MISTAKES in LOVE

….

Cast :

Jeon Jungkook (20 tahun)

Park Jimin (27 tahun)\

….

Pair :

KookMin

….

Slight :

KookGa

….

"Sekali lagi kau takut dengan ku, kau lenyap di bawah gigitan ku, Park Jimin"

….

By Kelly

….

Jimin menumpukkan dua lengannya di depan dada, bersama dengan pandangnya yang meluncur ke arah deretan gedung-gedung yang berdiri kokoh menantang langit di kota Busan. 5 Tahun tak berkunjung, rupanya telah membuat Jimin terkejut dengan perubahan pesat kota ini. Busan telah merubah pesonanya dengan keramaian yang sama seperti di Seoul.

Untuk beberapa saat Jimin menghela nafas. Lelah karena jatlag begitu merusak sebagian tenaga dalam tubuhnya. Ia berencana akan tidur selama 12 jam setelah sampai di kediaman kakaknya nanti. Netra Jimin melirik ke arah istrinya yang tertidur, menumpukan kepalanya pada sandaran jok. Dipangkuan wanita itu ada putri kecilnya yang juga terlelap dengan nyaman. Sangat beruntung mereka bisa tidur, sedangkan Jimin harus memantau sopirnya agar tidak salah jalan—karena ia sedikit tak percaya dengan laki-laki paruh baya di depannya itu meski ada maps screen.

"Komplek ke tiga, block D nomer 127. Paman Jo masih mengingat jalur cepatnya bukan? Ini sudah terlalu sore."

Jimin memelihat sejenak jam digital di tangannya. Tanpa sadar ia mendesah keras, menghempaskan kelelahan yang bersarang di perut juga dadanya.

"Saya masih mengingatnya Tuan. Kita sudah hampir sampai."

Tidak menjawab, Jimin menyandarkan kepalanya pada sisi jendela. Ingatannya bergulir, mengulang percakapannya dengan sang kakak 2 hari lalu—yang menyebabkan ia hadir di kota Busan.

"Aku sudah membelikannya untuk mu. Rumahnya luas, desain dan dekorasinya sama persis dengan milikku. Jimin kau akan menyesal jika tidak disini. Kau harus menghargai pengorbanan ku untuk mu mengeluarkan uang sebanyak itu."

Jimin mendengar nada ancam yang mengambang di atas ucapan sang kakak yang menggodanya di ujung telepon sana. Sebelum ia membalas, Jimin menyruput secangkir cappucinonya yang sedikit mendingin. Kemudian meletakkan cangkir itu kembali dengan pelan.

"Sejak kapan kau perhitungan nunna, bukankah keluarga Jeon mu tak pernah menganggap pengeluaran itu ada? Kalian kan kelewat kaya."

"Ini memakai uang ku, bodoh!" Jimin tertawa geli. Ah hal yang tak pernah membuatnya bosan selama ini adalah menggoda kakak cantiknya itu. Park Yujung. Oh bukan, Jeon Yujung.

"Oke, akan mengambilnya. Terimakasih nunna, kau memang yang terbaik. Sepertinya istriku akan senang mendengar hal ini. Oh bagaimana kabar keponakan ku, dia sudah lulus?"

Jeon Jungkook, itu yang ia maksud. Ia pernah melihat putra dari kakaknya itu melalui foto yang dikirim padanya sewaktu ia masih berusia 11 tahun. Laki-laki kecil yang menggemaskan, tapi dingin disisi lain. Sebenarnya Jimin ingin tinggal di Busan dengan kakak-kakaknya. Tapi karena eommanya menginginkan Jimin untuk tinggal di Jepang bersama appanya, maka Jimin tidak akan menuntut ataupun memberontak. Mungkin hanya rindu yang sering menjadi penyakitnya selama ini.

"Kau pasti tak akan percaya dengan apa yang kau lihat Jimin. Jungkook seperti bukan putraku, tapi…." Ucapan Yujung menggantung. Jimin merasakan keraguan yang terdengar dari sambungan itu. Rasanya ia ingin menekan suaranya dan berteriak pada sang kakak untuk melanjutkan—karena sungguh Jimin sangat penasaran.

"Nunna?"

"Dia seperti orang asing yang tinggal dirumah ku. Jungkook seperti teman kelas yang dingin dan sangat menyeramkan. Kau pasti tidak percaya dengan apa yang aku katakan, akan tetapi jika kau melihat…ku pikir sebaiknya kau harus lebih berhati-hati. Terus terang, aku tak bermaksud untuk membuat mu menghindari putraku… aku hanya… "

"Nunna, aku mengerti"

"Kau tidak. Akan aku beritahu saat kau sudah sampai sini dan berkumpul dengan kakak-kakakmu"

Dan kala itu Jimin tak tahu mengapa ia terdiam sangat lama. Seolah apa yang baru saja didengarnya adalah hal yang menyangkut tentang dirinya. Ada sesuatu yang mengganjal. Membuatnya mendadak tak nyaman. Namun tanpa alasan. Jimin mencoba menghilangkan, dan setidaknya untuk saat ini kegelisahan itu lenyap, kecuali nama yang tanpa sadar telah tersemat mati di lubuk dan juga pikirannya.

Jeon Jungkook

.

oooKMooo

.

"Lihat, bahkan sudah menjadi ayah pun tubuhmu masih seperti putraku yang sekolah JHS. Kau sama sekali tidak cocok dipanggil ayah"

Park Jungso, kakak kembaran Jeon Yujung itu terbahak lupa usia. Ia memukul bahu Jimin sambil memandang saudara lainnya, seakan mengatakan 'benar'kan apa yang ku katakan, dia pendek'. Sementara itu, Jimin menatap datar hyung yang sangat hoby mengejeknya. Well, sebenarnya ia juga benci dengan tubuhnya yang seperti kurcaci jika disandingkan dengan para hyungnya itu. Tapi biarlah, karena ia akan tetap awet muda bukan? Jimin harus membanggakan diri sendiri.

"Jangan begitu dengan adik kecil kita Jungso. Dia baru datang, sambutan mu tak mengenakkan. Paman Lee, tolong bawa semua koper ini di kamar yang sudah kusiapkan. Ayo Jimin kita ke ruang makan, kami sudah memasak enak untukmu"

Jadi begini rasanya tinggal bersama dengan saudara-saudaraku, kenapa tidak kurasakan dari dulu

Jimin tersenyum disela obrolan-obrolan ringan mereka. Kadang juga akan tertawa saat guyonan garing kakak iparnya. Dia memiliki saudara yang mudah bergaul dan cepat menciptakan suasana hangat seperti ini. Bahkan istrinya yang cukup pendiam kini terlihat turut menimpali candaan omong kosong hyung dan nunnanya.

Tapi, saat ini Jimin tak menyuarakan suaranya sedikit pun. Pertanyaan-pertanyaan yang terlempar padanya hanya terbalas gumaman dari mulut merah ranumnya.

"Dia sedang datang bulan Park Seulgi?"

Begitu pertanyaan kakak kembarnya pada sang istri. Jimin hanya tersenyum kecil atau mungkin tidak dapat dikatakan senyum karena tak ada satupun sudut bibir yang tertarik. Kakak nomer tiganya menggoda Jimin dengan mengatakan bahwa si bungsu tengah kekeyangan akibat makan yang berlebihan tadi. Kenyataannya Jimin hanya melahap 3 sendok bingsu dan selesai. Ia tak memasukkan bahan makanan ataupun minuman lainnya ke dalam perut.

"Jika kau lelah, kau bisa tidur sekarang…tentang….dia…kita bisa ceritakan diluar rumah"

Jeon Yujung akhirnya berucap setelah menyadari adik bungsunya tak menyahut apapun dari perbincangan mereka. Melirik sejenak suaminya yang rupanya telah melempar pandangnya lebih dulu.

"Maafkan aku, mungkin benar aku kelelahan. Ini juga sudah malam, kalian harus tidur."

.

oooKMooo

.

Dia bohong. Nyatanya sampai pukul 1 malam, Jimin masih tetap terjaga, dua kelopak matanya masih terbuka tanpa tanda-tanda ingin terlelap. Disampingnya sang istri tertidur pulas dengan lengan yang melingkar di dadanya. Jimyun putrinya satu kamar dengan dua anak kakak sulungnya, Pak Jungso.

Tidak ada pikiran yang menggangunya, tapi entah kenapa ia begitu gelisah. Hatinya seperti digentayangi sesuatu tak kentara yang Jimin yakini bukan setan. Selang beberapa menit, Jimin merasakan kerongkongannya terasa kering, padahal seingatnya dirinyalah yang paling banyak minum sore tadi. Tanpa berfikir panjang, Jimin lekas bangun, perlahan memindahkan lengan istrinya lalu turun dari ranjang.

Seluruh lampu di setiap ruang rumah ini telah padam, melainkan ruang dapur. Dari ujung tangga, Jimin mendengar sayup-sayup suara anak kecil tengah cekikikan, disusul suara pria yang cukup berat. Ia sama sekali tak mengenal suara itu, suara yang tidak pernah didengarnya sebelum ini. Kaki Jimin melangkah pelan menuruni setiap anak tangga, netranya tak lepas barang sebentar dari ruang dapur. Semakin kakinya mendekati dasar, siluet dua orang itu menjadi jelas dipandangannya.

"Ini terlalu cair, ini bukan bubur dad"

Disebrang sana, seorang gadis kecil duduk dipangkuan sesosok pria yang Jimin yakini tingginya lebih darinya. Gadis kecil itu mecelupkan sendoknya dalam mangkuk, menyuapkannya pada mulut si pria.

"Yang penting bisa dimakan Jeon Jungsil, "

Tangan pria itu membelai lembut rambut si kecil, mengecupkan bibirnya pada puncak kepala gadis itu. Jimin terpaku ditempatnya. Ia tak sedang menebak—siapa pria yang duduk di kursi meja pantry—karena hanya satu nama saja yang terlintas dalam pikirannya kala obsidiannya melihat pria itu.

Jeon Jungkook

Pria dengan surai rambut disibakkan ke atas, menampilkan dahi lebarnya. Pahatan setiap lekuk wajahnya begitu tegas, hidungnya yang kelewat bangir, tulang pipi serta rahangnya amat menonjol. Apakah benar itu Jeon Jungkook? Pria kecil yang ada di galeri ponselnya ini? Bagaimana bisa sosok itu berubah begitu cepat dengan kesempurnaan fisik yang tak pernah Jimin duga.

"dad, ada orang"

Baik Jimin maupun Jungkook, keduanya sama-sama tersentak. Tapi, Jimin lebih terkejut lagi karena kini ia mendapat manik hijau terang Jungkook menyorotnya. Ia ingin bersuara, merancang kosa kata tapi lidahnya kelewat kelu. Tangannya bergerak reflek menggaruk tengkuknya canggung.

Hey itu keponakan mu

Jimin merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia harus gugup? keringatnya bermunculan dari sela-sela pori telapak tangannya. Sebenarnya siapa yang hendak ia temui saat ini.

"Hai, apakah kau Jeon Jungkook, putra kakak ku?"

Berhasil. Tapi ia merasa aneh. Ada sesuatu yang lupa ia pikirkan. Terlalu larut dengan keterpanaannya melihat wajah rupawan keponakannya, Jimin sampai lupa dengan percakapan dua sosok yang kini duduk tak jauh darinya.

Dad? Daddy? Jika benar pria itu Jeon Jungkook, bagaimana bisa keponakannya itu telah memiliki anak? Seingatnya Jungkook masihlah 20 tahun. Ya Jimin ingat. Karena saat Jimin 11 tahun, jelas nunnanya mengatakan bahwa Jungkook saat itu berusia 4 tahun.

Beberapa saat Jimin tersadar dari pemikirannya sendiri. Mengesampingkan pikiran itu dan mengingat ucapan nunnanya 3 hari yang lalu.

"Dia seperti orang asing yang tinggal dirumah ku. Jungkook seperti teman kelas yang dingin dan sangat menyeramkan. Kau pasti tidak percaya dengan apa yang aku katakan, akan tetapi jika kau melihat…ku pikir sebaiknya kau harus lebih berhati-hati….."

Well, Jimin mengakui bagian kalimat nunnanya yang mengatakan bahwa Jungkook seperti orang asing, dingin dan sedikit menyeramkan. Dari tatapan Jungkook yang datarpun sudah cukup menjelaskan. Jadi sepertinya Jimin percuma bertanya pada sosok itu—jika dia benar seorang Jeon Jungkook. Sial, dia telah terlanjur bic—

"Ya aku Jungkook. Kau paman Jimin, benar?"

Sebentar. Apakah ada orang lain selain mereka bertiga di dapur ini? Jimin menatap sekitar dengan bingung, menghadap kembali pada keponakannya yang sekarang tengah menyematkan senyuman tulus tanpa melihatnya.

"Y-ya" lidah tolong dukung aku untuk saat ini oke?! Jimin mengusap telapak tangannya pada kemeja. Melempar pandangnya sejenak pada Jungkook, lalu beralih menuju lemari pendingin di sudut ruang dapur.

"Padahal aku hanya menebak. Kenapa paman belum tidur?"

"Eh"

Belum sempat tangannya menarik gagang pintu kulkas, suara Jungkook lagi-lagi membuatnya gugup. Tubuh Jimin berbalik cepat, menghadap kembali pada sosok Jungkook yang menggendong si kecil di depan dada. Dalam pandangnya Jungkook mengulas senyum. Sedangkan Jimin masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Atau mungkin ini efek mengantuk dan ia sedikit berhalusinasi? Tidak mungkin.

"Ambillah minum dulu paman, kau pasti haus"

Jimin tak berkata apapun. Dalam hati ia mengumpati diri sendiri, kenapa ia tampak tolol di hadapan keponakannya. Buru-buru Jimin mengambil salah satu botol jus rasa sirsak dalam kulkas, menenggaknya hingga menyisaan separuh air. Dan terasa sangat melegakan ketika air itu mengguyur habis dahaga yang sempat menyerangnya.

Ketika Jimin hendak menenggak sekali lagi cairan jus itu, si kecil dalam gendongan Jungkook bersuara.

"dad, siapa nama bibi itu"

Shit!

PYARR!

"Uhuk…ukh..uhhuk"

Suara pecah botol kaca dan sedakan Jimin bersahutan. Semuanya terjadi terlalu cepat. Kegugupannya merusak tingkahnya. Kecerobohan yang baru pertama kali ia lakukan hanya karena gugupnya yang menggila. Jimin berusaha menguasai dirinya kembali. Tangannya menebahi dada, berharap batuk yang diciptakannya segera usai. Tatapannya terus menunduk, ia terlalu takut memandang ke arah mata lain yang kemungkinan mampu membunuhnya. Segera ia berjongkok, memunguti pecahan botol kaca yang tercecer di lantai.

"Paman, gwechana?"

Sekali lagi Jimin tersentak. Hingga tanpa sengaja jemarinya menyentuh serpihan kaca yang kini menancap diujung jemarinya. Cairan merah pekat segera keluar dari luka itu.

"Auw..."

"Astaga paman! Apa yang sebenarnya terjadi dengan mu!"

Gerakan tangan Jungkook lebih cepat menarik telunjuk Jimin yang terluka. Hingga akhirnya Jimin merasakan ujung jarinya itu dalam balutan bibir keponakannya. Kembali panas menjalar dari ujung jemarinya dan menyebar begitu hebat diseluruh tubuh. Merasakan lidah hangat Jungkook menyedot kasar darah yang keluar.

"Jimin, apa yang terjadi!"

Jimin cepat mendongak, mendapati kakak-kakaknya berdiri di ambang pintu dengan gurat kekhawatiran. Sementara Jungkook masih dalam kegiatannya menghisap ujung jari Jimin dengan gerakan yang berbeda. Pria yang lebih muda darinya itu menutup mata, seolah menikmati makanan yang tengah diemutnya. Kepalanya berganti-ganti posisi dari kanan lalu ke kiri.

Jimin ketakutan. Dadanya naik turun tak terkendali. Separuh tenaganya seolah terhisap habis bersama dengan darah yang seharusnya diludahkan oleh Jungkook. Bahkan sekarang ia mampu mendengar dengan jelas geraman nafsu Jungkook di telinga.

"Sudah!"

Kesadaran Jimin kembali, cepat-cepat ia menarik tangannya. Namun, entah gerakannya tangannya yang terlalu lambat atau Jungkook yang terlalu cepat, pergelangan Jimin kembali tertawan di genggaman tangan keponakannya itu.

"Auw, sa-sakit, jungkook-ah" rintihnya lirih, merasakan kuku-kuku panjang Jungkook menancap tepat di nadi tangannya. Jimin meringis kecil, berusaha menyembunyikan ekspresi kesakitannya dari para saudaranya.

Tatapan Jimin beralih menatap wajah keponakannya. Bermaksud memberitahu Jungkook untuk melepaskan genggaman menyakitkan itu. Tapi, hal yang tak pernah di duganya, sesuatu yang ia anggap hanya dalam film juga cerita fiksi—saat ini benar-benar terjadi di depan matanya tanpa penghalang.

"Sekali lagi kau takut dengan ku, kau lenyap di bawah gigitan ku, Park Jimin"

Ucap Jungkook bersamaan dengan keluarnya dua gigi taring yang panjang dari mulut. Manik pria itu memancarkan terang warna zamrud dan sesaat setelahnya….

Semuanya menjadi gelap.

TBC