Dislcaimer: Masashi Kishimoto is owner of Naruto

Warning : OOC, Typos ect.

Cast: MadaHinaIta

an: mengasah kemampuan saya nulis yang mulai berkarat.

.

.

Kekisruhan tampak jelas di wajah lelaki yang sedang menghadapi wanita di hadapannya. Terkadang hening yang sangat panjang membuat sang wanita hampir putus asa meminta persetujuan dari lelaki itu.

"Kau yakin akan baik-baik saja, Hinata? Kalau kau perlu teman aku bisa menyuruh Sasuke menggantikanku menghadiri rapat, kau tahu aku sangat tidak bisa membiarkanmu berkeliaran sendirian, dan lagi ini tempat yang jauh. Kemana kau bilang? Nagoya? Akan kusuruh Temari menemanimu."

Berkeliaran. Hinata menangkap kata-kata itu. Kata-kata yang menurutnya hanya cocok digunakan untuk binatang. Tapi mengingat keadaannya sekarang, Itachi tidak bisa disalahkan. Dia hanya terlalu khawatir pada gadis itu dan ketidaknormalannya.

Hinata menghela napas, lelah dengan perdebatan. "Aku tidak bisa merepotkanmu terus … kali ini Itachi-kun harus membiarkanku pergi untuk kesembuhanku. Itachi-kun harus percaya padaku, aku yakin akan baik-baik saja."

Itachi percaya Hinata tidaklah amatir dalam mengemudi, tapi yang dia takutkan adalah sosok lain yang sering memaksa keluar dan menggantikan tempat Hinata seharusnya berada.

"Aku tidak mau Temari atau Sasuke, ra-rasanya agak aneh berdua dengan orang yang tidak akrab …." Hinata dan persepsinya, "Onegai Itachi-kun … aku hanya ingin sembuh sebelum menjadi isterimu."

"Aku tidak meminta hal itu darimu," Itachi menegaskan kalimat yang selalu dikatakannya. Tapi Hinata, adalah perempuan yang keras kepala jika menyangkut kebahagiaan mereka. Itachi pun pada akhirnya menyerah membiarkan Hinata sendiri, tidak benar-benar sendiri karena Itachi menyuruh adiknya untuk mengawal Hinata diam-diam.

"Hinata, bilang pada Hikari untuk tidak mencelakai tubuhmu." Hinata menghambur ke pelukan Itachi, alasan pertama karena dia begitu mencintai orang ini, kedua karena dia mendengar Hikari berkata; "Aku tidak bisa janji apapun pada pangeranmu, Hinata Sayang."

.

.

Hari ini Hikari tak banyak bersuara, hanya tadi di kantor Itachi terakhir Hinata mendengarnya dengan jelas. Sedikit merasa aneh tanpa komentar kasar wanita itu.

"Hi-hikari … kau tak bisa menyetir kan? Kalau begitu jangan keluar tiba-tiba … ya?" gadis itu bersoliloqui dengan dirinya sendiri, seperti aktris yang sedang berlatih akting. Diam, tak ada suara apapun terdengar. Hinata bisa tenang mengemudikan mobilnya, tapi sayup-sayup terdengar suara, "Tidak janji, ini hari penting untukku. Aku akan bertemu kekasihku."

Dan Hinata tiba-tiba merasa gerah di tengkuk mendengar ancaman seseorang yang tidak nyata. Dia mulai menyibak rambut panjangnya, memindahkan surai-surai rata ke sisi lain bahunya dan memilih abai terhadap makhluk antagonis itu.

Ketika melewati patung penjaga anak yang salah satu sisinya adalah jurang, mobilnya tiba-tiba terhenti entah kenapa. Setelah berkali-kali mencoba menyalakan mesin mobil, Hinata menyerah lalu keluar untuk melihat kenapa mobilnya mogok. Meskipun dia tak yakin mengerti apa yang menjadi penyebabnya jika terdapat kerusakan mesin.

Tak jauh dari sana, Sasuke menghentikan laju Porsche-nya melihat calon isteri Itachi keluar dari mobil. Antara menghampiri atau mengamati membuat Sasuke tak sabar. Dia sedikit khawatir setelah tak melihat bayangan Hinata lebih dari sepuluh menit. Sasuke tidak peduli wanita itu akan marah padanya, dia hanya peduli pada kesehatan mental Itachi jika terjadi sesuatu pada gadis itu, jadi Sasuke segera berlari menghampiri mobil Hinata.

Tepat saat itu, Sasuke terbelalak menyaksikan dua kepribadiannya bertarung di tepi jurang seperti orang kerasukan.

"Ja-jangan! Jangan lakukan ini, Hikari!"

Sasuke secepat mungkin sadar dari keterkejutan, dia menarik Hinata yang menggapai-gapai dengan satu tangan di tepi jurang.

"Pegang tanganku, Hyuuga!"

"Lepaskan, tanganmu, Hinata! Kau tidak akan mati hanya karena jatuh dari sini," bentak sosok yang sama. Sasuke merasa tolol berada di situasi absurd seperti ini. Dia mencengkram satu-satunya pergelangan tangan Hinata atau Hikari, tapi satu tangan Hinata menggenggam batu untuk menumbuk tangan Sasuke sehingga refleks pemuda itu melepas tangannya dan melihat kibar baju yang dikenakan Hinata menghilang ditelan jurang tak berdasar. Sasuke terpana.

"Kuso!"

.

.

Aliran air membawa tubuh gadis itu bagai perahu kertas, terapung, terombang-ambing mengikuti kemana aliran itu menuntunnya. Gaun putihnya tersobek sana sini, warnanya berubah menjadi sedikit kelabu seperti kelabunya sore itu.

"Hinata! Bangun!" Suara Itachi terdengar marah.

"Bangun Hinata!" dia tidak suka dihardik begitu, meskipun Itachi punya banyak alasan untuk melakukannya.

"Bangun atau kau tidak akan bertemu denganku lagi!" iris perak keunguan itu tersekejut mendapati dirinya dilarung bagai jasad mati. Dan parahnya Hinata tidak pernah mendapat nilai bagus dalam berenang.

"Serahkan padaku, Hinata Sayang."

Mereka bertukar posisi. Hinata tak pernah membiarkan Hikari menguasai tubuhnya lebih dari gerakan tangan sebelum ini, tapi kali ini ia malah membutuhkan bantuan untuk bertahan oleh sosok yang baru saja mencelakainya.

"Lihat? Aku bisa melakukan apapun jika aku mau … aku hanya kasihan padamu."

Jiwa Hinata bergetar. Di sudut pikirannya dia takut tak punya tubuh, dia tahu Hikari kuat, tapi tak menyangka Hikari bisa dengan mudah keluar dan menggantikannya. Gadis itu merasa tidak aman. Dia bisa kehilangan dirinya kapan saja dan menggantikan Hikari terpenjara dalam tubuhnya sendiri.

"Tenang saja, aku tidak mau menjadi dirimu. Aku punya orang yang kucintai."

.

.

Dua jiwa satu jasad itu kini sama-sama kelelahan berjuang melawan arus. Hinata takut melihat ruas jari dan kukunya mengeluarkan cairan merah. Dan rasanya juga perih.

"Kita belum bisa istirahat, aku yang akan menggantikanmu berjalan," kata Hikari. Sisi lain tubuh itu berontak, rasa takut melahirkan kekuatan yang luar biasa hingga membuat Hikari kesulitan mengendalikan tubuh mereka.

"Kembalikan! Ini tubuhku!" tangan yang dikuasai Hinata memukuli kaki yang masih berjalan; kakinya.

"Berhenti, Hinata! Ini hampir malam! Kau mau kita dimakan binatang buas?!" tapi Hikari sama lelahnya dengan Hinata, sehingga sekarang Hikari hanya berwujud suara.

"Ayo … sedikit lagi kau bisa minta pertolongan di sana," lirih suara tanpa wajah di kepalanya.

Lolongan anjing atau serigala cukup untuk menakuti Hinata. Dia bergegas merangkak menghampiri jalan setapak. Di sanalah terlihat puri megah berhias bata merah dengan daun-daun mati berserak di depan pintu tanpa gerbang itu.

Hinata tak lagi mendengar perintah dari kepribadiannya yang lain, maka dia mulai mengetuk pelan pintu megah berukir sepuhan emas pelan.

Krieeeek.

Geret pintu terdengar berat menampilkan sosok lelaki dengan waistcoat hitam berpadu kemeja merah juga celana lurus yang menampakkan kaki-kaki jenjang lelaki itu. Tiba-tiba angin memaksa tumpukkan daun kering beterbangan menjauh, barulah Hinata melihat sosok itu memusatkan pandangan padanya dengan senyum penuh misteri.

"Ada apa denganmu? Kami menunggu putri yang menunggang kuda putih tetapi malah mendapati gadis gelandangan compang-camping," katanya tenang, seolah sudah tahu Hinata akan datang.

"Aku tersesat." Lelaki maskulin berambut panjang yang bagaikan pangeran kegelapan itu berjongkok menghampiri Hinata. "Kau dikejar serigala lagi di luar, Lady?"

Tanpa peduli jawaban terbata Hinata, lelaki menawan itu mengangkatnya, membawa Hinata menuju aula megah dimana semua orang berpakaian aneh. Para wanita berpenampilan layaknya bangsawan kuno para lelaki bertuxedo, semua memegang topeng di wajahnya, kecuali orang yang membawa Hinata.

"Tuan dan Nyonya, Tuan putri akan segera siap. Mohon bersabar." Setelah itu langkah sepatu sang tuan rumah menggema sepanjang lorong besar yang dindingnya terbingkai lukisan abad pertengahan. Pintu lain ditendang kasar, Hinata didudukkan di atas kasur putih bulu angsa lembut.

"Ano … tuan, s-"

"Ssst … cukup aktingnya My Lady. Aku akan menyuruh pelayan membawakanmu obat. Tunggu sebentar di sini."

Hinata memperhatikan sekeliling, semua tampak masih baru, kecuali lukisan besar yang memburam di sudut.

"Ah … Maaf My Lady, pelayan itu mungkin harus kupecat karena meninggalkan tempatnya tanpa izin. Sekarang izinkan aku membalut lukamu."

Hinata diam. Bingung dan tidak mengerti, namun tak berusaha bersikap tidak sopan karena sudah ditolong.

"Kau memandangi lukisan kita? Kenapa?"

Kita?! "Kau aneh hari ini, Hikari Sayang. Kau lupa minum obatmu ya?"

Hi-hikari katanya?!

Hinata mempertegas gambar di dinding. Sudah pudar, namun dia bisa melihat siluet lelaki itu sedang berdiri sementara seorang gadis berambut panjang memegangi tangannya dalam balutan baju putih sederhana.

Rasanya dia mengenal sosok wanita itu.

Pantulan sinar bulan dari jendela mengingatkan Hinata bahwa dia akan membuat khawatir Itachi jika tak memberi kabar.

"Eto … aku tidak mengerti, tapi … aku bukan Hikari, aku sangat berterimakasih atas kebaikan anda, sekarang bolehkah aku meminjam telepon? Aku tidak ingin keluargaku khawatir."

Wajah lelaki itu mengeras. "Cukup main-mainnya! Aku sudah mengikuti akting bodohmu, dan sekarang kau mengacaukan pesta pertunangan kita dengan datang kemari berpenampilan tak pantas! Cukup! Sekarang kau ganti baju, dan aku akan menunggumu untuk berdansa di hall."

Hinata tersentak. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Dia tak tahu harus bagaimana, tapi nalurinya mengatakan dia harus segera pergi dari sini. Lelaki yang menyuruh memanggil dirinya Madara kini keluar meninggalkannya sendiri untuk berganti baju. Tapi Hinata tahu dia tak akan punya kesempatan bagus lagi. Jadi dia meraih gagang telepon kuno di atas nakas untuk menghubungi Itachi.

Tiba-tiba tangan lain mencegahnya, tangan Madara. Sekilas Hinata melihat kulit lelaki itu tertimpa sinar bulan dan bagai berhalusinasi Hinata merasa menatap tulang belulang yang bergerak. Tengkorak.

Dia berteriak keras sekali. Madara memeluknya dan Hinata makin menjadi-jadi.

"Sst … sstt … aku di sini, My Lady. Jangan takut." Dalam buaian lelaki bau debu itu, dia pingsan.

Di sudut pikirannya Hinata melihat Hinari mengambil alih tubuhnya. Dan dia berbincang dengan Madara seolah mereka memang saling mengenal. Hinata hanya mengamati dan tak punya daya.

"Lukisan kita buram sekali, Sayang. Tapi aku senang kau masih memasangnya."

"Apa yang kau bicarakan? Lukisan itu akan selalu ada di tempatnya, menggambarkan kecantikanmu." kata lelaki itu sambil mencium tangan Hinata.

Tubuhku! Hinata terperangkap dalam benaknya tanpa bisa keluar.

Hikari! Kembalikan tubuhku!

Madara sedang memangku gadis itu di tempat tidur tapi Hinata bisa melihat sinar bulan yang menerobos jendela menunjukkan bahwa lelaki itu bukan lagi manusia. Tulang belulang yang memakai baju.

"Sayang … aku ingin berbicara sesuatu denganmu, tapi kau harus janji untuk melakukan hal yang kupinta setelahnya."

Sinar bulan meredup. Dan lelaki itu kembali ke wujudnya yang rupawan.

"Katakan."

"Kau tahu aku ingin pergi bersamamu ke suatu tempat dimana kita bisa bersama. Kau juga harus tahu tubuh ini bukan milikku." Madara masih menganggap Hikari bercanda.

"Hentikan pembicaraan anehmu, Hikari Sayang. Hari ini sepertinya kau lupa minum obatmu lagi ya?"

Tangan Hinata–Hikari membelai tangan Madara, mendekatkannya ke wajah dan menghirup sedalam mungkin. Tubuh Hinata ingin terbatuk menghirup debu dari tangan Madara, tapi Hikari hanya diam.

"Kau sudah terlalu lama di sini, Sayang. Kau tahu ini hari apa? Tanggal berapa?" Madara berpikir sebentar, bertujuan mengikuti arah drama wanita kesayangannya seperti biasa.

"Senin, dua belas Maret 1976. Hari pertunangan kita tentu saja."

Hinata hanya mencoba mengira-ngira arti pembicaraan dua orang di hadapannya. Nihil, dia tak punya ide yang bagus tentang apa yang sedang terjadi.

"Ya, ini dua belas Maret, tapi ini hari Sabtu …," lirih Hikari padanya. "Kau ingat saat menungguku yang tidak datang ke pesta ini? Supirku sedikit sakit dan mobilku meluncur jatuh ke jurang, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi bisa kupastikan hari itu aku telah mati."

Madara hanya memperhatikan wanitanya berbicara. "Tubuh ini mirip, tapi bukan milikku. Kau lihat tanda lahir berbentuk ular di jariku tidak ada? Itu karena ini memang bukan milikku. Kau tahu kenapa aku masih di sini, Sayang? Aku mencarimu, menunggumu, menantikan waktu mempertemukan kita lagi." Sadar bahwa mungkin Madara masih menganggapnya bermain-main Hikari meraba tangan Madara, menyorot tangan itu ke arah datangnya purnama.

Madara menyaksikan tulang belulang itu bergerak saat dia menggerakkan tangan.

"Lihat? Kau juga sudah …."

"Aku … sudah mati?"

Hinata pikir dia gila menyaksikan hal ini. Tapi sekarang dia hanya suara di sudut ruangan sempit di kepalanya, dengan roh lain yang mengambil alih tubuhnya sebagai inang.

"Aku menunggumu untuk waktu yang sangat lama, Hikari Sayang. Bagaimana mungkin sekarang aku melepaskanmu?"

.

.

Itachi terdiam beberapa saat begitu kabar duka menghampirinya. Sasuke mengawasi perubahan ritmis wajah kakaknya secara seksama, memastikan otak orang itu masih bekerja benar.

"Itachi?" katanya menyadarkan patung manusia itu.

"Segera suruh para pengawal mencarinya. Dan kau akan menemaniku ke tempat itu sekarang."

"Tapi Itachi …." Tatapan Itachi bagai serigala lapar membungkam Sasuke dan asumsinya bahwa percuma saja mencarinya karena sudah dipastikan Hinata tak mungkin selamat.

"Aku akan menemukannya hidup, … atau mati." Sasuke meringis mendengarnya, alasan lainnya karena nyeri di buku jarinya yang kena hantam Hinata.

.

.

Angin kencang menggerakkan jendela hingga berayun. Perlahan cat dinding mengelupas menjadi buram, kasur putih bulu angsa menggelap, serak daun yang masuk dari jendela bertebaran di lantai. Lantainya sendiri dipenuhi debu hingga mengaburkan warna pucatnya menjadi cokelat. Suasana berubah drastis. Puri indah itu merubah pemandangan menjadi mencekam dengan cecer darah di sepanjang koridor yang pekatnya sudah menyatu dengan lantai.

"Sebentar lagi fajar. Maukah kau berdansa denganku, My Lady?"

Hikari terlihat senang, dia berlari menghampiri lemari dan mulai memakai gaun berdebu yang tiap rendanya sudah menjadi rumah bagi laba-laba. Benang-benang tipis tak dihiraukannya, dia menggandeng tangan lelakinya menuju aula.

"Kita akan kembali bersama, Madara Sayang. Kali ini selamanya, bahkan ibu dan ayahku tak akan mampu memisahkan kita," katanya bangga.

Ujung gaun mengembang saat gadis itu berputar dengan tangan Madara menjadi tumpuannya kembali. Para hadirin yang bertopeng bersorak-sorai melihat pasangan tuan rumah meskipun kelupas kulit mulai berjatuhan. Bulan menyinari akhir dari parade pesta topeng itu.

Hikari menatap Madaranya, setengah wajahnya telah berubah menjad tengkorak, lalu dia sadar ada sesuatu yang belum dilakukannya.

"Madara Sayang, kita akan kembali bersama, tapi aku harus mengembalikan tubuh gadis ini. Bagaimana caranya keluar dari sini, Sayang?"

Sambil berputar di lantai dansa Madara terkekeh, "Tidak ada jalan keluar Sayang, biarkan gadis ini ikut menjadi tamu kehormatan di perjamuan istimewa kita. Sebentar lagi fajar, dan saat para tamu sadar mereka tidak lagi hidup, mereka akan berusaha memiliki tubuh gadis ini untuk ikut ke alam mereka. Sudah bukan urusan kita memulangkannya."

Hikari terdiam sebentar. "Kau benar."

Hinata menggedor dinding bata antara mereka. "Keluarkan aku, Hikari! Keluarkan aku! Kenapa kau jahat sekali melakukan ini padaku?! Kau meminjam tubuhku, menggangguku selama lima tahun sehingga aku jadi seperti orang gila dan sekarang kau mau menghancurkanku?! Hentikan Hikari!"

Hinata tiba-tiba berhasil mengendalikan tubuhnya lagi. Dia melepas tangan Madara dan berlari menuju pintu, tapi pintunya terkuci kuat hingga dia nyaris putus asa.

"Apa yang kau lakukan, Sayang?"

"Aku bukan Hikari! Aku Hinata! Dan aku pemilik tubuh ini!" teriaknya pada Madara.

"Kau tahu kenapa tidak pernah ada cerita tentang puri ini? … karena orang-orang mati tidak pernah bisa bercerita. Kau tidak akan bisa keluar dari sini, kecuali atas izinku."

Tap. Tap. Tap. Langkah kali pria setengah tengkorak itu berjalan perlahan menghampirinya. Merengkuh pinggangnya, lalu menatap dalam kedua iris perak keunguan itu.

"Dimana Hikariku?"

Hinata bergetar. "… tidak ada. Dia lenyap."

Madara berteriak layaknya singa, gadis itu menggigil. "Kembalikan Hikariku, atau aku akan menyuruh tamuku mengoyak tubuhmu."

Para tamu mulai mendekati mereka, terlihat penasaran dan berjalan kikuk, terseok.

"Bagaimana?"

"Ta-tapi … tapi aku tidak tahu, dia tidak ada di kepalaku lagi …."

Sentuhan kecil mendarat di bibir tipis Hinata, dia tersentak ingin menjauh tapi terpojok.

"Hikari …."

Kali ini ciuman lelaki itu lebih dalam dan rakus. Hinata berusaha mendorongnya namun tangannya dikunci oleh tangan lelaki itu.

"Hikari!" tak lama setelahnya Madara mendapat tamparan keras.

"Kau menciumnya!" teriak Hikari beringas.

"Kau tahu itu untukmu, Sayang. Jangan pergi lagi …." Mayat hidup masih berjalan mendekat, Hikari terlihat khawatir.

"Aku tak bisa hidup di tubuh ini … dia gadis yang kuat melawanku, kumohon Mada-kun Sayang, buka pintu ini, biarkan dia pergi …."

"Tapi dia akan membawamu juga. Aku tidak mau menunggu lagi."

"Urusanku dengannya sudah selesai, aku akan bersamamu, kita bisa pergi dari sini."

Tangan salah seorang mayat menggapai-gapai wajah Hikari. Dia berteriak.

"Cepat, Madara! Cepat! Sebentar lagi fajar!"

Dengan satu mata yang masih untuh, Madara memandang Hikari dengan mata yang paling membuat Hikari merasakan duka.

.

.

.

Almost