Harry Potter © J.K Rowling
.
.
.
.
My Way
(Aku akan mendapatkanmu
dengan caraku)
.
.
.
Chapter 1
"Mummm…"
Isak tangis terdengar dari seorang gadis kecil berambut kusut. Air mata yang telah bercampur dengan lumpur, mengotori wajah putihnya. Pipinya dan hidungnya memerah. Si gadis terus terisak ditengah dinginnya cuaca. Beberapa orang mengeruminya dan seorang wanita muda yang tergeletak di atas salju dengan hidung dan mulut yang mengeluarkan darah.
"Mumm.."
"Hermione..," seorang pria berambut merah memegang bahu Hermione dan berusaha untuk menghentikan tangis si gadis kecil berambut kusut. Sedangkan si gadis kecil yang ia panggil Hermione tersebut semakin tersedu saat salah seorang pria berbaju penuh lumpur bergumam bahwa wanita yang tergeletak tersebut telah meninggal.
Hujan deras di suatu sore di salah satu daerah kumuh di kota Liverpool telah meninggalkan bekas luka mendalam bagi si kecil Hermione yang ditinggal pergi oleh ibunya. Ia tidak pernah benar-benar percaya tentang kematian sebelum ia melihat ibunya tergeletak penuh darah di atas jalanan yang bersalju dan berlumpur. Gadis berusia 10 tahun itu baru saja hendak kembali setelah bermain lempar salju dan lumpur bersama teman-temannya di gang sempit. Ia berlari pulang tatkala hujan mulai turun dan mendapati kerumunan orang di depan gang rumahnya. Mata hazel Hermione membelalak kaget saat ia melihat tubuh ibunya terbaring tanpa daya di jalanan dan ia tidak bisa melakukan apapun selain menangis dan berteriak meminta tolong.
Ia dan tetangganya tidak sempat membawa ibunya pergi ke rumah sakit. Ia pun meragukan apakah jika ibunya masih selamat ia bisa membawa ibunya ke rumah sakit karena Hermione adalah gadis miskin yang tinggal di lingkungan kumuh, karena tetangganya pun juga miskin, dan karena dia adalah gadis 10 tahun yang tidak punya siapapun selain seorang ibu yang kini sudah tiada.
"Apa yang terjadi?" Hermione bertanya pada pria yang memegang bahunya.
"Sebuah mobil menabrak ...,"
"Arthur, jangan memberitahunya terlebih dahulu. Hermione mungkin masih terkejut dengan ini semua," potong seorang wanita bertubuh gemuk di sebelah pria yang memegang bahu Hermione yang diketahui bernama Arthur.
Hermione kecil menggigiti kukunya dengan gelisah.
Hermione menunduk dan sempat melihat jejak ban mobil yang perlahan mulai menghilang karena tertimbun salju baru dan terinjak-injak oleh kaki orang-orang. Air matanya tidak mau berhenti mengalir ketika melihat sebuah bungkusan yang masih dipegang erat oleh tangan ibunya yang kaku.
Sebuah Kantong kertas
Hermione tahu jika isi kantong itu adalah sebuah roti isi. Ibunya selalu membawa roti isi untuk makan malam dari tempat kerjanya. Ini roti isi terakhirnya.
Gadis cantik itu menangis sembari berjalan mengikuti tubuh ibunya yang diangkat oleh 2 orang pria. Ia memandang rambut coklat keemasan ibunya yang menggantung basah dan kotor. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini setelah malaikat penjaganya pergi tanpa memberitahu.
Hermione selalu membayangkan mereka akan menua bersama, Hermione membayangkan suatu saat ia akan dewasa dan membawa ibunya pergi ke tempat yang indah dan tinggal di tempat yang layak. Mereka berdua. Namun, nyatanya ibunya pergi terlebih dahulu tanpa mengajaknya.
"Mum,"
Orang seperti apa yang tega memutus harapannya? Orang mana yang tega memisahkan gadis tanpa ayah dari ibunya? Orang macam apa yang tega meninggalkan ibunya begitu saja di tepi jalan?
Si kecil Hermione menangis bersama salju dan lumpur yang memenuhi bajunya.
"Hermione, dear, apa kau mau tambah sup kubis lagi?" tanya Molly Weasley. Wanita berambut merah itu tersenyum lebar sembari berkeliling untuk mengambil mangkuk dari hadapan ketujuh anaknya dan suaminya.
"T-tidak, Molly," Hermione menatap mangkuk ketujuh anak keluarga Weasley yang kosong dan panci kecil berisi sup kubis yang tinggal sisa sedikit. Ia menyerahkan mangkuk supnya pada Molly Weasley.
Hermione menelan ludah. Mana mungkin ia berani berkata bahwa ia lapar ketika sang tuan rumah pun tidak punya makanan yang cukup untuk keluarganya sendiri. Ia tersenyum saat melihat Molly menuangkan sup lagi untuk Ginny dengan sendok sayur kayu. Meski ia terkadang bermain dengan anak-anak Arthur dan Molly Weasley bahkan makan siang bersama di The Burrow namun keadaannya saat ini memunculkan semacam rasa sesak dan malu. Ia tahu betul jika Arthur dan Molly merasa kasihan padanya meski keadaan mereka sama miskinnya dengan Hermione. Hermione malu karena ia menambah beban hidup keluarga Weasley.
"Aku mau pulang, Molly. Terima kasih untuk sup kubisnya."
"Apa? Kau tidak mau tidur disini? Kau bisa tidur bersama Ginny," Molly membelai kepala Ginny Weasley. Ginny adalah anak bungsu dari Arthur dan Molly. Hermione menatap mata Ginny. Gadis yang membawa boneka perca itu tersenyum pada Hermione kemudian mengangguk menyetujui perkataan ibunya.
"Tidak, terima kasih."
"Kau mau aku menemanimu?" tawar Molly. Nampaknya wanita tidak ingin membuat Hermione merasa sendiri.
"Tidak," mata Hermione berair lagi. Raut kegelisahan terlihat di wajah. Rahangnya bergerak sedikit pertanda bahwa ia hendak mengatakan sesuatu lagi namun akhirnya urung ia ungkapkan.
Molly memahami keadaan Hermione dengan baik. Ibu Hermione, Caroline Granger, adalah seorang orang tua tunggal dan anaknya, Hermione Granger, adalah gadis yang kesulitan bicara. Gadis yang kini berusia 10 tahun itu nyatanya baru bisa fasih berbicara ketika umur 7 tahun dan kini ia tidak banyak bicara.
Hermione Granger adalah gadis cilik berwajah cantik dengan mata coklat yang nyaris selalu basah.
"Molly, sudahlah," Arthur menyentuh lengan Molly, "Hermione, jika kau membutuhkan sesuatu, kau tahu harus pergi kemana."
Hermione mengangguk patuh, ia berusaha membenahi rambutnya yang menggantung berantakan. Gadis itu berjalan menjauhi Molly dan Arthur kemudian dengan canggung melambaikan tangan kanannya dan mulai berlari pergi.
"Arthur, kau lihat sendiri bagaimana kondisi gadis itu," keluh Molly Weasley sembari mengelap meja makan yang habis digunakan, "Hermione itu sedikit tidak baik…kesehatannya."
"Molly, aku tahu kau menyayangi Hermione sama seperti kau menyayangi Ginny tapi bukankah kau yang bilang sendiri bahwa Hermione baik-baik saja. Dia akan tumbuh menjadi gadis cantik yang pintar," ucap Arthur Weasley.
"Aku hanya tidak bisa membiarkan gadis itu sendiri," Molly menghempaskan tubuhnya ke kursi, "aku hanya mengkhawatirkannya."
"Dia akan baik-baik saja. Dia masih punya kita," Arthur Weasley membantu mengangkat peralatan makan ke dapur.
"Aku hanya tidak habis pikir, siapa yang tega melakukan ini pada Caroline? Siapa yang menabraknya? Ah ya…apa kita sudah lapor polisi?"
_MY WAY_
Seorang lelaki paruh baya memegangi kepala dan sesekali meremas rambutnya yang bersinar dalam kegelapan. Hidungnya mengeluarkan uap yang membaur dengan udara. Ruangan itu gelap, dingin dan terdapat gorden hijau lumut yang menutupi jendela besar yang menghadap ke Barat. Lelaki tersebut mengusap wajahnya dengan putus asa.
"Lucius, ada apa denganmu? Kenapa tidak keluar kamar dan..kenapa kau mematikan pemanas ruangan? Ya Tuhan, disini gelap sekali," kata seorang wanita bernama Narcissa. Wanita paruh baya itu membuka gorden dan menyalakan pemanas ruangan.
Orang yang ditanya diam tak menjawab.
"Apa ini semua karena kau kalah judi tempo hari? Demi Tuhan, aku tidak menyangka kau jauh-jauh berjudi ke Liverpool dengan Zabini," Narcissa sedikit mencibir suaminya.
Lucius menghela nafas, "Kau tahu aku ada pekerjaan disana dan perjudian itu pun bukan rencanaku," Lucius tahu harusnya tidak kalap seperti malam itu. Ia sudah berjanji untuk berhati-hati dengan hal yang bernama judi. Saat muda, ayahnya, Abraxas Malfoy hampir mengusirnya saat mengetahui jika Lucius Malfoy menghabiskan 4000 pound sterling untuk berjudi. Ia mengetahui prinsip keluarganya yang merupakan keluarga kelas atas. Mereka mengumpulkan uang, menjaga uang dan menghasilkan uang. Letak dasar klasifikasi kelas atas, menengah dan bawah memang terletak pada penggunaan uang. Namun, bukan hal itu saa yang membuatnya resah.
"Narcissa..,"
"Ya? Ada apa?" Narcissa menengok saat ia hendak membuka gerendel pintu.
"Aku menabrak seorang wanita saat pulang dari berjudi," kata Lucius. Pria itu terdengar sangat bersalah. Sementara Narcissa membuka mulutnya tak percaya, "dan aku meninggalkannya begitu saja karena aku kalut."
"Lucius," Narcissa menutup mulutnya.
"Aku tidak tahu bagaimana keadaannya…dan bagaimana perasaan keluarganya saat ini. Aku rasa aku harus menemui mereka dan meminta maaf. Aku harus mempertanggungjawabkan semuanya. Aku tidak bisa tenang," mata abu-abu Lucius terlihat lelah.
"Lakukan saja hal yang menurutmu benar."
Keesokan harinya Lucius benar-benar kembali ke Liverpool. Ia terbang dari Wiltshire dan meninggalkan pekerjaan bisnisnya. Semua tugasnya hari ini ia serahkan kepada putra semata wayangnya Draco Malfoy.
Hatinya berdebar kala mengingat jika dirinya akan mendapat penghakiman dan caci maki dari keluarga si wanita yang telah ia tabrak beberapa hari yang lalu.
Setelah menempuh waktu yang cukup lama akhirnya ia sampai pada daerah kumuh dimana ia pernah menabrak seorang wanita di suatu sore dimana hujan turun begitu deras dan ia mengemudi dalam keadaan frustasi. Kondisi tempat itu tak bertambah baik meski hujan tidak turun hanya saja sekarang Lucius bisa mencium samar-samar bau laut yang berada lebih kurang 2 km dari tempat ini.
Lucius Malfoy turun dari mobilnya di tempat dimana ia menabrak wanita malang yang ia tinggalkan. Tidak ada orang sama sekali kecuali seorang gadis kecil yang berjalan mendekat sambil membawa ranting kayu. Gadis itu menunduk, berjalan sembari menggoreskan ujung ranting pada salju untuk menggambar garis yang panjang.
"Hei..kau…," panggil Lucius ragu.
Si gadis mendongak dengan cepat dan memasang ekspresi takut. Ia menyembunyikan ranting yang ia bawa sejak tadi di belakang punggung. Dengan ragu si gadis mendekati Lucius.
"Kau tinggal disini?" tanya Lucius.
Si gadis mengangguk. Ia memperhatikan laki-laki berkulit pucat di hadapannya. Ia tidak pernah melihat kulit sepucat itu seolah tidak pernah tersentuh matahari, ia tidak pernah melihat rambut putih yang berkilau seakan bisa bersinar dalam gelap. Sedangkan Lucius memperhatikan gadis cilik di hadapannya. Sorot ketakutan yang bercampur dengan keberanian. Wajah cantik dengan kedua mata coklat yang nyaris basah serta rambut coklat keemasan yang lebat. Kilau wajahnya bertambah saat wajah si gadis tertimpa sinar matahari.
"Iya. Anda siapa?"
"Lucius Malfoy. Aku mencari wanita yang kemarin tertabrak disini…ya tepat disini," Lucius menunjuk tempat yang digunakan untuk parker mobil, "kau mengenalnya? Kau tahu tempat tinggalnya?"
Si gadis tidak langsung menjawab. Rahangnya bergerak-gerak. Ia selalu kesulitan mencari kata yang pas untuk diungkapkan. Mulutnya sudah terbuka namun tidak ada satu kata pun yang lolos bahkan mencapai kerongkongannya.
Lucius yang terlanjur putus asa tidak sabar untuk menunggu seorang gadis asing yang tak kunjung bicara. Matanya mengelana untuk mencari orang lain yang bisa ditanyai. Saat kakinya akan melangkah menjauh, si gadis memegang ujung coatnya.
"Dia ibuku. Yang tertabrak itu ibuku."
'Kau tinggal sendiri? bagaimana dengan ayahmu?'
'Aku tidak punya, ibu bilang aku tidak punya.'
'Apa kau mau ikut denganku?'
'Kemana?'
'Ke tempat yang lebih layak.'
'Disini tidak layak?'
'Maksudku disana kau akan tumbuh lebih baik, banyak hal yang harus kau lihat dan kau ketahui'
Lucius mengempit gadis kecil yang ia temui di lingkungan kumuh di Liverpool. Gadis cilik itu tertidur setelah perjalanan yang cukup panjang dan Lucius terduduk lemas setelah beradu paham dengan sebuah keluarga miskin, The Weasleys.
Keluarga itu bersikeras bahwa Hermione tidak akan pergi dan akan menetap di Liverpool bersama mereka. Namun, Lucius juga bersikeras bahwa membawa Hermione adalah sebuah kewajiban tepatnya sebuah penebusan dosa. Ia tidak pernah memperhitungkan reaksi istrinya dan anaknya, ia hanya tidak bisa meninggalkan seorang gadis kecil yang menyebut nama ibunya dengan berbisik dan menatap Lucius dengan mata basah. Mata itu benar-benar membuatnya tidak bisa lari. Lucius berencana ingin sekedar memberikan ganti rugi dan memberi ucapan duka cita tapi anak yang akhirnya ia ketahui bernama Hermione itu mengubah segalanya. Meski begitu ia belum mengatakan bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kematian Caroline Granger karena Lucius ragu jika Hermione akan menerima uluran tangannya saat gadis itu tahu bahwa tangan itu pulalah yang telah membunuh ibu dari seorang gadis tanpa ayah yang hidup di lingkungan kumuh.
Hermione terbangun saat Lucius mengguncang bahunya. Tiba-tiba ia cegukan saat melihat rumah besar dengan banyak jendela yang menyala. Bangunan itu tinggi dan kokoh, sepi dan terkesan kuno.
"Ini rumah anda?" Hermione memegang ujung coat Lucius. Lucius melirik Hermione dan mengangguk kecil.
Pintu rumah itu terbuka setelah Lucius beberapa kali membunyikan bel. Dari dalamnya keluar seorang wanita tinggi berleher jenjang, kurus dengan tatapan mata kecil yang tajam. Wanita itu memperhatikan Hermione dengan rasa ingin tahu. Dahinya mengkerut.
"Tuan, gadis kecil ini-,"
"Siapkan saja kamar untuknya. Jangan bertanya apa-apa. Hermione…apa kau haus? Kau ingin minum sesuatu?" tanya Lucius.
"Tidak, Tuan," Hermione lupa nama pria yang membawanya itu. Jadi gadis cilik mengikuti cara wanita kurus yang membukakan pintu tadi untuk memanggil Lucius Malfoy.
Suhu di Wiltshire turun drastis menjelang subuh. Hermione mendongak dan mengamati jam dinding besar yang terlihat tua. Ia tidak pernah melihat jam sebesar itu. Gadis itu masih saja memegangi ujung coat Lucius dan mengikuti Lucius Malfoy yang berjalan dalam keremangan. Tak berapa lama kemudian muncul seorang wanita bertubuh ramping dari sebuah ruangan.
"Lucius, kenapa baru kembali-astaga! Siapa dia?"
"Narcissa, itulah yang mau aku ceritakan. Gadis ini…kita perlu bicara. Pomfrey!" teriak Lucius memanggil wanita yang membukakan pintu untuknya tadi.
Lucius memberi isyarat jika pembantu rumahnya itu harus membawa Hermione pergi. Hermione memberi perlawanan saat Mrs. Pomfrey membawanya menjauhi Lucius. Rahang Hermione bergerak lagi, ia membuka mulut tapi tidak ada kata yang keluar.
"K-kita akan kemana? Tuan…Tuan masih disana…bisa kita kembali?" Hermione menyentak tangan Mrs. Pomfrey. Gadis itu mencoba berlari namun Mrs. Pomfrey memegangi pergelangan tangannya dengan erat, "Tuan masih disana."
"Dia akan menemuimu nanti."
"Lepaskan saja dia, Pomfrey," sahut sebuah suara dari belakang tubuh Mrs. Pomfrey.
Pemilik suara itu memegang tangan Hermione dan memegang kepala gadis cilik itu. Ia membelainya perlahan. Hermione mendongak. Ia melihat hal yang sama lagi, ia melihat mata abu-abu, rambut yang bersinar dan kulit yang pucat, hidung yang sempurna. Hermione merasakan rasa hangat yang familiar dari tangan yang memegangnya kali ini. Tangan itu hangat dan kurus sama seperti ibunya.
Si pemilik suara berjongkok di depan Hermione, "Hey, what's your name?"
"Hermione."
"I am Draco."
"Tuan menyuruhku membawa gadis ini ke kamar!" Mrs. Pomfrey menyela pembicaraan mereka.
Draco terus memandang Hermione. Ia tidak pernah melihat mata coklat indah seperti ini. Mata itu indah dan nyaris selalu basah. Tidak menangis tapi basah. Ia tidak pernah melihat bibir yang memerah karena digigit tapi gadis yang cilik yang berada di hadapannya itu baru saja menunjukannya.
"Biar aku yang mengurusnya. Aku yang akan bertanggungjawab nanti," kata Draco masih memandangi mata Hermione. Pemuda itu membenahi rambut Hermione, menyelipkannya di balik telinga. Hermione menggeliat geli.
Draco tahu jika Hermione bukan gadis cilik biasa. Gadis itu tidak bertindak biasa. Bahasa tubuhnya mengatakan jika gadis cilik itu memiliki kekurangan. Tapi ia tidak pernah melihat kekurangan secantik ini apalagi pada gadis 10 tahun.
"Kau mau pergi ke mana? Kau tidak mau ikut Pomfrey, benar kan?" tanya Draco. Pemuda itu memcoba memberi senyum ramah.
"T-Tuan masih disana," Hermione menunjuk ke arah dia datang. Raut wajahnya sekarang terlihat bingung.
"Tuan?" Draco mengernyit heran. Akan tetapi ia tak menolak tatkala Hermione menariknya pergi ke tempat dimana Lucius berada.
Pemuda 25 tahun itu menuruti permintaan gadis asing yang sudah ia sukai pada saat pandangan pertama. Bukan suka seorang laki-laki kepada seorang perempuan. Ia menyukainya saja. Matanya tidak bisa dibohongi. Ia suka barang yang indah dan Hermione adalah sebuah keindahan.
Draco sedikit terkejut saat melihat ibunya marah-marah. Ibunya memegang tongkat golf dan ada sebuah guci warna merah yang pecah berserakan di lantai. Di depan Narcissa, Lucius hanya terdiam sembari memegang pergelangan tangan kanan sang istri. Mereka beradu mulut di depan Draco dan Hermione.
"Sampai kapan dia akan tinggal disini?" Narcissa bernafas cepat. Narcissa adalah tipe wanita yang egois dan kadang-kadang bisa dipenuhi rasa iri. Ia tidak ada masalah ketika Lucius berniat untuk memberi uang banyak pada seseorang tapi untuk mengajak orang tersebut tinggal bersama adalah sebuah mimpi buruk. Ia agak egois untuk sekedar berbagi.
"Selama ia ingin tinggal disini dia akan tinggal. Kita punya banyak kamar, dia akan sekolah."
Narcissa memejamkan mata kesal, bibirnya sedikit mengerucut, "Baik. Lakukan saja sesukamu," Narcissa membuang muka dan berjalan meninggalkan Lucius Malfoy. Ia berjalan cepat ke arah Hermione dan Draco. Wanita paruh baya sempat menatap Hermione sebelum melangkah dengan angkuh.
Tanpa sadar Hermione menenggelamkan kepalanya pada perut Draco. Sementara Draco langsung memeluk kepala Hermione. Ketika Narcissa sudah pergi Hermione melepas pelukan dan berlari menghambur pada Lucius. Gadis itu kembali mengulangi hal yang sering ia lakukan, memegang ujung coat Lucius.
"Kau pasti ketakutan," Lucius membelai rambut Hermione.
"Dia akan tinggal disini?" Draco bertanya sembari membuka kancing teratas kemeja putihnya.
"Dia harus tinggal, Draco. Namanya Hermione Granger, sebelumnya dia tinggal di Liverpool," jawab Lucius Malfoy.
"Alright. You always do what you want," Draco mengangkat bahu. Pemuda pirang tidak terlalu peduli dengan apa yang ayahnya lakukan karena sejujurnya ia pun jarang pulang ke rumah. Draco bertugas mengelola tempat bisnis ayahnya yang berada di London sehingga ia memutuskan untuk menetap di London dan sesekali pulang ke Wiltshire untuk mengunjungi ibunya,
"Pastikan saja gadis itu tidak terlalu banyak menarik perhatian," ucap Draco dengan nada misterius.
Draco melihat mata coklat yang basah dan indah lagi, mengintip ragu dari balik punggung ayahnya.
.
.
.
To be Continue
….
…..
…..
I don't know why tapi aku rasa cerita agak gimana gitu..
Boring, common, not interesting.
cuma mo coba bikin cerita beginian wkwk
Tapi ya sudahlah…Cygnus cuma ingin berbagi cerita dan melihat tanggapan kalian.
Dan ini bukan tentang pedofil kok, you guys don't need to be worried
So yeah, I hope you all enjoyed this story and will give me some reviews or suggestion.
Oh ya, continue or nah?
