"Hyung, sampai jumpa bulan depan!"
"Hm, aku akan menunggu di sini."
.
Orang-orang berselisihan.
Gemerisik angin terdengar bersama hiruk pikuk.
Suara tangis anak kecil.
Langkah orang-orang yang berlarian.
Jimin duduk dan terdiam.
Namun tidak ada Yoongi.
.
.
.
Searching You
YoonMin
Yoongi. Jimin
©SooChan
.
.
.
Mereka akan pergi menuju Daegu bersama-sama, setelah kelulusan Jimin dan selesai sudah urusan Jimin dengan keluarganya selama sebulan di Busan. Mereka berjanji akan mengemasi seluruh barang-barang mereka dan pergi begitu Jimin kembali ke Seoul. Yoongi bilang ia akan mencari perusahaan di Daegu dan memesan sebuah flat untuk sementara.
Atau, itulah yang dipikirkan Jimin.
Ia kembali dari urusan keluarganya yang berbelit dan merepotkan, meminta izin kepada ibunya yang keras kepala itu untuk pulang dengan memaksa. Begitu ia telah kembali, berlarian menuju taman kota, maka matanya tiada menangkap orang yang dimaksud. Min Yoongi. Tidak. Datang.
"Uhm, halo," ketika seorang dengan bahu lebar dan senyum khawatir itu datang, Jimin hampir pingsan karena kedinginan, menunggu seharian selama awal musim dingin. "Apa kau baik-baik saja?"
Jimin menghargai rasa khawatir orang tak dikenalnya itu. Jadi ia mengangguk dan mengibaskan tangannya. "Aku baik-baik saja, hanya menunggu seseorang."
"Eum, baiklah, aku punya toko di sekitar sini, jika kau membutuhkan sesuatu, maka datanglah," ia menunjuk tokonya dari tempat ia berdiri, Jimin dapat memperhatikan lewat mata kecilnya, cahaya remang-remang yang terpampang jauh di sana, dan Jimin mengangguk sebagai tanda bahwa ia melihatnya.
Pria itu berbalik ketika yakin bahwa Jimin tidak ingin diganggu lagi. Dari manik matanya yang tiada lesu-lesunya itu, Jimin hanya menginginkan satu hal. Min Yoongi.
.
.
.
Pukul satu dini hari.
Pria itu sudah menutup tokonya, kemudian mendatangi Jimin lagi dan bertanya apakah Jimin ingin diantar pulang. Namun Jimin menolak, mungkin ia masih punya beberapa jam lagi. Walaupun kemungkinan itu telah hampir terkikis habis dari relungnya.
Min Yoongi seorang sosok yang pemarah. Dingin. Pada beberapa waktu, kata-katanya sungguh menyakitkan. Namun Jimin tahu lewat mata sipit dan senyum itu, Yoongi memiliki banyak kehangatan untuk dibagi, dan Jimin menerima kehangatan dengan suka cita.
"Hyung," desahnya, asap putih bergumul lewat hembusan napas panjang yang ia keluarkan, entah untuk kesekian kalinya, ia berkata dengan setengah mengantuk.
Ia menegakkan tubuhnya, meniadakan rasa ragunya dan membuat dirinya sendiri untuk mempercayai seorang Yoongi akan datang dan menghangatkannya. Yoongi tidak akan lepas dari janjinya, dan ia akan datang pada Jimin sebagaimana ia berjanji sebulan lalu.
.
.
.
"Yoongi hyung!"
Jimin tidak bisa lagi mengeluarkan tenaganya. Ia menyerah menunggu di taman dan berjalan menuju rumah kos Yoongi. Saat itu Jimin beruntung menemukan satu taksi di jalanan, jadi kakinya tak perlu berjalanan lagi dengan lunglai.
"Yoongi hyung!"
Ia berseru. Ia ingat Yoongi tinggal bersama seorang bernama Jungkook dan Hoseok, ia tidak pernah melihat keduanya memang, namun Yoongi banyak mengumpat tentang mereka. Dan Jimin tidak pernah mengunjungi rumah Yoongi, Yoongi hanya menunjuknya saat mereka tidak sengaja melewatinya.
"Yoon-"
"Ada apa?"
Yang keluar adalah sosok laki-laki tinggi dengan surai hitam dengan kaos putih polos dan alis yang dinaikkan sebelahnya, di belakang sosok itu, ada seseorang yang lebih pendek, yang berdiri dengan mata terpejam dan wajah lonjongnya terjatuh ke samping kanan karena sudah terkantuk-kantuk.
"Ah, aku mencari seseorang bernama Min Yoongi," Jimin berkata, melirik ke belakang dua sosok itu, jika saja Yoongi berdiri di sana. Namun ia hanya dapat melihat kekosongan dari ruang tamu yang televisinya menyala-nyala dengan suara yang berisik.
"Yoongi hyung?" gigi kelincinya kelihatan begitu ia berbicara, dan ia nampak kebingungan. "Dia pergi beberapa jam yang lalu, sudah lama sekali, mengejar pesawat."
Jimin mengerutkan alisnya sedemikian rupa. "Apa maksudmu dengan pesawat?"
"Entahlah, dia tiba-tiba memesan tiket pesawat yang berangkat menuju Gwangju hari ini, aku tidak tahu dia ada urusan apa, tapi yang jelas dia benar-benar tergesa-gesa."
Jimin merasakan kakinya lebih lunglai lagi. Ia tidak menanyakan apa pun, bahkan ia tidak mengucapkan terima kasih atau pun selamat tinggal. Ia berlari menuju jalanan. Ia kedinginan. Kakinya terasa membeku. Dan ia hampir pingsan mengenai pesawat dan Gwangju.
Tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Min Yoongi.
Jimin tidak peduli jika rasanya tubuhnya sakit sampai sendi- sendinya linu.
Ia tidak peduli karena Min Yoongi pergi.
Jimin harus mengejarnya.
.
.
.
Di antara kesibukan malam, bandara saat itu benar-benar dalam kesibukan yang pasti, walaupun ini tengah mendekati pukul empat. Jimin berlarian kecil di antara keramaian dan mencar-mencar mencari si kulit pucat.
Ketika ia merasa ia akan pingsan dan ia sudah jatuh terduduk di lantai keramik itu, matanya menangkap surai perak dari kejauhan dari tempat ia berada. Sosok yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa itu. Jimin bangkit mengejarnya.
"Yoongi ..." napasnya hampir habis. "Yoongi Hyung!"
Maka terselamatkanlah ia, Min Yoongi berbalik dan langsung berlari menuju Jimin yang hampir jatuh, menangkap pria itu dan memeluknya kuat-kuat, hingga Jimin pikir napasnya yang sudah pendek-pendek itu akan terputus.
"Astaga, demi apa pun, Jimin!" suaranya berat dan renyah, terdengar begitu khawatir dan begitu gusar. Jimin tidak tahu apa artinya, tapi tubuhnya jauh lebih hangat ketika menerima pelukan itu, jadi ia membalasnya.
"Kau tidak menungguku di taman, Hyung."
"Kau datang ke sana?" Yoongi mengerutkan alisnya.
"Aku mendapat telepon dari ibumu bahwa kau kecelakaan di Gwangju."
"Untuk apa aku pergi ke Gwangju?"
"Jika saja aku tahu, aku terlalu panik untuk berpikir. Lupakan, astaga, kau sangat dingin, kemarilah."
Yoongi memeluk Jimin, menggiringnya menuju sebuah kursi tunggu panjang, memberikan jaketnya dan mengeratkannya pada Jimin. Matanya jelas kelewat lega, namun juga khawatir, Jimin yang biasanya ceria itu pucatnya sudah menyamai kulit tubuhnya.
"Kau mengecat rambutmu, Hyung," Jimin terkekeh, baru sadar bahwa ketampanan Yoongi lebih terlihat lagi, walaupun sudah banyak warna yang Jimin lihat dari rambut si pucat, Jimin tiada habis pikir, tidakkah sakit mengecat rambut sesering itu?
"Itu yang kau pikirkan sekarang?" dengan bola matanya yang memutar tidak percaya, ia peluk lagi si pipi tembam. "Kupikir kau sekarat bodoh. Dan ketika aku menemukanmu, keadaanmu sudah seperti ini. Apa kita perlu ke rumah sakit?"
"Oh-oh, tidak usah," Jimin menggelengkan kepala, berlebihan sekali jika ke rumah sakit, ia hanya kedinginan dan letih, selain kepalanya yang benar-benar berat, ia rasa ia baik-baik saja. "Lagi pula aku sudah cukup untuk tetap berada bersama Hyung."
Tangan Yoongi menarik Jimin untuk bersandar di dadanya, dan Jimin menurut. Sembari ia berkata, "sudah kubilang jika ibuku berkata sesuatu yang tidak-tidak padamu, jangan percaya."
"Dia menentang hubungan kita, kau sudah tahu kan, Hyung?"
Yoongi tersenyum. "Jika kau berada di posisiku, maka apa yang akan kau lakukan?"
Jimin mengerutkan alisnya. Ia bahkan tidak tahu apa jawabannya. Maka ia mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. "Tidak tahu."
Yang lebih muda mengangkat kepalanya, menatap Yoongi dengan manik yang jauh lebih tenang. Begitu Yoongi menempelkan bibirnya pada bibir Jimin, Jimin tiada berkata-kata, menerima ciuman itu dengan senang hati. Malahan, ia merindukannya sampai-sampai ia tidak peduli jika orang-orang memperhatikan mereka. Sampai-sampai wajahnya memanas dan rasa sesak di dadanya timbul karena kehabisan napas.
"Aku merindukanmu," Yoongi berkata dengan setengah tersengal.
Jimin tersenyum, tidak bisa berkata-kata lagi, karena rasa rindunya tidak bisa terloncat keluar melalui kata-kata. Maka ia hanya tertawa senang. Apa yang ia cari sudah di sini. Min Yoongi berada di depannya dan mendekapnya bersama kehangatan.
.
.
FIN
.
.
Selingkuh?
Mati?
Kena culik gangster antah berantah?
Ada yang berpikir seperti itu? Well, dari ketiga pilihan di atas, aku awalnya mau pilih mati, tapi gak ngeh banget, ya udah, yang begini aja. They're happy with it, so we are.
Pengen bikin versi Yoonginya, tapi nunggu respon aja, takutnya ga suka kalau ngebuat cerita yang sama, walaupun beda point of view.
Sekian dan terima Seokjin!
Mind to review?
