Sebuah cerita...
Cerita lama yang sama...
Atau...
Mungkin cerita ini sedikit berbeda
Awal dan akhir
Muncul dan lenyap
Hitam dan putih
Tap
Tap
Tap
Tap
Tap
Seperti langkah kaki….
Membentuk jejak baru dan meninggalkan yang lama
Waktu dan harapan
Atau mungkin….
Tes
Tes
Tes
Tes
Mengukir cerita di penglihatan dengan air mata
Air mata yang terus terjatuh tanpa bisa berhenti
Maupun….
Air mata kering yang tak akan pernah bisa jatuh
Mengukir dan memerangkap sebuah kisah di kelopak mata...
Mungkin kali ini...
Hitam dan emerald suram
_._._._
Onyx and shades of green
Cold and emptiness
E
N
I
G
M
A
Drowns in a
A world of forever and never
2010
Primrose Papyrum
.::Masashi Kishimto owns Naruto story ever after::.
.::Rated : T ( Beware of violence and gore)::.
.::Genre : Fantasy/Romance::.
.::Warning : OOC, AU, OC, many strange words, etc::.
The empty place
Desperation dances with devotion. Because I've been lost
This is the place where I belong. Fight the reality
Kingdom of fantasies
Cause I wonder
If this world still has a place for me
We beg for
Forgotten drama in old theater
Unsold story
Let me drown
Let me stay for a while in this world
My imaginary world
Summary:
Dulu ketika aku masih berumur 9 tahun, aku menemukan sebuah buku tua di loteng rumah kakek. Buku itu bukan sebuah cerita dengan gambar manis serta sapuan kuas yang lembut. Buku itu menceritakan sebuah negeri—negeri yang jauh. Tentang lautan tak terbatas, dua bulan dan dua matahari. Menceritakan tentang makhluk-makhluk yang kuyakin tak pernah ada….sampai setahun yang lalu aku bisa melihat teman sekelasku sama dengan makhluk-makhluk itu.
Kemudian aku tahu ada yang salah dengan negeri yang seharusnya tidak ada itu...begitu pula denganku, kurasa ada yang salah denganku...
Chapter 1
The Main Character
Sakura POV
"SAKURA—"
Aku menggeliat sebentar. Rasa malas untuk keluar dari selimut hangat ini belum mau meninggalkanku. Dan kamarku—maksudku loteng ini cukup dingin untuk membuatku gemetar. Hari ini hari Jumat, hari terakhir sekolah. Entahlah, aku harus bahagia atau tidak, maksudku jika kau 'anak sekolahan' maka mungkin kau akan bahagia, tapi jika kau—maksudku aku, tidak. Ini berarti aku harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga ini. Huh, keluarga.
"SAKURA! Kau dengar tidak, hah!"
Aku menarik napas panjang.
"Ya, Bibi Keiko! Aku turun."
Aku menegakkan tubuhku, udara dingin menggelitik pipiku. Tapi kesegarannya membuat dada terasa lega. Ini belum musim gugur jadi udara belum 'sangat dingin' dan ditambah tidak ada pemanas di kamar—maksudku loteng ini. Kegiatan menyibak selimut menjadi lebih berat dari pada harus dipaksa mengerjakan essay berlembar-lembar oleh teman sekelasku.
Aku menuju cermin dan menyisir rambutku sebentar, menggelungnya dengan agak berantakan, dan memakai kaca mataku. Lantai kayu tak berkarpet ini benar-benar mengirimkan rasa dingin sampai ke ubun-ubunku. Aku tak pernah pakai kaus kaki, entahlah kadang rasa dingin yang menggelitik ujung kakiku ini membantuku untuk tetap terjaga di pagi buta seperti ini.
Aku mengganti piyama hijauku dengan sweater tebal dan rok di bawah lutut. Harus kuberi tahu, rokku dari kain flanel ini tetap tidak membantu.
"SAKURA—" Kali ini suara Paman Ben yang cempreng terdengar—cempreng untuk ukuran laki-laki.
Entahlah apa yang dilihat Bibi Keiko pada Paman Ben, dia tidak kaya, maksudku sebelum mereka merebut harta orangtuaku tentunya, juga tidak tampan, kepribadian? Ugh, apa kau pernah melihat orang begitu tergila-gila dengan pekerjaan di real estate padahal sama sekali tidak punya bakat jual menjual, dan kecanduan rokok tembakau mahal tapi malas membersihkan mulut. Sejak dulu aku selalu berusaha untuk tidak menyebutnya Paman-Napas-Naga-Parfum-Tembakau. Tapi, yah kurasa julukan itu terlalu panjang.
"Aku segera turun!" seruku sambil menuruni tangga menuju dapur. Saat itu Bibi Keiko juga baru keluar dari kamarnya, berjalan seperti zombie dengan masker hijau dan baru saja membuang mentimun yang tadi diletakkan di kedua matanya.
"Sakura, pagi ini aku ingin salad, astaga akhir-akhir ini lingkar pinggangku bertambah." katanya sambil mengencangkan ikatan kimono tidurnya. Bahan satin mahal.
Aku mengangguk, kemudian tersenyum tipis. "Mungkin Anda terlalu banyak makan acar di pesta di tempat Mrs. Fuller kemarin," lanjutku, membuka jendela-jendela dengan tergesa-gesa. "Yah, kurasa kau benar, tapi pie-pie serta bacon itu benar-benar menyiksaku, apa jadinya jika tidak ada acar-acar itu. Tapi kurasa cocktail juga termasuk yang dapat dipersalahkan." Bibi Keiko menjawab sambil gemetar dibuat-dibuat. Seakan membayangkan acar itu yang memakannya, bukan dia yang memakan acar-acar itu.
Aku mencoba untuk memasang muka simpati atas permasalahan rutin menu Bibi Keiko, dan bukannya memutar bola mata bosan.
Bibi Keiko dulu ada seorang artis opera, dengan wajah oriental dan suara seriosa membuatnya mendapat peran khusus. Wanita asia yang cantik, dan berakhir menikah dengan Paman Ben, seorang pegawai real estate yang gagal.
Aku menuju dapur dan berkutat dengan kesibukanku. Setiap pagi-pagi sekali aku harus memasak dan membersihkan seluruh rumah yang cukup besar ini. Lebih tepatnya aku membersihkan rumahku. Seharusnya.
Tapi mereka merebut hak asuhku, satu paket dengan harta orangtuaku. Jangan berpikiran, seperti di cerita-cerita Cinderella, atau gadis malang lainnya. Karena walaupun mereka begitu menyebalkan dan menyiksaku secara mental dan maupun fisik, aku tak pernah menangis di pojokan dan berusaha kabur atau sejenisnya. Mungkin ini telah menjadi kebiasaan. Kebiasaan untuk membuat rasa sakit ini menjadi hal biasa. Bahkan ketika aku disuruh membersihkan halaman ketika hujan deras, mengumpulkan semua telur-telur paskah sisa milik Ema—dia sepupuku yang saat ini kuliah di Princeton, seorang diri ketika yang lain berpesta. Bahkan ketika kamarku dipindahkan di loteng. Aku sudah terbiasa membunuh rasa sakit ini.
Setelah selesai makan—aku makan di urutan terakhir. Aku mengganti baju ke seragam dan segera menyambar tasku. Bus sekolah sudah menunggu. Kupaksa tubuhku untuk bergerak lebih cepat sambil memberikan senyum kecil kepada Mr. Fuller—supir bus ini. Tasku yang berat serta buku-buku ini membuatku cepat lelah. Mereka—teman-temanku sudah sibuk bercanda. Tapi ketika melihatku mereka hanya memandang sinis dan segera menggeser duduknya, agar tidak ada kursi kosong. Hasilnya, seperti biasa aku akan duduk di paling belakang.
Aku tidak menangis. Sudah kubilang aku belajar untuk membuat segalanya seperti normal dalam pandanganku, walaupun dulu hampir setiap malam aku menangis. Aku menarik napas panjang, membetulkan sweater-ku yang kusut ketika Haruna menunjukku dengan ujung jarinya yang dicat ungu mengkilap.
"Heh, Haruno, essay-ku!"
Aku memandang lurus ke matanya yang memakai softlens biru yang juga memandangku dengan tajam sekaligus mengejek. Aku hanya mengangguk, dan mulai meraih tasku.
Aku mengeluarkan tumpukan kertas itu dengan hati-hati.
"Ingat, jika kurang dari B, kau tahu akibatnya!" katanya sambil kembali duduk dengan teman-temannya. Aku duduk kembali dengan tenang. Haruna adalah anak seorang senat, berwajah oriental sama sepertiku. Entah, sejak kapan dia juga ikut membenciku.
Tapi, aku tidak peduli. Aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Seburuk apa pun mereka memperlakukanku, aku tidak pernah merespon. Bukannya aku tidak bisa, sejujurnya aku hanya tidak mempunyai keinginan untuk merubah semua ini. Hal ini sudah menjadi suatu keseimbangan dalam hidupku. Seburuk apa pun kapal yang berlayar, asalkan masih tetap mengapung, tidaklah jadi masalah. Dan jika ada satu hal yang membedakanku dengan yang lain adalah kekuatanku. Jangan tertawa. Sejak kecil aku memang sudah punya rahasia kecil ini. Aku bisa menggerakkan benda-benda dan melihat hal-hal yang seharusnya tidak kulihat. Mungkin kita bisa menyebutnya cenayang. Ya, aku adalah gadis cenayang.
Pandangan orang lain tentangku pun membentuk imej-ku. Gadis dingin, tak suka bergaul dan luar biasa cerdas. Misterius, mungkin. Aku tidak khawatir, karena aku lebih merasa nyaman ketika aku sendirian. Dan lagi, aku bisa melihat makhluk-makhluk itu, saking terbiasanya sampai-sampai aku tidak akan menunjukkan ekspresi apa pun. Seperti saat ini, bus ini melewati Wostville Manor. Sebuah mansion tertua dan terbesar di daerah ini. Sunyi, kosong dan ditinggalkan. Setiap pagi aku selalu melihat gadis kecil itu duduk di ayunan. Aku memandang gadis itu lewat jendela bis. Bayangannya bisa kulihat lewat celah-celah pagar besi yang tinggi.
Dia bukan manusia.
Sudahlah.
Bangunan Widelake Highschool sudah terlihat. Bus berhenti di depan gerbangnya dengan decitan keras. Anak-anak lain segera berteriak dan berlari ke luar, melambai pada temannya yang telah menunggu di halaman. Dihiasi senyuman dan cengiran lebar.
Aku mengangkat tas dan bukuku dan mulai melangkah turun.
Aku memang sudah terbiasa dengan kesunyian
Tapi sekarang aku jadi khawatir kalau kesunyian ini pun
Mulai bisa bicara
Waktu makan siang adalah waktu yang cukup menarik bagiku. Mungkin karena aku bisa melihat semua orang ini berada pada suatu tempat yang sama, walaupun pada golongannya masing-masing.
Aku melangkahkan kakiku dengan tergesa-gesa, menuju sebuah meja di pojok ruangan, aku tidak perlu mencari meja kosong karena tak pernah ada yang menempati meja ini. Meletakkan nampanku, dan mulai memakan roti isiku.
Aku makan dengan tenang ketika suasana segera dirusak oleh sebuah keributan, maupun teriakan. Terdengar sesuatu menabrak meja dengan keras. Hal itu segera disambut teriakan nada tinggi para gadis.
Dengan malas aku mengikuti juga pandangan anak-anak lain yang tertuju pada obyek di lantai. Seorang anak laki-laki berambut kelabu tua yang tersungkur di lantai. Hidung dan bibirnya berdarah, sedangkan matanya seperti sebuah kuali kebencian yang mendidih.
"Brengsek kau Uchiha!" umpatnya tertahan, mengusap mulutnya dengan punggung tangan, dan bangkit, menopang tubuhnya dengan siku. Kakinya masih gemetar. Sedangkan sosok di depannya hanya memandang dingin, tangan yang kelihatannya tadi untuk memukul ia masukkan pada saku celananya. Tubuhnya yang tinggi seperti mengintimidasi orang di depannya.
"Kau yang memintanya, Sakon." Suara dalam sekaligus sedingin es itu akhirnya menjawab.
Aku memicingkan mataku sebentar. Ah, drama. Setidaknya makan siang ini tidak terlalu membosankan. Kalian bisa memanggilku sebagai seorang observer professional. Mengamati orang dan mengumpulkan data tentang mereka menarik bagiku. Misalnya saja.
Klik! (Snapshoot)
Nama : Uchiha Sasuke
Umur : 17 tahun
Tinggi : 175 cm
Gol. Darah : AB
Ciri-ciri : Rambut raven, mata onyx, luar biasa tampan (bahkan dengan cara yang gelap), acuh tak acuh, dingin, arogan dan egois.
Hobi : Menyendiri, berkelahi, makan tomat.
Otak : Jenius
Sikap : Terburuk
Keterangan : 112 kali menolak gadis, 14 kali hampir dikeluarkan dari sekolah (jika saja ayahnya bukan kepala sekolah). Mengirim 54 musuhnya ke UGD rumah sakit. Err, bagaimana aku bisa tahu? Para gadis banyak bergosip ketika di kamar mandi, tentu menurutku ini data yang dilebih-lebihkan.
Titel : School heartthrob (tergolong dalam badboys). Menang berkelahi walaupun itu 1 lawan 15. Teme (Naruto).
"Astaga, Teme, oh...shit...Guru Kakashi berjalan ke arah sini!" Seorang anak laki-laki rambut pirang yang berisik memegang kepalanya dengan frustasi.
"Hn..."
"Arghh, kau...!"
Klik! (Snapshoot)
Nama : Uzumaki Naruto
Umur : 17 tahun
Tinggi : 172 cm
Gol. Darah : O
Ciri-ciri : Rambut pirang terang, mata biru langit, cukup tampan (bahkan saat dia bertingkah konyol), berisik, pantang menyerah, setia pada sahabat. Terlalu bersemangat. Kurang bisa menahan emosi. Selalu membuat orang lain jadi temannya.
Hobi : Makan Ramen, makan ramen, makan ramen (Duh.)
Otak : Tidak punya harapan. Hmm, walaupun dia sangat karismatik.
Sikap : Hiperaktif
Keterangan : Bertunangan dengan Hyuuga Hinata, 19 kali nilai E, terlibat 34 perkelahian karena membela Sasuke. (Aku tidak pernah melihat siapa Hinata ini, tapi ketika menolak gadis, dia selalu menggunakan alasan sudah bertunangan dengan Hinata ini).
Titel : Dobe (Sasuke). Sahabat terdekat Sasuke. Idiot.
"Uchiha Sasuke, aku ingin penjelasan," kata suara tajam itu dari belakang.
"Huahh...ehh...Guru Kakashi!" Naruto tergagap sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. Melirik ke arah sahabatnya yang masih memasang muka tanpa ekspresi.
Klik (Snapshoot)
Nama : Hatake Kakashi
Umur : 27 tahun
Tinggi : 182 cm
Gol. Darah: O
Ciri-ciri : Rambut putih perak (dan bukan karena tua), memakai topeng aneh yang menutupi separuh wajahnya (dia selalu bilang dia mengalami kecelakaan dan memiliki luka memanjang di wajahnya), pintar dan berbakat, guru yang bijaksana, humoris, selalu terlambat, penggila buku-buku porno. Oh, kurasa komik hentai juga.
Hobi : Membaca buku dan terlambat
Otak : Jenius
Sikap : Tenang
Keterangan : Masih single (kurasa dia menyukai Guru Kurenai tetapi gagal kompetisi dengan Guru Asuma), guru yang dekat dengan murid-muridnya terutama Sasuke dan Naruto. Ini membuatku iri. Anak-anak bandel tapi masih menjadi kesayangan guru.
Guru Kakashi tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi nampak dari matanya tercermin rasa frustasi yang cukup jelas. Tangannya naik dan mengusap-usap rambutnya sendiri dengan perasaan tak keruan.
"Sudah berapa kali minggu ini?" tanya Kakashi lagi, seakan bertanya apa cuaca hari ini? Tangannya turun untuk meraih pundak Sasuke. Sasuke memandang gurunya dengan tatapan sangat terganggu, dan mengirimkan pandangan 'lebih baik tangan ini menyingkir'. Guru Kakashi hanya tersenyum kecil masih bergeming.
"Sasuke, apa yang harus kukatakan pada ayahmu, apa yang harus kukatakan pada dewan sekolah untuk menutupi semua tindakanmu?"
"Lepaskan tangan Anda, " jawab Sasuke dingin, memandang tangan di pundakknya seakan itu kecoa.
"Nah, nah, kenapa kau selalu tidak sopan pada gurumu ini, jangan hanya karena uang jajanmu lebih banyak dari pada gajiku kau bisa seenaknya!" Guru Kakashi menelengkan kepalanya sedikit untuk mengawasi keadaan sekitar. Dan menarik napas panjang ketika menyadari seluruh siswa sudah melihat ke arahnya.
"Lepaskan-tangan-Anda."
"Iya, iya, dimana Sasuke keponakan kecilku dulu yang sangat lucu, memakai popok dan naik kuda poni!" tukas Guru Kakashi sambil nyengir lebar, menarik tangannya dari pundak Sasuke ketika mata Sasuke menyipit sebagai hasil perkataannya tadi.
Tapi kemudian Guru Kakashi mencondongkan tubuhnya dan berbisik "Jika kau tidak bisa mengendalikan amarahmu, bagaimana kau bisa mengendalikan kekuatanmu," dengan begitu ia berlalu sambil berteriak. "Ayo semuanya drama selesai, kembali makan!"
Kemudian semuanya sudah kembali makan, suasana tegang mulai mencair.
Sasuke dan Naruto duduk kembali, Naruto mulai berceloteh tidak jelas sembari melahap ramennya yang tadi sempat terlupakan. Sedangkan Sasuke hanya duduk memangku dagunya dengan tangan.
"Khau kenaffa, afiir-afhir ini fau tamphakh mafin sefam safa ( kau kenapa, akhir-akhir ini kau tampak makin seram saja)." kata Naruto masih dengan mulut penuh ramen. Mata birunya mengawasi sahabatnya itu dengan tajam. Walaupun wajahnya masih rileks tapi pandangan matanya mengandung keseriusan yang jarang ditunjukkannya. Sasuke hanya memandang sahabatnya dengan jijik, berusaha menutupi ekspresinya yang sempat kaget, dan rahangnya yang sempat mengeras karena sulit berkata-kata.
"Fangan fau (jangan kau)..."
"Telan dulu makananmu, dobe!" potong Sasuke dengan dahi mengerinyit jijik. Tangannya dia silangkan di depan dada, disusul wajahnya yang sudah kembali stoic.
Naruto hanya memandang sebal, tapi menelan juga seluruh ramen di mulutnya, sekarang pandangannya berubah, tegas dan meminta. Sasuke hanya menarik napas panjang.
"Teme!"
"Aku merasakannya, Naruto." Onyx Sasuke menutup seperti berusaha fokus untuk merasakan sesuatu. Kali ini alis Naruto naik tanda tak mengerti.
"Aku bisa merasakan ada kekuatan lain di sekolah ini!" jawab Sasuke disambut oleh tubuh Naruto yang menegang.
"Jangan bercanda, maksudmu salah satu dari anak-anak ini?" tanya Naruto lagi dengan pandangan tak percaya. Tangannya tergenggam erat di atas meja.
"Ya."
"Tapi siapa?"
Aku menahan napas mendengar pembicaraan mereka. Bukannya maksudku untuk menguping, tapi aku punya kemampuan yang lebih dalam indera. Sehingga dalam jarak seperti ini aku tetap bisa mendengar perkataan mereka. Membaca gerakan bibir juga menjadi keahlianku.
Ya, mereka juga bukan manusia—Sasuke dan Naruto, mereka bukan manusia, mereka mengeluarkan aura kuat yang aneh. Tapi yang paling membuat sesak adalah aura Sasuke. Dia seperti bisa menebarkan jaring-jaring, seperti seekor laba-laba. Jika kau terperangkap di dalamnya, kau tidak akan selamat.
Napasku tertahan ketika tiba-tiba Sasuke menyapu seluruh ruangan dengan pandangan matanya dan menangkap mataku sedang menatap mereka. Jantungku langsung berdentum tak keruan, secepat yang kubisa aku mengalihkan pandanganku darinya ke makanan di depanku. Bisa kurasakan wajahku memanas, onyx itu benar-benar seperti menyeretku.
"Teme, hoii!" tanya Naruto.
Bisa kurasakan telapak tanganku mulai berkeringat dingin. Walaupun aku sudah tidak memandang mereka tapi aku masih memasang pendengaranku.
"Kau...kenapa dengannya?" tanya Naruto lagi dengan nada tidak sabar.
"Tidak, tapi kurasa dia tadi memandang ke arah sini," jawab Sasuke, bisa kurasakan nada suaranya diselipi rasa was-was.
"Aku tidak kaget, gadis mana sih yang tidak memandang ke arahmu, hm?" kata Naruto dengan nada sebal. "Tapi…."sambung Naruto. "Dia agak mirip denganmu."
"Hn….maksudmu?" tanya Sasuke dengan nada berusaha untuk tidak tertarik, walaupun gagal.
"Dia sama sepertimu, tidak pernah tersenyum," sahut Naruto sambil meringis menunjukkan gigi-gigi putihnya.
"Hn..."
Dan bisa kurasakan onyx itu memandang ke arahku lagi.
"Hey, Sasuke!"
Pandangan tajam itu meninggalkanku sebentar. "Hm."
"Kita ke sini untuk mencari sesuatu kan?" Naruto meletakkan garpunya dan menopang sisi wajahnya dengan tangan kanan. Mengambil air jeruk di kotak dan menyedotnya habis.
"Hn."
"Argh, kau itu seperti batu yang sembelit, tidak mau memberitahuku apa pun. Yang lain juga penasaran. Kakashi-sensei tidak mengatakan apa pun juga. Kita hanya bersiaga di sekolah ini jika ada aktivitas aneh. Kita menunggu apa sih?"
"Aku dan Kakashi-sensei belum yakin, kita harus menginvestigasi hal lebih jauh lagi."
"Apa yang kita cari, sesuatu yang berhubungan dengan—kau tahu?"
"Bukan sesuatu. Seseorang."
Naruto mengangguk. "Ya, aku tahu, tapi perintahnya sangat tidak jelas."
"Saat tiba waktunya nanti, kau akan mengerti Naruto."
Aku memainkan kotak tempat jus apelku. Kurasakan mata itu mengawasiku lagi. Aku menelan ludah dan berusaha rileks, aku tidak ingin seperti menguping.
Aku tidak boleh menarik perhatian Uchiha Sasuke, dengan alasan apa pun. Dia anak pintar bermasalah yang terkadang seperti mencari-cari obyek untuk melampiaskan kekuatannya. Jika di film-film romansa, dia akan cocok jadi tokoh remaja laki-laki yang akan berhasil berubah karena bertemu dengan tokoh utama wanita yang membuka matanya. Hm. Itu tidak benar. Orang tidak bisa mengubah orang lain. Orang itu harus ingin berubah sendiri. Dan aku bukan tokoh utama di novel romansa. Begitu pula Sasuke. Oleh karena itu, lebih baik aku menjauh darinya.
.
.
.
Bel berbunyi. Aku membereskan buku-bukuku. Aku harus mendahului pulang yang lain. Kalau tidak Haruna akan memaksaku untuk mengerjakan PR-nya dulu. Aku melesat senormal mungkin.
"Sakura," suara Guru Kakashi terdengar menghentikan langkahku menuju pintu. Aku menunduk dan menghampiri mejanya.
"Bisakah kau memberikan ini ke Guru Satoshi, ini skrip drama kita, aku harus segera pergi, aku ada janji dengan dokter gigi," kata Guru Kakashi lembut, dengan mata yang tersenyum lembut.
"Tentu," jawabku pelan, menundukkan kepala. Kurasakan Guru Kakashi mengawasi sebentar sebelum menepuk pundakku dan berkata dengan suaranya yang ramah. "Terimakasih, kau selalu membantuku. Dan nilaimu bagus-bagus."
Aku mengangguk, belum berani memandang matanya. Mengambil naskah di depanku dan melesat pergi.
Setelah meletakkan naskah di meja Guru Satoshi, aku berpamitan pulang. Ah, sial, kuharap Haruna dan lainnya sudah pulang.
Aku menyusuri koridor yang kosong. Ah, apa yang kuharapkan. Haruna dan geng bodohnya menunggu di ujung lorong. Kaki Haruna yang panjang dengan rok pendek itu bersandar di tembok. "Kau lama sekali, Haruno. Aku sampai bosan." Teman-teman cantiknya terkikik.
"Kau mau kabur ya?"
"Tidak," kataku. Suara yang keluar dari mulutku serak. Sial. Ada apa denganku hari ini. Aku tidak boleh kelihatan takut. Aku memasang wajah datar. Kenapa aku harus mengurus makhluk-makhluk seperti ini.
Dia berjalan mendekat. "Kau bohong ya?" Dia mendekat dan mendorongku ke tembok, memerangkapku dengan kedua tangannya. "Aku ada banyak PR untuk minggu depan."
Aku memejamkan mata sebentar. "Baiklah, berikan padaku."
Cecunguk-cecunguk yang lain hanya tertawa terkikik-kikik. Haruna, anak keluarga kaya, namun tidak terlalu pintar, padahal orang tuanya, ayahnya, sangat menghargai prestasi akademik. Dia melampiaskan ketidakbahagiannya di sekolah. Ayahnya ketahuan selingkuh dengan reporter cantik, dan sekarang sedang dalam proses bercerai dengan istrinya, ibu Haruna. Aku menarik napas lagi.
Haruna nyengir lagi, kali ini ada corak kejam di matanya, menjatuhkan tasnya di samping kakinya. "Ambil sendiri, di map biru. Biologi dan Kalkulus. " Dasar kurang ajar. Egoku menahanku untuk menunduk di bawah kakinya.
"Cepat."
"Kau yang ambil," kataku datar.
"Kau berani ya?" Haruna mencengkeram pundakku erat. Kukunya yang panjang menekan dengan keras. Aku terdiam.
"Hey, kita harus beri si sialan ini pelajaran!" teriak salah satu Barbie yang sejak tadi hanya mengawasi. Ah, klise. Ini drama remaja atau apa.
"Berikan PR-mu dan semua selesai, Haruna," kataku lagi.
Muka Haruna mengernyit marah. Dia mengambil tas berisi buku-buku yang aku bawa dan menumpahkannya di lantai, di sekitar kakinya. Merepotkan.
"Kau bisa membersihkan ini." Aku menahan diri untuk tidak melayangkan satu bukuku dan memukul mukanya itu. Pelan-pelan mengambil tasku dan barang-barangku yang berserakan.
Suara langkah kaki. Para gadis di depanku menarik napas. Suara Haruna menjadi lebih tinggi. "Sasuke!"
Ah, sial, ini lebih buruk.
Aku mempercepat kegiatanku mengambil barang-barangku. Dari ujung mataku, aku bisa melihat sepatu coklat mendekat.
"Apa yang kalian lakukan?" suara dalam itu menjawab.
"Tidak ada, aku bertabrakan dengan Sakura dan barang-barangnya jatuh semua. Biar kubantu." Haruna menjawab dan berusaha membantuku. Aku memutar bola mata.
Aku menepis tangannya. "Tidak perlu, kalau kau merasa bersalah seharusnya kau tidak mendorongku ke tembok dan membuat berantakan isi tasku. Ini bullying, kau tahu," kataku dingin.
Haruna menarik napas kaget. "Aku tidak—apa—apa yang kau bicarakan—!" Haruna memandangku sengit dan merubah suaranya menjadi tinggi dan lembut. "Ah, Sasuke, aku ada urusan. Ayo semuanya!"
Dengan begitu geng makhluk-makhluk merepotkan itu menjauh. Aku menarik napas lega.
"Kau tidak apa-apa?" suara Sasuke terdengar lagi. Sasuke mengulurkan tangannya. Aku memandang tangannya lagi. Meraih buku terakhir dan menutup tasku dan beranjak. "Aku bisa sendiri."
"Aku hanya berusaha membantu, kau tidak harus bersikap seperti ini."
"Ya, terimakasih atas bantuannya tapi aku bisa sendiri." Aku hati-hati tidak memandang matanya, dan memilih memandang pundaknya.
"Mereka selalu melakukan hal seperti ini. Kenapa kau tidak pernah lapor ke guru?" tanya Sasuke, aku tidak suka nada suaranya.
"Ini bukan apa-apa," kataku memandang jendela di sebelahku.
"Aku sedang berbicara padamu."
Aku menolak memandang matanya. "Ya, terimakasih, aku harus cepat pulang."
Menjauh darinya, Sakura.
"Mereka akan selalu melakukan hal-hal seperti ini jika kau tidak melawan dan berkata tidak."
Ada apa dengannya?!
Aku mengangkat mukaku. Memandang Sasuke lurus. Jantungku berdetak lagi ketika mata hitam itu memandangku lurus dan dalam. Seakan berusaha menyelami diriku lebih jauh. Sasuke membuatku takut dan was-was.
"Kurasa kau tidak punya hak berbicara seperti itu, sudah berapa orang yang kau lukai." Aku berkata tenang.
Matanya menyipit. "Mereka yang menyerangku duluan."
Aku mengangguk pelan juga. "Ya, tidak mungkin kau sengaja mencari musuh untuk melampiaskan hobimu untuk berkelahi, ya kan?" kataku lembut penuh sarkasme.
Ah, sial apa yang kukatakan. Kenapa aku berbicara seperti ini?
Sasuke terdiam dan memandangku lama.
"Hm, kau benar. Setidaknya aku masih punya harga diri, tidak sibuk menunduk di bawah kaki orang," balasnya dingin. Matanya masih tajam. Kedua tangannya dia masukkan ke saku celananya. Tas punggung hitamnya terlampir di pundak kanannya.
Kenapa kami malah bertengkar seperti ini?
"Oh ya, tidak semua orang bisa seenaknya menggunakan kekerasan, Yang Mulia," kataku dengan kelembutan mematikan.
Sasuke untuk beberapa detik melebarkan mata dengan ekspresi kaget, kemudian ekspresi itu lenyap.
"Mari," kataku kataku sambil membungkuk penuh ejekan," saya harus pulang cepat."
Aku melangkah pergi dengan cepat.
Jantungku berpacu dengan tidak karuan. Kenapa responku seperti ini terhadap Uchiha Sasuke.
Aku rasa perlahan aku sudah masuk ke radar jaring laba-labanya.
"Apakah kau ingat kapan terakhir kali kau tersenyum?"
"Ya"
"Kapan?"
"Saat kau tersenyum"
.
.
.::ToBeContinued::.
