangi kepalaku. Hinata menoleh, aku bisa melihat dia tersenyum tipis.
"Ah, maaf. Itu bola kami." ujar salah seorang anak lelaki berambut hitam yang aku taksir berusia sekitar 10 tahun. Sambil menundukkan badannya, dia menerima bola yang aku berikan. "Sekali lagi, maaf karena menganggu kalian pacaran." ucap anak itu dengan polos.
Sontak perkataannya membuat pipiku merah. Kulirik Hinata, pipinya juga memerah. Anak itu lalu berlari kearah teman-temannya. Aku dan Hinata kembali tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
"Eh, apa yang sedang kau tulis?"
"Puisi."
"Puisi? Kau suka menulis puisi?"
"Hanya dalam puisi aku dapat mengungkapkan isi hatiku." jawabnya dengan wajah memerah. Aku rasa dia ini tipe wanita yang pemalu.
"Kenapa kau tidak mengungkapkan isi hatimu kepada seseorang?"
"Itu… a–aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"A–aku sudah terbiasa memendamnya sendiri." jawabnya terbata-bata.
Tanpa sadar kupandangi dia dengan tatapan iba. Aku mengerti perasaannya, sejak kecil aku sudah kehilangan kedua orang tuaku, dan aku tak punya sanak saudara. Tanpa sadar aku menggenggam tangan kirinya, membuatnya kelihatan ketakutan dan berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.
"Aku tak akan menyakitimu. Aku hanya ingin kita berdua berteman. Aku mau mendengarkan semua beban di hatimu." ucapku dengan sedikit bergetar. Entah kenapa, aku ingin mengenalnya lebih jauh. Aku ingin menjadi orang yang dipercaya olehnya.
Mendengar perkataanku, sontak kedua pipinya memerah. Aku tersenyum hangat kearahnya. Aku lalu melepaskan kedua tangannya, dan tanpa kuduga, dia menyodorkan buku biru muda kecil itu kehadapanku.
"Apa ini?" tanyaku heran.
"Kau… mau mendengarkan semua beban dihatiku, kan?" ucapnya dengan wajah tertunduk dan tertutupi rambut panjangnya.
Aku mengambil buku biru muda kecil itu dengan perasaan campur aduk. Dengan perasaan penasaran bercambur senang, aku membuka halaman pertama buku itu.
Apa arti kehidupan?
Aku tak bisa menikmatinya…
Aku ingin terus hidup…
Tapi apakah aku sanggup?
Bagaimana bila esok hari aku tidak terbangun?
Aku tertegun memandang perkataan yang tercoret di buku biru muda kecil itu. Kenapa dia kehilangan harapan untuk hidup? Kenapa dia putus asa begini? Apa dia mengira bahwa esok dia akan mati? Pertanyaan demi pertanyaan terus berkecamuk dibenakku. Aku menatapnya dengan ekspresi tercengang, yang dibalas dengan tatapan sendu dari wajahnya.
"Itulah mengapa aku tak suka menceritakannya pada orang lain. Kau pasti terkejut, bukan?"
"A–Aku…" aku tak sanggup berkata-kata. Dia mengambil buku biru muda kecil itu dari tangan kananku dan menyimpannya di dalam tasnya.
"Maaf, aku tak bisa mengungkapkan isi hatiku padamu." jawabnya pelan. Tangan kanannya membelai burung gereja yang baru saja hinggap ditangan kirinya. Aku menundukkan kepalaku.
"Tidak. Aku tetap ingin mendengarkan semua isi hatimu." jawabku tegas. Ekspresinya berubah menjadi sedikit riang.
"Kau… keras kepala." ucapnya sambil tersenyum. Pandangannya tak lepas dari burung gereja yang bertengger manis di tangan kirinya. Burung itu melihatnya dengan tatapan seakan ingin tahu. Hinata lalu mengambil biji-bijian dari sebuah kantung kecil yang dia ambil dari tas birunya. Diberikannya biji-bijian tersebut kepada burung gereja kecil tersebut. Burung gereja kecil itu langsung melahapnya dengan rakus.
"Terserah."
"Kenapa kau ngotot, sih?" tanyanya heran. Aku bisa merasakan perubahan pada nada bicaranya, terdengar lebih riang.
"Aku hanya tidak suka melihat orang pesimis akan takdirnya." jawabku jujur. Hinata kembali tersenyum tipis.
"Aku tidak pesimis. Semua orang pasti akan mati, kan? Tapi aku berbeda. Aku hanya punya waktu sebentar lagi." ucapnya. Aku tersentak. Apa yang sebenarnya yang sedang dibicarakan gadis ini?
"Hanya punya waktu sebentar lagi?" ulangku. Hinata mengangguk pelan.
"Kenapa kau menulis seakan-akan kau akan mati besok?" tanyaku dingin.
"Aku… divonis mati, oleh dokter." jawabnya pelan, seakan mengatakan hal yang sangat tabu untuk dikatakan.
"Dokter bukanlah Tuhan!" teriakku dengan mata berkaca-kaca. Hinata cukup terkejut dengan reaksiku. Apa reaksiku berlebihan?
"Dokter bukanlah Tuhan." ulangku lirih. Tak kusangka, Hinata malah tersenyum mendengar perkataanku.
"Dokter memang bukanlah Tuhan, tapi mereka adalah orang-orang ahli. Aku tidak menyalahkan mereka yang memvonisku mati." jawabnya lembut, "Meski aku tahu umurku tidak panjang lagi, aku tidak pernah menyalahkan siapa-siapa. Itulah yang dinamakan… takdir."
Aku terpana terhadap semua ucapannya. Bagaimana seandainya aku yang divonis mati oleh dokter? Mungkin aku sudah menyalahkan dokter itu dan mengatakan bahwa dia salah mendiagnosa. Tapi gadis yang duduk dihadapanku ini cukup tegar menghadapi takdirnya. Dia bahkan tidak terlihat sakit. Setelah cukup lama terdiam, aku kembali menemukan kata-kata untuk dibicarakan.
"Hey, Hinata,"
"Hm?"
"Kau sakit apa?"
"Lupus."
"Lupus?" ulangku. Hinata hanya mengangguk. Aku bahkan tak tahu penyakit itu.
"Naruto, aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa." ucapnya sambil berdiri dan beranjak pergi. Aku hanya sanggup memandangnya dari kejauhan.
Lupus? Penyakit macam apa itu?
TBC
Kenapa akhir-akhir ini Yuu sering bikin fic angst ya? Gak tau deh.
Review, please?
